Beranda / Romansa / Bulan di Darah Awan / Bab 6: Kebermanfaatan

Share

Bab 6: Kebermanfaatan

Penulis: Affad DaffaMage
last update Terakhir Diperbarui: 2021-09-01 16:45:37

Ruangan ini tampak berantakan, namun tidak seberapa berantakannya kala beradu dengan benakku kini.Peristiwa kemarin masih membekas dengan jernih.

Aku masih membenci setiap jejak yang tertinggal dari masa laluku, dan sekarang kamu mau menjadi bagian dari kebencianku?” tanyaku kepada gadis itu. Dia hanya diam dibawah tekanan suasana yang ku berikan. Tekanan kekecewaan.

Kala pertemuan pertama kita tempo kemarin, hatiku berkata ada sesuatu yang beda. Kini, bagiku, satu suatu itu seakan porak poranda masa lalu,” ucapku lemah.

“Apakah aku melakukan hal yang benar?” gumamku.

Aku letakkan kertas itu di depan pintunya. Tidak apa jikalau asisten lainnya memarahi kala berita ini masuk ke pendengar mereka. Faktanya, mereka tidak lebih peduli.

Paduka pamit dahulu. Sampai jumpa.”

“Eh, ada Mas Shadox. Pagi mas,” komentar salah satu asisten yang baru bangun tidur di lab X-106 ini. Aku hanya melambaikan tanganku.

“Oh ya, Mas Shadox kemarin dicari Pak Zahari. Katanya kalau ketemu tolong kabari beliau,” ucap asisten itu. Aku menghembuskan nafas berat, dosenku tidak pernah lelah mencari mahasiswanya yang hilang ya.

“Bilang saja ke beliau Mas Shadox tidak ada di lab, Legendaria,” komentarku. Asisten yang setengah sadar itu langsung melek. Dia langsung berdiri.

“Yang serius Mas!?” kalimat itu seperti teguran. Aku menganggukkan kepala. Dia tampak berpikir, seakan mencari kalimat pembantah dari pinta yang ku ajukan.

“Saya akan diam saja kalau begitu. Saya tidak ingin berbohong. Kasihan kakak,” komentarnya lagi. Aku menganggukkan kepala sebagai persetujuan atas pilihannya. Tidak apa, selama dia tidak mengatakan apapun terkait keberadaanku di lab ini.

“Selama tidak memberitahukan aku di lab, aku tidak masalah apa yang kamu lakukan, Legendaria,” jawabku datar.

“Smile ditanya juga sama calon pembimbing beliau setiap kali dia bimbingan. ‘Shad dimana? Satu jurusan bingung kenapa dia jadi susah dihubungi.’ kata Kak Smile waktu meniru ucapan pembimbing beliau,” komentarnya lagi. Aku menaikkan sebelah alisku.

“Siapa pembimbingnya?” tanyaku.

“Pak Arianto dan Prof Hari mas,” jawab Legendaria, “itu dari Pak Arianto yang tanya.”

“Beliau wajar khawatir sih,” komentarku, “bukan akan membuatku peduli sih.”

Legendaria menghembuskan nafas berat. Dia lalu membalikkan wajahnya. Ada sebuah kekecewaan yang tersirat dari wajah laki-laki itu.

“Entah apa yang akan membangunkanmu, Mas Shad,” ucapnya seraya berjalan keluar lab. Sepertinya dia membasuh wajahnya, mengingat dia baru bangun tidur.

“Yang membangunkanku ya?” gumamku sebelum kembali mengerjakan pekerjaanku. Aku melihat ke daftar kontak yang aku kirim soal untuk praktikum pertama. Mulai aku mengetikkan satu pesan untuk mereka semua. Mungkin ada jawabannya, tapi masih enggan untuk mengakuinya. Mungkin saja, dia jawabannya.

“Apabila kesulitan mengerjakan soal, silahkan kalian cari salah satu praktikan yang saya kirim pranala ke jawaban.”

