Share

Bab 4 : Beasiswa

Penulis: Affad DaffaMage
last update Terakhir Diperbarui: 2021-08-09 16:48:25

Terbit matahari menyapaku di sabtu pagi. Tubuhku yang setengah sadar langsung panik menyadari matahari telah sepenggalan naik. Aku bergegas melaksanakan subuh dan dhuha. Selesai itu, aku memutuskan untuk olahraga pagi, mengingat matahari belum terik meski telah naik.

Kala aku berjalan keluar dari kos, aku melihat Kak Yahya duduk menulis di teras depan seperti kemarin. Kali ini dia tampak sangat serius, yang membuatku ragu untuk menyapanya. Aku memutuskan untuk berlalu.

“Apakah paduka tidak marah?” kalimat tanya itu keluar dari mulutnya kala aku menaiki motor. Eh? Ada apa? Apakah aku melakukan kesalahan?

“Apakah paduka tidak marah?” kalimat itu dia ulangi. Apa karena aku tidak menyapanya?

“Pagi… Yahya,” sapaku mencoba menghindari kata ‘Kak’ seperti pintanya. Sebuah senyuman tipis aku lihat terbentuk di wajahnya, yang dia hilangkan secepat dia membentuknya.

“Olahraga pagi?” tanyanya. Aku anggukkan kepalaku. Dia hanya menghela nafas lalu kembali menulis.

“Jagalah dirimu wahai gadis, jangan terjebak dalam kegelapan yang dihempaskan padamu,” pesannya. Apakah itu sebuah pesan kekhawatiran?

“Tenang... Yahya, aku bisa menjaga diriku,” balasku dengan senyuman.

“Aku tidak mengkhawatirkanmu,” belanya datar. Kalimat tadi sepertinya ingin mengatakan sebaliknya, namun aku abaikan. Aku hanya memberikan senyumanku sementara aku mengeluarkan motorku menuju fasilitas olahraga, atau disebut dengan singkatan fasor, kampus.

Saat aku di jalan menuju fasor, sempat terpikir di benakku. Kos itu punya 9 kamar, tetapi hanya Kak Yahya yang aku temukan setelah tiga minggu aku tinggal di sana. Apakah kos itu tidak laku atau bagaimana ya? Apa karena posisinya yang kurang strategis?

Akhirnya, aku tiba di fasor dan mulai mengelilingi lapangan dengan lari kecil. Sekitar empat puluh menit aku lewati di sana, hingga peluh keringat memenuhi tubuhku di balik pakaian olahragaku. Fasor pada hari ini cukup ramai, namun tidak terlalu ramai. Sayangnya, tidak ada satupun wajah yang ku kenal ada di sini.

“Aku masih tidak yakin itu benar Shadox yang aku temui,” gumamku seraya beranjak ke motor setelah olahraga. Rencananya, aku akan mandi di kos setelah keringat ini hilang. Selama di perjalanan, aku memikirkan apakah benar Shadox yang di situs kepenulisan adalah Shadox yang menjadi asisten praktikumku.

Saat aku tiba, aku melihat Shadox masih di depan teras, namun kali ini dengan laptop di pangkuannya. Ketikan beruntun dapat aku dengar. Apakah benar-

“Assalamu’alaikum,” sapanya melihat kedatanganku.

“Wa’alaikumussalam,” jawabku. Dengan rasa penasaran yang membludak dalam benakku, aku mendekatinya.

“Menulis cerita?” tanyaku.

“Hanya menuangkan pena dalam kisah. Caraku berbagi suka dan duka di muka bumi Tuhan,” jawabnya. Kali ini, kalimat itu meyakinkanku bahwa dia adalah Shadox sang penulis itu. Bagaimana tidak, bionya sendiri menulis itu.

Hanya menuangkan pena dalam kisah. Caraku berbagi suka dan duka di muka bumi Tuhan. Tiap lembar yang dihambur melepas dahaga yang memusnahkan.

“Hanya menuangkan pena dalam kisah. Caraku berbagi suka dan duka di muka bumi Tuhan. Tiap lembar yang dihambur melepas dahaga yang memusnahkan,” ucapku di hadapannya, melafalkan tulisan yang ada di akunnya selama ini. Dia tampak sedikit terkejut.

“Shadox, penulis terkenal yang identitas aslinya masih misteri kan?” tanyaku langsung. Dia hanya diam, sebelum terkekeh kecil. Apakah ini lucu baginya?

“Tidak ada tempat fiksi dalam kenyataan,” jawabnya. Dia seperti berkilah, namun tidak membantah bahwasanya dia adalah Shadox. Satu titik airmata jatuh dari sisi kanan matanya.

