Share

Bab 5 : Retak

last update Last Updated: 2021-08-09 16:48:43

Jam menunjukkan angka dua siang. Alsya mengajak aku dan Riris untuk makan di salah satu restoran ternama. Oke, aku tau situ kaya tapi kami dua ini uang pas-pasan. Untung ditraktir, kalo gak aku tolak. Aku berangkat dengan motorku dari kos menuju tempat Alsya.

Di sana, Alsya, Kak Daniel dan Riris sudah menunggu kehadiranku. Kami pun langsung berangkat ke tempat makan yang disepakati itu dengan mobil Alsya. Saat kami tiba, meja yang telah direservasi Alsya telah siap. Kami berempat duduk di meja itu. Tempat ini bisa dikatakan prasmanan, dimana kami bisa memilih makanan kami sendiri. Yang memasak makanan itu juga kami sendiri, atau boleh dibantu karyawan.

Karena banyaknya menu yang bisa dipilih, aku tidak tahu harus memulai dari mana. Akhirnya, aku mulai dari mengambil sayur dan daging untuk dimasak dengan sup ayam dari restoran. Saat sedang memilih sayur, aku mendengar dua orang laki-laki sedang bercakap-cakap. Mereka adalah pria di awal 30-an atau akhir 20-an, dari penampilan mereka.

“Kenapa kembali ke kota ini, bukannya ibukota lebih enak, Azhar?” tanya orang pertama.

“Bosan. Tau kan isinya ibukota itu bisnis dan politik pusat, Arrow?” balas orang kedua dengan pertanyaan balik.

“Heh. Bacotan para tikus dasi mah bosenin,” komentar orang pertama.

Aku memutuskan untuk berhenti menguping dan menyelesaikan mengambil makananku dan kembali ke meja. Panggilan yang diberikan kepada orang pertama dalam dialog tadi membekas di ingatanku. Azhar. Azhar. Masa sih CEO perusahaan terkenal itu? Ah lupakan saja.

Aku kembali duduk dengan tenang, menikmati momen makan bersama kami. Jujur, aku dan Riris sepakat kalau kami seperti nyamuk kala Alsya bersama kekasihnya. Sebagai teman, kami mendukung relasi mereka, namun aku jujur terganggu karena aku jomblo.

“Jadi, kapan wawancaranya?” tanyaku kepada Alsya.

“Hari selasa katanya, di kantor cabang kota sini,” jawab Alsya.

“Semangat ya, aku yakin kamu sukses,” balas Riris.

“Makasih ya,” jawab Alsya dengan senyumannya.

“Aku juga semangatin kamu kok Sya, pasti berhasil,” ucapku memberikan semangat.

“Alsya pasti bisa dong,” ucap Kak Daniel. Alsya terlihat terharu.

“Makasih banget,” ucap Alsya dengan airmata yang berjatuhan.

“Oh ya, aku benci ngerusak suasana, tapi jawaban buat soal pra-praktikum si sialan sudah aku kirim,” ucap Kak Daniel. Aku langsung terkejut mendengarnya dan membuka ponselku cepat. Ada foto yang dikirim oleh Kak Daniel. Sesuatu firasat tak enak masuk ke benakku, namun aku abaikan.

“Dari temanku yang jago program,” komentar Kak Daniel, “tuh si sialan gak tau kalo timnya banyak yang gak jago,” lanjutnya. Kami menganggukkan kepala, setuju. Kami pun mencakapkan beberapa hal kecil disela pesta kecil kami. Setelah selesai, kami pun pulang ke tempat Alsya.

“Terima kasih ya Sya buat traktirannya,” ucapku kala aku menaiki motorku untuk pulang ke kos. Aku dan Riris berpamitan duluan.

Saat tiba, aku melihat Kak Yahya sibuk dengan laptopnya. Namun, saat aku berjalan menuju pintu, sebuah kalimatnya mengejutkanku.