Kalimat itu aku kirimkan ke semua perwakilan kelompok. Entah mereka akan peduli atau tidak, bukan urusanku. Toh, pada akhirnya, jika mereka tidak bisa menjelaskan, sia-sia mereka bisa menjawab nanti. Aku adalah satu-satunya asisten dengan 7 kelompok, sementara rata-rata hanya 4 atau 5 kelompok. Hanya aku yang diberi 7 karena waktuku yang paling luang, lebih tepatnya, aku yang memaksakan supaya terlihat luang.

Aku menyempatkan diri untuk mempublikasikan tulisan terbaruku, seperti biasa. Ada puluhan pesan yang terkumpul dalam kotak masukku, menanyakan berbagai hal berkaitan dengan kepenulisan. Dulu, sempat beberapa komunitas mengundang, tetapi aku menolak karena itu akan membongkar identitasku. Lebih baik seperti ini, setidaknya mereka memberikan pengertian akan pintaku untuk tidak membuka diri.

“Melarikan diri dari kenyataan itu membosankan ya,” gumamku seraya mempublikasikan rilis terbaruku. Tawaran penerbitan sudah ku terima, dengan syarat identitas asliku tidak boleh dibuka.

Dox, lu kayaknya perlu pacar deh. Kerja mulu. Lu gak mau berakhir di pemakaman toh?” komentar Faux. Aku menggelengkan kepala.

Itu berseberangan dengan norma,” jawabku datar. Faux menaikkan sebelah alisnya.

Norma apa? Toh teman-temanmu yang lulus duluan pada pacaran b aja,” tanyanya lagi.

Entahlah. Aku hanya memegang sisa masa laluku yang masih menjagaku ke titik ini,” jawabku tak pasti. Norma apa? Agama? Mungkin itu. Aku sudah tidak tahu lagi. Toh nyatanya aku sudah meninggalkan semuanya.

Agama, Mas,” komentar salah satu asisten junior. Faux langsung ber-oh ria. Aku hanya mendecih, kesal dengan cara menjawabnya.

Agamis banget tenyata temanku ini,” komentarnya dengan tawa keras. Hah, lucu sekali, Faux.

Ya oke aja sih kalo gitu. Cuma lu skripsi aja ga progress sampe tuh dosen-dosen ngeburu,” sindirnya. Aku menatap laki-laki itu tajam. Apakah masalah bagi dia jika aku tidak lulus tepat waktu?

Karena aku gak mengerjakan terus enak menyindir, begitu? Ingat itu toefl masih gak tuntas. Kan malu-maluin gak lulus gara-gara toefl kurang dari 470,” sindirku balik. Faux tertawa, namun aku tahu dia sedikit tersinggung. Bukan, sangat tersinggung.

Udah, garap aja dulu skripsimu. Ini malah bersedia ngambil tuh sampe tujuh kelompok.”

Aku mendesah kesal. Dia benar-benar mencoba memancing emosiku dengan mengangkat topik skripsi, yang jelas aku tidak sukai sedikitpun. Dasar teman laknat.

Kenapa? Aku sudah lama dalam hal ini, Faux. Aku membantu asisten yang rata-rata kebanyakan kelas semester ini,” komentarku balik. Dia tidak berkomentar lagi dan memutuskan untuk berhenti menggangguku.

Tapi setidaknya, carilah sesuatu yang memotivasi dirimu. Setauku, wanita paling memberikan emosi kuat pada pria,” komentarnya seraya menjauh.

“Pacar ya?” komentarku menatap ke langit laboratorium. Aku hanya menghela nafas. Dalam kisah-kisah yang ku tuliskan maupun yang ku baca, roman itu indah. Nyatanya, roman itu melemahkan, menyakitkan. Mungkin termasuk kisah hidupku, yang sedikit sekali roman dan justru berakhir mengerikan.

“Bulan berwarna darah dalam kesedihan,” komentarku. Aku kembali melihat ke layar laptopku, dengan naskah yang baru selesai. Penerbit memintanya dalam waktu dekat untuk mereka lakukan pemeriksaan oleh pihak editor.