“Kenapa kamu sangat tersembunyi?” tanyaku tajam. Dia melihat ke sekitar, namun daerah kos ini memang tidak terlalu ramai di pagi hari, mengingat tidak strategisnya tempat ini. Aku melihat Kak Yahya lalu menghela nafas.

“Biarkan jiwa ini bernafas dalam diam,” jawabnya. Jujur saja, kalau bukan karena respon dia yang sepertinya tidak suka karena ketahuan, aku ingin sekali membagikan ini ke story ig ku sekarang. Pasti menyenangkan dong bilang ke dunia ‘aku menemukan Shadox’, yang para penggemar berebut untuk menemukannya.

“Aku berkenan membiarkan, selama paduka berkenan menjawab tanya hamba,” jawabku. Dia tersenyum tipis, seakan berterima kasih.

“Apakah penting hamba tahu luka paduka? Tidak jiwa ini berkenan menyayat rapuhnya hati gadis dikau,” tanyanya. Luka? Aku memutuskan untuk memberikan dia kebebasan memilih.

“Tidak pantas hamba memaksa. Selayak paduka perkenan saja,” jawabku. Dia tersenyum.

“Haturkan pujian kasih kepada gadis,” balasnya. Wajahnya kembali datar sebelum melanjutkan, “perkenan satu tersampaikan, bahwasanya paduka ingin tak terlihat.”

“Terlepas dari segala, membentuk kenyataan sendiri,” jawabku. Dia terkekeh.

“Apakah karya itu sangat menarikmu?” tanyanya.

“Bagaimana aku bisa tak tertarik? Kisah kehidupan yang dibalut sastra yang kental. Paduka alasan hamba melihat teknologi dalam cahaya lain,” jawabku tersenyum. Dia menghembuskan nafas ke atas, seakan sebuah beban lepas dari benaknya.

“Tuan Azhar, cahaya dikau telah saya luaskan dalam badai,” ucapnya dengan santai. Apakah dia merasa senang? Siapa Tuan Azhar yang dia maksud?

“Saya pamit dulu. Rehat menanti,” jawabku. Dia menganggukkan kepalanya.

“Tuan Soul, abdimu kala dulu telah membawa hamba kepada cahaya ini, terima kasih,” ucapnya kepada dirinya sendiri bersamaan dengan aku pergi ke kamarku. Aku mengabaikan kalimat itu dan kembali ke kamarku.

Saat di kamar, aku mandi dan berganti pakaian, lalu membaca pesan di grup angkatan. Ada beberapa hal baru mereka ributkan lagi entah kenapa.

‘Oh ya, aku iseng ketemu nama asisten yang mati itu lho.’

‘Emang penting? Lu bahas itu dihadapan duo asisten auto mampus nilaimu.’

‘Itu juga ga boleh disebut sembarangan di FTEI, yang ada lu diabisin.’

‘Emang sesakral itu nama orangnya?’

‘Cari aja website Jurnal Seorang Teknologik milik pemilik perusahaan Azhar EduTech. Tau lah siapa. Di sana dia nulis nama temannya itu adalah nama penting FTEI. Sembarangan ngomong bisa diamuk sama warga satu FTEI.’

‘Heh, sebegitunya? Kek gelar aja.’

‘Kalau bukan karena aturan akademik, mau dianugerahi sarjana kehormatan tuh orang. Dia aja jadi patokan hima-hima sekampus.’

‘HEEEH.’

‘Eh? Beneran? Ada yang gituan?’

‘Ini masih gak caya sih kalo orang bisa sebanyak ini kontribusi. Ingat gak tuh kahima ngomong pas ospek?’

‘Yang “Jangan kagum kepada saya atau Mas Kabem. Prestasi saya tidak seberapa dibanding pahlawan FTEI.” Itu kan?’

‘Iyo.’

‘Sumpah. Kabem aja lho tracknya udh banyak bener.’

‘Penasaran tuh orang kontribusi apa pada masanya.’

‘Jujur ya, aku rasa ada dramatisir itu.’

‘Aku sih mikir gitu, tapi karena kita gak tau prestasi dia, kita gak bisa simpulin.’

‘Aku iseng tanya sepupuku yang sudah lulus, tau reaksinya?’

‘Apaan? Bagi-bagi dong.’

[Foto]

‘HEH, jangan sembarangan ngomong nama itu.’

‘Nama asli atau alias, gabisa diomongin sembarangan namanya. Angkatanku menghargai kontribusi besar dia.’

‘Maaf Mba Kay

‘Maaf-maaf. Enak amat sih ngomong nama itu kayak gak tau ceritanya. Katanya maba FTEI. Jangan ngomong nama itu sembarangan lagi. Dia angkatanku.’

