“Itu nama aliasku,” komentarnya datar. Aku masih terpaku tidak percaya. Ini asisten killer yang disebut-sebut oleh Kak Daniel dan senior-senior lainnya. Dia gak terlihat killer di sini. Ingin aku katakan dia asistenku, tapi aku tidak ingin terbongkar kalau aku praktikan sekarang. Mungkin aku bisa sedikit kenal lebih dekat dengan orang ini. Aku ingin membuktikan, apa benar dia Shadox yang menulis karya-karya itu? Apa benar Shadox ini orang yang sama?
“Ah, maaf Kak Shadox,” ucapku sedikit tersipu. Sepertinya dia sadar aku bengong.
“Tidak apa. Aku hanya orang lain di dalam keramaian kok,” komentarnya. Aku berpikir sejenak sebelum memberi komentarku. Aku ingat salah satu tokoh di novel karya Shadox ada kalimat itu.
“Kak. Maaf kalau mengganggu, apa benar Kakak adalah Shadox yang terkenal itu?” tanyaku hati-hati. Laki-laki itu tampak diam, tidak memberikan jawaban.
“Aku hanya orang lain di dalam keramaian,” jawabnya. Dia seperti mengelak dari menjawab. Apa dia benar Shadox itu? Aku memutar otak untuk mencari cara supaya dia bicara.
“Cahaya merahnya membentang seluruh penjuru dalam keabadian,” ucapku. Dia tampak sedikit terkejut, namun segera menyembunyikannya. Untung saja aku menangkap reaksi cepat itu. Berterima kasih karena aku fokus memperhatikan responsnya.
“Kalimat yang indah, mungkin bisa aku pertimbangkan untuk tulisanku,” komentarnya tenang. Ya, dia mengelak. Tapi, reaksi kejut itu cukup untuk menyatakan kalau dia tahu kalimat itu.
“Itu dari salah satu novel yang lagi ramai dibaca saat ini,” komentarku. Dia hanya diam untuk beberapa saat. Apakah aku salah bicara?
“Oh,” ucapnya. Hanya dua huruf yang keluar dari mulutnya. Ini orang ngomongnya irit banget ya?
“Dia tak menjamah dunia, membentuk kenyataannya sendiri,” komentarku lagi.
“Apa kamu suka kalimat-kalimat seperti itu?” tanya Shadox lagi. Aku menganggukkan kepala.
“Aku harus akui, seleramu bagus. Perkenalkan, namaku… Yahya... Yahya Hakim,” komentar Shadox, memperkenalkan dirinya. Dia terlihat ragu menyebut namanya, entah mengapa. Aku menawarkan jabatan tangan.
“Tidak perlu. Jangan mencoba menghormatiku, aku hanyalah orang lain di dalam keramaian,” komentarnya menolak jabatan tangan itu. Dia menatap ke arahku, “siapa namamu, wahai gadis muda nan cantik?”
Tidak mungkin bukan! Salah satu karakter favoritku di novelnya mengucapkan itu pada perempuan yang dia sukai! Aku yakin dia Shadox penulis itu! Meski dia tidak menunjukkan ekspresi hipnotik seperti orang di karyanya, kalimatnya sempurna sama.
Tunggu… Gak. Kontrol dirimu Zihan. Kamu lagi kesulitan membedakan kenyataan dan mimpi terbangmu. Aku menatap Kak Yahya dengan tatapan serius.
“Manis sekali pujian Kakak. Namaku Zihan,” ucapku dengan senyumannya. Dia tidak tersenyum.
“Zihan ya… Nama yang bagus,” komentarnya datar. Dia membuka bukunya dan mengalihkan pandangannya ke buku itu. Isinya hanyalah tulisan yang tidak sepenuhnya tersusun. Sesuatu masuk ke ingatanku. Sebuah ingatan di grup daring komunitas pembaca.
‘Aneh kan, Shadox gak pernah kasih kontak dia sama sekali.’
‘Cuma bisa dihubungi lewat wp, tapi gayanya bagus sih responnya. Cepat dan bersahabat.’
‘Aku penasaran lho dia sebenarnya siapa.’
‘Aku yakin banyak juga yang kayak kamu.’
‘Aku nyari IG, LINE, dan apapun yang berhubungan dengan nama itu gak menghubungkan ke Shadox di WP’
‘Aneh kan? Aku gak ngerti kok dia gitu’
‘Kayak dia sembunyiin dirinya’
“Oh ya Kak-” kalimat itu dipotong oleh Kak Yahya.