“Warna cerita itu seperti putaran, layaknya kehidupan,” ucapku pelan. Aku melihat ke koleksi karyaku. Beberapa sedih, lainnya senang. Beberapa menegangkan, lainnya mengharukan.

“Kehidupan kita acapkali tidak sedramatis kisah-kisah yang dituliskan. Itulah nyatanya,” komentarku. Salah satu cerita lama aku buka kembali. Kisah yang hanya aku coret setelah berbicara dengan narasumber-narasumber yang tidak lazim pasca aku kerja praktik.

Manusia itu sebenarnya luar biasa. Kita saja yang membatasinya,” komentar narasumberku itu kala dia menutup kisahnya.

Jujur, kalau bukan karena saya mahasiswa FTEI, saya akan meragukan kredibilitas kisah anda,” komentarku. Dia tersenyum.

Orang pasti akan meragukannya. Maka dari itu, semua percakapan ini selalu saya simpan,” ucap beliau seraya menunjukkan sekumpulan percakapan dengan beberapa orang.

Nama orang itu disebut dalam semua diskusi itu. Saat saya mewawancarai narasumber lain, saya juga dapat informasi untuk desa-desa pengabdian dia, dan saya rasa cukup valid,” komentarku lagi dengan senyuman simpul. Beliau hanya menganggukkan kepala beliau.

Terima kasih banyak, Pak Azhar.”

“Manusia itu luar biasa, hanya dibatasi oleh diri mereka sendiri,” ucapku pelan. Bagaimanapun, itu adalah kebenaran. Aku tidak bersemangat menyelesaikan skripsi meski aku mampu, adalah tanda nyata kalimat itu.

“Bukan tidak mampu, tetapi tidak ingin,” komentarku lagi. Ya, aku hanya tidak ingin. Kalau aku lulus, tidak ada lagi tempat di luar sana.

Terima kasih atas pekerjaanmu di sini. Saya turut berduka mengetahui situasimu. Jika perlu tempat kerja, saya selalu siap menerima,” ucap Pak Azhar kala aku bertemu dengan beliau di restoran itu.

Azhar gitu kan, rebut bibit paling bagus terus. Gimana mau kebagian aku,” keluh temannya yang duduk di sampingnya, “aku juga selalu terbuka kok. Aku bisa tebak kinerjamu dari cara kamu berbicara dan bersikap.”

“Apa bapak akan menerima saya apapun yang terjadi?” gumamku pelan. Aku kembali berpikir. Jam di laptop menunjukkan bahwasanya waktu saat ini 11:22.

“Sudah siang ya,” komentarku pelan. Aku melihat Legendaria masuk. Dia berjalan ke meja kerjanya yang berada di seberangku.

“Saya tidak akan memaksakan apapun pilihan mas. Maaf jika saya dan Smile memaksa mas untuk mengambil kos. Setiap melihat mas memaksakan diri selama ini, kami melihat kakak kami,” ucap Legendaria. Aku menganggukkan kepalaku, mengerti.

“Aku tidak sebanding dengan kakakmu,” komentarku datar.

“Kakak kami pasti akan bilang sebanding. Hanya beda langkah saja. Anda dengan riset, dia dengan pengabdian,” balasnya. Aku hanya menggelengkan kepala. Aku tidak merasa pantas dibandingkan dengan laki-laki itu.

“Risetku tidak memberikan kebermanfaatan setara dengan yang dia lakukan dalam pengabdian massalnya. Skripsiku hanyalah mainan belaka, karena aku tidak ingin melepas tempat ini,” komentarku jujur.

“Apa karena Mas Shadox takut?” tanya Legendaria. Dia sepertinya tidak mau berdebat masalah kebermanfaatan.

“Takut karena masa lalu? Iya. Kamu adalah satu dari beberapa orang yang benar-benar tahu siapa aku,” jawabku. Legendaria menghela nafas berat, namun tidak memberikan jawaban.

“Pernah tahu kutukan penulis?” tanyaku kepada Legendaria.

