Akhirnya, aku selesai dengan semua pertanyaan yang diberikan oleh Shadox. Sekarang, tinggal merapikan berkas praktikum ini. Aku juga perlu menyelesaikan praktikum fisika.
“Zihan harus rajin,” ucapku menyemangati diriku sendiri.
Jam menunjukkan jam 1, sehingga aku memutuskan untuk zuhur dulu sebelum melanjutkan.
Sebuah hentakan keras saat aku selesai salam mengejutkanku. Aku segera keluar kamar dan mendengar langkah kaki menaiki lantai dua. Apakah Kak Yahya kembali?
Tubuh laki-laki yang terlihat beberapa saat kemudian menunjukkan itu Kak Yahya. Namun, dia tampak sedih dan tidak fokus. Dia berlalu melewatiku tanpa menyapa, dan saat di depan pintu dia malah terduduk.
“Bodoh,” ucapnya lemah.
Apakah tidak ada penghuni lain di kos saat ini sampai hanya aku yang menyaksikan ini? Aku tahu pemilik kos jarang di kos ini, tetapi tidak ada yang mengawasi? Bagaimana kalau terjadi sesuatu seperti ini?
“Pada akhirnya tidak ada gunanya!” kalimat keras itu dia ucapkan.
“Apa aku perlu mati dulu!?” teriaknya lagi.
“Kak Yahya!” teriakku. Laki-laki itu melihat ke arahku, matanya sembab. Tidak tega, aku mendekatinya perlahan dan refleks memeluknya.
“Jangan khawatir kak. Kakak tidak sendiri,” ucapku menenangkan. Aku tidak tahu kenapa laki-laki ini bisa seperti ini, dibalik semua sikap datar dan dinginnya. Apa yang membuat dia seretak ini.
“Apa kamu akan pergi dan berpaling seperti yang lain?” tanyanya parau. Aku menggelengkan kepala. Airmata berjatuhan darinya.
“Jangan kebencian memakanmu,” ucapku pelan, menenangkannya. Hanya anggukan lemah diberikan antara tangis yang dia keluarkan.
“Meskipun sayapmu tua dan retak,” ucapku, “selama ada cinta, maka ada harapan,” lanjutku pelan. Diapun akhirnya tenang dalam pelukan itu.
“Terima kasih,” ucapnya lemah. Namun, beberapa detik kemudian dia melepaskan pelukan itu dengan paksa.
“Astaghfirullah,” ucapnya. Dia pun langsung masuk ke kamar dan menutupnya. Kejadian itu sangat cepat sampai aku baru menyadari apa yang terjadi setelah hentakan pintu kamar itu mengembalikanku pada kenyataan.
“Apa yang baru saja terjadi?” gumamku mencoba mengumpulkan memori peristiwa tadi, sebelum wajahku memerah malu. Segera aku berlari ke kamarku dan menutupnya pula. Aku malu. Sangat malu.
Aku menutup wajahku yang memerah dengan kedua telapak tanganku. Aku masih malu Ya Allah. Aku bisa merasakan betapa rapuhnya dia. Seakan dia baru saja melepaskan banyak rasa sakit dari jiwanya.
“Apa yang dia sembunyikan?” gumamku pelan. Aku melepaskan telapak tanganku dari wajahku, dan melihat keduanya dengan saksama. Tidak ada apapun di sana, namun aku bisa merasakan kerapuhan yang ditutupi dengan ketangguhan di sana.
“Kerapuhan apa yang kamu sembunyikan, Kak Yahya?” ucapku pelan. Aku memutuskan untuk mencoba mengalihkan perhatian dengan mengerjakan laporan praktikum fisika dasar. Namun, sepanjang aku mengerjakan, konsentrasiku tidak bisa terbentuk. Peristiwa tadi berulang di benakku seperti kaset.
“Fokus Zihan!” ucapku kepada diriku sendiri. Jam menunjukkan angka 2 lewat 20. Belum sampai setengah selesai aku kerjakan dari laporan itu, tetapi kepalaku mulai pusing. Antara rumus dan memori menyatu. Bahkan, hitungan yang ku kerjakan di kertas coretan untuk soal yang terakhir ku kerjakan salah, untung aku sadar sebelum menyalin.