“Katakan, gadis, benarkah dikau yang paduka lihat di kemegahan itu?” tanyanya. Aku menaikkan sebelah alisku, heran.

“Maksud paduka?” tanyaku ragu. Apa yang dimaksud Kak Yahya?

“Ah, mungkin hanya rasaku saja, ‘si sialan yang kirim’,” komentarnya seakan mengutip pembicaraan. Tunggu, jangan bilang kalau-

“Daniel Anton, semester 3 Teknik Komputer FTEI,” komentarnya lagi. Rasanya, detik itu dunia runtuh di hadapanku. Dia telah mengetahui siapa aku. Wajahnya sangat datar, namun keseriusan tersirat dari matanya, tanpa menatapku.

“Dikau, gadis, adalah lengkapnya Zihan Azizah, satu kelompok dengan dia. Apa paduka salah?” tanyanya kepadaku. Aku hanya bisa menelan air ludah. Rasanya berat mengatakan iya.

“Bumi dan langit tak jauh berbeda ya,” jawabnya dengan sebuah senyuman kecil, seakan dia menang. Dia lalu menatap ke arahku, datar.

“Apa yang dikau katakan pada mereka tentangku pasca temu pertama kita?” tanyanya datar. Aku masih terdiam.

“Apakah dikau katakan, bahwasanya paduka adalah sang penulis?” tanyanya lagi. Aku hanya menggelengkan kepala.

“Apakah dikau katakan, bahwasanya paduka adalah sang penghakim?” tanyanya lagi. Aku menggelengkan kepala.

“Kenapa?” tanyanya lagi. Aku terdiam. Kenapa aku tidak mengatakan kepada Riris maupun Alsya? Kenapa aku merahasiakan dia ada di sini? Aku masih tidak tahu.

“A...ku... tidak tahu,” ucapku sedikit terpatah

“Aku masih membenci setiap jejak yang tertinggal dari masa laluku, dan sekarang kamu mau menjadi bagian dari kebencianku?” tanyanya kepadaku. Aku terdiam. Tidak satu patah kata bisa keluar. Atmosfer yang dia ciptakan mencekikku.

“Kala pertemuan pertama kita tempo kemarin, hatiku berkata ada sesuatu yang beda. Kini, bagiku, satu suatu itu seakan porak poranda masa lalu,” ucapnya lemah. Dia menggelengkan kepala.

“Tapi, dikau tak berkata apapun kala itu, hanya anggukan yang memancing murka diri. Namun, dikau telah merahasiakan paduka. Sekali ini, aku perkenan semua kembali dalam bayangan,” komentarnya, “terima kasih.”

“Terima kasih,” balasku pula. Rasanya sesak. Hanya itu yang bisa terucap dari lidahku. Entah kenapa, hubungan kami yang baru dimulai, perkenalan singkat yang berbeda ini, sudah diambang kehancuran. Sekarang aku ingat, firasat buruk itu. Itu saat keluar firasat yang aneh, tetapi, apakah ini yang dimaksud?

“Selamat berjuang merebut tempat kalian kembali dari kematian,” komentarnya lagi. Dia lalu menunjukkan sebuah lembar penilaian kepadaku, yang telah dinolkan di seluruh kolom nama dalam kelompokku.

“Paduka rasa janggal kala temu perdana kita. Namun, paduka abaikan. Kala sekilas mendengar kalian di tempat itu, paduka sadar siapa dikau sesungguhnya. Seharusnya, nilai ini akhir,” ucapnya. Dia lalu menghapus nilai nol di kelompokku.

“Untuk kala pertama, aku merasakan percakapan menyenangkan dari dikau, maka perkenan ini sebagai kesempatan kalian. Silahkan katakan pada mereka, peringatan ini,” ucapnya lagi dengan tatapan serius.