“Aku pernah baca. Mitos penulis adalah apa yang dituliskannya bisa menjadi kenyataan kehidupannya kelak,” jawab Legendaria, “itu tidak terbukti.”

“Benar. Hanya saja, aku merasa demikian meski aku menentangnya. Kalau kakakmu masih memiliki kalian, aku tidak punya siapapun untuk berpaling,” komentarku, “lebih buruk malah.”

Legendaria berdiri dan memutar kursiku, lalu memegang kerahku. Sorotan matanya terlihat sangat tajam.

“Jangan tenggelam dalam kehancuran. Itu satu hal yang aku tahu dari kakakku. Seberapapun luka di hadapanmu, Kakak harus terus berjuang sampai panggilan tiba.”

“Huh. Aku diceramahi adik sang legenda sekarang,” komentarku sarkastis. Dia melepas kerahku.

“Itu pengingat. Aku gak tau apa yang Mas Shadox pikirkan, tetapi jangan harap aku tinggal diam kala mas menyembunyikan luka. Kami berdua sudah terlalu banyak luka selama di lab ini, tapi kami menolak menyerah. Kami harap mas juga demikian.”

“Heh,” komentarku datar. Dia tidak mengalami semua yang ku hadapi. Masih lebih baik ditinggal daripada dicampakkan.

“Karena aku tahu kebermanfaatan riset mas itulah aku bersedia membantu mas. Mas harap ingat, bahwa baik riset maupun skripsi mas itu adalah satu tumpu masa depan teknologi. Kalau aku bisa teknologi itu, aku sudah bantu mas,” ucapnya lagi sebelum kembali ke pekerjaannya. Oh, jadi karena bermanfaat saja ya…

Aku memutuskan untuk pulang karena mood ku berubah hambar setelah percakapan kami. Sebuah pesan masuk kala aku menaiki motor.

“Mas Yahya. Saya harap riset mas bisa diuji coba di perusahaan hari kamis ini ya. Bu Kaynara ingin melihat eksekusinya langsung.”

Anak iblis!”

Mati saja! Kamu itu mempermalukan keluarga!”

Pergi!”

Menyebalkan. Apa mati lebih enak?

Entahlah. Aku harus selesaikan urusanku ini dulu. Kematianku bisa menunggu sebentar, setidaknya. Toh, mereka tidak akan benar-benar kehilangan. Ketiadaanku hanya akan menunda perubahan di dunia ini untuk sesaat, itu saja.

“Bahkan, perubahan lebih cepat terjadi kala pionir yang tak diakui telah mati, seperti dia.”

Bab terkait

  • Bulan di Darah Awan   Bab 7: Rapuh

    Bab 7: RapuhAkhirnya, aku selesai dengan semua pertanyaan yang diberikan oleh Shadox. Sekarang, tinggal merapikan berkas praktikum ini. Aku juga perlu menyelesaikan praktikum fisika.“Zihan harus rajin,” ucapku menyemangati diriku sendiri.Jam menunjukkan jam 1, sehingga aku memutuskan untuk zuhur dulu sebelum melanjutkan.Sebuah hentakan keras saat aku selesai salam mengejutkanku. Aku segera keluar kamar dan mendengar langkah kaki menaiki lantai dua. Apakah Kak Yahya kembali?Tubuh laki-laki yang terlihat beberapa saat kemudian menunjukkan itu Kak Yahya. Namun, dia tampak sedih dan tidak fokus. Dia berlalu melewatiku tanpa menyapa, dan saat di depan pintu dia malah terduduk.“Bodoh,” ucapnya lemah.