“Nyaris ceroboh,” ucapku seraya melihat kembali kertas coretan itu. Aku menghela nafas berat. Aku akhirnya memutuskan untuk meninggalkan meja belajarku dan berbaring di kasur. Jendela kamar yang terbuka memberikan angin sepoi ke ruangan ini, sementara suhu semakin jatuh bersama gelap awan menyelimuti langit.
“Hujan?” gumamku saat mendengar dentingan mengenai atap kos ini. Dentingan itu berubah menjadi suara keras yang menandakan air dalam jumlah besar menyerang atap tanpa ampun. Suaranya membuat suasana menjadi lebih tenang, memberi ruang lega pada relung jiwa.
“Aku tidak tahu apa yang Kak Yahya lalui, namun jelas bukanlah sesuatu yang ringan,” gumamku. Suara pesan masuk di ponselku membuatku mengambil benda persegi empat itu.
‘Ada pesan dari Mas Shadox buat semua kelompok yang dibawah dia. Cek DM kalian. Siapa yang dapat link nya?’
[Foto]
‘Apabila kesulitan mengerjakan soal, silahkan kalian cari salah satu praktikan yang saya kirim pranala ke jawaban.’
Mataku menajam membacanya, menyadari bahwasanya akulah orang yang dia maksud.
‘Eh, siapa siapa. Aku tanya angkatan atas gak ada yang konfirmasi.’
‘Seriusan oi. Kalo dapat bagi-bagi dong. Ini stress semua.’
‘HEH. Kok enak bener kalian dapat link jawaban dari asistennya.’
‘Aku bisa jawab sebagian kecil sih, jadi bisa ku validasi nanti itu trap apa bukan.’
‘Seriusan?’
‘Jangan pelit poo’
‘Siapa sih yang dapat. Kepo aku.’
Kenapa Mas Shadox memberitahu mereka semua? Apa ini seperti jebakan? Aku menimang pilihanku. Jika aku langsung tunjukkan pesan dari kertas itu di sana, aku mencari mati dengan hujan pertanyaan.
“Kenapa ini susah,” gumamku berat. Aku tidak tahu apa dia benar berkenan atau tidak? Aku menyadari ada notifikasi di grup Trio Bebek dan grup praktikum kelompokku. Aku membuka grup Trio Bebek:
Alsya: Eh Zih, kamu kah yang dapat?
Riris: Zih? Zih?
Alsya: Matahari ke Zizik.
Riris: Heh Sya, yang ada dia malah marah.
Aku tersenyum kecil melihat reaksi Riris terhadap sindiran kepadaku. Aku mengetikkan pesan kepada mereka, seraya meyakinkan diriku ini pilihan yang benar.
Zihan: Iya. Aku yang dapat.
Riris: Fotoin dong.
Zihan: Aku tulis bentar.
[Zihan membagikan pranala]
Alsya: Emang dikasihnya pakai apa?
Zihan: Kertas.
Alsya: Kertas?
Riris: Apa karena dia gak punya kontak Zihan? Toh Zihan gak pernah hubungi dia.
“Tapi, aku punya kontak asli dia,” gumamku menyadari ironi situasi ini. Aku baru menyadari bahwa aku tidak pernah memberikan kontak apapun ke Kak Yahya.
Alsya: Dan satu kos juga sih, jadi bisa aja ditinggalin dekat kamar dia.
Alsya: Eh bentar.
Alsya: W baru mikir. KOK KOS LU CAMPURAN ZIH!?
Zihan: Heh, ini kos lebih murah daripada asrama, trus aku kemarin telat masuk keburu penuh asramanya.
Alsya: KAN KOS CEWEK BANYAK ZIZIH.
Zihan: Mehong Sya. Ini kota serba mahal.
Alsya: Zizih ternyata gitu ya, kosnya campuran.
Riris: Aku paham sih kalo situasinya Zihan. Apalagi dia UKT benturan banget, sementara ortu dia juga nanggung kuliah sepupu dia di kota asal.