“Tidak perlu dikau simpan. Katakan saja pada mereka siapa aku. Lagipula, aku tidak akan lama mengembara. Sampai nanti,” ucapnya mengakhir sepihak dialog itu dan menyimpan lembar nilai itu lagi. Dia lalu kembali menulis, namun wajah seriusnya menandakan dia ingin tidak diganggu.

Dengan perasaan bersalah, aku berjalan ke kamarku di lantai dua. Aku tutup pintu itu dengan sedikit kencang, membuang potongan emosi yang berkecamuk dalam dadaku. Dengan berat aku membuka ponselku, memulai percakapan di grup Trio Bebek.

Zihan: Ada yang ingin ku sampaikan.

Alsya: Ada apa Zih?

Riris: Ada apa?

Zihan: Aku tahu siapa Shadox penulis dan Shadox asisten kita.

Alsya: Apa!? SERIUS. SHADOX PENULIS!?

Zihan: Mereka orang yang sama.

Riris: HEH. SERIUS!?

Alsya: APA!? GAK CANDA KAN!?

Zihan: Dan dia ada saat kita makan tadi.

Riris: YANG BENER.

Alsya: TRUS!?

Zihan: Kita dinolkan. Dia mendengar percakapan kita.

Riris: HEH HEH.

Alsya: APA!? APA!?

Zihan: Dia beri kita kesempatan, dihapusnya nol itu.

Alsya: KOK KAMU BISA TAU SEMUA INI!?

Zihan: Dia satu-satunya penghuni selain aku di kos ku yang lumayan jauh dari kampus-kampus.

Alsya: HEH, YANG BENER.

Zihan: Apa perlu aku foto orangnya?

Alsya: SERIUSAN

Riris: BUKTIIN

Alsya: KALO NGEBUAL KAMI BULLY SEBULAN

Riris: IYA. GAK LUCU CANDAAN LU SOALNYA ZIH.

Aku menghela nafas berat. Keluar dari kamar menuju teras untuk bertemu dengannya yang sedang sibuk. Pakaian laboratorium dia kenakan, yang akan meyakinkan mereka.

“Kak Yahya,” ucapku pelan. Dia melihat ke arahku.

“Ada apa?” tanyanya datar.

“Izin memoto, sebagai bukti percakapan kita,” jawabku pelan. Dia menghela nafas.

“Apa susah manusia percaya ke sesamanya?” tanyanya, tidak ditujukan kepada siapapun.

“Silahkan,” izinnya kepadaku. Aku memotonya.

“Terima kasih, Kak Yahya,” ucapku. Dia menghela nafas.

“Tempatkan sesuai tempatnya. Aku hanya orang lain dalam keramaian di sini. Yahya saja,” tegurnya. Aku menganggukkan kepalaku.

“Terima kasih… Yahya,” ucapku kaku. Dia menganggukkan kepalanya. Aku pun permisi dan meninggalkannya ke pekerjaannya. Foto itu aku kirim ke grup.

[Zihan mengirim foto]

Alsya: HEH. BENERAN ITU DIA NJIR. TULISAN SHADOX DI PAKAIANNYA ITU LHO.

Riris: IYA. GA PERCAYA AKU.

Zihan: Gak jadi di bully kan?

Riris: Kok dia tau itu kita?

Zihan: Dia kenal sama Kak Daniel.

Alsya: Bener sih... Kak Daniel dulu dapat dia sebelumnya.

Zihan: Kita teledor.

Aku melihat Riris mengirim pesan ke grup kelompok praktikum. Dia menjelaskan dengan dua bahasa karena ada Kak Chen dan Kak Anastasia.

Chen: STUPID DANIEL. LOOK WHAT YOU ALMOST GOT US INTO.

Karim: AKU KOK KESERET JUGA. AKU MAU LULUS IH

Anastasia: PLEASE. PLEASE. I DO NOT WANT THIS NIGHTMARE TO GET WORSE. I JUST WANT TO FINISH THIS PRACTICE AND CONTINUE TO THE RESEARCH BRANCH STUDY IN CALM.