“Panggil aku Yahya saja. Aku hanyalah orang lain dalam keramaian,” komentar Kak Yahya lagi.
“Boleh minta kontak Ka- Yahya?” tanyaku langsung menyambung dari pertanyaanku yang terpotong sebelumnya. Yahya menggelengkan kepala.
“Aku tidak terlalu suka media sosial. Hanya menggunakannya setiap akhir minggu atau untuk komunikasi labo-,” komentar itu terpotong oleh sebuah dering pesan ponsel Kak Yahya.
“Sebentar,” komentarnya. Dia tampak sibuk mengetikkan sesuatu dengan cepat, lalu kembali mengantongi ponselnya.
“Aku ada keperluan lab, jadi cukup sampai sini dulu ya. Sampai bertemu lagi,” ucap Yahya dengan lembut, meski wajahnya datar. Aku hanya menganggukkan kepala, meskipun berat karena aku belum mendapatkan kontak Kak Yahya. Dia berdiri, namun sebelum berjalan dia mengambil tangan kananku dan meletakkan sesuatu di sana.
Kertas. Sensasi kasar benda itu adalah sensasi kertas.
“Jangan berikan kepada siapapun. Itu kontak telponku. Terima kasih atas percakapan kecilnya, Zihan,” ucapnya dengan sebuah senyuman kecil yang singkat, sebelum kembali mendatar. Satu titik air jatuh di mata kanannya yang dia abaikan. Dia beranjak pergi, sementara aku hanya bisa terdiam, menyaksikan tubuhnya menghilang di balik pintu masuk kos.
Itu Shadox kan? Asisten killer kan? Aku nggak salah lihat kan? Shadox si asisten killer adalah Shadox sang penulis kan? Semua ini benar terjadi kan? Ada yang bisa beri aku cek kenyataan?
Aku melihat ke tanganku. Sebuah kertas yang berisi nomor ponsel. Aku segera menambahkan nomor itu. Segera, aplikasi LINE memberikan informasi bahwasanya kontak ditambahkan.
“Kak Yahya...,” gumamku pelan. Dia seperti menyimpan sesuatu. Orang bisa mengatakan ada luka yang dia sembunyikan.
“Aku melihat di matamu, airmata mulai berjatuhan,” ucapku pelan. Aku pun kembali ke kamar.
Ingin aku katakan kepada teman-temanku apa yang aku temukan, tetapi rasanya, seperti dia entah mengapa percaya kepadaku. Aku ragu untuk memberitahu, dan akhirnya, aku memutuskan untuk menutup rapat pertemuan ini.
“Aku tidak tahu lukamu apa, tetapi aku akan berada di sisimu,” ucapku pelan seraya membuka pintu kamarku. Aku merebahkan diriku pada kasur di kamarku. Ingatanku masih berputar di pertemuan tadi.
Aku menerima sebuah pesan di grup Trio. Sepertinya Alsya atau Riris.
Alsya: Eh eh, Shadox nulis sesuatu yang menarik di berandanya lho.
Riris: Ini Shadox yang mana?
Alsya: WP, masa yang asisten. Tuh orang LINE aja kagak ada status apa-apa. Kayak mati akunnya.
Zihan: Apa isinya Sya?
[Alsya mengirim foto]
Senja sore menyelimuti ruh ini. Hujan yang bercampur dengan duka membilas bersih mimpi. Dalam mimpi ruh kecil ini, pintaku bertemu pada bidadari kecil. Haturan kasih hamba curahkan pada Nan Agung.
Untuk cerita terbaru saya, rilis bagian ke 21 sudah saya laksanakan. Moga kasih pena menghias dalam mimpi indah pembaca semua.
-Shadox
Alsya: Menarik sih pilihan katanya, tapi baru kali ini dia pake kata bidadari kecil buat status dia.
Riris: Biasanya gak gitu. Paling kalimatnya mendayu, tapi bidadari kecil jelas level berbeda.
Apakah karena percakapan kecil tadi? Aku menggelengkan kepala. Tidak. Seharusnya tidak.
Alsya: Menurutmu gimana Zizih?
Zihan: Aku setuju sama Riris. Jujur gak biasa itu.
Aku menutup grup lalu melihat grup-grup kepenulisanku ikut heboh. Aku memutuskan untuk mengabaikan, karena sepertinya ada sesuatu yang tak kalah penting di grup angkatanku.