Alsya: Oh iya, aku lupa soal itu. Maaf ☹
Zihan: Nggak.
Aku terkikik bersama dengan pesan itu terkirim.
Alsya: Maafkan aku Zizih
Zihan: Nggak.
Riris: Udah-udah.
Zihan: Nggak. Maunya dikasih bolu coklat dulu.
Alsya: Iya Zih, aku kasih bolu coklat deh besok 😉
Zihan: Awas ya kalau gak.
Alsya: Judulnya aku yang jadi korban ☹
Riris: Makanya jaga tuh ketikan.
Alsya: Huh.
Riris: Aduh, kena getah juga jadinya ☹
Dan drama itu berlanjut antara Alsya dan Riris. Aku menyunggingkan senyuman kecil melihat sikap kekanakan kami itu. Aku biarkan mereka ribut untuk beberapa lama, sebelum aku mengirim pesan.
Zihan: Jangan lupa di share ke grup angkatan sama kelompok ya. Jangan bilang dari siapa di angkatan. Aku gak mau ada rumor beredar, nanti kena getahnya kita.
Riris: Siap siap. Kelompok kita tau semua sih keliatannya. Cuman mereka kayaknya bisa dipercaya kok.
Aku membuka grup praktikum yang tak kalah ribut. Namun, dua teman laki-laki seangkatanku, Alif dan Haris, tidak terlihat pesan mereka sedikitpun. Tipikal pendiam kah?
Chen: Where’s the link? Where’s the link?
Anastasia: Chen, don’t act like a monkey.
Chen: Can’t. I NEED THE LINK.
Anastasia: Guess we have to wait. I have my fair share of guessing whom gets it.
Daniel: Zihan?
Anastasia: Hey! That’s my guess.
[Riris mengirim pranala]
Riris: Itu pranalanya ya kakak-kakak semua.
Anastasia: Terima kasih is how you write it, was it? Thanks a lot for the answer.
Chen: FINALLY. THANKS A LOT RIRIS!
Anastasia: Guess my bet was wrong?
Riris: Your bet was correct, Anastasia. And yes, it’s terima kasih in Indonesia.
Anastasia: YAY! MY INTUITION FINALLY GUESS SOMETHING RIGHT! LOVE YOU RIRIS <3
Haris: Terima kasih.
Alif: Terima kasih banyak Riris, Zihan.
Riris: Alif, bisa titip pranala ke grup tahun kita?
Alif: Oke.
Aku melihat Alif juga mengirim ke grup angkatan pranala itu. Tampak grup angkatan langsung heboh.
[Alif membagi pranala]
‘Itu ya teman-teman. Yang dapat orang dari kelompokku. Aku hanya membagikan ulang saja.’
‘Heh. Dapat darimana tuh?’
‘Waduh. Siapa tuh di kelompok Alif.’
‘Kepo gan.’
‘Mau tau jadinya.’
‘Siapa sih bisa sampe dikasih link sama si Shadox? Ciwi-ciwi cantik angkatan atas yang kena Shadox aja ga pernah dapat gituan.’
‘Ayo rumor mill gan.’
‘Sebar rumor, cari jawaban yuk.’
‘Angkatan atas juga pada kepo sih…’
‘Penasaran aku.’
‘Siapa ya?’
‘Berburu siapa yang dapat link Shadox.’
Aku menggelengkan kepala melihat kelakuan teman-teman seangkatanku. Hal seperti ini yang ku khawatirkan. Bisa-bisa dalam bahaya kelompokku jika sampai ketahuan akulah orang yang mendapatkan pranala itu. Aku harus menjaga rahasia ini sampai setidaknya aku lulus praktikum ini.
“Kalau lulus,” gumamku kelepasan. Tidak boleh berpikir buruk. Prasangka bisa jadi nyata Zihan! Ingat itu!
“Setidaknya sudah selesai masalah itu,” ucapku lega. Aku menyadari aku tidak menutup jendela dan sekitar jendelaku terlihat basah. Panik, aku segera menutupnya.
“Haduh, ceroboh,” ucapku kesal. Aku segera mengambil pel di ujung kamar dan mengelap kamarku. Untung saja keramik.