Haris: Alhamdulillah masih diperkenan. Makasih infonya, Rahma. Makasih usaha negosiasinya, Zihan.

Alif: Iya. Setidaknya masih bisa berjalan lancar untuk kita.

Daniel: I DON’T EXPECT HIM TO BE THERE IN THE FIRST PLACE!

Aku melihat mereka lanjut ribut dalam diskusi mereka. Namun, aku memutuskan untuk menutup ponselku. Rasa bersalah masih menghinggapi benakku. Aku memutuskan untuk salat ashar, waktunya nyaris habis. Biarlah rasa bersalah ini sebagai teguran bagiku. Setelah maghrib dan isya, aku memutuskan untuk istirahat dari drama hari itu.

Pada hari minggu pagi, aku melihat sesuatu tertempel di depan kamarku. Sebuah kertas dengan coretan. Aku mengambil kertas itu.

“Maafkan paduka jikalau dikau terluka. Paduka hanya kecewa. Jangan dikau cari paduka. Sekat akan membatasimu.”

Aku hanya menghela nafas berat. Kenapa sekarang dia yang minta maaf?

“Kamu tidak perlu minta maaf kak,” gumamku pelan. Aku ambil kertas itu dan kembali ke kamar. Iseng, aku membalik kertasnya saat akan meletakkannya di meja belajarku, yang mengejutkanku. Di sana, ada sebuah pranala.

Aku segera mengetikkan pranala itu di ponselku. Begitu laman itu terbuka penuh, aku melihat banyak teks, yang merupakan semua jawaban pertanyaan yang dia berikan kepadaku. Aku menutup mulutku yang ingin teriak tidak percaya.

“Kenapa dia memberi ini?” gumamku pelan. Aku hanya bisa terdiam dan ragu, apakah bisa aku membagikan ini? Apa yang sebenarnya ada di benakmu, Kak Yahya?

Related chapters

  • Bulan di Darah Awan   Bab 6: Kebermanfaatan

    Ruangan ini tampak berantakan, namun tidak seberapa berantakannya kala beradu dengan benakku kini.Peristiwa kemarin masih membekas dengan jernih.“Aku masih membenci setiap jejak yang tertinggal dari masa laluku, dan sekarang kamu mau menjadi bagian dari kebencianku?” tanyaku kepada gadis itu. Dia hanya diam dibawah tekanan suasana yang ku berikan. Tekanan kekecewaan.“Kala pertemuan pertama kita tempo kemarin, hatiku berkata ada sesuatu yang beda. Kini, bagiku, satu suatu itu seakan porak poranda masa lalu,” ucapku lemah.“Apakah aku melakukan hal yang benar?” gumamku.Aku letakkan kertas itu di depan pintunya. Tidak apa jikalau asisten lainnya memarahi kala berita ini masuk ke pendengar mereka. Faktanya, mereka tidak lebih peduli.

    Last Updated : 2021-09-01
  • Bulan di Darah Awan   Bab 7: Rapuh

    Bab 7: RapuhAkhirnya, aku selesai dengan semua pertanyaan yang diberikan oleh Shadox. Sekarang, tinggal merapikan berkas praktikum ini. Aku juga perlu menyelesaikan praktikum fisika.“Zihan harus rajin,” ucapku menyemangati diriku sendiri.Jam menunjukkan jam 1, sehingga aku memutuskan untuk zuhur dulu sebelum melanjutkan.Sebuah hentakan keras saat aku selesai salam mengejutkanku. Aku segera keluar kamar dan mendengar langkah kaki menaiki lantai dua. Apakah Kak Yahya kembali?Tubuh laki-laki yang terlihat beberapa saat kemudian menunjukkan itu Kak Yahya. Namun, dia tampak sedih dan tidak fokus. Dia berlalu melewatiku tanpa menyapa, dan saat di depan pintu dia malah terduduk.“Bodoh,” ucapnya lemah.

