“Fokus!”
Sebuah hentakan keras dari laki-laki yang berusia senja itu mengejutkan ratusan mahasiswa baru dan mahasiswa lama yang berada di ruangan itu. Perhatian mereka yang sebelumnya terpencar ke berbagai penjuru, beralih ke sumber hentakan.
“Saya tidak suka kalau kalian main-main! Fokus atau keluar dari ruangan ini!” teriakan bernada tinggi itu keluar dari mulut laki-laki berusia senja itu. Seorang perempuan di antara ratusan mahasiswa baru itu berzikir pelan, menenangkan diri dari efek kejut itu.
“Saya di sini hanya mengingatkan seperti tahun-tahun sebelumnya. Jika kalian meremehkan praktikum pemograman ini, kalian akan menyesal! Kami punya mahasiswa yang gagal lulus karena praktikum ini, jadi jangan diremehkan!” teguran lantang beliau itu di dengarkan dengan seksama oleh ratusan mahasiswa yang akan menjadi peserta praktikum pemograman, sebuah praktikum wajib untuk ditunaikan sebagai syarat kelulusan kuliah pemograman dan kuliah kompetensi teknologi elektro dan informatika.
“Asisten!” teriak beliau lagi. Mahasiswa yang memakai baju khusus laboratorium mereka semua langsung menghadap kepada bapak itu, “jika mereka melanggar peraturan praktikum, segera laporkan kepada saya! Saya akan pastikan nilai mereka E di mata kuliah pemograman!”
Seluruh mahasiswa baru hanya diam hening, Sebagian menelan air liur mereka untuk mengurangi rasa tegang dan takut. Salah seorang asisten laki-laki segera memberikan jawaban.
“Siap Pak Arianto. Akan kami pastikan semuanya lancar,” ucap laki-laki yang di pakaian laboratorium berwarna biru dongker yang dia kenakan terdapat tulisan Legendaria.
“Baiklah. Sekian dulu dari saya. Asisten, ambil alih dari sini!” perintah Pak Arianto. Beliau lalu turun dari podium di ruangan itu dan berbisik kepada beberapa asisten sebelum meninggalkan ruangan. Entah apa pesan yang beliau sampaikan kepada para asisten.
Setelah beliau keluar, seorang asisten perempuan segera naik ke podium dan mengaktifkan proyektor. Tulisan Smile.Princess terlihat rapi di pakaiannya. Asisten lainnya menyebar di seluruh ruangan, mengelilingi para calon praktikan, mereka yang menjadi peserta praktikum.
“Saya akan bacakan peraturan selama praktikum dasar pemograman. Harap diperhatikan dengan seksama dan siapkan catatan kalian. Saya hanya akan membacakan seluruh ini peraturan sebanyak satu kali,” ucap perempuan itu. Semua peserta praktikum menyiapkan kertas catatan mereka. Perempuan itu lalu menyebutkan satu per satu peraturan yang harus dipatuhi praktikan, apa saja yang perlu dipersiapkan sebelum, saat, dan sesudah praktikum, serta sanksi untuk pelanggaran selama praktikum. Semua mahasiswa mencatat dengan seksama.
“Demikian semua peraturan, ada yang ditanyakan?” tanya perempuan itu. Tidak ada yang menaikkan tangannya, sehingga perempuan itu menyimpulkan tidak ada yang ditanyakan.
“Baiklah. Karena tidak ada yang ditanyakan, saya cukupkan.”
Setelah pertemuan selama satu jam yang menegangkan itu, semua mahasiswa membubarkan diri dari ruangan tersebut. Mahasiswa baru langsung menuju ke papan pengumuman laboratorium X-106. Di sana, mereka mencari nama anggota kelompok mereka serta asisten yang akan membimbing mereka selama praktikum.
Salah seorang perempuan berjilbab hitam tampak sibuk mencari namanya yang dia temukan di daftar kelompok di sana. Perempuan lain di dekatnya yang memakai jilbab merah maroon menyapa temannya yang terlihat kebingungan itu.
“Zihan! Zihan!” teriaknya. Perempuan berjilbab hitam yang bernama Zihan itu segera menuju ke tempat yang memanggilnya.
“Ada apa, Riris?” tanya Zihan. Temannya yang dipanggil Riris itu langsung memeluk dirinya. Zihan tampak sedikit terkejut.
“Kita sekelompok Zih!” teriak temannya itu girang. Zihan tampak tidak percaya, namun tangan temannya yang mengarah ke salah satu kertas di papan membuatnya senang.