“Kalau itu meja bela- sudah. Gak perlu berandai Zihan,” tegurku kepada diriku sendiri. Aku menghela nafas lega. Waktu ashar tiba.
“Lapar,” keluhku setelah selesai ashar. Aku belum makan besar hari ini, jadi tidak mengejutkan jika aku lapar. Saat ini, yang ada di kamarku hanyalah camilan dan beberapa bungkus mie instan. Oke, aku awalnya mengira mie instan dan anak kos adalah mitos, tapi ternyata itu benar adanya.Fasilitas yang tidak berada dalam ruangan sendiri adalah dapur, mesin cuci dan tempat pembuangan sampah. Ketiganya terdapat tempat khusus di lantai satu. Satu untuk dapur dan mesin cuci, satu lagi tempat khusus pembuangan sampah yang biasa diambil petugas sampah setiap hari.Rasanya malas ke dapur. Lebih baik aku cari makan di luar. Namun, dompet memutuskan untuk berkata bahwa ‘aku miskin’ dengan isinya yang berisi warna abu-abu dan krim. Menghela nafas berat, aku mengambil satu bungkus mie instan, pakaian panjang, dan jilbabku.“Oke, ber
Laki-laki sepuh itu masuk ke dalam ruangan kelas dan duduk di meja dosen depan kelas, sementara seorang mahasiswa dengan pakaian lab X-206 masuk menyusul dan berdiri di samping beliau. Semua mahasiswa, termasuk aku, yang masih sibuk dengan pekerjaan masing-masing langsung berhenti kala melihat mahasiswa berpakaian lab itu.“Selamat pagi!” teriak dosen sepuh itu. Dalam kebingungan, kami menjawab.“Selamat pagi!” jawab kami serentak. Aku menatap dosen sepuh itu dengan tatapan heran, apakah beliau dosen pemograman kami sebenarnya?“Baiklah. Kita akan mulai pelajaran hari ini. Sebelumnya, saya mohon maaf sebesar-besarnya telah absen selama tiga minggu karena pelatihan dari kampus. Saya telah secara pribadi menunjuk Mas Fauzan untuk mengajar di kelas ini selama saya absen. Saya harap kalian sudah paham semua yang dia sampai
Aku tiba di kos saat maghrib tiba. Segera aku ke kamar dan mandi, lalu melaksanakan salat maghrib. Aku memutuskan untuk membaca Al-Qur’an setelahnya, dan melaksanakan salat isya begitu waktunya masuk. Akhirnya, aku memutuskan tidur setelah isya.Pagi hari berikutnya, aku salat subuh di kos. Pakaian kuliah yang ku pilih hari itu adalah pakaian serba hijau toska. Selama perjalananku dari aku keluar dari kamar hingga naik motor, aku tidak melihat kehadiran siapapun di kos.Kelas pertama adalah kelas Agama Islam. Setelahnya, ada kelas Matematika 1, yang dilanjutkan dengan kelas Bahasa Inggris. Terakhir, ada kelas Pengantar Teknologi Komputer. Kelas pagi dan siang dapat kulalui dengan mudah (kecuali Matematika, kenapa harus ada sih?), dan aku mengejar zuhur yang terlalu mepet waktunya antara kelas ketiga dan ke-4.Sore harinya, sebelum ashar, adal
“Menurutmu, masnya bakal ngajar lagi gak minggu depan?” tanya Riris saat kami tiba di parkiran motor. Aku menggelengkan kepala.“Kenapa?” tanya Riris lagi. Aku berhenti, menghadap temanku itu.“Aku tidak tahu apakah dia akan mengajar lagi, tetapi aku tidak ingin dia mengajar lagi di kelas itu,” jawabku tajam. Riris menatapku tidak percaya dan menghentikan langkahnya.“Apa!? Tapi dia lebih jelas daripada dosennya sendiri,” bantah Riris tidak percaya. Bukan itu masalahnya. Dalam patahan katanya, dia seakan menyamarkan luka.“… nama lengkap saya tidak relevan.”Entah kenapa, aku merasa ada alasan lain kenapa dia mengambil arah riset itu. Kenapa dia memilih untuk teknologi realitas campuran.