‘Kalo mau tau dia ngapain aja nanti aku kasih listnya. Cuma mau bilang aja, banyak temanku yang skripsinya dapat judul gara-gara dia. Tuh yang lulus setelahku juga banyak turunan TA kami, jadi ya simpulin aja. Skripsi model pengabdian masyarakat di fakultas kita juga dibuka gara-gara dia.’

‘Bahkan tuh startup edugame yang femes itu juga awalnya dari dia. Jadi tuh bisa dibayangin ukuran keuntungan ekonomi ke negeri kita. Dia gak tau mungkin setelahnya wafat, tapi kami ingin legacy dia kejaga. Jaga hormatmu ya!’

Membaca chat dari sepupu temanku itu membuatku berpikir. Emang ada orang seperti itu? Bagaimana bisa sampai sebegitu dia dihormati sama teman seangkatannya. Bukannya asisten killer? Aku kembali membaca chat.

‘Oke, tapi kan bukan dia yang menemukan tuh startup. Bukannya pendirinya lulusan universitas Belanda?’

‘Katanya dari dia sih. Penasaran tuh orang sebenarnya bagaimana.’

‘Aku lagi baca jurnalnya tuh. Asyik cerita-ceritanya sih. Cuma aku nemu nih satu yang menarik.’

[Foto]

“Kalau kami bekerja sangat keras, mungkin aku bilang dia bekerja terlalu keras. Dia mencoba membuka sebanyak mungkin gerbang baru, untuk dirinya dan orang tersayangnya. Tanpa dia sadari, dia membuka gerbang untuk kami semua yang dulu hanya membicarakan dia dari lini samping. Kami merasa bersalah dan sangat kehilangan, sampai detik ini.”

“Mungkin akan berakhir saat tidak ada lagi sisa dari angkatan kami di kampus, tetapi selama masih belum semua lepas dari FTEI, selama itu kami tidak akan membiarkan satu mulut sembarang menyebut namanya.”

“Kenapa Tuhan selalu merampas jiwa-jiwa baik terlebih dahulu? Istirahatlah dengan tenang, Hamid Karim/Soul_M_Vermillion.”

Sebegitunya angkatannya menghormati dia. Bagaimana dia bisa mendapat sebegitu penghormatan? Tunggu. Soul_M_Vermillion? Nama lab?

“Soul…,” gumamku, “apakah mungkin?” lanjutku pelan. Jika benar, maka Kak Yahya mengenali orang itu. Aku penasaran, apa sebenarnya kontribusi dia?

Aku memutuskan untuk menutup ponselku. Berbaring sejenak seraya mengenang masa ospek, mungkin ada jawaban yang tidak aku ketahui.

FTEI adalah fakultas dengan jaringan kontribusi sosial masyarakat terluas di seluruh Indonesia, dan menjadikan kampus kita sebagai kampus percontohan dalam pengabdian. Maka dari itu, sosial masyarakat adalah departemen kebanggaan FTEI dan dedikasi penuh dituntut dalam departemen ini. Kami adalah pelopor pemotongan birokrasi rumit di tingkat kampus untuk mengabdi pada masyarakat, yang menjadi acuan kampus-kampus lain.”

Kalimat penjelasan saat BEM FTEI memberikan kuliah di ospek terngiang di kepalaku. Jaringan terluas ya… hmm…

Apa yang membuat FTEI kampus ini berbeda dari kampus lain, maupun dengan fakultas lain? Kami adalah fakultas dengan beasiswa terbanyak di seluruh Indonesia. Ada ratusan beasiswa berbeda yang bisa didapatkan oleh semua mahasiswa, baik baru maupun senior. Kami juga menyediakan beasiswa riset dan beasiswa pengabdian. Kami adalah fakultas perdana yang memberlakukan multi-sistem kelulusan kredit semester, yang memberikan beberapa opsi bagi seluruh mahasiswa FTEI dalam melakukan kuliah. Apakah 8 semester di kampus, 5 semester kampus tambah 3 semester pengabdian, atau 5 semester kampus tambah 3 semester riset.”

Oh ya, beasiswa. Aku baru ingat, aku belum mengurus hal itu. Aku sebaiknya memeriksa apakah ada beasiswa yang memenuhi syaratku. Aku perlu untuk mengurangi beban orang tuaku yang kesulitan untuk kuliahku. Segera aku buka sistem terpusat kampus. Dalam daftar beasiswa, setelah memasukkan semua pengaturan, hanya 4 yang bisa ku pilih.