    Last Updated : 2021-09-02
  • Bulan di Darah Awan   Bab 8: Mie Instan

    “Lapar,” keluhku setelah selesai ashar. Aku belum makan besar hari ini, jadi tidak mengejutkan jika aku lapar. Saat ini, yang ada di kamarku hanyalah camilan dan beberapa bungkus mie instan. Oke, aku awalnya mengira mie instan dan anak kos adalah mitos, tapi ternyata itu benar adanya.Fasilitas yang tidak berada dalam ruangan sendiri adalah dapur, mesin cuci dan tempat pembuangan sampah. Ketiganya terdapat tempat khusus di lantai satu. Satu untuk dapur dan mesin cuci, satu lagi tempat khusus pembuangan sampah yang biasa diambil petugas sampah setiap hari.Rasanya malas ke dapur. Lebih baik aku cari makan di luar. Namun, dompet memutuskan untuk berkata bahwa ‘aku miskin’ dengan isinya yang berisi warna abu-abu dan krim. Menghela nafas berat, aku mengambil satu bungkus mie instan, pakaian panjang, dan jilbabku.“Oke, ber

    Last Updated : 2021-09-03
  • Bulan di Darah Awan   Bab 9: Kuliah

    Laki-laki sepuh itu masuk ke dalam ruangan kelas dan duduk di meja dosen depan kelas, sementara seorang mahasiswa dengan pakaian lab X-206 masuk menyusul dan berdiri di samping beliau. Semua mahasiswa, termasuk aku, yang masih sibuk dengan pekerjaan masing-masing langsung berhenti kala melihat mahasiswa berpakaian lab itu.“Selamat pagi!” teriak dosen sepuh itu. Dalam kebingungan, kami menjawab.“Selamat pagi!” jawab kami serentak. Aku menatap dosen sepuh itu dengan tatapan heran, apakah beliau dosen pemograman kami sebenarnya?“Baiklah. Kita akan mulai pelajaran hari ini. Sebelumnya, saya mohon maaf sebesar-besarnya telah absen selama tiga minggu karena pelatihan dari kampus. Saya telah secara pribadi menunjuk Mas Fauzan untuk mengajar di kelas ini selama saya absen. Saya harap kalian sudah paham semua yang dia sampai

    Last Updated : 2021-09-04
  • Bulan di Darah Awan   Bab 10: Aspek

    Aku tiba di kos saat maghrib tiba. Segera aku ke kamar dan mandi, lalu melaksanakan salat maghrib. Aku memutuskan untuk membaca Al-Qur’an setelahnya, dan melaksanakan salat isya begitu waktunya masuk. Akhirnya, aku memutuskan tidur setelah isya.Pagi hari berikutnya, aku salat subuh di kos. Pakaian kuliah yang ku pilih hari itu adalah pakaian serba hijau toska. Selama perjalananku dari aku keluar dari kamar hingga naik motor, aku tidak melihat kehadiran siapapun di kos.Kelas pertama adalah kelas Agama Islam. Setelahnya, ada kelas Matematika 1, yang dilanjutkan dengan kelas Bahasa Inggris. Terakhir, ada kelas Pengantar Teknologi Komputer. Kelas pagi dan siang dapat kulalui dengan mudah (kecuali Matematika, kenapa harus ada sih?), dan aku mengejar zuhur yang terlalu mepet waktunya antara kelas ketiga dan ke-4.Sore harinya, sebelum ashar, adal

    Last Updated : 2021-09-05
  • Bulan di Darah Awan   Bab 11: Relevansi

    “Menurutmu, masnya bakal ngajar lagi gak minggu depan?” tanya Riris saat kami tiba di parkiran motor. Aku menggelengkan kepala.“Kenapa?” tanya Riris lagi. Aku berhenti, menghadap temanku itu.“Aku tidak tahu apakah dia akan mengajar lagi, tetapi aku tidak ingin dia mengajar lagi di kelas itu,” jawabku tajam. Riris menatapku tidak percaya dan menghentikan langkahnya.“Apa!? Tapi dia lebih jelas daripada dosennya sendiri,” bantah Riris tidak percaya. Bukan itu masalahnya. Dalam patahan katanya, dia seakan menyamarkan luka.“… nama lengkap saya tidak relevan.”Entah kenapa, aku merasa ada alasan lain kenapa dia mengambil arah riset itu. Kenapa dia memilih untuk teknologi realitas campuran.