“Selamat datang, Pak Shad,” sapa petugas kantor itu kala aku memasuki gedung.“Selamat pagi pak. Terima kasih banyak sapaannya pak,” ucapku seramah mungkin. Petugas itu tersenyum dan aku berjalan ke resepsionis.“Selamat pagi. Ada yang bisa saya bantu pak?” tanya resepsionis perempuan tersebut.“Saya Shadox, ada perjanjian untuk bertemu dengan ibu CEO Kaynara Hasna,” jawabku. Resepsionis itu sedikit terkejut dan segera berdiri.“Kami sudah menunggu kehadiran bapak Shad. Saya antarkan menuju ruangan CEO,” ucap resepsionis tersebut seraya menunjukkan jalan menuju ruangan CEO. Aku mengikuti resepsionis tersebut.Kami melewati lift menuju lantai tertinggi di gedung tersebut. Saat lift itu tiba, tampak lantai tersebut terli
“Hari ini kami mengabarkan sebuah pertunjukkan publik dari gedung utama perusahaan Hasna Augmented Technologies. Di hadapan kami saat ini terlihat teknologi terbaru yang akan dirilis dalam waktu dekat untuk penggunaan publik,” ucap sang wartawan dari televisi. Aku mencoba memperhatikan televisi dengan teliti, mencari keberadaan Kak Yahya. Laki-laki itu tampak di sisi kiri dari alat yang mereka presentasikan. “Apakah ini ada hubungannya dengan kejadian waktu itu?” gumamku mengingat insiden itu. Jujur, itu membuatku sedikit bersemu, namun aku menggelengkan kepalanya. Kak Yahya menjelaskan dengan telaten, namun nama publik setiap anggota tim yang ditampilkan tidak menampilkan nama Yahya. Hanya Shad sebagai nama dia. “Shad,” ucapku menyebut nama yang tertulis di layar. Demonstrasi alat itu adalah alat yang videonya dua hari lalu ditunjukkan kepada kelasku waktu beliau menggantikan Prof
“Selamat datang, selamat berbelanja,” sapa petugas di supermarket itu. Aku tersenyum dan mulai mencari barang-barang yang aku perlukan untuk bulan ini. Berbelanja bulanan masih menjadi suatu hal yang belum terlalu lazim untukku. Apalagi, tanpa arahan untuk barang yang dibeli dari ibu, membuat semuanya menjadi jauh lebih kompleks.Aku mengambil beberapa makanan instan, buah, dan juga sayur-mayur. Tidak terlalu banyak menurutku, namun seharusnya cukup untuk sebulan ini. Sebisa mungkin tidak makan diluar untuk mengurangi pengeluaran terbatas yang aku miliki. Aku tidak ingin orang tuaku mengeluarkan uang lebih banyak daripada kos dan saku bulananku.“Sudah semuanya?” tanya petugas itu. Aku menganggukkan kepala. Dia pun mulai menghitung pembelianku. Total akhirnya lumayan, nyaris 400 ribu. Setidaknya, bisa dipakai untuk sebulan ke depan.
Hari itu adalah Sabtu. Jam menunjukkan angka 9 pagi. Aku meluangkan waktuku untuk belajar membuat program yang lebih kompleks, namun otakku kesulitan untuk melakukannya.“Kalau saja ada yang jago…,” gumamku pelan. Aku mulai mencoba sedikit demi sedikit membuat program sederhana. Membuat angka-angka, tulisan-tulisan. Dua jam, namun hasilnya minimal.“Apa aku salah jurusan?” gumamku berpikir. Memang, ini bukan pilihan pertamaku, tapi ini adalah apa yang dipilihkan Allah SWT untukku.“Ayah, kira-kira Zihan pilih kuliah dimana?” tanyaku kepada ayah waktu pendaftaran jalur undangan. Ayah tampak berpikir.“Gimana kalau IT. Kan itu prospek kerjanya cerah. Mungkin jadi seperti Pak Azhar yang terkenal itu lho,” komentar ayah. Aku tampak berpikir. IT ya?