Shadox [kontak]
Karim Hakim (7)
Chen Da (5)
Anastasia von Annika (3)
Daniel Anton (3)
Zihan Azizah (1)
Haris Rahma (1)
Alsya Nuraini (1)
Haris Mustaqim (1)
Alif Muttaqien (1)
“Sama Alsya juga,” ucap Riris senang. Zihan juga tersenyum. Tiga sekawan semenjak SMA, Zihan, Riris, dan Alsya, kembali dipertemukan sebagai satu kelompok di praktikum perdana kuliah mereka. Melihat lebih lengkap nama yang ada, Zihan menyadari sesuatu yang salah.
“Sebentar, asisten kita Shadox ya?” tanya Zihan. Riris mengangguk. Zihan tampak berpikir sejenak. Dia pernah mendengar nama itu sebelumnya, tetapi lupa dimana.
“Ada apa dengan Shadox?” tanya Riris. Zihan menggelengkan kepalanya. Bagi Zihan, itu hanya perasaannya saja bahwa dia mengenal nama alias itu. Zihan lalu menatap ke arah Riris.
“Ayo, kita pulang dulu. Aku akan hubungi Alsya juga. Untuk kakak-kakaknya mungkin nanti bisa kita cari,” komentar Zihan. Riris mengangguk setuju dan mereka berdua pergi dari tempat itu.
Sementara itu, beberapa asisten yang menyaksikan mahasiswa berkerumun di depan laboratorium mereka hanya menggelengkan kepala. Salah satu asisten laki-laki yang dipakaiannya bertulisan Faux_Wave memberikan komentarnya.
“Sepertinya mereka bersemangat sekali ya. Gak boleh kalah sama maba, ya kan, Shadox?” komentar laki-laki itu dengan nada bertanya seraya menepuk pundak temannya yang sedang fokus. Laki-laki yang ditepuk pundaknya itu mengabaikan gangguan yang menurutnya menjengkelkan itu.
“Eh, lagi fokus ya? Maaf Dox,” ucap laki-laki itu.
“Mas Faux, mohon jangan diganggu Mas Shadox,” pesan laki-laki dengan kode nama Legendaria.
“Siap bos.” Pesan itu dibalas dengan lantang dan laki-laki yang sedang fokus dengan pekerjaannya itu.
“Menyebalkan,” gumam laki-laki dengan kode nama Shadox itu. Dia kembali mengerjakan pekerjaannya. Dia lalu menarik nafas.
“Ini masa praktikum lagi ya? Sudah ketiga kalinya. Entahlah. Rasanya melelahkan.”
Setelah tiba di tempat kos, aku segera mengganti pakaianku dengan pakaian santai lalu membuka ponsel. Di sana, aku mulai berselancar di dunia maya. Aku membaca beberapa pesan di grup angkatan.‘Eh, kalian tau gak kalo kepala asisten praktikumnya killer?’‘Seriusan njing. Aku dapat dia coba.’‘Yang cewek di depan tadi pelit nilai, Cuma enak ngajarnya.’‘Oh ya. Aku browsing di internet ketemu cerita ini (link)’‘Yang bener. Asisten mati? Dafuq.’‘Itu beneran sih katanya. Yang cewek ama ketua labnya itu adik dia katanya.’‘Asisten killer katanya.’‘Turunan njir. Gak kakak gak adik sama-
“Itu nama aliasku,” komentarnya datar. Aku masih terpaku tidak percaya. Ini asisten killer yang disebut-sebut oleh Kak Daniel dan senior-senior lainnya. Dia gak terlihat killer di sini. Ingin aku katakan dia asistenku, tapi aku tidak ingin terbongkar kalau aku praktikan sekarang. Mungkin aku bisa sedikit kenal lebih dekat dengan orang ini. Aku ingin membuktikan, apa benar dia Shadox yang menulis karya-karya itu? Apa benar Shadox ini orang yang sama?“Ah, maaf Kak Shadox,” ucapku sedikit tersipu. Sepertinya dia sadar aku bengong.“Tidak apa. Aku hanya orang lain di dalam keramaian kok,” komentarnya. Aku berpikir sejenak sebelum memberi komentarku. Aku ingat salah satu tokoh di novel karya Shadox ada kalimat itu.“Kak. Maaf kalau mengganggu, apa benar Kakak adalah Shadox yang terkenal itu?” tanyaku hati