[Beasiswa Eye of the Beholder – Azhar Education Technologies]

[Beasiswa Laskar Mimpi – Persatuan FTEI]

[Beasiswa Noir – Hasna Augmented Technologies]

[Beasiswa Phalanx – Arrow X Solutions]

Berada di UKT tengah sangat menyakitkan. UKT adalah uang kuliah yang harus dibayarkan setiap semester. Kepanjangannya Uang Kuliah Tunggal. Setidaknya, posisiku lebih baik dibanding UKT atas yang kata Alsya hanya ada 2 beasiswa, yaitu yang pertama dan kedua di daftarku. Aku segera melihat data dari setiap beasiswa.

Beasiswa full UKT dengan saku terbesar tanpa pelatihan adalah Phalanx, namun persyaratannya sangat susah. Noir menjamin UKT, tetapi uang sakunya sangat sedikit. Laskar Mimpi tidak memberi uang saku namun dapat ikut acara-acara alumni. Eye of the Beholder memiliki banyak pelatihan dengan uang saku yang lebih besar daripada Phalanx, namun ada kewajiban kerja di perusahaan setelah lulus selama 5 tahun. Uniknya, Eye of the Beholder tidak ada syarat IP.

Aku menimang opsi yang ku miliki. Ponsel milikku segera aku pakai untuk menghubungi orang tuaku di kampung.

“Assalamu’alaikum ayah,” ucapku saat jaringan tersambung ke seberang.

“Wa’alaikumussalam,” jawab ayahku dengan suaranya yang sudah senja. Aku langsung menjelaskan tentang beasiswa yang bisa ku ambil.

“Ada empat pilihan ya… ayah jujur cukup terkejut. Ayah kira akan lebih sulit mencari beasiswa untukmu. Apapun pilihan Zihan, ayah dukung kok,” jawab ayahku yang membuatku tersenyum, namun tidak menutup rasa ragu memilihku.

“Zihan ragu, Ayah. Gak tau mau mengambil yang mana,” balasku jujur. Ayahku tidak menjawab untuk beberapa lama, sepertinya beliau ikut berpikir.

“Kuliah bagaimana? Apakah sibuk?” tanya ayahku.

“Hanya tiga hari saja ayah, tetapi ada praktikum yang cukup menguras waktu,” jawabku. Ayahku tampak berpikir.

“Saran ayah ambil Palangs dulu, kalau gak dapat coba Noir,” saran ayahku. Aku menganggukkan kepalaku.

“Baik ayah, terima kasih sarannya,” jawabku. Aku dan ayah lalu bercakap tentang bagaimana tiga minggu di perkuliahan ini, dan ku ceritakan semua, dari kuliah hingga praktikum dan hidup di kos, kecuali tentang pertemuan dengan Kak Yahya.

“Asistennya susah ya? Zihan, ayah mungkin tidak mengerti teknologi tetapi ayah berharap kamu sukses selalu,” ucap ayahku. Aku mengamini kalimat beliau.

“Makasih ayah. Titip salam buat ibu,” ucapku sebelum memberi salam penutup.

Selanjutnya, aku mengurus berkas untuk pendaftaran beasiswa Phalanx. Nama yang aneh menurutku, tetapi penjelasan beasiswanya membuatku cukup tertarik.

“Terima kasih telah memilih beasiswa Phalanx. Kami akan evaluasi berkas anda dalam waktu lima hari kerja. Silahkan kirim email ke perusahaan jika tidak mendapatkan jawaban sampai waktu tersebut.”

Uang Kuliah Tunggal untuk setiap semesterku adalah 10 juta, golongan V. Golongan tertinggi di kampusku adalah golongan X dengan nilai 20 juta. Khusus FK, Fakultas Kedokteran, punya konfigurasi golongan yang berbeda dengan golongan tertinggi mencapai 60 juta.

Masalahnya, gaji ayahku per bulan adalah 9 juta, sementara ibu penghasilan tidak menentukan dengan kisaran 1 sampai 2 juta per bulan, dan aku masukkan 1 juta per bulan di sistem, tapi tetap golongan V. Itulah mengapa aku sangat perlu beasiswa. Rencananya, aku juga ingin mengajukan banding UKT ke kampus semester depan untuk perpotongan jika tidak dapat beasiswa penuh.

Setidaknya, fasilitas yang diberikan kampus dapat dikatakan sangat bagus di fakultasku. Ada banyak kantin dengan sistem yang sangat terintegrasi. Pengurusan beasiswa yang mudah dan dibantu kampus. Banyak tempat untuk mengakses wifi gratis. Akses ke banyak jurnal penelitian. Belum lagi, setiap mahasiswa mendapat akses premium ke berbagai software perkuliahan, dimana kalau di kampus lain belum tentu kami dapatkan sebaik ini.

