Bu Lastri menatap aneh pada Adam kemudian berpindah ke arah Cahaya. “Jangan bilang kalian tidur terpisah di malam pertama?”
Cahaya menunduk seketika karena bingung hendak menjawab apa. Sementara itu, Adam dengan cepat menjawab, “Enggak kok, Bu. Aku dan Cahaya tidur di kamar ini. Cuman tadi pas habis salat subuh kayak ada suara tokek di kamar tamu, jadi aku ke sana buat meriksa.” Meskipun terlihat ragu dalam menjelaskan, tetapi jawaban Adam mampu membuat Bu Lastri percaya. “Oh, Ibu kira kalian tidur terpisah. Kalian kan udah jadi suami istri, jadi ya harus selalu tidur bersama. Kasian bapakmu kalau kalian nggak akur. Meskipun bapak sudah nggak ada sama kita, tapi bapak pasti tahu semua yang terjadi.” Bu Lastri merasa lega. “Tapi ... Emangnya beneran ada tokek? Perasaan, mulai kita tinggal di sini Ibu nggak pernah dengar ada suara tokek.” “Ada kok, Bu. Beberapa hari yang lalu Adam juga denger suara tokek sama persis dengan yang Adam dengar tadi.” Sebisa mungkin Adam menjelaskan sesuatu yang sebenarnya tidak pernah terjadi, karena dia sedang mengarang cerita agar ibunya bisa lebih percaya. “Ya sudah kalau gitu, Cahaya cepetan ikut Ibu ke dapur,” titah Bu Lastri pada Cahaya dengan memasang wajah sedikit ramah daripada tadi malam. “Nggeh, Bu.” Si menantu baru itu segera berjalan mengekor di belakang ibu mertua menuju ke arah di ruangan yang terlihat seorang wanita yang sedang berdiri di depan kompor. “Cahaya, mulai sekarang kamu bantuin Mbok Sri masak dan urus kebersihan rumah. Kalau Mbok Sri masak, tugasmu cuci baju, nyapu sama ngepel. Kalau untuk bersihin halaman udah ada Mang Asep yang megang.” Dengan penuh kelembutan wanita itu memberikan tugas pada sang menantu. Cahaya yang polos dan memang sudah terbiasa melakukan pekerjaan rumah sedari kecil menganggap pekerjaan yang diberikan oleh sang ibu mertua adalah pekerjaan yang sangat mudah. Gadis itu dengan cekatan mulai meraih keranjang pakaian kotor dan segera memasukkannya ke mesin cuci. “Eh eh eh, Cahaya, bentar! Ngomong-ngomong, kamu bisa kan cuci baju pakai mesin cuci?” Dengan cepat, Bu Lastri menyusul langkah Cahaya karena khawatir kalau menantu dari desanya itu tidak bisa menggunakan mesin cuci. Dalam benak wanita itu, jangan sampai niatnya untuk menghemat pengeluaran malah jadi hal yang merugikan jika Cahaya bertindak ceroboh dan malah merusak mesin cuci. Cahaya pun segera menjawab dengan penuh percaya diri, “Bisa kok, Bu.” “Oh, baguslah kalau begitu.” Bu Lastri mengangguk paham seraya meninggalkan Cahaya bersama seorang asisten rumah tangga. Cahaya menoleh ke arah Mbok Sri dengan tersenyum malu, kemudian segera memasukkan lembar demi lembar pakaian kotor milik suami dan sang ibu mertua ke mesin cuci. Meskipun bentuk dan ukuran yang sangat jauh berbeda, tetapi Cahaya dan neneknya punya sebuah mesin cuci kecil di rumah. Dia berpikir bahwa penggunaan atau cara pakai semua mesin cuci pastilah sama. Namun, kenyataannya gadis desa itu kebingungan ketika hendak memulai pekerjaannya. Banyaknya tombol dan pengaturan di layar kecil yang ada di atas mesin cuci membuatnya kesulitan, hingga dia tersadar bahwa mesin cuci yang ada di hadapannya tidak sama dengan yang dia miliki di rumah. Mbok Sri yang sedari tadi memperhatikan gerak-gerik nona mudanya yang kebingungan, perlahan berjalan mendekat. “Sini, Non. Biar Mbok aja yang nyuci baju. Non Cahaya istirahat aja.” “Jangan, Mbok. Biar Aya aja yang nyuci. Mbok Sri ajarin cara nyalain mesin cucinya aja, nanti Aya yang nyelesaiin.” Cahaya menolak keinginan perempuan paruh baya yang mengenakan daster motif bunga mawar itu dengan sopan. Akan tetapi, Mbok Sri masih tetap bersikeras. “Jangan, Non. Biar Mbok aja.” “Bukannya Mbok tadi lagi masak, ya? Mbok terusin masak, biar Aya yang nyuci sesuai perintah