Terbit matahari menyapaku di sabtu pagi. Tubuhku yang setengah sadar langsung panik menyadari matahari telah sepenggalan naik. Aku bergegas melaksanakan subuh dan dhuha. Selesai itu, aku memutuskan untuk olahraga pagi, mengingat matahari belum terik meski telah naik.Kala aku berjalan keluar dari kos, aku melihat Kak Yahya duduk menulis di teras depan seperti kemarin. Kali ini dia tampak sangat serius, yang membuatku ragu untuk menyapanya. Aku memutuskan untuk berlalu.“Apakah paduka tidak marah?” kalimat tanya itu keluar dari mulutnya kala aku menaiki motor. Eh? Ada apa? Apakah aku melakukan kesalahan?“Apakah paduka tidak marah?” kalimat itu dia ulangi. Apa karena aku tidak menyapanya?“Pagi… Yahya,” sapaku mencoba menghindari kata ‘Kak’ seperti pintanya. S
Jam menunjukkan angka dua siang. Alsya mengajak aku dan Riris untuk makan di salah satu restoran ternama. Oke, aku tau situ kaya tapi kami dua ini uang pas-pasan. Untung ditraktir, kalo gak aku tolak. Aku berangkat dengan motorku dari kos menuju tempat Alsya.Di sana, Alsya, Kak Daniel dan Riris sudah menunggu kehadiranku. Kami pun langsung berangkat ke tempat makan yang disepakati itu dengan mobil Alsya. Saat kami tiba, meja yang telah direservasi Alsya telah siap. Kami berempat duduk di meja itu. Tempat ini bisa dikatakan prasmanan, dimana kami bisa memilih makanan kami sendiri. Yang memasak makanan itu juga kami sendiri, atau boleh dibantu karyawan.Karena banyaknya menu yang bisa dipilih, aku tidak tahu harus memulai dari mana. Akhirnya, aku mulai dari mengambil sayur dan daging untuk dimasak dengan sup ayam dari restoran. Saat sedang memilih sayur, aku mendengar dua orang laki-l
Ruangan ini tampak berantakan, namun tidak seberapa berantakannya kala beradu dengan benakku kini.Peristiwa kemarin masih membekas dengan jernih.“Aku masih membenci setiap jejak yang tertinggal dari masa laluku, dan sekarang kamu mau menjadi bagian dari kebencianku?” tanyaku kepada gadis itu. Dia hanya diam dibawah tekanan suasana yang ku berikan. Tekanan kekecewaan.“Kala pertemuan pertama kita tempo kemarin, hatiku berkata ada sesuatu yang beda. Kini, bagiku, satu suatu itu seakan porak poranda masa lalu,” ucapku lemah.“Apakah aku melakukan hal yang benar?” gumamku.Aku letakkan kertas itu di depan pintunya. Tidak apa jikalau asisten lainnya memarahi kala berita ini masuk ke pendengar mereka. Faktanya, mereka tidak lebih peduli.
Bab 7: RapuhAkhirnya, aku selesai dengan semua pertanyaan yang diberikan oleh Shadox. Sekarang, tinggal merapikan berkas praktikum ini. Aku juga perlu menyelesaikan praktikum fisika.“Zihan harus rajin,” ucapku menyemangati diriku sendiri.Jam menunjukkan jam 1, sehingga aku memutuskan untuk zuhur dulu sebelum melanjutkan.Sebuah hentakan keras saat aku selesai salam mengejutkanku. Aku segera keluar kamar dan mendengar langkah kaki menaiki lantai dua. Apakah Kak Yahya kembali?Tubuh laki-laki yang terlihat beberapa saat kemudian menunjukkan itu Kak Yahya. Namun, dia tampak sedih dan tidak fokus. Dia berlalu melewatiku tanpa menyapa, dan saat di depan pintu dia malah terduduk.“Bodoh,” ucapnya lemah.