    Last Updated : 2021-09-06
  • Bulan di Darah Awan   Bab 12: Membangun Negeri

    “Selamat datang, Pak Shad,” sapa petugas kantor itu kala aku memasuki gedung.“Selamat pagi pak. Terima kasih banyak sapaannya pak,” ucapku seramah mungkin. Petugas itu tersenyum dan aku berjalan ke resepsionis.“Selamat pagi. Ada yang bisa saya bantu pak?” tanya resepsionis perempuan tersebut.“Saya Shadox, ada perjanjian untuk bertemu dengan ibu CEO Kaynara Hasna,” jawabku. Resepsionis itu sedikit terkejut dan segera berdiri.“Kami sudah menunggu kehadiran bapak Shad. Saya antarkan menuju ruangan CEO,” ucap resepsionis tersebut seraya menunjukkan jalan menuju ruangan CEO. Aku mengikuti resepsionis tersebut.Kami melewati lift menuju lantai tertinggi di gedung tersebut. Saat lift itu tiba, tampak lantai tersebut terli

    Last Updated : 2021-09-07
  • Bulan di Darah Awan   Bab 13: Tanpa Emosi

    “Hari ini kami mengabarkan sebuah pertunjukkan publik dari gedung utama perusahaan Hasna Augmented Technologies. Di hadapan kami saat ini terlihat teknologi terbaru yang akan dirilis dalam waktu dekat untuk penggunaan publik,” ucap sang wartawan dari televisi. Aku mencoba memperhatikan televisi dengan teliti, mencari keberadaan Kak Yahya. Laki-laki itu tampak di sisi kiri dari alat yang mereka presentasikan. “Apakah ini ada hubungannya dengan kejadian waktu itu?” gumamku mengingat insiden itu. Jujur, itu membuatku sedikit bersemu, namun aku menggelengkan kepalanya. Kak Yahya menjelaskan dengan telaten, namun nama publik setiap anggota tim yang ditampilkan tidak menampilkan nama Yahya. Hanya Shad sebagai nama dia. “Shad,” ucapku menyebut nama yang tertulis di layar. Demonstrasi alat itu adalah alat yang videonya dua hari lalu ditunjukkan kepada kelasku waktu beliau menggantikan Prof

    Last Updated : 2021-09-08

Latest chapter

  • Bulan di Darah Awan   Pena Penghujung

    Bismillah. Alhamdulillah Allah SWT berkenan menjaga niat saya untuk menyelesaikan cerita ini.Terima kasih kepada:@Love_yourself7 – telah memberikan semangat dengan opini tentang karya Soul: The Assistant dan terus membuat saya bersemangat lewat dialog-dialog sederhana yang kita lakukan. Ini juga bocah yang bikin rilis bab 14 tiba-tiba tengah malam pas lagi nyenyak-nyenyaknya bobo cantik para pembaca 😊@nezbie – makasih sudah memberi challenge di wall untuk cerita baru yang bersifat roman. Kalimat itu cikal bakal tema roman yang mungkin bikin halu sebagian pembaca di cerita ini. Jujur saja, jadi belajar cara bikin baper gara2 ini.@wattpadesurd – terima kasih atas izinnya untuk menjadi anggota semenjak awal-awal. Saya banyak bel