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-02
  • Bulan di Darah Awan   Bab 8: Mie Instan

    “Lapar,” keluhku setelah selesai ashar. Aku belum makan besar hari ini, jadi tidak mengejutkan jika aku lapar. Saat ini, yang ada di kamarku hanyalah camilan dan beberapa bungkus mie instan. Oke, aku awalnya mengira mie instan dan anak kos adalah mitos, tapi ternyata itu benar adanya.Fasilitas yang tidak berada dalam ruangan sendiri adalah dapur, mesin cuci dan tempat pembuangan sampah. Ketiganya terdapat tempat khusus di lantai satu. Satu untuk dapur dan mesin cuci, satu lagi tempat khusus pembuangan sampah yang biasa diambil petugas sampah setiap hari.Rasanya malas ke dapur. Lebih baik aku cari makan di luar. Namun, dompet memutuskan untuk berkata bahwa ‘aku miskin’ dengan isinya yang berisi warna abu-abu dan krim. Menghela nafas berat, aku mengambil satu bungkus mie instan, pakaian panjang, dan jilbabku.“Oke, ber

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-03
  • Bulan di Darah Awan   Bab 9: Kuliah

    Laki-laki sepuh itu masuk ke dalam ruangan kelas dan duduk di meja dosen depan kelas, sementara seorang mahasiswa dengan pakaian lab X-206 masuk menyusul dan berdiri di samping beliau. Semua mahasiswa, termasuk aku, yang masih sibuk dengan pekerjaan masing-masing langsung berhenti kala melihat mahasiswa berpakaian lab itu.“Selamat pagi!” teriak dosen sepuh itu. Dalam kebingungan, kami menjawab.“Selamat pagi!” jawab kami serentak. Aku menatap dosen sepuh itu dengan tatapan heran, apakah beliau dosen pemograman kami sebenarnya?“Baiklah. Kita akan mulai pelajaran hari ini. Sebelumnya, saya mohon maaf sebesar-besarnya telah absen selama tiga minggu karena pelatihan dari kampus. Saya telah secara pribadi menunjuk Mas Fauzan untuk mengajar di kelas ini selama saya absen. Saya harap kalian sudah paham semua yang dia sampai

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-04
  • Bulan di Darah Awan   Bab 10: Aspek

    Aku tiba di kos saat maghrib tiba. Segera aku ke kamar dan mandi, lalu melaksanakan salat maghrib. Aku memutuskan untuk membaca Al-Qur’an setelahnya, dan melaksanakan salat isya begitu waktunya masuk. Akhirnya, aku memutuskan tidur setelah isya.Pagi hari berikutnya, aku salat subuh di kos. Pakaian kuliah yang ku pilih hari itu adalah pakaian serba hijau toska. Selama perjalananku dari aku keluar dari kamar hingga naik motor, aku tidak melihat kehadiran siapapun di kos.Kelas pertama adalah kelas Agama Islam. Setelahnya, ada kelas Matematika 1, yang dilanjutkan dengan kelas Bahasa Inggris. Terakhir, ada kelas Pengantar Teknologi Komputer. Kelas pagi dan siang dapat kulalui dengan mudah (kecuali Matematika, kenapa harus ada sih?), dan aku mengejar zuhur yang terlalu mepet waktunya antara kelas ketiga dan ke-4.Sore harinya, sebelum ashar, adal

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-05
  • Bulan di Darah Awan   Bab 11: Relevansi

    “Menurutmu, masnya bakal ngajar lagi gak minggu depan?” tanya Riris saat kami tiba di parkiran motor. Aku menggelengkan kepala.“Kenapa?” tanya Riris lagi. Aku berhenti, menghadap temanku itu.“Aku tidak tahu apakah dia akan mengajar lagi, tetapi aku tidak ingin dia mengajar lagi di kelas itu,” jawabku tajam. Riris menatapku tidak percaya dan menghentikan langkahnya.“Apa!? Tapi dia lebih jelas daripada dosennya sendiri,” bantah Riris tidak percaya. Bukan itu masalahnya. Dalam patahan katanya, dia seakan menyamarkan luka.“… nama lengkap saya tidak relevan.”Entah kenapa, aku merasa ada alasan lain kenapa dia mengambil arah riset itu. Kenapa dia memilih untuk teknologi realitas campuran.