“Lapar,” keluhku setelah selesai ashar. Aku belum makan besar hari ini, jadi tidak mengejutkan jika aku lapar. Saat ini, yang ada di kamarku hanyalah camilan dan beberapa bungkus mie instan. Oke, aku awalnya mengira mie instan dan anak kos adalah mitos, tapi ternyata itu benar adanya.Fasilitas yang tidak berada dalam ruangan sendiri adalah dapur, mesin cuci dan tempat pembuangan sampah. Ketiganya terdapat tempat khusus di lantai satu. Satu untuk dapur dan mesin cuci, satu lagi tempat khusus pembuangan sampah yang biasa diambil petugas sampah setiap hari.Rasanya malas ke dapur. Lebih baik aku cari makan di luar. Namun, dompet memutuskan untuk berkata bahwa ‘aku miskin’ dengan isinya yang berisi warna abu-abu dan krim. Menghela nafas berat, aku mengambil satu bungkus mie instan, pakaian panjang, dan jilbabku.“Oke, ber
Laki-laki sepuh itu masuk ke dalam ruangan kelas dan duduk di meja dosen depan kelas, sementara seorang mahasiswa dengan pakaian lab X-206 masuk menyusul dan berdiri di samping beliau. Semua mahasiswa, termasuk aku, yang masih sibuk dengan pekerjaan masing-masing langsung berhenti kala melihat mahasiswa berpakaian lab itu.“Selamat pagi!” teriak dosen sepuh itu. Dalam kebingungan, kami menjawab.“Selamat pagi!” jawab kami serentak. Aku menatap dosen sepuh itu dengan tatapan heran, apakah beliau dosen pemograman kami sebenarnya?“Baiklah. Kita akan mulai pelajaran hari ini. Sebelumnya, saya mohon maaf sebesar-besarnya telah absen selama tiga minggu karena pelatihan dari kampus. Saya telah secara pribadi menunjuk Mas Fauzan untuk mengajar di kelas ini selama saya absen. Saya harap kalian sudah paham semua yang dia sampai
Bismillah. Alhamdulillah Allah SWT berkenan menjaga niat saya untuk menyelesaikan cerita ini.Terima kasih kepada:@Love_yourself7 – telah memberikan semangat dengan opini tentang karya Soul: The Assistant dan terus membuat saya bersemangat lewat dialog-dialog sederhana yang kita lakukan. Ini juga bocah yang bikin rilis bab 14 tiba-tiba tengah malam pas lagi nyenyak-nyenyaknya bobo cantik para pembaca 😊@nezbie – makasih sudah memberi challenge di wall untuk cerita baru yang bersifat roman. Kalimat itu cikal bakal tema roman yang mungkin bikin halu sebagian pembaca di cerita ini. Jujur saja, jadi belajar cara bikin baper gara2 ini.@wattpadesurd – terima kasih atas izinnya untuk menjadi anggota semenjak awal-awal. Saya banyak bel
“Saya terima nikahnya Zihan binti Khairul Fahmi dengan mas kawin seratus delapan puluh ribu rupiah dibayar tunai!”“Sah?”“Sah!”“Seriusan ini resepsinya Mas Shad? Gak percaya oi.”“Jaringannya gak main-main kali.”“Hush, gak boleh ngomong gak baik. Kedengeren dia bisa mampus kita.”“Mereka tidak berubah ya, Nurul,” komentar Mutia kepada teman akrabnya, Nurul, melihat kelakuan teman-teman satu kelompok lainnya yang berpikiran jelek. Nurul menganggukkan kepalanya, sependapat.“Entahlah. Aku rasa sulit untuk mengubah pandangan setiap orang, Mutia. Mas Shad sendiri
“Tidak perlu kamu berterima kasih, Shadox,” komentar Pak Azhar.“Tetap saja, Pak Azhar, Pak Arrow, terima kasih,” ucapku lagi. Pak Azhar menggelengkan kepala.“Aku tahu sikap nekatmu. Rahima memberitahu,” komentar Pak Arrow. Zihan menatapku tajam dan langsung memeluk lenganku.“Sepertinya ada yang cemburu,” komentar Pak Azhar, yang membuat Zihan malu.“Sederhananya seperti itu. Kalau mau penjelasannya, bisa nanti di perusahaan,” komentar Pak Arrow.“Tidak perlu pak. Ada baiknya Zihan tahu semuanya,” komentarku, “apalagi dia bersedia pergi sejauh ini dan berhadapan dengan masalah ini,” lanjutku. Zihan menampilkan muka terharunya.“Ah, baiklah. Sebelumnya,
“Pak Azhar!?” Reaksi terkejut keluar dari mulut warga-warga desa.“Jadi, selama ini…” ucapan tertahan dari pak kepala desa dijawab langsung oleh Pak Azhar.“Ya, nama alias yang saya pakai selama ini di desa, nama yang saya sebut tidak boleh dikatakan siapapun kepada di luar desa, itu adalah nama palsu,” komentar Pak Azhar dengan santainya.“Lagipula, jika Soul bisa melakukannya, kenapa saya tidak?” lanjut beliau santai. Soul? Siapa Soul?“Jangan bapak bicara rendah terhadap laki-laki yang banyak berjasa terhadap desa kami!” balas salah satu warga desa.“Maaf jika terkesan demikian,” komentar Pak Azhar santai, “tapi kalian juga sepertinya dengan mudah menghina orang kebanggaan saya di sini,&rdqu