ibu tadi.” Mendengar ucapan nona mudanya membuat Mbok Sri tersenyum penuh arti. “Aman, Non. Masakan udah mateng semua kok. Udah siap santap! Mbok kasian liat Non Cahaya.” Pandangan perempuan yang sudah lebih dari lima tahun menjadi ART di rumah keluarga Adam itu menunduk sedih. Seperti ingin mengutarakan sesuatu, tetapi seakan terasa sangat berat untuk mengutarakannya. Cahaya terhenyak. “Kasian sama Aya?” sahutnya dengan cepat. “Memangnya ada apa, Mbok?” Cahaya menatap kedua mata wanita yang berdiri di sampingnya dengan penuh rasa penasaran. Sebenarnya apa yang telah dilakukan majikannya sehingga membuat ART itu merasa iba pada sang nona muda yang baru kemarin menjadi anggota keluarga di rumah ini. Mbok Sri mengedarkan pandangan, menoleh ke sekitar untuk memastikan keadaan bahwa tidak ada siapa pun di dekat mereka yang mungkin saja bisa mendengarkan apa yang akan dia bicarakan kepada Cahaya. Setelah memastikan kondisi aman, Mbok Sri pun kembali memulai percakapan, tetapi kali ini dengan volume suara yang amat sangat lirih. “Sebenarnya, sebelum Den Adam menikah yang artinya sebelum Non Cahaya ke sini, Nyonya besar itu punya empat ART, Non. Termasuk Kang Asep yang ngurusin halaman dan taman. Karena Non Cahaya akan menjadi menantu dan tinggal di sini, nyonya besar memecat dua ART lain dan menyisakan Mbok ini sama Kang Asep.” Dengan suara pelan, tetapi cukup jelas di telinga Cahaya, Mbok Sri menceritakan sebuah kebenaran. Akan tetapi, ucapan Mbok Sri masih belum dipahami oleh Cahaya. “Terus, masalahnya sama Cahaya apa, Mbok?” tanya nona muda itu pada ART-nya dengan memicingkan sebelah mata, tanda bahwa dia benar-benar tidak paham dengan apa yang didengarnya. “Astaghfirullah, Non .... Non Cahaya kenapa polos banget sih?” ART itu sampai mengelus dada karena saking geram. Padahal, bertemu Cahaya baru beberapa menit yang lalu, tetapi seolah-olah sudah berkumpul lama dan seperti memiliki ikatan batin yang kuat, sehingga membuat Mbok Sri merasa kasihan padanya. “Maaf, Mbok. Aya beneran nggak paham. He he he.” Mbok Sri kembali berucap, “Jadi, Nyonya besar memecat dua ART sebelum Non Cahaya tinggal di sini supaya ngirit, Non. Artinya, karena Non Cahaya menantu di sini, jadi nyonya besar bisa menyuruh Non Cahaya gantiin pekerjaan dua ART yang dipecat tadi tanpa membayar biaya sama sekali.” “Nggak mungkinlah, Mbok. Mungkin ibu pengen kasih pengalaman atau pembelajaran buat Aya gimana jadi istri yang baik, yang bisa ngurus rumah tangga.” penjelasan yang cukup membingungkan untuk gadis polos seperti Cahaya. Karena baginya, selama dirinya mampu, dia rela melakukan apa pun di rumah sang mertua. Kemurnian hati gadis desa ini menyangkal ucapan negatif dari Mbok Sri yang terkesan memburuk-burukkan sang majikannya sendiri. “Si Non dibilangin kok nggak percaya sama Mbok? Mbok ini kasih tahu Non Cahaya karena Mbok kasihan sama Non Cahaya.” Mbok Sri terlihat sedikit kecewa. Kedua wanita itu masih berdiri di depan mesin cuci sambil terus bercakap-cakap dengan nada lirih. Sesekali Mbok Sri melanjutkan ucapannya tentang niat buruk majikannya kepada Cahaya di tengah-tengah pembelajarannya tentang mesin cuci. Bu Lastri yang tiba-tiba muncul untuk memeriksa pekerjaan menantunya merasa geram. Sudah lebih dari tiga puluh menit berlalu, tetapi pekerjaan mencuci baju masih belum diselesaikan. Entah apa yang sedang dibicarakan Cahaya dan si ART, tetapi keduanya terlihat sedang asyik mengobrol dan malah melalaikan kewajiban. “Enak banget kalian, ya! Kerjaan belum beres kok malah pada asyik ngerumpi!” BERSAMBUNG“Cahaya! Cucian udah selesai belum? Ngapain kamu malah ngerumpi sama Mbok Sri?” Bu Lastri mencecar Cahaya dengan wajah merah padam . Terlihat jelas amarah sedang menguasai wanita berpakaian modis layaknya wanita sosialita yang akan menghadiri sebuah acara itu. Cahaya terperanjat ketika namanya dipanggil oleh ibu mertua dengan nada tinggi. Seketika dia merasa bersalah karena telah melalaikan tugas yang telah diperintahkan.