  • Bulan di Darah Awan   Epilog

    “Saya terima nikahnya Zihan binti Khairul Fahmi dengan mas kawin seratus delapan puluh ribu rupiah dibayar tunai!”“Sah?”“Sah!”“Seriusan ini resepsinya Mas Shad? Gak percaya oi.”“Jaringannya gak main-main kali.”“Hush, gak boleh ngomong gak baik. Kedengeren dia bisa mampus kita.”“Mereka tidak berubah ya, Nurul,” komentar Mutia kepada teman akrabnya, Nurul, melihat kelakuan teman-teman satu kelompok lainnya yang berpikiran jelek. Nurul menganggukkan kepalanya, sependapat.“Entahlah. Aku rasa sulit untuk mengubah pandangan setiap orang, Mutia. Mas Shad sendiri

  • Bulan di Darah Awan   Bab 31: Terima Kasih

    “Tidak perlu kamu berterima kasih, Shadox,” komentar Pak Azhar.“Tetap saja, Pak Azhar, Pak Arrow, terima kasih,” ucapku lagi. Pak Azhar menggelengkan kepala.“Aku tahu sikap nekatmu. Rahima memberitahu,” komentar Pak Arrow. Zihan menatapku tajam dan langsung memeluk lenganku.“Sepertinya ada yang cemburu,” komentar Pak Azhar, yang membuat Zihan malu.“Sederhananya seperti itu. Kalau mau penjelasannya, bisa nanti di perusahaan,” komentar Pak Arrow.“Tidak perlu pak. Ada baiknya Zihan tahu semuanya,” komentarku, “apalagi dia bersedia pergi sejauh ini dan berhadapan dengan masalah ini,” lanjutku. Zihan menampilkan muka terharunya.“Ah, baiklah. Sebelumnya,

  • Bulan di Darah Awan   Bab 30: Kebenaran

    “Pak Azhar!?” Reaksi terkejut keluar dari mulut warga-warga desa.“Jadi, selama ini…” ucapan tertahan dari pak kepala desa dijawab langsung oleh Pak Azhar.“Ya, nama alias yang saya pakai selama ini di desa, nama yang saya sebut tidak boleh dikatakan siapapun kepada di luar desa, itu adalah nama palsu,” komentar Pak Azhar dengan santainya.“Lagipula, jika Soul bisa melakukannya, kenapa saya tidak?” lanjut beliau santai. Soul? Siapa Soul?“Jangan bapak bicara rendah terhadap laki-laki yang banyak berjasa terhadap desa kami!” balas salah satu warga desa.“Maaf jika terkesan demikian,” komentar Pak Azhar santai, “tapi kalian juga sepertinya dengan mudah menghina orang kebanggaan saya di sini,&rdqu

  • Bulan di Darah Awan   Bab 29: Dosa Desa

    “Terima kasih pak,” ucap Mas Yahya seraya menyerahkan bayaran kepada Pak Lukman. Laki-laki tua itu menghaturkan badannya.“Justru saya yang berterima kasih, Mas Yahya. Semoga lancar segala urusannya,” ucap Pak Lukman. Beliau pun lalu izin pamit meninggalkan kami untuk kembali ke tempat taksi terdekat. Seluruh warga di daerah itu menatap kami seperti melihat sepasang iblis.“Iblis pulang,” komentar salah satu warga.“Ngapain balik! Woi!” bentak warga lain. Aku melihat Mas Yahya hanya tersenyum.“Tidak ada yang berubah,” komentarnya pelan. Apakah Mas Yahya merujuk ke rumah keluarganya, atau ke sikap para warga yang sangat tidak santun, aku tidak yakin yang mana.“Pergi! Ngapain kamu ke sini! Anak laknat!” ter