“Terima kasih pak,” ucap Mas Yahya seraya menyerahkan bayaran kepada Pak Lukman. Laki-laki tua itu menghaturkan badannya.“Justru saya yang berterima kasih, Mas Yahya. Semoga lancar segala urusannya,” ucap Pak Lukman. Beliau pun lalu izin pamit meninggalkan kami untuk kembali ke tempat taksi terdekat. Seluruh warga di daerah itu menatap kami seperti melihat sepasang iblis.“Iblis pulang,” komentar salah satu warga.“Ngapain balik! Woi!” bentak warga lain. Aku melihat Mas Yahya hanya tersenyum.“Tidak ada yang berubah,” komentarnya pelan. Apakah Mas Yahya merujuk ke rumah keluarganya, atau ke sikap para warga yang sangat tidak santun, aku tidak yakin yang mana.“Pergi! Ngapain kamu ke sini! Anak laknat!” ter
Ahad pagi itu cerah, namun suasana yang tampak di wajah Mas Yahya tidak menunjukkan demikian. Aku tahu, karena inilah hari yang kami takutkan itu. Mas Yahya memesan kereta api kelas eksekutif ke sana. Jujur saja, aku tidak mengerti alasan dia membuang uang sebanyak itu untuk kunjungan yang dia tidak inginkan.“Assalamu’alaikum Pak Lukman. Saya Yahya Hakim,” ucap Mas Yahya menelpon seseorang. Aku tidak mendengar persis apa balasan dari seberang.“Seharusnya jelas ya pak kenapa saya menghubungi bapak,” ucap Mas Yahya dengan nada tertawa, “saya mau bapak menjemput saya di stasiun.”“Saya mau berangkat ini pak. Kira-kira empat jam lagi lah di sana. Bapak bisa sambil narik orang kok pak. Saya juga masih lama.”“Terima kasih banyak pak, Assalamu’alaikum,
“Anak iblis!” teriakan dari laki-laki yang selama ini aku sebut sebagai ayah itu menyakitkan telingaku. Ibuku menangis sesenggukan, sementara adik-adikku menatap tidak percaya.“Ayah ajarin kamu buat jadi anak baik-baik! Kamu malah hamilin anak orang! Yahya!” bentak ayahku keras. Satu pukulan mendarat di wajahku.“Ayah lebih percaya perempuan itu daripada aku!?” balasku tidak percaya. Laki-laki itu memukulku lagi. Rasanya menyakitkan. Bukan, pukulan itu bukanlah bagian paling menyakitkan, tetapi fakta bahwasanya orang tuamu lebih percaya kata orang lain daripada dirimu yang darahnya mengalir di dalam tubuhmu.“Aku gak ajarin kamu jadi anak bangsat!”“Mulai sekarang! Kamu bukan anakku! Keluar! Pergi!” teriakan itu b
Desas-desus beredar di antara teman-temanku. Rasanya tidak enak mendengarnya. Aku berusaha untuk tetap diam. Para asisten terfokus di area depan, seakan ada sekat samar antara asisten dan praktikan.“Jika anda tidak maju, maka kami akan tahan kalian semua sampai maghrib,” komentar Kak Affa lagi. Kenapa kakak membuat aku terjebak dengan pilihan rumit sih!? Apa maksudnya ini!?Bisikan keluar dari berbagai sisi. Tuduhan, hinaan, cacian, makian, semua terucap dengan nada yang samar. Mas Yahya tampak tenang di depan. Dia melukiskan sebuah senyuman.“Sepertinya kalian nikmati sampai maghrib ya,” sindir Kak Affa. Kenapa mereka membuatku mati kutu seperti ini!? Kenapa Mas Yahya juga tenang sekali!?“Mana sih Zihan Azizah ini!?” keluhan beberapa anak yang agak berisik itu menjadi sinyal
Setelah zuhur, kami telah berkumpul di ruang yang memulai praktikum kami semua. Ruangan yang menandai awal kisahku menuju bertemu Mas Yahya. Tempat pertama yang membuatku benar-benar menyadari kehadiran para asisten praktikum. Sayangnya, aku, Riris, dan Alsya tidak mendapat tempat yang berdekatan.“Sepertinya sudah waktunya. Saya akan mulai. Assalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh.”Kehadiran Mas Yahya yang menjadi pemateri membuatku terkejut. Namun, aku berusaha untuk menyembunyikan kekaguman dan ketakjuban yang ku rasakan. Aku mendengar beberapa perempuan di dekatku berdesas-desus tentang penampilan Mas Yahya yang menurutku jauh lebih keren dari biasanya. Ada sebuah aura wibawa berbeda yang dia bawa, dan itu membuatku takut. Takut jika membuat perempuan yang berada di ruangan ini takjub kepadanya.“Perkenalan akan kita