“Eh, maaf, Bu.” Dengan cepat gadis itu menyalakan mesin cuci yang ada di hadapannya sesuai dengan arahan yang diberitahukan oleh Mbok Sri.“Baru juga satu hari udah bikin orang kesel aja!” gerutu Bu Lastri seraya melanjutkan langkahnya menuju ke arah meja yang di atasnya telah berjejer menu sarapan yang menggugah selera. Aroma dari ayam goreng menusuk hidung wanita itu seolah-olah memanggil dan membuatnya segera duduk di kursi paling depan. Diliriknya Mbok Sri yang kini sudah berpindah di depan wastafel dengan wajah menunduk sambil mencuci peralatan masak.
Seorang wanita cantik yang terlihat seumuran dengan Bu Lastri bangkit dari sofa empuk dan melangkah cepat menghampiri dua wanita yang baru datang. Dengan tatapan sinis seperti sedang menginterogasi, wanita bernama Bu Emma memindai sosok Cahaya dari ujung kepala hingga ujung kaki. “Dari mana kamu mungut sampah ini, Jeng? Bukannya katamu pacar Adam itu gadis yang cantik, putih dan mulus? Lha ini apa?? Hitem kucel, pakai kerudung lagi? Nggak level banget sama kita-kita. Ya enggak?”sambung Bu Emma seraya menoleh ke arah segerombol wanita yang sama-sama terperangah ketika melihat bestie mereka memperkenalkan menantunya. Ucapan teman dari ibu mertua ini mampu menggetarkan hati Cahaya. Rasa penasaran karena dia mau dibawa ke mana seketika berubah menjadi rasa hina. Cahaya mengedarkan pandangan ke arah di mana para wanita yang hampir semua memasang tatapan sinis kepadaaanya. Benar saja, meskipun sudah tidak muda, tetapi mereka semua memang sangat cantik. Dengan kulit cerah terawat dan riasa
Hari demi hari berlalu. Pernikahan Cahaya dan Adam hari ini genap berumur satu bulan. Di usia pernikahan seperti ini biasanya pengantin sedang asyik-asyiknya menjalani hari-hari indah dengan berbulan madu. Melewati setiap momen saling mengenal lebih dalam dengan perasaan penuh dengan kebahagiaan.Namun, hal-hal indah itu hanyalah impian belaka, karena kenyataannya Cahaya dan Adam tidak pernah tidur bersama. Ya, selama satu bulan mereka tinggal di atap yang sama, tetapi pasangan suami istri ini tidak pernah bersentuhan. Jangankan menyentuh, memandang wajah istrinya saja Adam merasa sangat jijik dan mual. Seperti malam ini, ketika pasangan suami istri itu di kamar, Cahaya yang baru keluar dari kamar mandi tidak sengaja menghalangi langkah Adam. Karena sakit perut yang berlebihan membuat Adam segera bergegas menuju kamar mandi setelah melihat Cahaya keluar. ‘Kamu ngapain masih di situ! Minggir!” teriak Adam pada Cahaya dengan sorot mata tajam. “Orang mau ke kamar mandi malah dihala
Nenek Asih bertanya dengan lirih, “Nduk, kenapa kamu yang ngepel lantai? Emangnya mertuamu nggak punya pembantu?”“Punya kok, Nek. Tapi Mbok Sri tugasnya masak dan urus keperluan dapur yang lainnya. Aya Cuma bantuin nyapu sama ngepel aja,” jawab Cahaya apa adanya.“Cahaya nyapu sama ngepel lantai sendirian?” tanya Nenek Asih lagi. “Emangnya mertuamu punya pembantu berapa?”“Dua, Nek. Tapi yang satu laki-laki, namanya Kang Asep. Kang Asep tugasnya bersihin halaman, ngerawat tanaman sekalian jadi satpam di sini,” jelas Cahaya dengan penuh semangat. “Tapi nyapu sama ngepel rumah sebesar ini sendirian pasti capek banget, Nduk. Kenapa mertuamu nggak cari pembantu lagi buat bantuin kamu?” “Ah, enggak kok, Nek. Aya kan udah terbiasa kerja kayak gini di rumah dulu. Jadi, Aya bisa kerjakan sendirian.” Mendengar jawaban dari sang cucu yang sudah lama dirindukan membuat Nenek Asih terenyuh. Wanita tua yang membawa sekantong plastik berisi buah mangga dan rambutan itu kembali memeluk cucunya.
