“Cahaya! Cucian udah selesai belum? Ngapain kamu malah ngerumpi sama Mbok Sri?” Bu Lastri mencecar Cahaya dengan wajah merah padam . Terlihat jelas amarah sedang menguasai wanita berpakaian modis layaknya wanita sosialita yang akan menghadiri sebuah acara itu.
Cahaya terperanjat ketika namanya dipanggil oleh ibu mertua dengan nada tinggi. Seketika dia merasa bersalah karena telah melalaikan tugas yang telah diperintahkan. “Eh, maaf, Bu.” Dengan cepat gadis itu menyalakan mesin cuci yang ada di hadapannya sesuai dengan arahan yang diberitahukan oleh Mbok Sri. “Baru juga satu hari udah bikin orang kesel aja!” gerutu Bu Lastri seraya melanjutkan langkahnya menuju ke arah meja yang di atasnya telah berjejer menu sarapan yang menggugah selera. Aroma dari ayam goreng menusuk hidung wanita itu seolah-olah memanggil dan membuatnya segera duduk di kursi paling depan. Diliriknya Mbok Sri yang kini sudah berpindah di depan wastafel dengan wajah menunduk sambil mencuci peralatan masak. “Mulai besok Mbok Sri awasi pekerjaan Cahaya. Dia harus menyelesaikan tugasnya dulu baru boleh diajak ngobrol. Jangan malah ngobrol sambil kerja! Kan jadinya kerjaan nggak beres-beres!” “Iya, Nyah. Maaf.” Mbok Sri menjawab seraya mengangguk pelan. “Satu lagi. Pastikan semua yang dikerjakan perempuan itu selesai dengan sempurna. Semua baju yang dia cuci harus bersih dan wangi. Terus, lantai dan perabotan yang dia bersihkah harus bening dan kinclong. Pokoknya tugas Mbok Sri awasi terus semua yang dia kerjakan.” Mendengar ucapan majikannya membuat Mbok Sri yakin tentang firasatnya bahwa keberadaan Cahaya di rumah mewah ini hanya dimanfaatkan saja. Status menantu hanyalah formalitas karena kenyataannya Cahaya diberi tugas khusus yang biasa dilakukan oleh para pembantu. Beberapa menit berlalu. Dari tempat duduknya, Bu Lastri bisa melihat sang menantu yang masih sibuk dengan sekeranjang pakaian setengah kering yang menunggu untuk dijemur. Di antara lembaran-lembaran pakaian itu tidak ada miliknya melainkan milik suami dan ibu mertua karena tiga hari sebelum acara pernikahan, Bu Lastri telah memecat ART yang bertugas mencuci pakaian mereka. Mbok Sri pun tak sempat menyentuh mesin cuci, karena sibuk mengatur belanja bahan dapur untuk perjamuan pesta. Jangan tanya kenapa tidak pesan katering saja? Kan mereka orang kaya? Big no! Karena Bu Lastri adalah orang yang super irit bin medit. Jangankan untuk jamuan tamu, untuk makan enak dirinya sendiri saja harus mikir dulu seribu kali. Orang kaya yang sangat perhitungan dan pelit. “Cahaya! Lama banget sih cuci bajunya?!” Suara Bu Lastri terdengar menggema dari dapur memanggil Cahaya yang kini sedang menjemur pakaian di luar ruangan. Tepatnya di pekarangan yang terletak tidak jauh dari pintu belakang. Cahaya yang merasa dipanggil pun segera mempercepat pekerjaannya dan segera masuk menghadap sang ibu mertua. Dengan patuh, gadis polos itu meletakkan keranjang kosong ke tempatnya dan bergegas menghampiri Bu Lastri yang terlihat sudah selesai sarapan. “Iya, Bu. Ini Aya udah selesai.” “Kamu selesaikan nyapu dan ngepel dulu. Setelah itu mandi