Sebuah pesan masuk di grup Trio Bebek.

Alsya: AKU DITERIMA KE TAHAP WAWANCARA GAES!

Riris: Beasiswa?

Alsya: Iya! Alhamdulillah ya Allah! Aku gak tau gimana kalo ga dapat, 20 jt ukt nya gila! Gaes! Makan siang kuy! Aku traktirin!

[Alsya mengirim lokasi]

Zihan: WAH! SELAMAT SYA!

Alsya: MAKASIH ZIZIK!

Zihan: HEH!

Riris: Udah udah, aku masih nunggu dari Noir.

Zihan: Aku nyoba Phalanx.

Riris: Syaratnya gila oi! Masa IP wajib diatas 3.5 buat Phalanx biar bisa lanjut? Semester tua juga wajib jalur riset lagi.

Zihan: Seenggaknya nilai SMA ku bisa bantu satu semester.

Riris: Iya sih, situ yang tiga besar sekolah sekaligus UN Kota mah enak.

Zihan: Heh, aku belajar mati-matian itu!

Alsya: Zihan paling IP 4 terus nanti mah.

Zihan: Aamiin. Moga kalian juga.

Riris: Aamiin.

Alsya: Aamiin.

Aku menutup ponselku, bersamaan dengan zuhur tiba.

Bab terkait

  • Bulan di Darah Awan   Bab 5 : Retak

    Jam menunjukkan angka dua siang. Alsya mengajak aku dan Riris untuk makan di salah satu restoran ternama. Oke, aku tau situ kaya tapi kami dua ini uang pas-pasan. Untung ditraktir, kalo gak aku tolak. Aku berangkat dengan motorku dari kos menuju tempat Alsya.Di sana, Alsya, Kak Daniel dan Riris sudah menunggu kehadiranku. Kami pun langsung berangkat ke tempat makan yang disepakati itu dengan mobil Alsya. Saat kami tiba, meja yang telah direservasi Alsya telah siap. Kami berempat duduk di meja itu. Tempat ini bisa dikatakan prasmanan, dimana kami bisa memilih makanan kami sendiri. Yang memasak makanan itu juga kami sendiri, atau boleh dibantu karyawan.Karena banyaknya menu yang bisa dipilih, aku tidak tahu harus memulai dari mana. Akhirnya, aku mulai dari mengambil sayur dan daging untuk dimasak dengan sup ayam dari restoran. Saat sedang memilih sayur, aku mendengar dua orang laki-l

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-09
  • Bulan di Darah Awan   Bab 6: Kebermanfaatan

    Ruangan ini tampak berantakan, namun tidak seberapa berantakannya kala beradu dengan benakku kini.Peristiwa kemarin masih membekas dengan jernih.“Aku masih membenci setiap jejak yang tertinggal dari masa laluku, dan sekarang kamu mau menjadi bagian dari kebencianku?” tanyaku kepada gadis itu. Dia hanya diam dibawah tekanan suasana yang ku berikan. Tekanan kekecewaan.“Kala pertemuan pertama kita tempo kemarin, hatiku berkata ada sesuatu yang beda. Kini, bagiku, satu suatu itu seakan porak poranda masa lalu,” ucapku lemah.“Apakah aku melakukan hal yang benar?” gumamku.Aku letakkan kertas itu di depan pintunya. Tidak apa jikalau asisten lainnya memarahi kala berita ini masuk ke pendengar mereka. Faktanya, mereka tidak lebih peduli.

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-01
  • Bulan di Darah Awan   Bab 7: Rapuh

    Bab 7: RapuhAkhirnya, aku selesai dengan semua pertanyaan yang diberikan oleh Shadox. Sekarang, tinggal merapikan berkas praktikum ini. Aku juga perlu menyelesaikan praktikum fisika.“Zihan harus rajin,” ucapku menyemangati diriku sendiri.Jam menunjukkan jam 1, sehingga aku memutuskan untuk zuhur dulu sebelum melanjutkan.Sebuah hentakan keras saat aku selesai salam mengejutkanku. Aku segera keluar kamar dan mendengar langkah kaki menaiki lantai dua. Apakah Kak Yahya kembali?Tubuh laki-laki yang terlihat beberapa saat kemudian menunjukkan itu Kak Yahya. Namun, dia tampak sedih dan tidak fokus. Dia berlalu melewatiku tanpa menyapa, dan saat di depan pintu dia malah terduduk.“Bodoh,” ucapnya lemah.

