Share

Menantu Polos

“Cahaya! Cucian udah selesai belum? Ngapain kamu malah ngerumpi sama Mbok Sri?” Bu Lastri mencecar Cahaya dengan wajah merah padam . Terlihat jelas amarah sedang menguasai wanita berpakaian modis layaknya wanita sosialita yang akan menghadiri sebuah acara itu.

Cahaya terperanjat ketika namanya dipanggil oleh ibu mertua dengan nada tinggi. Seketika dia merasa bersalah karena telah melalaikan tugas yang telah diperintahkan.

“Eh, maaf, Bu.” Dengan cepat gadis itu menyalakan mesin cuci yang ada di hadapannya sesuai dengan arahan yang diberitahukan oleh Mbok Sri.

“Baru juga satu hari udah bikin orang kesel aja!” gerutu Bu Lastri seraya melanjutkan langkahnya menuju ke arah meja yang di atasnya telah berjejer menu sarapan yang menggugah selera. Aroma dari ayam goreng menusuk hidung wanita itu seolah-olah memanggil dan membuatnya segera duduk di kursi paling depan. Diliriknya Mbok Sri yang kini sudah berpindah di depan wastafel dengan wajah menunduk sambil mencuci peralatan masak.

“Mulai besok Mbok Sri awasi pekerjaan Cahaya. Dia harus menyelesaikan tugasnya dulu baru boleh diajak ngobrol. Jangan malah ngobrol sambil kerja! Kan jadinya kerjaan nggak beres-beres!”

“Iya, Nyah. Maaf.” Mbok Sri menjawab seraya mengangguk pelan.

“Satu lagi. Pastikan semua yang dikerjakan perempuan itu selesai dengan sempurna. Semua baju yang dia cuci harus bersih dan wangi. Terus, lantai dan perabotan yang dia bersihkah harus bening dan kinclong. Pokoknya tugas Mbok Sri awasi terus semua yang dia kerjakan.”

Mendengar ucapan majikannya membuat Mbok Sri yakin tentang firasatnya bahwa keberadaan Cahaya di rumah mewah ini hanya dimanfaatkan saja. Status menantu hanyalah formalitas karena kenyataannya Cahaya diberi tugas khusus yang biasa dilakukan oleh para pembantu.

Beberapa menit berlalu. Dari tempat duduknya, Bu Lastri bisa melihat sang menantu yang masih sibuk dengan sekeranjang pakaian setengah kering yang menunggu untuk dijemur. Di antara lembaran-lembaran pakaian itu tidak ada miliknya melainkan milik suami dan ibu mertua karena tiga hari sebelum acara pernikahan, Bu Lastri telah memecat ART yang bertugas mencuci pakaian mereka. Mbok Sri pun tak sempat menyentuh mesin cuci, karena sibuk mengatur belanja bahan dapur untuk perjamuan pesta.

Jangan tanya kenapa tidak pesan katering saja? Kan mereka orang kaya?

Big no! Karena Bu Lastri adalah orang yang super irit bin medit. Jangankan untuk jamuan tamu, untuk makan enak dirinya sendiri saja harus mikir dulu seribu kali. Orang kaya yang sangat perhitungan dan pelit.

“Cahaya! Lama banget sih cuci bajunya?!” Suara Bu Lastri terdengar menggema dari dapur memanggil Cahaya yang kini sedang menjemur pakaian di luar ruangan. Tepatnya di pekarangan yang terletak tidak jauh dari pintu belakang.

Cahaya yang merasa dipanggil pun segera mempercepat pekerjaannya dan segera masuk menghadap sang ibu mertua. Dengan patuh, gadis polos itu meletakkan keranjang kosong ke tempatnya dan bergegas menghampiri Bu Lastri yang terlihat sudah selesai sarapan.

“Iya, Bu. Ini Aya udah selesai.”

“Kamu selesaikan nyapu dan ngepel dulu. Setelah itu mandi terus siap-siap ikut Ibu,” titah Bu Lastri dengan tatapan datar ke arah Cahaya.

“Ibu mau ajak Aya ke mana?” tanya Cahaya penasaran, tetapi sang mertua tidak memberi jawaban yang jelas.

“Sudah, nggak usah banyak nanya. Pokoknya lakuin apa yang Ibu suruh. Ibu kasih waktu 30 menit, kamu harus sudah selesai ngepel dan siap berangkat!”

“Oh, iya, Bu. Aya bakalan selesaikan semuanya tepat waktu.” Gadis desa itu mengangguk paham.

“Adam tadi pamit ke kantor. Katanya ada hal penting yang harus dia selesaiin dan mau pulangnya sore. Jadi, kamu nggak usah nyariin dia. Yang penting kamu nurut sama kata Ibu.” Tanpa menunggu jawaban dari Cahaya, wanita dengan rambut yang sudah rapi disanggul itu bangkit dari kursi dan berlalu pergi.