“Siapa orang tua kandung Aya, Nek?” tanya Cahaya dengan penuh rasa ingin tahu. Siapa gerangan orang tua yang telah tega membuang dirinya dalam keadaan masih bayi. Derai air mata Cahaya masih terus mengalir hingga kerudung yang dia pakai hampir basah seluruh bagian depannya. Hal yang benar-benar di luar dugaan dan tidak pernah dia bayangkan sebelumnya bahwa dia adalah seorang anak yang tidak diinginkan oleh kedua orang tuanya dan berakhir menjadi gadis desa yang tidak tahu apa-apa. Meskipun begitu, Cahaya tetap harus bersyukur karena yang menemukannya adalah Nenek Asih dan Almarhum suaminya yang baik hati. Merawat dan membesarkannya dengan penuh kasih sayang layaknya cucu sendiri.“Nek, kenapa diam aja? Tolong katakan, siapa orang tua kandung Aya?” tanya Cahaya lagi dengan memohon. “Nenek juga nggak tahu, Nduk. Tidak ada petunjuk apa pun yang ditinggalkan oleh orang tuamu. Yang Nenek tahu cuman namamu saja karena pada saat Nenek menemukanmu, kamu memakai gelang dengan tulisan Cahay
Cahaya membaca pesan di gawai pintar suaminya dengan tangan gemetar. Satu pesan singkat dengan panggilan mesra seketika mengalihkan pikiran dan hatinya. Nomor kontak bertuliskan CANTIKKU itu mampu membuat jantungnya berdegup beribu kali lebih kencang, sehingga Cahaya tiba-tiba merasakan tubuhnya membeku tak bisa digerakkan. “Apa yang kamu lihat?!” Setengah berlari, Adam menghampiri Cahaya dan langsung merebut benda pipih yang ada di tangan sang istri. Dengan wajah penuh amarah, Adam mengkritik sikap Cahaya karena sudah berani memegang handphone miliknya. “Siapa yang suruh megang HP-ku? Hah? Berani banget kamu ya?!” Cahaya masih mematung dengan tatapan kosong. Dia sama sekali tak menghiraukan ekspresi suaminya yang sedang marah karena pikirannya dan hatinya masih bergelut dengan pesan singkat mesra yang baru saja dia baca.“Dia siapa, Mas?” tanya Cahaya seraya menatap tajam pria yang berdiri di hadapannya. “Maksud kamu apa?” Adam berlagak bodoh. Pastinya, karena tidak akan mungk
“Ibu tahu, kamu berhubungan lagi sama Nadia, kan?” Dengan tatapan tajam Bu Lastri bertanya kepada Adam. Sebelumnya perempuan itu memang sudah kenal betul dengan kekasih putranya yang bernama Nadia, karena Adam memang sering membawa pulang wanita cantik itu ketika ayahnya tidak ada di rumah. Akan tetapi, karena wasiat dari sang suami menyebabkan Bu Lastri lebih memilih Cahaya sebagai menantunya. Bagi Bu Lastri, tidak apa-apa mengorbankan cinta putranya demi mempertahankan harta kekayaan dan semua warisan. “Ibu tahu dari mana?” Adam bertanya balik. Padahal, pertemuannya dengan Nadia baru terjadi dua kali dan itupun mereka lakukan di restoran yang tersembunyi sepi dari pengunjung, tetapi bagaimana sang ibu bisa tahu? “Sudah Ibu bilang, Ibu tahu siapa yang ada di balik kontak nomor handphone-mu yang kamu namai CANTIKKU itu.”“Apa Ibu serius? Ibu tahu? Jadi ... sebenarnya Ibu tadi sudah tahu kalau Cahaya tidak asal bicara? Bahkan, Ibu juga tahu kalau yang mengirim pesan tadi adalah Nadi