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-02
  • Bulan di Darah Awan   Bab 8: Mie Instan

    “Lapar,” keluhku setelah selesai ashar. Aku belum makan besar hari ini, jadi tidak mengejutkan jika aku lapar. Saat ini, yang ada di kamarku hanyalah camilan dan beberapa bungkus mie instan. Oke, aku awalnya mengira mie instan dan anak kos adalah mitos, tapi ternyata itu benar adanya.Fasilitas yang tidak berada dalam ruangan sendiri adalah dapur, mesin cuci dan tempat pembuangan sampah. Ketiganya terdapat tempat khusus di lantai satu. Satu untuk dapur dan mesin cuci, satu lagi tempat khusus pembuangan sampah yang biasa diambil petugas sampah setiap hari.Rasanya malas ke dapur. Lebih baik aku cari makan di luar. Namun, dompet memutuskan untuk berkata bahwa ‘aku miskin’ dengan isinya yang berisi warna abu-abu dan krim. Menghela nafas berat, aku mengambil satu bungkus mie instan, pakaian panjang, dan jilbabku.“Oke, ber

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-03
  • Bulan di Darah Awan   Bab 9: Kuliah

    Laki-laki sepuh itu masuk ke dalam ruangan kelas dan duduk di meja dosen depan kelas, sementara seorang mahasiswa dengan pakaian lab X-206 masuk menyusul dan berdiri di samping beliau. Semua mahasiswa, termasuk aku, yang masih sibuk dengan pekerjaan masing-masing langsung berhenti kala melihat mahasiswa berpakaian lab itu.“Selamat pagi!” teriak dosen sepuh itu. Dalam kebingungan, kami menjawab.“Selamat pagi!” jawab kami serentak. Aku menatap dosen sepuh itu dengan tatapan heran, apakah beliau dosen pemograman kami sebenarnya?“Baiklah. Kita akan mulai pelajaran hari ini. Sebelumnya, saya mohon maaf sebesar-besarnya telah absen selama tiga minggu karena pelatihan dari kampus. Saya telah secara pribadi menunjuk Mas Fauzan untuk mengajar di kelas ini selama saya absen. Saya harap kalian sudah paham semua yang dia sampai

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-04
  • Bulan di Darah Awan   Bab 10: Aspek

    Aku tiba di kos saat maghrib tiba. Segera aku ke kamar dan mandi, lalu melaksanakan salat maghrib. Aku memutuskan untuk membaca Al-Qur’an setelahnya, dan melaksanakan salat isya begitu waktunya masuk. Akhirnya, aku memutuskan tidur setelah isya.Pagi hari berikutnya, aku salat subuh di kos. Pakaian kuliah yang ku pilih hari itu adalah pakaian serba hijau toska. Selama perjalananku dari aku keluar dari kamar hingga naik motor, aku tidak melihat kehadiran siapapun di kos.Kelas pertama adalah kelas Agama Islam. Setelahnya, ada kelas Matematika 1, yang dilanjutkan dengan kelas Bahasa Inggris. Terakhir, ada kelas Pengantar Teknologi Komputer. Kelas pagi dan siang dapat kulalui dengan mudah (kecuali Matematika, kenapa harus ada sih?), dan aku mengejar zuhur yang terlalu mepet waktunya antara kelas ketiga dan ke-4.Sore harinya, sebelum ashar, adal

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-05
  • Bulan di Darah Awan   Bab 11: Relevansi

    “Menurutmu, masnya bakal ngajar lagi gak minggu depan?” tanya Riris saat kami tiba di parkiran motor. Aku menggelengkan kepala.“Kenapa?” tanya Riris lagi. Aku berhenti, menghadap temanku itu.“Aku tidak tahu apakah dia akan mengajar lagi, tetapi aku tidak ingin dia mengajar lagi di kelas itu,” jawabku tajam. Riris menatapku tidak percaya dan menghentikan langkahnya.“Apa!? Tapi dia lebih jelas daripada dosennya sendiri,” bantah Riris tidak percaya. Bukan itu masalahnya. Dalam patahan katanya, dia seakan menyamarkan luka.“… nama lengkap saya tidak relevan.”Entah kenapa, aku merasa ada alasan lain kenapa dia mengambil arah riset itu. Kenapa dia memilih untuk teknologi realitas campuran.