‘Woi, yang ngontak asisten Shadox, kalian semua dapat balasan penugasan. Aku diinfokan dari senior semester 3’
‘Eh, seriusan?’
‘Katanya suka detik terakhir’
‘Tenan ta?’
‘Iya, serius.’
[mengirim foto]
Shadox: Selamat malam. Berikut penugasan pertama untuk yang asistennya saya. Harap selesai sebelum praktikum [pranala]
‘nih linknya [pranala]’
‘Wadaw, aku cek tuh link soalnya mampus.’
‘Mending sih, daripada Legendaria’
‘Kak Faux dong, enak cuy’
‘Bangke, enak betul situ.’
‘Udah-udah, kerjain sono kalian tuh tugas.’
“Ribut terus,” komentarku kesal. Aku menutup grup itu setelah menyalin pranala itu. Selanjutnya, aku membuka isi soal yang diberikan Kak Yahya. Soal-soal yang sulit segera menampilkan diri ke permukaan.
“Aduh, apa ini!? Baru praktikum pertama lagi,” keluhku kesal. Aku mencoba menulis semua soal itu, namun tidak ku jawab. Masih ada hari sabtu dan minggu sebelum praktikum. Setidaknya dua hari itu cukup. Aku memutuskan untuk salat maghrib. Setelahnya, aku mulai memikirkan jawaban dari pertanyaan Kak Yahya dengan apa yang telah ku pahami. Hanya satu pertanyaan berhasil ku jawab seadanya, sementara lima lainnya masih belum bisa ku jawab.
“Sepertinya cukup dulu,” keluhku pelan. Pertanyaan ini di atas dari kemampuanku. Aku memutuskan untuk menutup kertas-kertas hasil tulis tangan laporanku itu dan merapikannya. Segera ku ambil wudu, melaksanakan isya, lalu rehat untuk hari jum’at yang melelahkan itu.
Terbit matahari menyapaku di sabtu pagi. Tubuhku yang setengah sadar langsung panik menyadari matahari telah sepenggalan naik. Aku bergegas melaksanakan subuh dan dhuha. Selesai itu, aku memutuskan untuk olahraga pagi, mengingat matahari belum terik meski telah naik.Kala aku berjalan keluar dari kos, aku melihat Kak Yahya duduk menulis di teras depan seperti kemarin. Kali ini dia tampak sangat serius, yang membuatku ragu untuk menyapanya. Aku memutuskan untuk berlalu.“Apakah paduka tidak marah?” kalimat tanya itu keluar dari mulutnya kala aku menaiki motor. Eh? Ada apa? Apakah aku melakukan kesalahan?“Apakah paduka tidak marah?” kalimat itu dia ulangi. Apa karena aku tidak menyapanya?“Pagi… Yahya,” sapaku mencoba menghindari kata ‘Kak’ seperti pintanya. S
Jam menunjukkan angka dua siang. Alsya mengajak aku dan Riris untuk makan di salah satu restoran ternama. Oke, aku tau situ kaya tapi kami dua ini uang pas-pasan. Untung ditraktir, kalo gak aku tolak. Aku berangkat dengan motorku dari kos menuju tempat Alsya.Di sana, Alsya, Kak Daniel dan Riris sudah menunggu kehadiranku. Kami pun langsung berangkat ke tempat makan yang disepakati itu dengan mobil Alsya. Saat kami tiba, meja yang telah direservasi Alsya telah siap. Kami berempat duduk di meja itu. Tempat ini bisa dikatakan prasmanan, dimana kami bisa memilih makanan kami sendiri. Yang memasak makanan itu juga kami sendiri, atau boleh dibantu karyawan.Karena banyaknya menu yang bisa dipilih, aku tidak tahu harus memulai dari mana. Akhirnya, aku mulai dari mengambil sayur dan daging untuk dimasak dengan sup ayam dari restoran. Saat sedang memilih sayur, aku mendengar dua orang laki-l
Ruangan ini tampak berantakan, namun tidak seberapa berantakannya kala beradu dengan benakku kini.Peristiwa kemarin masih membekas dengan jernih.“Aku masih membenci setiap jejak yang tertinggal dari masa laluku, dan sekarang kamu mau menjadi bagian dari kebencianku?” tanyaku kepada gadis itu. Dia hanya diam dibawah tekanan suasana yang ku berikan. Tekanan kekecewaan.“Kala pertemuan pertama kita tempo kemarin, hatiku berkata ada sesuatu yang beda. Kini, bagiku, satu suatu itu seakan porak poranda masa lalu,” ucapku lemah.“Apakah aku melakukan hal yang benar?” gumamku.Aku letakkan kertas itu di depan pintunya. Tidak apa jikalau asisten lainnya memarahi kala berita ini masuk ke pendengar mereka. Faktanya, mereka tidak lebih peduli.