terus siap-siap ikut Ibu,” titah Bu Lastri dengan tatapan datar ke arah Cahaya. “Ibu mau ajak Aya ke mana?” tanya Cahaya penasaran, tetapi sang mertua tidak memberi jawaban yang jelas. “Sudah, nggak usah banyak nanya. Pokoknya lakuin apa yang Ibu suruh. Ibu kasih waktu 30 menit, kamu harus sudah selesai ngepel dan siap berangkat!” “Oh, iya, Bu. Aya bakalan selesaikan semuanya tepat waktu.” Gadis desa itu mengangguk paham. “Adam tadi pamit ke kantor. Katanya ada hal penting yang harus dia selesaiin dan mau pulangnya sore. Jadi, kamu nggak usah nyariin dia. Yang penting kamu nurut sama kata Ibu.” Tanpa menunggu jawaban dari Cahaya, wanita dengan rambut yang sudah rapi disanggul itu bangkit dari kursi dan berlalu pergi. Mbok Sri yang menyaksikan perlakuan majikannya pada si menantu hanya bisa geleng-geleng kepala seraya mengelus dada karena merasa semakin iba. Dengan cepat wanita itu berjalan menghampiri Cahaya. “Non, makan dulu, terus langsung siap-siap aja. Biar Mbok yang ngepel lantai.” “Nggak usah, Mbok. Nggak apa-apa. Aya bisa kok ngerjain sendiri,” jawab Cahaya dengan senyum penuh ketulusan. Gadis itu sama sekali tidak merasa keberatan dengan perintah yang diberikan ibu mertua kepadanya. “Ya sudah kalau gitu Mbok mau ke pasar dulu. Stok bumbu banyak yang mau habis, jadi Mbok harus belanja ke pasar dulu, buat stok.’’ Cahaya mengangguk paham. Setelah kepergian Mbok Sri, gadis itu segera meraih sapu yang ada di ujung ruangan. Dengan penuh kehati-hatian, Cahaya mulai menyapu dan disambung dengan mengepel lantai semua ruangan. Kondisi rumah yang luas membuat pekerjaan Cahaya memakan waktu yang lumayan lama. Waktu 30 menit yang diberikan oleh ibu mertua otomatis kurang, sehingga membuat wanita kaya yang saat ini sudah menjinjing tas branded itu kembali memasang wajah kesal. “Dari tadi ngapain aja sih?? Udah hampir satu jam dari tadi kok belum selesai-selesai?” Bu Lastri menggerutu dengan suara yang sengaja dikeraskan agar sang menantu mendengar. “Maaf, Bu. Padahal Aya udah usahain secepatnya loh. Tapi, kayaknya emang rumah ini sangat besar, jadi perlu waktu lebih,” balas Cahaya dengan sedikit tersenyum, bingung. Akan tetapi, jawaban Cahaya malah membuat ibu mertuanya semakin marah. “Halah, alesan aja kan kamu?! Bilang aja kamu males! Pake nyalahin rumah segala!.” “Bukannya gitu, Bu. Aya beneran nggak males kok. Malah semangat kerjanya. Tapi ... emang rumah ini kan besar banget. Sepuluh kali lebih besar dari rumah Aya di desa, jadi bersihinnya perlu waktu yang lama.” Tanpa merasa takut atau merasa bersalah, Cahaya masih bersikeras menyampaikan pendapatnya. “Sudah, sudah! Dibilangin kok malah ngebantah terus!” sambar Bu Lastri dengan ekspresi malas. Dan di saat yang bersamaan, Mbok Sri yang pamit belanja di pasar tiba-tiba muncul dari arah depan. Dengan cepat, Bu Lastri menyuruh ART-nya menggantikan Cahaya untuk menyelesaikan pekerjaan. “Sekarang kamu mandi dan siap-siap! Jangan lupa dandan! Kamu punya baju yang bagus kan, selain daster? Pokoknya pakai baju selain daster! Jangan sampai nanti kamu malu-maluin Ibu!” “Ada, Bu. Gamis warna putih yang