  • Bulan di Darah Awan   Bab 28: Kembali

    Ahad pagi itu cerah, namun suasana yang tampak di wajah Mas Yahya tidak menunjukkan demikian. Aku tahu, karena inilah hari yang kami takutkan itu. Mas Yahya memesan kereta api kelas eksekutif ke sana. Jujur saja, aku tidak mengerti alasan dia membuang uang sebanyak itu untuk kunjungan yang dia tidak inginkan.“Assalamu’alaikum Pak Lukman. Saya Yahya Hakim,” ucap Mas Yahya menelpon seseorang. Aku tidak mendengar persis apa balasan dari seberang.“Seharusnya jelas ya pak kenapa saya menghubungi bapak,” ucap Mas Yahya dengan nada tertawa, “saya mau bapak menjemput saya di stasiun.”“Saya mau berangkat ini pak. Kira-kira empat jam lagi lah di sana. Bapak bisa sambil narik orang kok pak. Saya juga masih lama.”“Terima kasih banyak pak, Assalamu’alaikum,

  • Bulan di Darah Awan   Bab 27: Anak Iblis

    “Anak iblis!” teriakan dari laki-laki yang selama ini aku sebut sebagai ayah itu menyakitkan telingaku. Ibuku menangis sesenggukan, sementara adik-adikku menatap tidak percaya.“Ayah ajarin kamu buat jadi anak baik-baik! Kamu malah hamilin anak orang! Yahya!” bentak ayahku keras. Satu pukulan mendarat di wajahku.“Ayah lebih percaya perempuan itu daripada aku!?” balasku tidak percaya. Laki-laki itu memukulku lagi. Rasanya menyakitkan. Bukan, pukulan itu bukanlah bagian paling menyakitkan, tetapi fakta bahwasanya orang tuamu lebih percaya kata orang lain daripada dirimu yang darahnya mengalir di dalam tubuhmu.“Aku gak ajarin kamu jadi anak bangsat!”“Mulai sekarang! Kamu bukan anakku! Keluar! Pergi!” teriakan itu b

  • Bulan di Darah Awan   Bab 26: Jawaban

    Desas-desus beredar di antara teman-temanku. Rasanya tidak enak mendengarnya. Aku berusaha untuk tetap diam. Para asisten terfokus di area depan, seakan ada sekat samar antara asisten dan praktikan.“Jika anda tidak maju, maka kami akan tahan kalian semua sampai maghrib,” komentar Kak Affa lagi. Kenapa kakak membuat aku terjebak dengan pilihan rumit sih!? Apa maksudnya ini!?Bisikan keluar dari berbagai sisi. Tuduhan, hinaan, cacian, makian, semua terucap dengan nada yang samar. Mas Yahya tampak tenang di depan. Dia melukiskan sebuah senyuman.“Sepertinya kalian nikmati sampai maghrib ya,” sindir Kak Affa. Kenapa mereka membuatku mati kutu seperti ini!? Kenapa Mas Yahya juga tenang sekali!?“Mana sih Zihan Azizah ini!?” keluhan beberapa anak yang agak berisik itu menjadi sinyal

  • Bulan di Darah Awan   Bab 25: Titik Mula

    Setelah zuhur, kami telah berkumpul di ruang yang memulai praktikum kami semua. Ruangan yang menandai awal kisahku menuju bertemu Mas Yahya. Tempat pertama yang membuatku benar-benar menyadari kehadiran para asisten praktikum. Sayangnya, aku, Riris, dan Alsya tidak mendapat tempat yang berdekatan.“Sepertinya sudah waktunya. Saya akan mulai. Assalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh.”Kehadiran Mas Yahya yang menjadi pemateri membuatku terkejut. Namun, aku berusaha untuk menyembunyikan kekaguman dan ketakjuban yang ku rasakan. Aku mendengar beberapa perempuan di dekatku berdesas-desus tentang penampilan Mas Yahya yang menurutku jauh lebih keren dari biasanya. Ada sebuah aura wibawa berbeda yang dia bawa, dan itu membuatku takut. Takut jika membuat perempuan yang berada di ruangan ini takjub kepadanya.“Perkenalan akan kita

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status