Bab 7: RapuhAkhirnya, aku selesai dengan semua pertanyaan yang diberikan oleh Shadox. Sekarang, tinggal merapikan berkas praktikum ini. Aku juga perlu menyelesaikan praktikum fisika.“Zihan harus rajin,” ucapku menyemangati diriku sendiri.Jam menunjukkan jam 1, sehingga aku memutuskan untuk zuhur dulu sebelum melanjutkan.Sebuah hentakan keras saat aku selesai salam mengejutkanku. Aku segera keluar kamar dan mendengar langkah kaki menaiki lantai dua. Apakah Kak Yahya kembali?Tubuh laki-laki yang terlihat beberapa saat kemudian menunjukkan itu Kak Yahya. Namun, dia tampak sedih dan tidak fokus. Dia berlalu melewatiku tanpa menyapa, dan saat di depan pintu dia malah terduduk.“Bodoh,” ucapnya lemah.
“Lapar,” keluhku setelah selesai ashar. Aku belum makan besar hari ini, jadi tidak mengejutkan jika aku lapar. Saat ini, yang ada di kamarku hanyalah camilan dan beberapa bungkus mie instan. Oke, aku awalnya mengira mie instan dan anak kos adalah mitos, tapi ternyata itu benar adanya.Fasilitas yang tidak berada dalam ruangan sendiri adalah dapur, mesin cuci dan tempat pembuangan sampah. Ketiganya terdapat tempat khusus di lantai satu. Satu untuk dapur dan mesin cuci, satu lagi tempat khusus pembuangan sampah yang biasa diambil petugas sampah setiap hari.Rasanya malas ke dapur. Lebih baik aku cari makan di luar. Namun, dompet memutuskan untuk berkata bahwa ‘aku miskin’ dengan isinya yang berisi warna abu-abu dan krim. Menghela nafas berat, aku mengambil satu bungkus mie instan, pakaian panjang, dan jilbabku.“Oke, ber
Laki-laki sepuh itu masuk ke dalam ruangan kelas dan duduk di meja dosen depan kelas, sementara seorang mahasiswa dengan pakaian lab X-206 masuk menyusul dan berdiri di samping beliau. Semua mahasiswa, termasuk aku, yang masih sibuk dengan pekerjaan masing-masing langsung berhenti kala melihat mahasiswa berpakaian lab itu.“Selamat pagi!” teriak dosen sepuh itu. Dalam kebingungan, kami menjawab.“Selamat pagi!” jawab kami serentak. Aku menatap dosen sepuh itu dengan tatapan heran, apakah beliau dosen pemograman kami sebenarnya?“Baiklah. Kita akan mulai pelajaran hari ini. Sebelumnya, saya mohon maaf sebesar-besarnya telah absen selama tiga minggu karena pelatihan dari kampus. Saya telah secara pribadi menunjuk Mas Fauzan untuk mengajar di kelas ini selama saya absen. Saya harap kalian sudah paham semua yang dia sampai
Aku tiba di kos saat maghrib tiba. Segera aku ke kamar dan mandi, lalu melaksanakan salat maghrib. Aku memutuskan untuk membaca Al-Qur’an setelahnya, dan melaksanakan salat isya begitu waktunya masuk. Akhirnya, aku memutuskan tidur setelah isya.Pagi hari berikutnya, aku salat subuh di kos. Pakaian kuliah yang ku pilih hari itu adalah pakaian serba hijau toska. Selama perjalananku dari aku keluar dari kamar hingga naik motor, aku tidak melihat kehadiran siapapun di kos.Kelas pertama adalah kelas Agama Islam. Setelahnya, ada kelas Matematika 1, yang dilanjutkan dengan kelas Bahasa Inggris. Terakhir, ada kelas Pengantar Teknologi Komputer. Kelas pagi dan siang dapat kulalui dengan mudah (kecuali Matematika, kenapa harus ada sih?), dan aku mengejar zuhur yang terlalu mepet waktunya antara kelas ketiga dan ke-4.Sore harinya, sebelum ashar, adal
“Menurutmu, masnya bakal ngajar lagi gak minggu depan?” tanya Riris saat kami tiba di parkiran motor. Aku menggelengkan kepala.“Kenapa?” tanya Riris lagi. Aku berhenti, menghadap temanku itu.“Aku tidak tahu apakah dia akan mengajar lagi, tetapi aku tidak ingin dia mengajar lagi di kelas itu,” jawabku tajam. Riris menatapku tidak percaya dan menghentikan langkahnya.“Apa!? Tapi dia lebih jelas daripada dosennya sendiri,” bantah Riris tidak percaya. Bukan itu masalahnya. Dalam patahan katanya, dia seakan menyamarkan luka.“… nama lengkap saya tidak relevan.”Entah kenapa, aku merasa ada alasan lain kenapa dia mengambil arah riset itu. Kenapa dia memilih untuk teknologi realitas campuran.