dibeliin nenek waktu lebaran kemarin. Baru Aya pakai dua kali kayaknya. Jadi masib bag---“ “Sudah, sudah! Baju apa pun itu yang penting jangan dasteran!” Belum juga selesai ucapan Cahaya, tetapi sudah disambar oleh sang mertua. Namun, Cahaya sama sekali tidak menanggapi sikap kasar yang dia dapatkan. “Iya, Bu. Aya mau mandi dulu.” “Cepetan! Ibu tunggu di mobil!” balas Bu Lastri lagi seraya mendengus kesal. Dengan langkah cepat wanita yang berumur di atas 50 tahun itu keluar dari rumah menuju sebuah mobil putih yang terparkir cantik di halaman. Hanya perlu waktu kurang dari sepuluh menit, Cahaya sudah keluar dari rumah menghampiri sang ibu mertua dengan tas selempang kecil berwarna hitam yang dia sandang. Setelah gadis itu masuk mobil, Bu Lastri pun menyalakan mesin mobil dan membawa menantunya ke suatu tempat di mana telah berkumpul wanita-wanita sosialita seperti dirinya yang tengah bergosip dan memamerkan sesuatu yang dibawa. Ya, para wanita ini adalah teman-teman arisan Bu Lastri yang semuanya adalah para istri dari orang kaya. Mereka semua menagih janji pada Bu Lastri akan mengajak menantunya dan memperkenalkan sang menantu pada mereka. Mobil yang dinaiki Cahaya dan mertuanya perlahan berhenti di depan restoran bintang lima dan segera disambut oleh tukang parkir yang akan mengamankan mobil mereka. Keduanya turun dan Bu Lastri pun mengajak Cahaya masuk agar bertemu para teman kayanya dan ikut berbaur dengan mereka. “Hai semua! Kenalin, ini menantuku. Namanya Cahaya,” sapa Bu Lastri dengan senyum mengembang dan langsung memperkenalkan Cahaya sebagai menantunya. “Hah?! Apa kamu serius, Jeng Lastri? Gadis hitam dekil kusam jerawatan ini menantumu???” BERSAMBUNGSeorang wanita cantik yang terlihat seumuran dengan Bu Lastri bangkit dari sofa empuk dan melangkah cepat menghampiri dua wanita yang baru datang. Dengan tatapan sinis seperti sedang menginterogasi, wanita bernama Bu Emma memindai sosok Cahaya dari ujung kepala hingga ujung kaki. “Dari mana kamu mungut sampah ini, Jeng? Bukannya katamu pacar Adam itu gadis yang cantik, putih dan mulus? Lha ini apa?? Hitem kucel, pakai kerudung lagi? Nggak level banget sama kita-kita. Ya enggak?”sambung Bu Emma seraya menoleh ke arah segerombol wanita yang sama-sama terperangah ketika melihat bestie mereka memperkenalkan menantunya. Ucapan teman dari ibu mertua ini mampu menggetarkan hati Cahaya. Rasa penasaran karena dia mau dibawa ke mana seketika berubah menjadi rasa hina. Cahaya mengedarkan pandangan ke arah di mana para wanita yang hampir semua memasang tatapan sinis kepadaaanya. Benar saja, meskipun sudah tidak muda, tetapi mereka semua memang sangat cantik. Dengan kulit cerah terawat dan riasa