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-06
  • Bulan di Darah Awan   Bab 12: Membangun Negeri

    “Selamat datang, Pak Shad,” sapa petugas kantor itu kala aku memasuki gedung.“Selamat pagi pak. Terima kasih banyak sapaannya pak,” ucapku seramah mungkin. Petugas itu tersenyum dan aku berjalan ke resepsionis.“Selamat pagi. Ada yang bisa saya bantu pak?” tanya resepsionis perempuan tersebut.“Saya Shadox, ada perjanjian untuk bertemu dengan ibu CEO Kaynara Hasna,” jawabku. Resepsionis itu sedikit terkejut dan segera berdiri.“Kami sudah menunggu kehadiran bapak Shad. Saya antarkan menuju ruangan CEO,” ucap resepsionis tersebut seraya menunjukkan jalan menuju ruangan CEO. Aku mengikuti resepsionis tersebut.Kami melewati lift menuju lantai tertinggi di gedung tersebut. Saat lift itu tiba, tampak lantai tersebut terli

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-07
  • Bulan di Darah Awan   Bab 13: Tanpa Emosi

    “Hari ini kami mengabarkan sebuah pertunjukkan publik dari gedung utama perusahaan Hasna Augmented Technologies. Di hadapan kami saat ini terlihat teknologi terbaru yang akan dirilis dalam waktu dekat untuk penggunaan publik,” ucap sang wartawan dari televisi. Aku mencoba memperhatikan televisi dengan teliti, mencari keberadaan Kak Yahya. Laki-laki itu tampak di sisi kiri dari alat yang mereka presentasikan. “Apakah ini ada hubungannya dengan kejadian waktu itu?” gumamku mengingat insiden itu. Jujur, itu membuatku sedikit bersemu, namun aku menggelengkan kepalanya. Kak Yahya menjelaskan dengan telaten, namun nama publik setiap anggota tim yang ditampilkan tidak menampilkan nama Yahya. Hanya Shad sebagai nama dia. “Shad,” ucapku menyebut nama yang tertulis di layar. Demonstrasi alat itu adalah alat yang videonya dua hari lalu ditunjukkan kepada kelasku waktu beliau menggantikan Prof

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-08
  • Bulan di Darah Awan   Bab 14: Dikenal

    “Selamat datang, selamat berbelanja,” sapa petugas di supermarket itu. Aku tersenyum dan mulai mencari barang-barang yang aku perlukan untuk bulan ini. Berbelanja bulanan masih menjadi suatu hal yang belum terlalu lazim untukku. Apalagi, tanpa arahan untuk barang yang dibeli dari ibu, membuat semuanya menjadi jauh lebih kompleks.Aku mengambil beberapa makanan instan, buah, dan juga sayur-mayur. Tidak terlalu banyak menurutku, namun seharusnya cukup untuk sebulan ini. Sebisa mungkin tidak makan diluar untuk mengurangi pengeluaran terbatas yang aku miliki. Aku tidak ingin orang tuaku mengeluarkan uang lebih banyak daripada kos dan saku bulananku.“Sudah semuanya?” tanya petugas itu. Aku menganggukkan kepala. Dia pun mulai menghitung pembelianku. Total akhirnya lumayan, nyaris 400 ribu. Setidaknya, bisa dipakai untuk sebulan ke depan.

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-09

Bab terbaru

  • Bulan di Darah Awan   Pena Penghujung

    Bismillah. Alhamdulillah Allah SWT berkenan menjaga niat saya untuk menyelesaikan cerita ini.Terima kasih kepada:@Love_yourself7 – telah memberikan semangat dengan opini tentang karya Soul: The Assistant dan terus membuat saya bersemangat lewat dialog-dialog sederhana yang kita lakukan. Ini juga bocah yang bikin rilis bab 14 tiba-tiba tengah malam pas lagi nyenyak-nyenyaknya bobo cantik para pembaca 😊@nezbie – makasih sudah memberi challenge di wall untuk cerita baru yang bersifat roman. Kalimat itu cikal bakal tema roman yang mungkin bikin halu sebagian pembaca di cerita ini. Jujur saja, jadi belajar cara bikin baper gara2 ini.@wattpadesurd – terima kasih atas izinnya untuk menjadi anggota semenjak awal-awal. Saya banyak bel

