“Ibu tahu, kamu berhubungan lagi sama Nadia, kan?” Dengan tatapan tajam Bu Lastri bertanya kepada Adam. Sebelumnya perempuan itu memang sudah kenal betul dengan kekasih putranya yang bernama Nadia, karena Adam memang sering membawa pulang wanita cantik itu ketika ayahnya tidak ada di rumah. Akan tetapi, karena wasiat dari sang suami menyebabkan Bu Lastri lebih memilih Cahaya sebagai menantunya. Bagi Bu Lastri, tidak apa-apa mengorbankan cinta putranya demi mempertahankan harta kekayaan dan semua warisan. “Ibu tahu dari mana?” Adam bertanya balik. Padahal, pertemuannya dengan Nadia baru terjadi dua kali dan itupun mereka lakukan di restoran yang tersembunyi sepi dari pengunjung, tetapi bagaimana sang ibu bisa tahu? “Sudah Ibu bilang, Ibu tahu siapa yang ada di balik kontak nomor handphone-mu yang kamu namai CANTIKKU itu.”“Apa Ibu serius? Ibu tahu? Jadi ... sebenarnya Ibu tadi sudah tahu kalau Cahaya tidak asal bicara? Bahkan, Ibu juga tahu kalau yang mengirim pesan tadi adalah Nadi
Atas permintaan aneh dari wanita cantik yang diakui sebagai adik sepupu Adam, Cahaya terpaksa harus mencari toko daging yang masih buka. Benar saja, karena jam sudah hampir malam tidak ada toko daging yang masih buka di jam-jam seperti ini. Karena Cahaya pergi belanja hanya dengan berjalan kaki, dia tidak bisa menempuh jalan yang jauh. Langkahnya gontai dan dia berhenti di depan sebuah ruko yang kosong untuk beristirahat sejenak. Tiga menit terlewati, Cahaya berniat melanjutkan perjalanannya ke satu toko terakhir yang belum dia datangi. Langkahnya terhenti ketika ada seseorang memanggil namanya. “Non Cahaya sedang apa?” tanya perempuan setengah baya yang ternyata adalah Mbok Sri.Ya, mantan ART Bu Lastri itu sedang membeli obat di apotek dekat ruko kosong yang ditempati Cahaya beristihat. Cahaya pun menoleh mencari sumber suara dan dia terkejut ketika mendapati mantan ART di rumah ibu mertuanya kini berdiri di hadapannya. Cahaya baru teringat bahwa Mbok Sri pernah bercerita memilik
Setelah menyetujui keinginan gadis yang duduk di hadapannya, wanita anggun itu menatap lekat ke arah Cahaya.“Serius, namamu Cahaya? Ibu dulu juga punya anak perempuan manis bernama Cahaya. Tapi ....” Kalimat wanita itu terhenti seketika, menyebabkan rasa penasaran Cahaya tiba-tiba muncul. Mengingat dia bukan cucu asli dari neneknya, menjadikan pikiran kemungkinan dia putri wanita kaya itu pun datang. “Tapi kenapa, Bu? Apakah putri Ibu yang bernama Cahaya itu hilang? Diculik orang atau tertinggal di suatu tempat?” tanya Cahaya dengan perasaan yang sulit dijelaskan. “Ah, tidak seperti itu,” balas Bu Salma dengan kembali tersenyum. “Putri kami yang bernama sama sepertimu meninggal sejak bayi karena penyakit kronis.”Jawaban dari Bu Salma seketika membuat Cahaya terdiam dan mengangguk paham. “Oh, seperti itu ya, Bu.” Entah mengapa, Cahaya merasa kecewa. Dari arah dapur terlihat Mbok Sri kembali dengan sekantong plastik berukuran sedang dan segera memberikannya kepada Cahaya. Setelah
Sudah tiga hari ini keadaan rumah yang ditempati Cahaya sangat sepi. Karena Adam dan ibunya sedang pergi ke luar kota membuat Cahaya sekarang tinggal di rumah ini sendirian. Sesuai dengan ucapan sang mertua ketika hendak berangkat tiga hari yang lalu, mereka akan menghadiri sebuah acara keluarga di rumah orang tua Nadia dan menginap di sana.Kenapa Cahaya tidak diajak? Kan dia istri Adam, otomatis juga menjadi bagian keluarga mereka, ‘kan?Betul!Akan tetapi, Bu Lastri melarang Cahaya ikut dengan alasan menjaga rumah karena saat ini mereka tidak memiliki ART lagi dan Kang Asep yang bertugas sebagai security sedang cuti untuk beberapa hari. Istri dan anak Kang Asep sedang sakit bersamaan dan membutuhkan perawaatan.Selama tiga hari Cahaya sendiri di rumah ini. Meskipun dengan perasaan sedikit takut, tetapi Cahaya harus memberanikan diri demi melaksanakan tugas yang diberikan ibu mertua padanya. Awalnya, Cahaya ingin menghubungi neneknya dan ingin meminta sang nenek untuk menemaninya.