Hari demi hari berlalu. Pernikahan Cahaya dan Adam hari ini genap berumur satu bulan. Di usia pernikahan seperti ini biasanya pengantin sedang asyik-asyiknya menjalani hari-hari indah dengan berbulan madu. Melewati setiap momen saling mengenal lebih dalam dengan perasaan penuh dengan kebahagiaan.Namun, hal-hal indah itu hanyalah impian belaka, karena kenyataannya Cahaya dan Adam tidak pernah tidur bersama. Ya, selama satu bulan mereka tinggal di atap yang sama, tetapi pasangan suami istri ini tidak pernah bersentuhan. Jangankan menyentuh, memandang wajah istrinya saja Adam merasa sangat jijik dan mual. Seperti malam ini, ketika pasangan suami istri itu di kamar, Cahaya yang baru keluar dari kamar mandi tidak sengaja menghalangi langkah Adam. Karena sakit perut yang berlebihan membuat Adam segera bergegas menuju kamar mandi setelah melihat Cahaya keluar. ‘Kamu ngapain masih di situ! Minggir!” teriak Adam pada Cahaya dengan sorot mata tajam. “Orang mau ke kamar mandi malah dihala
Nenek Asih bertanya dengan lirih, “Nduk, kenapa kamu yang ngepel lantai? Emangnya mertuamu nggak punya pembantu?”“Punya kok, Nek. Tapi Mbok Sri tugasnya masak dan urus keperluan dapur yang lainnya. Aya Cuma bantuin nyapu sama ngepel aja,” jawab Cahaya apa adanya.“Cahaya nyapu sama ngepel lantai sendirian?” tanya Nenek Asih lagi. “Emangnya mertuamu punya pembantu berapa?”“Dua, Nek. Tapi yang satu laki-laki, namanya Kang Asep. Kang Asep tugasnya bersihin halaman, ngerawat tanaman sekalian jadi satpam di sini,” jelas Cahaya dengan penuh semangat. “Tapi nyapu sama ngepel rumah sebesar ini sendirian pasti capek banget, Nduk. Kenapa mertuamu nggak cari pembantu lagi buat bantuin kamu?” “Ah, enggak kok, Nek. Aya kan udah terbiasa kerja kayak gini di rumah dulu. Jadi, Aya bisa kerjakan sendirian.” Mendengar jawaban dari sang cucu yang sudah lama dirindukan membuat Nenek Asih terenyuh. Wanita tua yang membawa sekantong plastik berisi buah mangga dan rambutan itu kembali memeluk cucunya.
“Siapa orang tua kandung Aya, Nek?” tanya Cahaya dengan penuh rasa ingin tahu. Siapa gerangan orang tua yang telah tega membuang dirinya dalam keadaan masih bayi. Derai air mata Cahaya masih terus mengalir hingga kerudung yang dia pakai hampir basah seluruh bagian depannya. Hal yang benar-benar di luar dugaan dan tidak pernah dia bayangkan sebelumnya bahwa dia adalah seorang anak yang tidak diinginkan oleh kedua orang tuanya dan berakhir menjadi gadis desa yang tidak tahu apa-apa. Meskipun begitu, Cahaya tetap harus bersyukur karena yang menemukannya adalah Nenek Asih dan Almarhum suaminya yang baik hati. Merawat dan membesarkannya dengan penuh kasih sayang layaknya cucu sendiri.“Nek, kenapa diam aja? Tolong katakan, siapa orang tua kandung Aya?” tanya Cahaya lagi dengan memohon. “Nenek juga nggak tahu, Nduk. Tidak ada petunjuk apa pun yang ditinggalkan oleh orang tuamu. Yang Nenek tahu cuman namamu saja karena pada saat Nenek menemukanmu, kamu memakai gelang dengan tulisan Cahay
Cahaya membaca pesan di gawai pintar suaminya dengan tangan gemetar. Satu pesan singkat dengan panggilan mesra seketika mengalihkan pikiran dan hatinya. Nomor kontak bertuliskan CANTIKKU itu mampu membuat jantungnya berdegup beribu kali lebih kencang, sehingga Cahaya tiba-tiba merasakan tubuhnya membeku tak bisa digerakkan. “Apa yang kamu lihat?!” Setengah berlari, Adam menghampiri Cahaya dan langsung merebut benda pipih yang ada di tangan sang istri. Dengan wajah penuh amarah, Adam mengkritik sikap Cahaya karena sudah berani memegang handphone miliknya. “Siapa yang suruh megang HP-ku? Hah? Berani banget kamu ya?!” Cahaya masih mematung dengan tatapan kosong. Dia sama sekali tak menghiraukan ekspresi suaminya yang sedang marah karena pikirannya dan hatinya masih bergelut dengan pesan singkat mesra yang baru saja dia baca.