Atas permintaan aneh dari wanita cantik yang diakui sebagai adik sepupu Adam, Cahaya terpaksa harus mencari toko daging yang masih buka. Benar saja, karena jam sudah hampir malam tidak ada toko daging yang masih buka di jam-jam seperti ini. Karena Cahaya pergi belanja hanya dengan berjalan kaki, dia tidak bisa menempuh jalan yang jauh. Langkahnya gontai dan dia berhenti di depan sebuah ruko yang kosong untuk beristirahat sejenak. Tiga menit terlewati, Cahaya berniat melanjutkan perjalanannya ke satu toko terakhir yang belum dia datangi. Langkahnya terhenti ketika ada seseorang memanggil namanya. “Non Cahaya sedang apa?” tanya perempuan setengah baya yang ternyata adalah Mbok Sri.Ya, mantan ART Bu Lastri itu sedang membeli obat di apotek dekat ruko kosong yang ditempati Cahaya beristihat. Cahaya pun menoleh mencari sumber suara dan dia terkejut ketika mendapati mantan ART di rumah ibu mertuanya kini berdiri di hadapannya. Cahaya baru teringat bahwa Mbok Sri pernah bercerita memilik
“Maksud Dokter apa?” tanya Cahaya dengan wajah serius. “Jangan bercanda kayak gitulah, Dok. Enggak lucu.” Detik ini, ketika Farel mendapat kesempatan duduk berdua dengan Cahaya, ingin sekali pemuda itu bersorak dan mengungkap isi hatinya. Akan tetapi, entah mengapa nyalinya tiba-tiba menciut. Keberanian untuk berterus terang dan menyatakan cintanya tidak sebesar nyalinya ketika menantang Adam beberapa menit yang lalu.Pemuda itu terkekeh. “Hehe, enggak lucu ya? Padahal itu sudah sangat lucu buat saya.” “Nggak lucu, Dokter.”“Hehehe.” Cahaya tertegun. Dia baru ingat bagaimana bisa dokter muda itu datang tepat di saat dia membutuhkan bantuan. Mengingat jarak rumah sakit tempat bekerja pemuda itu sangat jauh karena berbeda kota. “Dok, tadi kok bisa pas gitu? Bagaimana Dokter tahu kalau Aya sedang dalam masalah karena Mas Adam tadi? Kan rumah sakit tempat Dokter kerja jauh. Apa Dokter Farel pas kebetulan lewat aja atau bagaimana??” tanya Cahaya dengan memberondong pertanyaan demi pert
Setelah hampir 30 menit Cahaya akhirnya memantapkan hati untuk keluar. Sebenarnya dia sangat malas jika harus bertemu lagi dengan mantan suaminya itu, tetapi tidak mungkin juga dia tidak pulang hanya karena menghindari Adam yang saat ini sedang menunggunya di gerbang depan.Benar saja, dengan penuh sabar Adam menunggu Cahaya keluar sejak beberapa jam yang lalu. Setelah dilihatnya mobil mungil milik Cahaya yang perlahan berjalan menuju gerbang, Adam segera menyalakan mesin mobilnya untuk menghadang jalan Cahaya. Cahaya yang melihat kehadiran mobil Adam segera menghentikan mobilnya. Dengan perasaan kesal, wanita muda itu keluar dari mobil seraya memegang satu buket bunga di tangan. Cahaya akan mengembalikan buket itu kepada si pengirim. “Assalamualaikum, Cahaya.” Adam menyapa dengan meyunggingkan senyuman tanpa sedikit pun merasa malu atau merasa sungkan.Bruk!Cahaya melempar satu buket bunga tepat di bawah kaki Adam. “Ini! Ambil kembalikan! Karena aku nggak sudi menerima apa pun da
Pagi hari di kampus tempat Cahaya berkuliah. Setelah tiba di kampus Cahaya menemui dua sahabatnya Lisa dan Paula di kantin. Sebelum berangkat mereka bertiga memang sudah janjian untuk bertemu di kantin kampus dan sarapan bersama. Beberapa hari yang lalu ketika Lisa dan Paula mengetahui status janda Cahaya keduanya merasa dibohongi sehingga berniat memutuskan persahabatan mereka. Akan tetapi, kedekatan yang sudah terjalin di antara mereka cukup kental sehingga mampu mengalahkan kekesalan mereka. Dua