Share

Menantu Rasa Babu

Bu Lastri menatap aneh pada Adam kemudian berpindah ke arah Cahaya. “Jangan bilang kalian tidur terpisah di malam pertama?”

Cahaya menunduk seketika karena bingung hendak menjawab apa. Sementara itu, Adam dengan cepat menjawab, “Enggak kok, Bu. Aku dan Cahaya tidur di kamar ini. Cuman tadi pas habis salat subuh kayak ada suara tokek di kamar tamu, jadi aku ke sana buat meriksa.” Meskipun terlihat ragu dalam menjelaskan, tetapi jawaban Adam mampu membuat Bu Lastri percaya.

“Oh, Ibu kira kalian tidur terpisah. Kalian kan udah jadi suami istri, jadi ya harus selalu tidur bersama. Kasian bapakmu kalau kalian nggak akur. Meskipun bapak sudah nggak ada sama kita, tapi bapak pasti tahu semua yang terjadi.” Bu Lastri merasa lega. “Tapi ... Emangnya beneran ada tokek? Perasaan, mulai kita tinggal di sini Ibu nggak pernah dengar ada suara tokek.”

“Ada kok, Bu. Beberapa hari yang lalu Adam juga denger suara tokek sama persis dengan yang Adam dengar tadi.” Sebisa mungkin Adam menjelaskan sesuatu yang sebenarnya tidak pernah terjadi, karena dia sedang mengarang cerita agar ibunya bisa lebih percaya.

“Ya sudah kalau gitu, Cahaya cepetan ikut Ibu ke dapur,” titah Bu Lastri pada Cahaya dengan memasang wajah sedikit ramah daripada tadi malam.

“Nggeh, Bu.” Si menantu baru itu segera berjalan mengekor di belakang ibu mertua menuju ke arah di ruangan yang terlihat seorang wanita yang sedang berdiri di depan kompor.

“Cahaya, mulai sekarang kamu bantuin Mbok Sri masak dan urus kebersihan rumah. Kalau Mbok Sri masak, tugasmu cuci baju, nyapu sama ngepel. Kalau untuk bersihin halaman udah ada Mang Asep yang megang.” Dengan penuh kelembutan wanita itu memberikan tugas pada sang menantu.

Cahaya yang polos dan memang sudah terbiasa melakukan pekerjaan rumah sedari kecil menganggap pekerjaan yang diberikan oleh sang ibu mertua adalah pekerjaan yang sangat mudah. Gadis itu dengan cekatan mulai meraih keranjang pakaian kotor dan segera memasukkannya ke mesin cuci.

“Eh eh eh, Cahaya, bentar! Ngomong-ngomong, kamu bisa kan cuci baju pakai mesin cuci?” Dengan cepat, Bu Lastri menyusul langkah Cahaya karena khawatir kalau menantu dari desanya itu tidak bisa menggunakan mesin cuci. Dalam benak wanita itu, jangan sampai niatnya untuk menghemat pengeluaran malah jadi hal yang merugikan jika Cahaya bertindak ceroboh dan malah merusak mesin cuci.

Cahaya pun segera menjawab dengan penuh percaya diri, “Bisa kok, Bu.”

“Oh, baguslah kalau begitu.” Bu Lastri mengangguk paham seraya meninggalkan Cahaya bersama seorang asisten rumah tangga.

Cahaya menoleh ke arah Mbok Sri dengan tersenyum malu, kemudian segera memasukkan lembar demi lembar pakaian kotor milik suami dan sang ibu mertua ke mesin cuci. Meskipun bentuk dan ukuran yang sangat jauh berbeda, tetapi Cahaya dan neneknya punya sebuah mesin cuci kecil di rumah. Dia berpikir bahwa penggunaan atau cara pakai semua mesin cuci pastilah sama. Namun, kenyataannya gadis desa itu kebingungan ketika hendak memulai pekerjaannya. Banyaknya tombol dan pengaturan di layar kecil yang ada di atas mesin cuci membuatnya kesulitan, hingga dia tersadar bahwa mesin cuci yang ada di hadapannya tidak sama dengan yang dia miliki di rumah.

Mbok Sri yang sedari tadi memperhatikan gerak-gerik nona mudanya yang kebingungan, perlahan berjalan mendekat. “Sini, Non. Biar Mbok aja yang nyuci baju. Non Cahaya istirahat aja.”

“Jangan, Mbok. Biar Aya aja yang nyuci. Mbok Sri ajarin cara nyalain mesin cucinya aja, nanti Aya yang nyelesaiin.” Cahaya menolak keinginan perempuan paruh baya yang mengenakan daster motif bunga mawar itu dengan sopan.

Akan tetapi, Mbok Sri masih tetap bersikeras. “Jangan, Non. Biar Mbok aja.”