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-06
  • Bulan di Darah Awan   Bab 12: Membangun Negeri

    “Selamat datang, Pak Shad,” sapa petugas kantor itu kala aku memasuki gedung.“Selamat pagi pak. Terima kasih banyak sapaannya pak,” ucapku seramah mungkin. Petugas itu tersenyum dan aku berjalan ke resepsionis.“Selamat pagi. Ada yang bisa saya bantu pak?” tanya resepsionis perempuan tersebut.“Saya Shadox, ada perjanjian untuk bertemu dengan ibu CEO Kaynara Hasna,” jawabku. Resepsionis itu sedikit terkejut dan segera berdiri.“Kami sudah menunggu kehadiran bapak Shad. Saya antarkan menuju ruangan CEO,” ucap resepsionis tersebut seraya menunjukkan jalan menuju ruangan CEO. Aku mengikuti resepsionis tersebut.Kami melewati lift menuju lantai tertinggi di gedung tersebut. Saat lift itu tiba, tampak lantai tersebut terli

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-07

Bab terbaru

  • Bulan di Darah Awan   Pena Penghujung

    Bismillah. Alhamdulillah Allah SWT berkenan menjaga niat saya untuk menyelesaikan cerita ini.Terima kasih kepada:@Love_yourself7 – telah memberikan semangat dengan opini tentang karya Soul: The Assistant dan terus membuat saya bersemangat lewat dialog-dialog sederhana yang kita lakukan. Ini juga bocah yang bikin rilis bab 14 tiba-tiba tengah malam pas lagi nyenyak-nyenyaknya bobo cantik para pembaca 😊@nezbie – makasih sudah memberi challenge di wall untuk cerita baru yang bersifat roman. Kalimat itu cikal bakal tema roman yang mungkin bikin halu sebagian pembaca di cerita ini. Jujur saja, jadi belajar cara bikin baper gara2 ini.@wattpadesurd – terima kasih atas izinnya untuk menjadi anggota semenjak awal-awal. Saya banyak bel

  • Bulan di Darah Awan   Epilog

    “Saya terima nikahnya Zihan binti Khairul Fahmi dengan mas kawin seratus delapan puluh ribu rupiah dibayar tunai!”“Sah?”“Sah!”“Seriusan ini resepsinya Mas Shad? Gak percaya oi.”“Jaringannya gak main-main kali.”“Hush, gak boleh ngomong gak baik. Kedengeren dia bisa mampus kita.”“Mereka tidak berubah ya, Nurul,” komentar Mutia kepada teman akrabnya, Nurul, melihat kelakuan teman-teman satu kelompok lainnya yang berpikiran jelek. Nurul menganggukkan kepalanya, sependapat.“Entahlah. Aku rasa sulit untuk mengubah pandangan setiap orang, Mutia. Mas Shad sendiri

  • Bulan di Darah Awan   Bab 31: Terima Kasih

    “Tidak perlu kamu berterima kasih, Shadox,” komentar Pak Azhar.“Tetap saja, Pak Azhar, Pak Arrow, terima kasih,” ucapku lagi. Pak Azhar menggelengkan kepala.“Aku tahu sikap nekatmu. Rahima memberitahu,” komentar Pak Arrow. Zihan menatapku tajam dan langsung memeluk lenganku.“Sepertinya ada yang cemburu,” komentar Pak Azhar, yang membuat Zihan malu.“Sederhananya seperti itu. Kalau mau penjelasannya, bisa nanti di perusahaan,” komentar Pak Arrow.“Tidak perlu pak. Ada baiknya Zihan tahu semuanya,” komentarku, “apalagi dia bersedia pergi sejauh ini dan berhadapan dengan masalah ini,” lanjutku. Zihan menampilkan muka terharunya.“Ah, baiklah. Sebelumnya,

  • Bulan di Darah Awan   Bab 30: Kebenaran

    “Pak Azhar!?” Reaksi terkejut keluar dari mulut warga-warga desa.“Jadi, selama ini…” ucapan tertahan dari pak kepala desa dijawab langsung oleh Pak Azhar.“Ya, nama alias yang saya pakai selama ini di desa, nama yang saya sebut tidak boleh dikatakan siapapun kepada di luar desa, itu adalah nama palsu,” komentar Pak Azhar dengan santainya.“Lagipula, jika Soul bisa melakukannya, kenapa saya tidak?” lanjut beliau santai. Soul? Siapa Soul?“Jangan bapak bicara rendah terhadap laki-laki yang banyak berjasa terhadap desa kami!” balas salah satu warga desa.“Maaf jika terkesan demikian,” komentar Pak Azhar santai, “tapi kalian juga sepertinya dengan mudah menghina orang kebanggaan saya di sini,&rdqu

  • Bulan di Darah Awan   Bab 29: Dosa Desa

    “Terima kasih pak,” ucap Mas Yahya seraya menyerahkan bayaran kepada Pak Lukman. Laki-laki tua itu menghaturkan badannya.“Justru saya yang berterima kasih, Mas Yahya. Semoga lancar segala urusannya,” ucap Pak Lukman. Beliau pun lalu izin pamit meninggalkan kami untuk kembali ke tempat taksi terdekat. Seluruh warga di daerah itu menatap kami seperti melihat sepasang iblis.“Iblis pulang,” komentar salah satu warga.“Ngapain balik! Woi!” bentak warga lain. Aku melihat Mas Yahya hanya tersenyum.“Tidak ada yang berubah,” komentarnya pelan. Apakah Mas Yahya merujuk ke rumah keluarganya, atau ke sikap para warga yang sangat tidak santun, aku tidak yakin yang mana.“Pergi! Ngapain kamu ke sini! Anak laknat!” ter