gadis yang awalnya hanya mendekati Cahaya karena status Cahaya yang putri seorang dokter terkenal itu kini perlahan mulai merasakan hal yang berbeda. Apa lagi setelah mendengar pengakuan Cahaya sendiri tentang status jandanya, bukannya benci dan menjauhi, tetapi Lisa dan Paula malah semakin salut dan simpatik kepada Cahaya. Dan hari ini adalah hari di mana mereka kembali bersatu setelah beberapa hari yang lalu di antara mereka bertiga terjadi kerenggangan. Tiba di kantin, Cahaya disambut
“Cahaya, tolong beri waktu sebentar aja. Aku pengen banget ngomong sama kamu,” pinta Adam pada wanita cantik yang berdiri di samping mobil. Wanita itu menghentikan gerakan tangannya yang ingin membuka pintu mobil.“Enggak ada yang perlu diomongkan lagi, Mas. Sudah, Aya buru-buru.” “Jangan pergi dulu, Cahaya. Plis ... kasih aku waktu sebentar aja,” pinta Adam lagi dengan wajah memelas membuat Cahaya pun mengurungkan niat untuk pergi. “Memangnya ada apa?” Cahaya kembali membalas tanpa menatap ke arah sang mantan suami. “Emm ... aku minta maaf,” ucap Adam dengan wajah tertunduk.Kening Cahaya mengerut. “Maaf? Untuk apa??” Adam menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan. Pria itu mendongak dan menatap Cahaya dengan memasang wajah sendu penuh penyesalan. “Maaf karena sudah menyak itimu dulu. Maaf karena telah mengabaikan cintamu dulu. Dan maaf karena sudah mengkhianatimu.” Kenapa bisa segampang itu Adam mengatakan maaf setelah melakukan hal menyakitkan kepada Cahaya? Mesk
“Bagaimana Abang tahu kalau gua suka Cahaya?” tanya Raka kepada kakaknya dengan spontan karena dia tidak pernah bercerita kepada siapa pun tentang perasaannya. “Yah, Abang cuman tahu aja. Emangnya kamu beneran suka Cahaya atau cuman suka-suka biasa?” Farel bertanya pada sang adik dengan tatapan tajam hingga membuat Raka merasa tidak nyaman.“Abang ini kenapa sih?” Pemuda yang sedari tadi berbaring itu kini mengubah posisi menjadi duduk.Sementara itu, masih dengan posisi berdiri, Farel semakin menatap sang adik dengan penuh keseriusan. “Abang cuman ngingetin aja. Kalau perasaanmu pada Cahaya hanya cuman sekadar suka, lebih baik jangan diteruskan. Jangan main-main dengan perasaan perempuan.”Mendengar ucapan kakaknya membuat Raka kesal. “Siapa juga yang main-main? Lagian, gua juga nggak ada nembak Cahaya. Dia juga nggak tahu perasaan gua. Jadi, gua ada salah apa-apa dong?” “Oh, jadi kalian belum jadian?” Farel malah dibuat penasaran dengan ucapan Raka. “Bukannya kalian sudah sering j
atap mantan mertuanya dengan penuh keberanian, kemudian gadis itu mengangguk pelan. “Iya, Bu. Aku Cahaya, mantan menantu yang kau sia-siakan dulu.” Mendengar ucapan Cahaya yang terkesan menantang, Bu Lastri hanya bereaksi tersenyum, malu-malu. “Ah, jangan berlebihan seperti itu, Cahaya. Ibu tidak pernah berniat menyia-nyiakanmu dulu. Ibu cuman mengajarimu cara menjadi istri yang baik. Gitu aja. Tapi, Ibu penasaran banget, kenapa kamu tiba-tiba jadi putri dari Dokter Hasan? Apa mungkin cerita nenekmu dulu tentang orang tua kandung yang membuangmu waktu bayi itu beneran Dokter Hasan?” Cahaya hanya diam, tetapi ibunyalah yang langsung memasang diri untuk berhadapan dengan sang mantan besan. “Iya, Cahaya benar-benar anak kami. Emangnya kenapa, Bu Lastri? Ada yang salah?” Bu Salma balik bertanya dengan penuh emosi. Beberapa orang yang berada di sekitar mereka termasuk Dokter Hasan sampai mendengar ucapan istrinya. “Ma, sudah, Ma.” Dokter Hasan paham betul dengan perasaan istrinya saat