“Bu, kenapa Nadia harus tidur di kamar kami? Selama menginap di sini, dia kan bisa tidur di kamar lain?” tanya Cahaya dengan polos, tetapi terkesan seperti protes menurut ibu mertuanya.“Nadia itu sedang hamil, jadi dia harus tidur nyaman di kamar yang ukurannya besar. Kalau kamar lain kan sedikit sempit dari kamar yang kamu pakai selama ini. Kasihan dong bayinya kalau kekurangan udara karena lkamar tidurnya sempit. Udah! Nggak usah banyak protes! Cepatan angkatin semua pakaian-pakainmu ini pindah ke kamar tamu!” Bu Lastri menjawab dengan sangat ketus. “Nadia beneran hamil ya, Bu? Emangnya kapan nikahnya? Terus suaminya mana? Kok nggak ikut nginap di sini?” tanya Cahaya lagi dengan penuh kepolosan. Karena dari pertama bertemu wanita cantik itu, Cahaya tidak pernah melihatnya datang bersama pria lain selain Adam. Cahaya juga belum pernah mendengar berita pernikahannya, tetapi kenapa tiba-tiba dia dikabarkan berbadan dua. “Cahaya, bisa diem enggak? Udah, nggak usah banyak nanya lagi,
“Mas, kenapa kamu keluar dari kamar itu? Itu kan sekarang jadi kamar Nadia.” Cahaya bertanya pada Adam dengan wajah serius. Bagaimana mungkin suaminya tidur dengan adik sepupunya dalam satu kamar. Apa hubungan mereka begitu dekat sehingga keduanya terbiasa tidur bersama?Adam tidak menduga jika Cahaya sedang berada di dapur dan memperhatikan dirinya yang keluar dari kamar Nadia. Tampaknya pria itu lupa memeriksa keadaan sebelum keluar dari kamar. Namun, hal itu bukanlah sesuatu yang akan membuat Adam gemetar, karena pendapat Cahaya tidaklah terlalu penting untuknya. Hanya saja, dia ingat akan pesan sang ibu agar tetap menyembunyikan status Nadia dari istri Cahaya, karena istri jeleknya itu memegang satu titik kelemahan yang bisa saja merenggut kekayaan mereka dalam sekejap.“Cahaya, bisa bikinin Ibu bubur ayam enggak? Perut Ibu kayaknya bermasalah ini. Apa karena kemarin waktu acara di rumah Nadia Ibu kebanyakan makanan yang aneh-aneh ya?” Bu Lastri yang berdiri di dekat Cahaya seger
“Enak banget kamu ya, baru dateng udah leyeh-leyeh aja! Cepetan ganti baju! Bantuin cuci piring di belakang!” Dengan nada kesal, seorang wanita paruh baya menunjuk gadis berkulit sawo matang yang masih mengenakan gaun pengantin untuk membantu pekerjaannya di dapur. “Maaf, Bu. Sekarang?” Gadis polos bernama Cahaya itu mengajukan pertanyaan untuk memastikan. Maklumlah, malam pengantin baru. Masa iya, pengantinnya disuruh cuci piring. Bukannya langsung patuh, tetapi malah bertanya membuat sang ibu mertua semakin geram, sehingga kedua matanya melotot penuh amarah. Bahkan perempuan yang baru saja mendapat gelar ibu mertua itu mulai mengangkat kedua tangan ke pinggang. “Pastinya sekaranglah! Kalau nunggu tahun depan, ya keburu lumutan tu piring-piring! Kamu pikir cucian piring numpuk dan dapur kotor karena bekas acara siapa? Semua kekacauan ini karena acara pernikahan kamu! Jadi kamu harus ikut tanggung jawab!” Tanpa berani protes dan bertanya apa pun lagi, Cahaya mengangguk paham. “I
“Meski dipolesi riasan semahal apa pun, nggak bakalan mengubah kenyataan bahwa wajah kamu itu jelek!” Kalimat pedas meluncur begitu saja dari sosok pria yang kini berstatus sebagai suami, membuat Cahaya tersentak dan seketika menunduk pelan.“Maksud kamu apa, Mas?” Buliran bening mulai menetes membasahi pipi ranum pengantin baru itu. Bagaikan ditusuk ribuan sembilu pada satu titik secara bersamaan, hati Cahaya benar-benar sakit karena ucapan kasar yang dia terima dari sosok pria yang dia kagumi. Melihat sang istri menangis tak lantas membuat Adam merasa bersalah, karena dalam benaknya semua yang diucapkannya adalah kenyataan. Ada kebencian yang mendalam pada sosok Cahaya, gadis desa berwajah magrib yang telah menghalangi kisah cintanya dengan seorang gadis cantik bernama Nadia. Impian untuk membina rumah tangga bersama kekasih hati kandas ketika Pak Wisnu, ayah yang dia hormati menjodohkan dirinya dengan Cahaya. Mulai sejak itu kebencian Adam pada Cahaya kian tumbuh mengembang dan