Bismillah. Alhamdulillah Allah SWT berkenan menjaga niat saya untuk menyelesaikan cerita ini.Terima kasih kepada:@Love_yourself7 – telah memberikan semangat dengan opini tentang karya Soul: The Assistant dan terus membuat saya bersemangat lewat dialog-dialog sederhana yang kita lakukan. Ini juga bocah yang bikin rilis bab 14 tiba-tiba tengah malam pas lagi nyenyak-nyenyaknya bobo cantik para pembaca 😊@nezbie – makasih sudah memberi challenge di wall untuk cerita baru yang bersifat roman. Kalimat itu cikal bakal tema roman yang mungkin bikin halu sebagian pembaca di cerita ini. Jujur saja, jadi belajar cara bikin baper gara2 ini.@wattpadesurd – terima kasih atas izinnya untuk menjadi anggota semenjak awal-awal. Saya banyak bel
“Saya terima nikahnya Zihan binti Khairul Fahmi dengan mas kawin seratus delapan puluh ribu rupiah dibayar tunai!”“Sah?”“Sah!”“Seriusan ini resepsinya Mas Shad? Gak percaya oi.”“Jaringannya gak main-main kali.”“Hush, gak boleh ngomong gak baik. Kedengeren dia bisa mampus kita.”“Mereka tidak berubah ya, Nurul,” komentar Mutia kepada teman akrabnya, Nurul, melihat kelakuan teman-teman satu kelompok lainnya yang berpikiran jelek. Nurul menganggukkan kepalanya, sependapat.“Entahlah. Aku rasa sulit untuk mengubah pandangan setiap orang, Mutia. Mas Shad sendiri
“Tidak perlu kamu berterima kasih, Shadox,” komentar Pak Azhar.“Tetap saja, Pak Azhar, Pak Arrow, terima kasih,” ucapku lagi. Pak Azhar menggelengkan kepala.“Aku tahu sikap nekatmu. Rahima memberitahu,” komentar Pak Arrow. Zihan menatapku tajam dan langsung memeluk lenganku.“Sepertinya ada yang cemburu,” komentar Pak Azhar, yang membuat Zihan malu.“Sederhananya seperti itu. Kalau mau penjelasannya, bisa nanti di perusahaan,” komentar Pak Arrow.“Tidak perlu pak. Ada baiknya Zihan tahu semuanya,” komentarku, “apalagi dia bersedia pergi sejauh ini dan berhadapan dengan masalah ini,” lanjutku. Zihan menampilkan muka terharunya.“Ah, baiklah. Sebelumnya,
“Pak Azhar!?” Reaksi terkejut keluar dari mulut warga-warga desa.“Jadi, selama ini…” ucapan tertahan dari pak kepala desa dijawab langsung oleh Pak Azhar.“Ya, nama alias yang saya pakai selama ini di desa, nama yang saya sebut tidak boleh dikatakan siapapun kepada di luar desa, itu adalah nama palsu,” komentar Pak Azhar dengan santainya.“Lagipula, jika Soul bisa melakukannya, kenapa saya tidak?” lanjut beliau santai. Soul? Siapa Soul?“Jangan bapak bicara rendah terhadap laki-laki yang banyak berjasa terhadap desa kami!” balas salah satu warga desa.“Maaf jika terkesan demikian,” komentar Pak Azhar santai, “tapi kalian juga sepertinya dengan mudah menghina orang kebanggaan saya di sini,&rdqu
“Terima kasih pak,” ucap Mas Yahya seraya menyerahkan bayaran kepada Pak Lukman. Laki-laki tua itu menghaturkan badannya.“Justru saya yang berterima kasih, Mas Yahya. Semoga lancar segala urusannya,” ucap Pak Lukman. Beliau pun lalu izin pamit meninggalkan kami untuk kembali ke tempat taksi terdekat. Seluruh warga di daerah itu menatap kami seperti melihat sepasang iblis.“Iblis pulang,” komentar salah satu warga.“Ngapain balik! Woi!” bentak warga lain. Aku melihat Mas Yahya hanya tersenyum.“Tidak ada yang berubah,” komentarnya pelan. Apakah Mas Yahya merujuk ke rumah keluarganya, atau ke sikap para warga yang sangat tidak santun, aku tidak yakin yang mana.“Pergi! Ngapain kamu ke sini! Anak laknat!” ter