“Dam, kamu lihat putri Dokter Hasan itu? Kenapa dia mirip sekali dengan Cahaya?” tanya Bu Lastri pada Adam dengan tatapan terus tertuju pada sosok gadis cantik yang berdiri di hadapan mereka. “Kayaknya iya, tapi aku nggak yakin sih, Bu. Karena Ibu kan tahu kalau Cahaya dan neneknya sudah balik ke desa. Dan coba aja perhatikan wajah gadis itu, sangat cantik, Bu. Beda jauh dari Cahaya yang kita kenal dulu.” Adam menjawab, datar. Berusaha menepis kenyataan yang mengejutkan dengan semua hal yang ingin dia yakini selama ini. “Tapi, Dam. Kamu denger sendiri kan tadi Dokter Hasan memperkenalkan putrinya itu dengan nama Cahaya?” Bu Lastri bertanya lagi. Wanita paruh baya dengan dandanan menor itu sangat yakin bahwa gadis yang berdiri di hadapan mereka saat ini adalah menantunya dulu.Akan tetapi, Adam kembali mengelak dan berdalih, “Nama Cahaya bukan cuman punya gadis kampung itu aja, Bu. Adam yakin dia bukan Cahaya yang kita kenal dulu.” “Aku sependapat sama Ibu,” sahut Nadia memberikan k
Dua jam sebelum menghadiri undangan pesta peresmian rumah sakit baru milik tetangga terkaya di komplek ini, Adam terlihat sudah siap mengenakan setelan jas berwarna hitam mengkilap yang membuatnya tampak lebih gagah dan tampan dari biasanya. Sementara itu, sang ibu juga sudah siap dengan memakai kebaya mewah yang baru dibelinya kemarin. Setelah perdebatan panjang, demi bisa ikut hadir di acara tetangga kayanya, Bu Lastri tidak punya pilihan selain menyetujui keinginan Nadia untuk menyewa baby sitter khusus untuk menjaga putrinya hari ini. Pagi-pagi sekali si penjaga bayi yang dipesan Nadia sudah datang karena kebetulan gadis muda itu tinggal di sekitar rumah mereka. Sama seperti Bu Lastri yang sudah siap dengan kebayanya, Nadia pun sudah siap dengan gaun merah marun indah berbahan satin yang dia beli beberapa hari yang lalu. Keduanya sudah siap dengan pakaian mereka. Akan tetapi, belum dengan riasan wajah dan rambut mereka, karena keduanya akan singgah di salon langganan untuk mempe
Hari ini tepat satu hari sebelum acara besar yang akan diselenggarakan di salah satu aula hotel bintang lima di tengah kota. Hampir seluruh persiapan sudah selesai mulai dari persiapan dekorasi, pembuatan undangan khusus untuk para tamu, hingga pemesanan kue ulang tahun berukuran besar untuk si kembar yang ulang tahun dan pemesanan beberapa menu catering untuk perjamuan tamu. Bukan hanya persiapan tempat dan hidangan acara, tetapi persiapan gaun dan setelan jas dan kemeja untuk keluarga Dokter Hasan ini pun telah siap semua. Tas dan sepatu dari sahabat Bu Salma yang tinggal di Korea pun sudah tiba di rumah beberapa hari yang lalu. Ya, sang perancang sepatu sendiri yang membawakannya sampai rumah karena perempuan bernama Tiara itu juga ingin menghadiri acara besar sahabatnya sekaligus dia ingin bertemu dengan Cahaya, putri sulung dari Bu Salma yang dulu telah dinyatakan meninggal dunia. Hari ini, Cahaya kembali melakukan perawatan kulit seluruh wajah dan tub uhnya di salah satu klin