“Dia siapa, Mas?” tanya Cahaya seraya menatap tajam pria yang berdiri di hadapannya. “Maksud kamu apa?” Adam berlagak bodoh. Pastinya, karena tidak akan mungk
“Ibu tahu, kamu berhubungan lagi sama Nadia, kan?” Dengan tatapan tajam Bu Lastri bertanya kepada Adam. Sebelumnya perempuan itu memang sudah kenal betul dengan kekasih putranya yang bernama Nadia, karena Adam memang sering membawa pulang wanita cantik itu ketika ayahnya tidak ada di rumah. Akan tetapi, karena wasiat dari sang suami menyebabkan Bu Lastri lebih memilih Cahaya sebagai menantunya. Bagi Bu Lastri, tidak apa-apa mengorbankan cinta putranya demi mempertahankan harta kekayaan dan semua warisan. “Ibu tahu dari mana?” Adam bertanya balik. Padahal, pertemuannya dengan Nadia baru terjadi dua kali dan itupun mereka lakukan di restoran yang tersembunyi sepi dari pengunjung, tetapi bagaimana sang ibu bisa tahu? “Sudah Ibu bilang, Ibu tahu siapa yang ada di balik kontak nomor handphone-mu yang kamu namai CANTIKKU itu.”“Apa Ibu serius? Ibu tahu? Jadi ... sebenarnya Ibu tadi sudah tahu kalau Cahaya tidak asal bicara? Bahkan, Ibu juga tahu kalau yang mengirim pesan tadi adalah Nadi
Atas permintaan aneh dari wanita cantik yang diakui sebagai adik sepupu Adam, Cahaya terpaksa harus mencari toko daging yang masih buka. Benar saja, karena jam sudah hampir malam tidak ada toko daging yang masih buka di jam-jam seperti ini. Karena Cahaya pergi belanja hanya dengan berjalan kaki, dia tidak bisa menempuh jalan yang jauh. Langkahnya gontai dan dia berhenti di depan sebuah ruko yang kosong untuk beristirahat sejenak. Tiga menit terlewati, Cahaya berniat melanjutkan perjalanannya ke satu toko terakhir yang belum dia datangi. Langkahnya terhenti ketika ada seseorang memanggil namanya. “Non Cahaya sedang apa?” tanya perempuan setengah baya yang ternyata adalah Mbok Sri.Ya, mantan ART Bu Lastri itu sedang membeli obat di apotek dekat ruko kosong yang ditempati Cahaya beristihat. Cahaya pun menoleh mencari sumber suara dan dia terkejut ketika mendapati mantan ART di rumah ibu mertuanya kini berdiri di hadapannya. Cahaya baru teringat bahwa Mbok Sri pernah bercerita memilik
Setelah menyetujui keinginan gadis yang duduk di hadapannya, wanita anggun itu menatap lekat ke arah Cahaya.“Serius, namamu Cahaya? Ibu dulu juga punya anak perempuan manis bernama Cahaya. Tapi ....” Kalimat wanita itu terhenti seketika, menyebabkan rasa penasaran Cahaya tiba-tiba muncul. Mengingat dia bukan cucu asli dari neneknya, menjadikan pikiran kemungkinan dia putri wanita kaya itu pun datang. “Tapi kenapa, Bu? Apakah putri Ibu yang bernama Cahaya itu hilang? Diculik orang atau tertinggal di suatu tempat?” tanya Cahaya dengan perasaan yang sulit dijelaskan. “Ah, tidak seperti itu,” balas Bu Salma dengan kembali tersenyum. “Putri kami yang bernama sama sepertimu meninggal sejak bayi karena penyakit kronis.”Jawaban dari Bu Salma seketika membuat Cahaya terdiam dan mengangguk paham. “Oh, seperti itu ya, Bu.” Entah mengapa, Cahaya merasa kecewa. Dari arah dapur terlihat Mbok Sri kembali dengan sekantong plastik berukuran sedang dan segera memberikannya kepada Cahaya. Setelah