  • Bulan di Darah Awan   Bab 28: Kembali

    Ahad pagi itu cerah, namun suasana yang tampak di wajah Mas Yahya tidak menunjukkan demikian. Aku tahu, karena inilah hari yang kami takutkan itu. Mas Yahya memesan kereta api kelas eksekutif ke sana. Jujur saja, aku tidak mengerti alasan dia membuang uang sebanyak itu untuk kunjungan yang dia tidak inginkan.“Assalamu’alaikum Pak Lukman. Saya Yahya Hakim,” ucap Mas Yahya menelpon seseorang. Aku tidak mendengar persis apa balasan dari seberang.“Seharusnya jelas ya pak kenapa saya menghubungi bapak,” ucap Mas Yahya dengan nada tertawa, “saya mau bapak menjemput saya di stasiun.”“Saya mau berangkat ini pak. Kira-kira empat jam lagi lah di sana. Bapak bisa sambil narik orang kok pak. Saya juga masih lama.”“Terima kasih banyak pak, Assalamu’alaikum,

  • Bulan di Darah Awan   Bab 27: Anak Iblis

    “Anak iblis!” teriakan dari laki-laki yang selama ini aku sebut sebagai ayah itu menyakitkan telingaku. Ibuku menangis sesenggukan, sementara adik-adikku menatap tidak percaya.“Ayah ajarin kamu buat jadi anak baik-baik! Kamu malah hamilin anak orang! Yahya!” bentak ayahku keras. Satu pukulan mendarat di wajahku.“Ayah lebih percaya perempuan itu daripada aku!?” balasku tidak percaya. Laki-laki itu memukulku lagi. Rasanya menyakitkan. Bukan, pukulan itu bukanlah bagian paling menyakitkan, tetapi fakta bahwasanya orang tuamu lebih percaya kata orang lain daripada dirimu yang darahnya mengalir di dalam tubuhmu.“Aku gak ajarin kamu jadi anak bangsat!”“Mulai sekarang! Kamu bukan anakku! Keluar! Pergi!” teriakan itu b

  • Bulan di Darah Awan   Bab 26: Jawaban

    Desas-desus beredar di antara teman-temanku. Rasanya tidak enak mendengarnya. Aku berusaha untuk tetap diam. Para asisten terfokus di area depan, seakan ada sekat samar antara asisten dan praktikan.“Jika anda tidak maju, maka kami akan tahan kalian semua sampai maghrib,” komentar Kak Affa lagi. Kenapa kakak membuat aku terjebak dengan pilihan rumit sih!? Apa maksudnya ini!?Bisikan keluar dari berbagai sisi. Tuduhan, hinaan, cacian, makian, semua terucap dengan nada yang samar. Mas Yahya tampak tenang di depan. Dia melukiskan sebuah senyuman.“Sepertinya kalian nikmati sampai maghrib ya,” sindir Kak Affa. Kenapa mereka membuatku mati kutu seperti ini!? Kenapa Mas Yahya juga tenang sekali!?“Mana sih Zihan Azizah ini!?” keluhan beberapa anak yang agak berisik itu menjadi sinyal

  • Bulan di Darah Awan   Bab 25: Titik Mula

    Setelah zuhur, kami telah berkumpul di ruang yang memulai praktikum kami semua. Ruangan yang menandai awal kisahku menuju bertemu Mas Yahya. Tempat pertama yang membuatku benar-benar menyadari kehadiran para asisten praktikum. Sayangnya, aku, Riris, dan Alsya tidak mendapat tempat yang berdekatan.“Sepertinya sudah waktunya. Saya akan mulai. Assalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh.”Kehadiran Mas Yahya yang menjadi pemateri membuatku terkejut. Namun, aku berusaha untuk menyembunyikan kekaguman dan ketakjuban yang ku rasakan. Aku mendengar beberapa perempuan di dekatku berdesas-desus tentang penampilan Mas Yahya yang menurutku jauh lebih keren dari biasanya. Ada sebuah aura wibawa berbeda yang dia bawa, dan itu membuatku takut. Takut jika membuat perempuan yang berada di ruangan ini takjub kepadanya.“Perkenalan akan kita

DMCA.com Protection Status