  • Bulan di Darah Awan   Epilog

    “Saya terima nikahnya Zihan binti Khairul Fahmi dengan mas kawin seratus delapan puluh ribu rupiah dibayar tunai!”“Sah?”“Sah!”“Seriusan ini resepsinya Mas Shad? Gak percaya oi.”“Jaringannya gak main-main kali.”“Hush, gak boleh ngomong gak baik. Kedengeren dia bisa mampus kita.”“Mereka tidak berubah ya, Nurul,” komentar Mutia kepada teman akrabnya, Nurul, melihat kelakuan teman-teman satu kelompok lainnya yang berpikiran jelek. Nurul menganggukkan kepalanya, sependapat.“Entahlah. Aku rasa sulit untuk mengubah pandangan setiap orang, Mutia. Mas Shad sendiri

  • Bulan di Darah Awan   Bab 31: Terima Kasih

    “Tidak perlu kamu berterima kasih, Shadox,” komentar Pak Azhar.“Tetap saja, Pak Azhar, Pak Arrow, terima kasih,” ucapku lagi. Pak Azhar menggelengkan kepala.“Aku tahu sikap nekatmu. Rahima memberitahu,” komentar Pak Arrow. Zihan menatapku tajam dan langsung memeluk lenganku.“Sepertinya ada yang cemburu,” komentar Pak Azhar, yang membuat Zihan malu.“Sederhananya seperti itu. Kalau mau penjelasannya, bisa nanti di perusahaan,” komentar Pak Arrow.“Tidak perlu pak. Ada baiknya Zihan tahu semuanya,” komentarku, “apalagi dia bersedia pergi sejauh ini dan berhadapan dengan masalah ini,” lanjutku. Zihan menampilkan muka terharunya.“Ah, baiklah. Sebelumnya,

  • Bulan di Darah Awan   Bab 30: Kebenaran

    “Pak Azhar!?” Reaksi terkejut keluar dari mulut warga-warga desa.“Jadi, selama ini…” ucapan tertahan dari pak kepala desa dijawab langsung oleh Pak Azhar.“Ya, nama alias yang saya pakai selama ini di desa, nama yang saya sebut tidak boleh dikatakan siapapun kepada di luar desa, itu adalah nama palsu,” komentar Pak Azhar dengan santainya.“Lagipula, jika Soul bisa melakukannya, kenapa saya tidak?” lanjut beliau santai. Soul? Siapa Soul?“Jangan bapak bicara rendah terhadap laki-laki yang banyak berjasa terhadap desa kami!” balas salah satu warga desa.“Maaf jika terkesan demikian,” komentar Pak Azhar santai, “tapi kalian juga sepertinya dengan mudah menghina orang kebanggaan saya di sini,&rdqu

  • Bulan di Darah Awan   Bab 29: Dosa Desa

    “Terima kasih pak,” ucap Mas Yahya seraya menyerahkan bayaran kepada Pak Lukman. Laki-laki tua itu menghaturkan badannya.“Justru saya yang berterima kasih, Mas Yahya. Semoga lancar segala urusannya,” ucap Pak Lukman. Beliau pun lalu izin pamit meninggalkan kami untuk kembali ke tempat taksi terdekat. Seluruh warga di daerah itu menatap kami seperti melihat sepasang iblis.“Iblis pulang,” komentar salah satu warga.“Ngapain balik! Woi!” bentak warga lain. Aku melihat Mas Yahya hanya tersenyum.“Tidak ada yang berubah,” komentarnya pelan. Apakah Mas Yahya merujuk ke rumah keluarganya, atau ke sikap para warga yang sangat tidak santun, aku tidak yakin yang mana.“Pergi! Ngapain kamu ke sini! Anak laknat!” ter