Bab EkstraSuara sirine ambulan mendengung sangat keras hingga terdengar sampai rumah Cahaya. Karena memang kejadian kecelakaan yang dialami Bu Lastri tidak jauh dari rumah Cahaya, sehingga kegaduhan yang terjadi bisa terdengar jelas oleh semua orang termasuk Cahaya.“Pa, ada apa rame-rame di depan?” tanya Cahaya dari arah dapur, karena setelah kepergian mantan ibu mertuanya beberapa menit yang lalu, gadis itu berniat menghidangkan makan siang untuk Farel dan ibunya. “Apa mungkin ada kecelakaan?” Dokter Hasan membalas dengan wajah penasaran.Begitu juga dengan Farel dan ibunya yang sama-sama mendengarkan kegaduhan di luar. Keduanya saling pandang dengan wajah penasaran atas apa yang mereka dengar. Dan di saat yang bersamaan, Bu Salma datang dengan memasang wajah panik. “Pa, Bu Lastri kecelakaan!” teriak ibu dari Cahaya itu dengan suara gemetar. “Ya Allah, Pa ... Mama liat sendiri mobil Bu Lastri nabrak pohon besar di pinggir jalan.” “Bu Lastri? Ibunya Adam?’’ Dokter Hasan begitu te
BAB 50The EndBu Lastri melepas kepergian Nadia dengan tangisan pilu. Wanita paruh baya itu tidak pernah menduga bahwa hidupnya akan berada di titik rendah ini. Karena keegoisannya ingin menjadikan Cahaya yang kini telah berubah menjadi kaya membuat putranya terpuruk dalam masalah di penjara. Bu Latri pun tidak pernah menduga bahwa keluarga Cahaya akan melaporkan perbuatan putranya yang mendekati Cahaya. Sebelumnya Adam memang ada bercerita tentang usahanya mendekati Cahaya, hingga terjadi perkelahian dengan dokter muda karena menolong Cahaya. Akan tetapi, Bu Lastri tidak pernah menduga bahwa Dokter hasan melaporkan perbuatan putranya ke kantor polisi. Dalam kebingungan, wanita paruh baya itu menuju ke kantor polisi sendirian. Bu Lastri ingin menemui putranya yang sedang kebingungan di penjara. Wanita paruh baya itu ingin memastikan keadaan Adam di jeruji besi yang menyesakkan dada. Di sepanjang perjalanan, air mata sudah tidak bisa dibendung lagi. Hati Bu Lastri sedang sangat gu
BAB 49Sebuah HukumanKarena melihat istri dari tersangka yang ditangani olehnya kebingungan, sang polisi yang membawa surat penangkapan itu pun segera mejawab, “Saudara Adam telah melakukan penyerangan dan perbuatan tidak menyenangkan kepada Saudari Cahaya. Di mana dia sekarang? Kami minta Anda dan suami bersikap kooperatif agar kasus ini bisa diselesaikan dengan cepat dan tenang.” “Apa? Suami saya melakukan kesalahan apa? Dan Cahaya?? Kenapa suami saya bermasalah dengan Cahaya??” tanya Nadia ingin memastikan alasan penangkapan suaminya.“Kalau mau jelas, nanti bisa kami terangkan di kantor. Sekarang, panggilkan suami Anda terlebih dahulu dengan cara yang baik, sebelum kami melakukan pemanggilan paksa!” jawab sang polisi yang lain dengan suara lantang, sehingga membuat Adam yang kebetulan berada di rumah segera ke luar karena mendengar suara bising yang mengganggu.Pria itu pun muncul dari balik pintu dan mendapati istrinya tengah memasang wajah bingung di hadapan dua polisi. “Ini a
