Share

Istri Buruk Rupa

“Meski dipolesi riasan semahal apa pun, nggak bakalan mengubah kenyataan bahwa wajah kamu itu jelek!” Kalimat pedas meluncur begitu saja dari sosok pria yang kini berstatus sebagai suami, membuat Cahaya tersentak dan seketika menunduk pelan.

“Maksud kamu apa, Mas?” Buliran bening mulai menetes membasahi pipi ranum pengantin baru itu. Bagaikan ditusuk ribuan sembilu pada satu titik secara bersamaan, hati Cahaya benar-benar sakit karena ucapan kasar yang dia terima dari sosok pria yang dia kagumi.

Melihat sang istri menangis tak lantas membuat Adam merasa bersalah, karena dalam benaknya semua yang diucapkannya adalah kenyataan. Ada kebencian yang mendalam pada sosok Cahaya, gadis desa berwajah magrib yang telah menghalangi kisah cintanya dengan seorang gadis cantik bernama Nadia. Impian untuk membina rumah tangga bersama kekasih hati kandas ketika Pak Wisnu, ayah yang dia hormati menjodohkan dirinya dengan Cahaya.

Mulai sejak itu kebencian Adam pada Cahaya kian tumbuh mengembang dan puncaknya di saat detik-detik sang ayah mengembuskan napas terakhir. Seperti sudah tahu kapan waktu terakhirnya tiba, Pak Wisnu memberi satu pilihan sehari sebelum dia meninggal dengan pilihan yang sullit kepada Adam. Karena melihat gelagat putranya, Pria kaya yang memiliki perusahaan besar di bidang property itu tahu bahwa sebenarnya Adam menolak untuk dijodohkan. Satu pilihan sulit itu adalah; jika Adam tidak mau menikahi Cahaya, maka dia tidak akan mendapatkan hak waris dan seluruh kekayaan ayahnya akan disumbangkan kepada yayasan panti asuhan. Begitupun sebaliknya, jika Adam setuju menikahi Cahaya, maka bukan hanya harta kekayaan, tetapi dia juga otomatis akan menjadi sebagai ahli waris yang akan menggantikan posisi direktur di perusahaan.

Karena desakan dari sang ibu, Adam pun tak bisa berbuat apa-apa selain menerima. Akan tetapi, semua kekesalannya dia tumpahkan hanya pada Cahaya karena gadis desa itu satu-satunya alasan dia berpisah dari sang kekasih.

Kening pria dengan alis tebal itu mengerut, semakin mempertegas bahwa emosi sedang memenuhi dirinya. “Heh, perempuan desa! Apa di desa kalian nggak punya cermin?”

“Cermin?” Wajah Cahaya mendongak dengan pipi masih basah, tetapi dengan cepat dia hapus dengan ujung kain jilbab yang dia pakai.

“Pasti nggak punya kan? Kalau punya, aku yakin kamu pasti nggak bakalan mau dijodohkan denganku.” Ucapan Adam semakin membuat Cahaya bingung.

“Maksud Mas sebenarnya apa? Kalau cuma cermin buat ngaca aku punya kok. Kebetulan kami punya dua lemari yang ada cerminnya pajang buat ngaca seluruh badan pun bisa.” Gadis desa itu benar-benar sangat polos.

“Tapi buktinya kamu nggak ngaca kan?” Dengan sangat kasar Adam menarik lengan Cahaya dan menyeretnya hingga ke meja rias yang terdapat kursi kayu minimalis. Gadis desa itu didudukkan paksa oleh Adam sehingga bayangan wajah sedihnya terpantul di cermin.

“Sekarang, coba ngaca! Lihat wajah kamu yang gelap itu! Sudah jelek, pendek, item, bau lagi! Mana mungkin aku mau nyentuh tubuhmu yang menjijikkan itu! Bukannya bernafsu, yang ada ... baru liat wajah kamu aja, perutku udah mual mau muntah!”

“Astagfirullah, Mas ....” Sorot mata kesedihan menatap Adam dengan harapan pria itu mencabut semua kata-kata yang baru saja dia dengar. Bagaiamana mungkin pria yang sepatutnya menyanjung dan memuliakan dirinya memberikan penghinaan tajam di malam pertama.

“Kenapa?! Nggak terima? Tapi kenyataannya emang gitu! Kamu itu gadis desa buruk rupa!” imbuh Adam yang semakin membuat air mata istrinya kian deras membanjiri pipi. “Udah ah, aku mau tidur di kamar tamu! Terserah kamu mau tidur di mana, aku nggak peduli!”

Tanpa merasa bersalah sedikit pun, Adam meninggalkan Cahaya yang masih duduk menangis di depan cermin. Padahal sebelumnya pria itu memiliki hati yang lembut dan tak pernah kasar apalagi mempermainkan perasaan perempuan. Akan tetapi, rasa kecewa karena tak bisa bersanding dengan sang kekasih membuatnya berubah. Ketika rencana perjodohan ini sampai di telinga Nadia, gadis berkulit putih dan bertubuh tinggi semampai itu marah dan seketika memutuskan hubungan tanpa memberikan kesempatan pada Adam untuk menjelaskan apa pun. Bahkan, Nadia mengganti nomor telepon pribadinya karena benar-benar ingin menjauh dan berpisah.

Dengan mata yang terus basah, Cahaya menatap pantulan cermin yang memperlihatkan punggung suaminya meninggalkan kamar. Setelah Adam benar-benar menutup pintu dari luar, tangisan Cahaya semakin menjadi. Karena kepiluan hati yang tak terbendung, Cahaya hanya bisa menangis dan menangis hingga fajar menjelang.

***

“Cahaya! Bangun!” teriak Bu Lastri dengan sangat lantang membuat gadis yang khusuk berdoa selepas salat subuh itu terhenyak.

Cahaya segera mengakhiri doanya dan dengan cepat melepas pakaian salat yang dia kenakan. “Iya, Bu. Ini Aya udah bangun.”

Gadis itu membuka pintu kamar dengan perlahan. Dilihatnya sang ibu mertua tengah berdiri tegap di balik pintu dengan memasang wajah yang sulit untuk dijelaskan.

“Adam mana? Jangan-jangan belum bangun?” tanya Bu Lastri dengan wajah sedikit melongok ke arah dalam kamar yang ditempati Cahaya. Tampaknya, wanita paruh baya ini tidak tahu tentang apa yang terjadi antara putranya dengan sang istri.

Pertanyaan Bu Lastri spontan membuat Cahaya kebingungan. “Mas Adam? Eh ... itu, Bu.”

Belum sempat Cahaya menyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba seorang pria muncul dan menyahut, “Ada apa sih, Bu?”

Melihat putranya keluar dari kamar tamu di malam pertamanya menjadi pengantin, Bu Lastri merasa ada yang aneh dan langsung menaruh curiga. “Loh, kenapa kamu keluar dari sana? Apa mungkin tadi malam kamu tidur di ruang tamu?”

BERSAMBUNG

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status