Bismillah. Alhamdulillah Allah SWT berkenan menjaga niat saya untuk menyelesaikan cerita ini.Terima kasih kepada:@Love_yourself7 – telah memberikan semangat dengan opini tentang karya Soul: The Assistant dan terus membuat saya bersemangat lewat dialog-dialog sederhana yang kita lakukan. Ini juga bocah yang bikin rilis bab 14 tiba-tiba tengah malam pas lagi nyenyak-nyenyaknya bobo cantik para pembaca 😊@nezbie – makasih sudah memberi challenge di wall untuk cerita baru yang bersifat roman. Kalimat itu cikal bakal tema roman yang mungkin bikin halu sebagian pembaca di cerita ini. Jujur saja, jadi belajar cara bikin baper gara2 ini.@wattpadesurd – terima kasih atas izinnya untuk menjadi anggota semenjak awal-awal. Saya banyak bel
“Saya terima nikahnya Zihan binti Khairul Fahmi dengan mas kawin seratus delapan puluh ribu rupiah dibayar tunai!”“Sah?”“Sah!”“Seriusan ini resepsinya Mas Shad? Gak percaya oi.”“Jaringannya gak main-main kali.”“Hush, gak boleh ngomong gak baik. Kedengeren dia bisa mampus kita.”“Mereka tidak berubah ya, Nurul,” komentar Mutia kepada teman akrabnya, Nurul, melihat kelakuan teman-teman satu kelompok lainnya yang berpikiran jelek. Nurul menganggukkan kepalanya, sependapat.“Entahlah. Aku rasa sulit untuk mengubah pandangan setiap orang, Mutia. Mas Shad sendiri
“Tidak perlu kamu berterima kasih, Shadox,” komentar Pak Azhar.“Tetap saja, Pak Azhar, Pak Arrow, terima kasih,” ucapku lagi. Pak Azhar menggelengkan kepala.“Aku tahu sikap nekatmu. Rahima memberitahu,” komentar Pak Arrow. Zihan menatapku tajam dan langsung memeluk lenganku.“Sepertinya ada yang cemburu,” komentar Pak Azhar, yang membuat Zihan malu.“Sederhananya seperti itu. Kalau mau penjelasannya, bisa nanti di perusahaan,” komentar Pak Arrow.“Tidak perlu pak. Ada baiknya Zihan tahu semuanya,” komentarku, “apalagi dia bersedia pergi sejauh ini dan berhadapan dengan masalah ini,” lanjutku. Zihan menampilkan muka terharunya.“Ah, baiklah. Sebelumnya,
“Pak Azhar!?” Reaksi terkejut keluar dari mulut warga-warga desa.“Jadi, selama ini…” ucapan tertahan dari pak kepala desa dijawab langsung oleh Pak Azhar.“Ya, nama alias yang saya pakai selama ini di desa, nama yang saya sebut tidak boleh dikatakan siapapun kepada di luar desa, itu adalah nama palsu,” komentar Pak Azhar dengan santainya.“Lagipula, jika Soul bisa melakukannya, kenapa saya tidak?” lanjut beliau santai. Soul? Siapa Soul?“Jangan bapak bicara rendah terhadap laki-laki yang banyak berjasa terhadap desa kami!” balas salah satu warga desa.“Maaf jika terkesan demikian,” komentar Pak Azhar santai, “tapi kalian juga sepertinya dengan mudah menghina orang kebanggaan saya di sini,&rdqu
“Terima kasih pak,” ucap Mas Yahya seraya menyerahkan bayaran kepada Pak Lukman. Laki-laki tua itu menghaturkan badannya.“Justru saya yang berterima kasih, Mas Yahya. Semoga lancar segala urusannya,” ucap Pak Lukman. Beliau pun lalu izin pamit meninggalkan kami untuk kembali ke tempat taksi terdekat. Seluruh warga di daerah itu menatap kami seperti melihat sepasang iblis.“Iblis pulang,” komentar salah satu warga.“Ngapain balik! Woi!” bentak warga lain. Aku melihat Mas Yahya hanya tersenyum.“Tidak ada yang berubah,” komentarnya pelan. Apakah Mas Yahya merujuk ke rumah keluarganya, atau ke sikap para warga yang sangat tidak santun, aku tidak yakin yang mana.“Pergi! Ngapain kamu ke sini! Anak laknat!” ter