BAB 48Sebuah Harapan“Apa Dokter Farel serius mau melamar Cahaya?” tanya Dokter Hasan pada Farel dengan memasang wajah penuh penasaran. Wajar, karena sebelumnya ayah dari Cahaya itu tidak pernah berpikir bahwa dokter muda kepercayaannya menaruh hati pada putrinya. Sebaliknya, yang di pikiran Dokter Hasan selama ini adalah Farel sudah memiliki kekasih dan calon istri sehingga pria itu sama sekali tidak pernah menyinggung perihal pasangan kepada Farel. Akan tetapi, tiba-tiba saja pemuda mapan itu datang bersama ibunya dan mengungkapkan niat baik untuk melamar Cahaya. Hal itu membuat Dokter tidak bisa berkata apa-apa selain bertanya seriuskah?Dengan penuh keyakinan, Farel pun mengangguk seraya menjawab, “Iya, Dok. Saya sangat serius. Ini buktinya saya bawa Ibu saya ke sini biar Dokter yakin.” Ucapan Farel yang terkesan melucu, tetapi dengan wajah serius membuat Dokter Hasan terkekeh. “Ini beneran enggak sih, Dok? Saya benar-benar masih kurang yakin ini.” Melihat reaksi ayah dari g
BAB 47Lamaran Kilat“Jadi, Abang nggak marah sama apa yang gua sampaikan ke Cahaya?”“Enggak, Dek. Abang malah berterima kasih sama kamu. Dan sesuai dengan permintaan Cahaya, setelah Abang bersaksi di kantor polisi, Abang akan langsung datang ke rumahnya untuk melamar.” “Seriusan, Abang mau melamar Cahaya??” Raka benar-benar tidak percaya jika kakaknya menyambut bahagia atas hasil dari apa yang dia ucapkan kepada Cahaya. Bukan hanya bahagia, tetapi Farel malah berniat melamar Cahaya dengan cepat.Bagi Farel, permintaan Cahaya untuk menghadap kepada orang tuanya langsung adalah bentuk dari penerimaan gadis itu. Karena jika Cahaya menolak, pastilah gadis itu akan menolaknya langsung tanpa menyuruhnya datang ke rumah dan mengatakannya langsung kepada orang tuanya.“Iya, Dek. Abang serius. Nanti Abang akan ajak kamu dan Ibu sekalian. Abang juga akan menyiapkan semuanya secara lengkap. Jadi, Abang akan datang ke rumah Cahaya dan melamarnya secara resmi.”“Melamar Cahaya secara resmi?” ta
BAB 46Pernyataan Cinta“Gua serius, Cahaya. Lu mau enggak jadi pacar Abang gua?” Raka bertanya pada Cahaya dengan wajah penuh keseriusan.Mendengar apa yang diucapkan Raka berhasil membuat jantung Cahaya berdegup semakin tak beraturan. “Raka, kamu jangan bercanda ya? Mana mungkin Dokter Farel suka sama Aya?”“Lu ini kenapa sih nggak percayaan banget ama gua? Gua nggak lagi becanda, Cahaya. Abang gua beneran suka sama lu.” “Bukannya Aya enggak percaya sama kamu, Raka. tapi kan ... Dokter Farel itu pemuda yang ... tampan, mapan, pastinya Dokter Farel udah punya calon istri kan?”Cahaya tidak memungkiri bahwa hatinya saat ini sedang berbunga-bunga atas ucapan dari Raka. Akan tetapi, dia berusaha keras untuk mencari pembenaran dari ucapan Raka tentang perasaan dokter muda yang mereka bicarakan.“Astagfirullah, Cahaya. Gua beneran serius!” Raka sampai kesal karena Cahaya tidak mempercayai ucapannya. “Lu tenang aja. Abang gua itu masih suci dan murni. Dia enggak pernah pacaran.”“Apa?! D