  • Bulan di Darah Awan   Bab 28: Kembali

    Ahad pagi itu cerah, namun suasana yang tampak di wajah Mas Yahya tidak menunjukkan demikian. Aku tahu, karena inilah hari yang kami takutkan itu. Mas Yahya memesan kereta api kelas eksekutif ke sana. Jujur saja, aku tidak mengerti alasan dia membuang uang sebanyak itu untuk kunjungan yang dia tidak inginkan.“Assalamu’alaikum Pak Lukman. Saya Yahya Hakim,” ucap Mas Yahya menelpon seseorang. Aku tidak mendengar persis apa balasan dari seberang.“Seharusnya jelas ya pak kenapa saya menghubungi bapak,” ucap Mas Yahya dengan nada tertawa, “saya mau bapak menjemput saya di stasiun.”“Saya mau berangkat ini pak. Kira-kira empat jam lagi lah di sana. Bapak bisa sambil narik orang kok pak. Saya juga masih lama.”“Terima kasih banyak pak, Assalamu’alaikum,

  • Bulan di Darah Awan   Bab 27: Anak Iblis

    “Anak iblis!” teriakan dari laki-laki yang selama ini aku sebut sebagai ayah itu menyakitkan telingaku. Ibuku menangis sesenggukan, sementara adik-adikku menatap tidak percaya.“Ayah ajarin kamu buat jadi anak baik-baik! Kamu malah hamilin anak orang! Yahya!” bentak ayahku keras. Satu pukulan mendarat di wajahku.“Ayah lebih percaya perempuan itu daripada aku!?” balasku tidak percaya. Laki-laki itu memukulku lagi. Rasanya menyakitkan. Bukan, pukulan itu bukanlah bagian paling menyakitkan, tetapi fakta bahwasanya orang tuamu lebih percaya kata orang lain daripada dirimu yang darahnya mengalir di dalam tubuhmu.“Aku gak ajarin kamu jadi anak bangsat!”“Mulai sekarang! Kamu bukan anakku! Keluar! Pergi!” teriakan itu b

  • Bulan di Darah Awan   Bab 26: Jawaban

    Desas-desus beredar di antara teman-temanku. Rasanya tidak enak mendengarnya. Aku berusaha untuk tetap diam. Para asisten terfokus di area depan, seakan ada sekat samar antara asisten dan praktikan.“Jika anda tidak maju, maka kami akan tahan kalian semua sampai maghrib,” komentar Kak Affa lagi. Kenapa kakak membuat aku terjebak dengan pilihan rumit sih!? Apa maksudnya ini!?Bisikan keluar dari berbagai sisi. Tuduhan, hinaan, cacian, makian, semua terucap dengan nada yang samar. Mas Yahya tampak tenang di depan. Dia melukiskan sebuah senyuman.“Sepertinya kalian nikmati sampai maghrib ya,” sindir Kak Affa. Kenapa mereka membuatku mati kutu seperti ini!? Kenapa Mas Yahya juga tenang sekali!?“Mana sih Zihan Azizah ini!?” keluhan beberapa anak yang agak berisik itu menjadi sinyal

  • Bulan di Darah Awan   Bab 25: Titik Mula

    Setelah zuhur, kami telah berkumpul di ruang yang memulai praktikum kami semua. Ruangan yang menandai awal kisahku menuju bertemu Mas Yahya. Tempat pertama yang membuatku benar-benar menyadari kehadiran para asisten praktikum. Sayangnya, aku, Riris, dan Alsya tidak mendapat tempat yang berdekatan.“Sepertinya sudah waktunya. Saya akan mulai. Assalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh.”Kehadiran Mas Yahya yang menjadi pemateri membuatku terkejut. Namun, aku berusaha untuk menyembunyikan kekaguman dan ketakjuban yang ku rasakan. Aku mendengar beberapa perempuan di dekatku berdesas-desus tentang penampilan Mas Yahya yang menurutku jauh lebih keren dari biasanya. Ada sebuah aura wibawa berbeda yang dia bawa, dan itu membuatku takut. Takut jika membuat perempuan yang berada di ruangan ini takjub kepadanya.“Perkenalan akan kita

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status