Ahad pagi itu cerah, namun suasana yang tampak di wajah Mas Yahya tidak menunjukkan demikian. Aku tahu, karena inilah hari yang kami takutkan itu. Mas Yahya memesan kereta api kelas eksekutif ke sana. Jujur saja, aku tidak mengerti alasan dia membuang uang sebanyak itu untuk kunjungan yang dia tidak inginkan.“Assalamu’alaikum Pak Lukman. Saya Yahya Hakim,” ucap Mas Yahya menelpon seseorang. Aku tidak mendengar persis apa balasan dari seberang.“Seharusnya jelas ya pak kenapa saya menghubungi bapak,” ucap Mas Yahya dengan nada tertawa, “saya mau bapak menjemput saya di stasiun.”“Saya mau berangkat ini pak. Kira-kira empat jam lagi lah di sana. Bapak bisa sambil narik orang kok pak. Saya juga masih lama.”“Terima kasih banyak pak, Assalamu’alaikum,
“Anak iblis!” teriakan dari laki-laki yang selama ini aku sebut sebagai ayah itu menyakitkan telingaku. Ibuku menangis sesenggukan, sementara adik-adikku menatap tidak percaya.“Ayah ajarin kamu buat jadi anak baik-baik! Kamu malah hamilin anak orang! Yahya!” bentak ayahku keras. Satu pukulan mendarat di wajahku.“Ayah lebih percaya perempuan itu daripada aku!?” balasku tidak percaya. Laki-laki itu memukulku lagi. Rasanya menyakitkan. Bukan, pukulan itu bukanlah bagian paling menyakitkan, tetapi fakta bahwasanya orang tuamu lebih percaya kata orang lain daripada dirimu yang darahnya mengalir di dalam tubuhmu.“Aku gak ajarin kamu jadi anak bangsat!”“Mulai sekarang! Kamu bukan anakku! Keluar! Pergi!” teriakan itu b
Desas-desus beredar di antara teman-temanku. Rasanya tidak enak mendengarnya. Aku berusaha untuk tetap diam. Para asisten terfokus di area depan, seakan ada sekat samar antara asisten dan praktikan.“Jika anda tidak maju, maka kami akan tahan kalian semua sampai maghrib,” komentar Kak Affa lagi. Kenapa kakak membuat aku terjebak dengan pilihan rumit sih!? Apa maksudnya ini!?Bisikan keluar dari berbagai sisi. Tuduhan, hinaan, cacian, makian, semua terucap dengan nada yang samar. Mas Yahya tampak tenang di depan. Dia melukiskan sebuah senyuman.“Sepertinya kalian nikmati sampai maghrib ya,” sindir Kak Affa. Kenapa mereka membuatku mati kutu seperti ini!? Kenapa Mas Yahya juga tenang sekali!?“Mana sih Zihan Azizah ini!?” keluhan beberapa anak yang agak berisik itu menjadi sinyal
Setelah zuhur, kami telah berkumpul di ruang yang memulai praktikum kami semua. Ruangan yang menandai awal kisahku menuju bertemu Mas Yahya. Tempat pertama yang membuatku benar-benar menyadari kehadiran para asisten praktikum. Sayangnya, aku, Riris, dan Alsya tidak mendapat tempat yang berdekatan.“Sepertinya sudah waktunya. Saya akan mulai. Assalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh.”Kehadiran Mas Yahya yang menjadi pemateri membuatku terkejut. Namun, aku berusaha untuk menyembunyikan kekaguman dan ketakjuban yang ku rasakan. Aku mendengar beberapa perempuan di dekatku berdesas-desus tentang penampilan Mas Yahya yang menurutku jauh lebih keren dari biasanya. Ada sebuah aura wibawa berbeda yang dia bawa, dan itu membuatku takut. Takut jika membuat perempuan yang berada di ruangan ini takjub kepadanya.“Perkenalan akan kita