Ahad pagi itu cerah, namun suasana yang tampak di wajah Mas Yahya tidak menunjukkan demikian. Aku tahu, karena inilah hari yang kami takutkan itu. Mas Yahya memesan kereta api kelas eksekutif ke sana. Jujur saja, aku tidak mengerti alasan dia membuang uang sebanyak itu untuk kunjungan yang dia tidak inginkan.“Assalamu’alaikum Pak Lukman. Saya Yahya Hakim,” ucap Mas Yahya menelpon seseorang. Aku tidak mendengar persis apa balasan dari seberang.“Seharusnya jelas ya pak kenapa saya menghubungi bapak,” ucap Mas Yahya dengan nada tertawa, “saya mau bapak menjemput saya di stasiun.”“Saya mau berangkat ini pak. Kira-kira empat jam lagi lah di sana. Bapak bisa sambil narik orang kok pak. Saya juga masih lama.”“Terima kasih banyak pak, Assalamu’alaikum,
“Anak iblis!” teriakan dari laki-laki yang selama ini aku sebut sebagai ayah itu menyakitkan telingaku. Ibuku menangis sesenggukan, sementara adik-adikku menatap tidak percaya.“Ayah ajarin kamu buat jadi anak baik-baik! Kamu malah hamilin anak orang! Yahya!” bentak ayahku keras. Satu pukulan mendarat di wajahku.“Ayah lebih percaya perempuan itu daripada aku!?” balasku tidak percaya. Laki-laki itu memukulku lagi. Rasanya menyakitkan. Bukan, pukulan itu bukanlah bagian paling menyakitkan, tetapi fakta bahwasanya orang tuamu lebih percaya kata orang lain daripada dirimu yang darahnya mengalir di dalam tubuhmu.“Aku gak ajarin kamu jadi anak bangsat!”“Mulai sekarang! Kamu bukan anakku! Keluar! Pergi!” teriakan itu b
Desas-desus beredar di antara teman-temanku. Rasanya tidak enak mendengarnya. Aku berusaha untuk tetap diam. Para asisten terfokus di area depan, seakan ada sekat samar antara asisten dan praktikan.“Jika anda tidak maju, maka kami akan tahan kalian semua sampai maghrib,” komentar Kak Affa lagi. Kenapa kakak membuat aku terjebak dengan pilihan rumit sih!? Apa maksudnya ini!?Bisikan keluar dari berbagai sisi. Tuduhan, hinaan, cacian, makian, semua terucap dengan nada yang samar. Mas Yahya tampak tenang di depan. Dia melukiskan sebuah senyuman.“Sepertinya kalian nikmati sampai maghrib ya,” sindir Kak Affa. Kenapa mereka membuatku mati kutu seperti ini!? Kenapa Mas Yahya juga tenang sekali!?“Mana sih Zihan Azizah ini!?” keluhan beberapa anak yang agak berisik itu menjadi sinyal
Setelah zuhur, kami telah berkumpul di ruang yang memulai praktikum kami semua. Ruangan yang menandai awal kisahku menuju bertemu Mas Yahya. Tempat pertama yang membuatku benar-benar menyadari kehadiran para asisten praktikum. Sayangnya, aku, Riris, dan Alsya tidak mendapat tempat yang berdekatan.“Sepertinya sudah waktunya. Saya akan mulai. Assalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh.”Kehadiran Mas Yahya yang menjadi pemateri membuatku terkejut. Namun, aku berusaha untuk menyembunyikan kekaguman dan ketakjuban yang ku rasakan. Aku mendengar beberapa perempuan di dekatku berdesas-desus tentang penampilan Mas Yahya yang menurutku jauh lebih keren dari biasanya. Ada sebuah aura wibawa berbeda yang dia bawa, dan itu membuatku takut. Takut jika membuat perempuan yang berada di ruangan ini takjub kepadanya.“Perkenalan akan kita