“Bukannya Mbok tadi lagi masak, ya? Mbok terusin masak, biar Aya yang nyuci sesuai perintah ibu tadi.”

Mendengar ucapan nona mudanya membuat Mbok Sri tersenyum penuh arti. “Aman, Non. Masakan udah mateng semua kok. Udah siap santap! Mbok kasian liat Non Cahaya.” Pandangan perempuan yang sudah lebih dari lima tahun menjadi ART di rumah keluarga Adam itu menunduk sedih. Seperti ingin mengutarakan sesuatu, tetapi seakan terasa sangat berat untuk mengutarakannya.

Cahaya terhenyak. “Kasian sama Aya?” sahutnya dengan cepat. “Memangnya ada apa, Mbok?” Cahaya menatap kedua mata wanita yang berdiri di sampingnya dengan penuh rasa penasaran. Sebenarnya apa yang telah dilakukan majikannya sehingga membuat ART itu merasa iba pada sang nona muda yang baru kemarin menjadi anggota keluarga di rumah ini.

Mbok Sri mengedarkan pandangan, menoleh ke sekitar untuk memastikan keadaan bahwa tidak ada siapa pun di dekat mereka yang mungkin saja bisa mendengarkan apa yang akan dia bicarakan kepada Cahaya. Setelah memastikan kondisi aman, Mbok Sri pun kembali memulai percakapan, tetapi kali ini dengan volume suara yang amat sangat lirih.

“Sebenarnya, sebelum Den Adam menikah yang artinya sebelum Non Cahaya ke sini, Nyonya besar itu punya empat ART, Non. Termasuk Kang Asep yang ngurusin halaman dan taman. Karena Non Cahaya akan menjadi menantu dan tinggal di sini, nyonya besar memecat dua ART lain dan menyisakan Mbok ini sama Kang Asep.” Dengan suara pelan, tetapi cukup jelas di telinga Cahaya, Mbok Sri menceritakan sebuah kebenaran. Akan tetapi, ucapan Mbok Sri masih belum dipahami oleh Cahaya.

“Terus, masalahnya sama Cahaya apa, Mbok?” tanya nona muda itu pada ART-nya dengan memicingkan sebelah mata, tanda bahwa dia benar-benar tidak paham dengan apa yang didengarnya.

“Astaghfirullah, Non .... Non Cahaya kenapa polos banget sih?” ART itu sampai mengelus dada karena saking geram. Padahal, bertemu Cahaya baru beberapa menit yang lalu, tetapi seolah-olah sudah berkumpul lama dan seperti memiliki ikatan batin yang kuat, sehingga membuat Mbok Sri merasa kasihan padanya.

“Maaf, Mbok. Aya beneran nggak paham. He he he.”

Mbok Sri kembali berucap, “Jadi, Nyonya besar memecat dua ART sebelum Non Cahaya tinggal di sini supaya ngirit, Non. Artinya, karena Non Cahaya menantu di sini, jadi nyonya besar bisa menyuruh Non Cahaya gantiin pekerjaan dua ART yang dipecat tadi tanpa membayar biaya sama sekali.”

“Nggak mungkinlah, Mbok. Mungkin ibu pengen kasih pengalaman atau pembelajaran buat Aya gimana jadi istri yang baik, yang bisa ngurus rumah tangga.”

penjelasan yang cukup membingungkan untuk gadis polos seperti Cahaya. Karena baginya, selama dirinya mampu, dia rela melakukan apa pun di rumah sang mertua. Kemurnian hati gadis desa ini menyangkal ucapan negatif dari Mbok Sri yang terkesan memburuk-burukkan sang majikannya sendiri.

“Si Non dibilangin kok nggak percaya sama Mbok? Mbok ini kasih tahu Non Cahaya karena Mbok kasihan sama Non Cahaya.” Mbok Sri terlihat sedikit kecewa.

Kedua wanita itu masih berdiri di depan mesin cuci sambil terus bercakap-cakap dengan nada lirih. Sesekali Mbok Sri melanjutkan ucapannya tentang niat buruk majikannya kepada Cahaya di tengah-tengah pembelajarannya tentang mesin cuci. Bu Lastri yang tiba-tiba muncul untuk memeriksa pekerjaan menantunya merasa geram. Sudah lebih dari tiga puluh menit berlalu, tetapi pekerjaan mencuci baju masih belum diselesaikan. Entah apa yang sedang dibicarakan Cahaya dan si ART, tetapi keduanya terlihat sedang asyik mengobrol dan malah melalaikan kewajiban.

“Enak banget kalian, ya! Kerjaan belum beres kok malah pada asyik ngerumpi!”

BERSAMBUNG

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status