BAB 45Pelajaran untuk Mantan“Apa kita perlu laporkan Adam ke polisi, Pa?” tanya Bu Salma memberikan saran kepada sang suami.“Hmm ....” Dokter Hasan berpikir sejenak, kemudian kembali berucap, “Iya, Papa setuju. Kalau menurutmu gimana, Cahaya?” “Maksudnya Papa sama Mama mau memen jarakan Mas Adam?” Entah mengapa mendengar rencana dari orang tuanya yang akan mereka lakukan kepada Adam membuat Cahaya tiba-tiba merasa kasihan pada pria itu.“Iya, kita harus tegas supaya dia nggak bakalan ganggu kamu lagi,” jawab Dokter Hasan dengan penuh keyakinan. “Tapi, Pa ... Papa kan tahu sendiri kalau Mas Adam punya anak dan istri. Anaknya juga masih bayi. Kasihan kalau Mas Adam dipenjara, nanti siapa yang ngurus mereka?” “Cahaya ....” Bu Salma meraih tangan Cahaya dengan lembut dan membelainya. “Cahaya, dengerin Mama. Kita memang harus bersikap baik kepada orang. Tapi bukan berarti kita diam kalau ada orang yang berbuat tidak baik sama kita. Kamu masih ingat kan bagaimana perlakuan mereka dul
“Maksud Dokter apa?” tanya Cahaya dengan wajah serius. “Jangan bercanda kayak gitulah, Dok. Enggak lucu.” Detik ini, ketika Farel mendapat kesempatan duduk berdua dengan Cahaya, ingin sekali pemuda itu bersorak dan mengungkap isi hatinya. Akan tetapi, entah mengapa nyalinya tiba-tiba menciut. Keberanian untuk berterus terang dan menyatakan cintanya tidak sebesar nyalinya ketika menantang Adam beberapa menit yang lalu.Pemuda itu terkekeh. “Hehe, enggak lucu ya? Padahal itu sudah sangat lucu buat saya.” “Nggak lucu, Dokter.”“Hehehe.” Cahaya tertegun. Dia baru ingat bagaimana bisa dokter muda itu datang tepat di saat dia membutuhkan bantuan. Mengingat jarak rumah sakit tempat bekerja pemuda itu sangat jauh karena berbeda kota. “Dok, tadi kok bisa pas gitu? Bagaimana Dokter tahu kalau Aya sedang dalam masalah karena Mas Adam tadi? Kan rumah sakit tempat Dokter kerja jauh. Apa Dokter Farel pas kebetulan lewat aja atau bagaimana??” tanya Cahaya dengan memberondong pertanyaan demi pert
Setelah hampir 30 menit Cahaya akhirnya memantapkan hati untuk keluar. Sebenarnya dia sangat malas jika harus bertemu lagi dengan mantan suaminya itu, tetapi tidak mungkin juga dia tidak pulang hanya karena menghindari Adam yang saat ini sedang menunggunya di gerbang depan.Benar saja, dengan penuh sabar Adam menunggu Cahaya keluar sejak beberapa jam yang lalu. Setelah dilihatnya mobil mungil milik Cahaya yang perlahan berjalan menuju gerbang, Adam segera menyalakan mesin mobilnya untuk menghadang jalan Cahaya. Cahaya yang melihat kehadiran mobil Adam segera menghentikan mobilnya. Dengan perasaan kesal, wanita muda itu keluar dari mobil seraya memegang satu buket bunga di tangan. Cahaya akan mengembalikan buket itu kepada si pengirim. “Assalamualaikum, Cahaya.” Adam menyapa dengan meyunggingkan senyuman tanpa sedikit pun merasa malu atau merasa sungkan.Bruk!Cahaya melempar satu buket bunga tepat di bawah kaki Adam. “Ini! Ambil kembalikan! Karena aku nggak sudi menerima apa pun da