Mbok Sri yang menyaksikan perlakuan majikannya pada si menantu hanya bisa geleng-geleng kepala seraya mengelus dada karena merasa semakin iba. Dengan cepat wanita itu berjalan menghampiri Cahaya. “Non, makan dulu, terus langsung siap-siap aja. Biar Mbok yang ngepel lantai.”

“Nggak usah, Mbok. Nggak apa-apa. Aya bisa kok ngerjain sendiri,” jawab Cahaya dengan senyum penuh ketulusan. Gadis itu sama sekali tidak merasa keberatan dengan perintah yang diberikan ibu mertua kepadanya.

“Ya sudah kalau gitu Mbok mau ke pasar dulu. Stok bumbu banyak yang mau habis, jadi Mbok harus belanja ke pasar dulu, buat stok.’’

Cahaya mengangguk paham. Setelah kepergian Mbok Sri, gadis itu segera meraih sapu yang ada di ujung ruangan. Dengan penuh kehati-hatian, Cahaya mulai menyapu dan disambung dengan mengepel lantai semua ruangan. Kondisi rumah yang luas membuat pekerjaan Cahaya memakan waktu yang lumayan lama. Waktu 30 menit yang diberikan oleh ibu mertua otomatis kurang, sehingga membuat wanita kaya yang saat ini sudah menjinjing tas branded itu kembali memasang wajah kesal.

“Dari tadi ngapain aja sih?? Udah hampir satu jam dari tadi kok belum selesai-selesai?” Bu Lastri menggerutu dengan suara yang sengaja dikeraskan agar sang menantu mendengar.

“Maaf, Bu. Padahal Aya udah usahain secepatnya loh. Tapi, kayaknya emang rumah ini sangat besar, jadi perlu waktu lebih,” balas Cahaya dengan sedikit tersenyum, bingung.

Akan tetapi, jawaban Cahaya malah membuat ibu mertuanya semakin marah. “Halah, alesan aja kan kamu?! Bilang aja kamu males! Pake nyalahin rumah segala!.”

“Bukannya gitu, Bu. Aya beneran nggak males kok. Malah semangat kerjanya. Tapi ... emang rumah ini kan besar banget. Sepuluh kali lebih besar dari rumah Aya di desa, jadi bersihinnya perlu waktu yang lama.” Tanpa merasa takut atau merasa bersalah, Cahaya masih bersikeras menyampaikan pendapatnya.

“Sudah, sudah! Dibilangin kok malah ngebantah terus!” sambar Bu Lastri dengan ekspresi malas. Dan di saat yang bersamaan, Mbok Sri yang pamit belanja di pasar tiba-tiba muncul dari arah depan. Dengan cepat, Bu Lastri menyuruh ART-nya menggantikan Cahaya untuk menyelesaikan pekerjaan.

“Sekarang kamu mandi dan siap-siap! Jangan lupa dandan! Kamu punya baju yang bagus kan, selain daster? Pokoknya pakai baju selain daster! Jangan sampai nanti kamu malu-maluin Ibu!”

“Ada, Bu. Gamis warna putih yang dibeliin nenek waktu lebaran kemarin. Baru Aya pakai dua kali kayaknya. Jadi masib bag---“

“Sudah, sudah! Baju apa pun itu yang penting jangan dasteran!” Belum juga selesai ucapan Cahaya, tetapi sudah disambar oleh sang mertua. Namun, Cahaya sama sekali tidak menanggapi sikap kasar yang dia dapatkan.

“Iya, Bu. Aya mau mandi dulu.”

“Cepetan! Ibu tunggu di mobil!” balas Bu Lastri lagi seraya mendengus kesal. Dengan langkah cepat wanita yang berumur di atas 50 tahun itu keluar dari rumah menuju sebuah mobil putih yang terparkir cantik di halaman.

Hanya perlu waktu kurang dari sepuluh menit, Cahaya sudah keluar dari rumah menghampiri sang ibu mertua dengan tas selempang kecil berwarna hitam yang dia sandang. Setelah gadis itu masuk mobil, Bu Lastri pun menyalakan mesin mobil dan membawa menantunya ke suatu tempat di mana telah berkumpul wanita-wanita sosialita seperti dirinya yang tengah bergosip dan memamerkan sesuatu yang dibawa.

Ya, para wanita ini adalah teman-teman arisan Bu Lastri yang semuanya adalah para istri dari orang kaya. Mereka semua menagih janji pada Bu Lastri akan mengajak menantunya dan memperkenalkan sang menantu pada mereka.

Mobil yang dinaiki Cahaya dan mertuanya perlahan berhenti di depan restoran bintang lima dan segera disambut oleh tukang parkir yang akan mengamankan mobil mereka. Keduanya turun dan Bu Lastri pun mengajak Cahaya masuk agar bertemu para teman kayanya dan ikut berbaur dengan mereka.

“Hai semua! Kenalin, ini menantuku. Namanya Cahaya,” sapa Bu Lastri dengan senyum mengembang dan langsung memperkenalkan Cahaya sebagai menantunya.

“Hah?! Apa kamu serius, Jeng Lastri? Gadis hitam dekil kusam jerawatan ini menantumu???”

BERSAMBUNG

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status