“Menurutmu, masnya bakal ngajar lagi gak minggu depan?” tanya Riris saat kami tiba di parkiran motor. Aku menggelengkan kepala.
“Kenapa?” tanya Riris lagi. Aku berhenti, menghadap temanku itu.
“Aku tidak tahu apakah dia akan mengajar lagi, tetapi aku tidak ingin dia mengajar lagi di kelas itu,” jawabku tajam. Riris menatapku tidak percaya dan menghentikan langkahnya.
“Apa!? Tapi dia lebih jelas daripada dosennya sendiri,” bantah Riris tidak percaya. Bukan itu masalahnya. Dalam patahan katanya, dia seakan menyamarkan luka.
“… nama lengkap saya tidak relevan.”
Entah kenapa, aku merasa ada alasan lain kenapa dia mengambil arah riset itu. Kenapa dia memilih untuk teknologi realitas campuran.
“Selamat datang, Pak Shad,” sapa petugas kantor itu kala aku memasuki gedung.“Selamat pagi pak. Terima kasih banyak sapaannya pak,” ucapku seramah mungkin. Petugas itu tersenyum dan aku berjalan ke resepsionis.“Selamat pagi. Ada yang bisa saya bantu pak?” tanya resepsionis perempuan tersebut.“Saya Shadox, ada perjanjian untuk bertemu dengan ibu CEO Kaynara Hasna,” jawabku. Resepsionis itu sedikit terkejut dan segera berdiri.“Kami sudah menunggu kehadiran bapak Shad. Saya antarkan menuju ruangan CEO,” ucap resepsionis tersebut seraya menunjukkan jalan menuju ruangan CEO. Aku mengikuti resepsionis tersebut.Kami melewati lift menuju lantai tertinggi di gedung tersebut. Saat lift itu tiba, tampak lantai tersebut terli
“Hari ini kami mengabarkan sebuah pertunjukkan publik dari gedung utama perusahaan Hasna Augmented Technologies. Di hadapan kami saat ini terlihat teknologi terbaru yang akan dirilis dalam waktu dekat untuk penggunaan publik,” ucap sang wartawan dari televisi. Aku mencoba memperhatikan televisi dengan teliti, mencari keberadaan Kak Yahya. Laki-laki itu tampak di sisi kiri dari alat yang mereka presentasikan. “Apakah ini ada hubungannya dengan kejadian waktu itu?” gumamku mengingat insiden itu. Jujur, itu membuatku sedikit bersemu, namun aku menggelengkan kepalanya. Kak Yahya menjelaskan dengan telaten, namun nama publik setiap anggota tim yang ditampilkan tidak menampilkan nama Yahya. Hanya Shad sebagai nama dia. “Shad,” ucapku menyebut nama yang tertulis di layar. Demonstrasi alat itu adalah alat yang videonya dua hari lalu ditunjukkan kepada kelasku waktu beliau menggantikan Prof
“Selamat datang, selamat berbelanja,” sapa petugas di supermarket itu. Aku tersenyum dan mulai mencari barang-barang yang aku perlukan untuk bulan ini. Berbelanja bulanan masih menjadi suatu hal yang belum terlalu lazim untukku. Apalagi, tanpa arahan untuk barang yang dibeli dari ibu, membuat semuanya menjadi jauh lebih kompleks.Aku mengambil beberapa makanan instan, buah, dan juga sayur-mayur. Tidak terlalu banyak menurutku, namun seharusnya cukup untuk sebulan ini. Sebisa mungkin tidak makan diluar untuk mengurangi pengeluaran terbatas yang aku miliki. Aku tidak ingin orang tuaku mengeluarkan uang lebih banyak daripada kos dan saku bulananku.“Sudah semuanya?” tanya petugas itu. Aku menganggukkan kepala. Dia pun mulai menghitung pembelianku. Total akhirnya lumayan, nyaris 400 ribu. Setidaknya, bisa dipakai untuk sebulan ke depan.
Hari itu adalah Sabtu. Jam menunjukkan angka 9 pagi. Aku meluangkan waktuku untuk belajar membuat program yang lebih kompleks, namun otakku kesulitan untuk melakukannya.“Kalau saja ada yang jago…,” gumamku pelan. Aku mulai mencoba sedikit demi sedikit membuat program sederhana. Membuat angka-angka, tulisan-tulisan. Dua jam, namun hasilnya minimal.“Apa aku salah jurusan?” gumamku berpikir. Memang, ini bukan pilihan pertamaku, tapi ini adalah apa yang dipilihkan Allah SWT untukku.“Ayah, kira-kira Zihan pilih kuliah dimana?” tanyaku kepada ayah waktu pendaftaran jalur undangan. Ayah tampak berpikir.“Gimana kalau IT. Kan itu prospek kerjanya cerah. Mungkin jadi seperti Pak Azhar yang terkenal itu lho,” komentar ayah. Aku tampak berpikir. IT ya?
Sepanjang hari sabtu, aku tidak bisa tenang. Besoknya, aku diajak Alsya dan Riris makan siang. Namun, aku tidak menikmati makan siang di restoran mewah itu. Aku melihat dua temanku itu menatapku heran. Aku hanya mengetuk sendok ke piringku, tidak bisa berkonsentrasi. Jujur, suatu keajaiban “Kamu sepertinya banyak pikiran, Zih?” tanya Riris. Aku tidak menjawab dan terus mengetukkan sendok ke piring. “Halo? Bumi untuk Zizih!” komentar Alsya seraya menepuk pundakku beberapa kali. “Kenapa Sya?” tanyaku lemah. Riris menatapku dengan wajah cemberut. “Kamu dari tadi gak makan makananmu lho,” komentar Alsya. “Maaf, moodku lagi jelek,” ucapku. “PMS?” tanya Alsya. Aku menggelengkan kepala. “Lalu, ada apa?” tan
Kelas senin pagi kami ditiadakan secara dadakan. Kami justru diwajibkan untuk datang pelatihan yang diadakan pada kamis siang yang akan menjelaskan tentang “Membuat Permainan Sederhana dengan Bahasa C” yang diadakan oleh laboratorium X-106. Entah siapa pembawa materinya, namun kami tahu kemungkinan besar asisten dari lab itu.Sementara kelas Pancasila ada kuliah tamu tentang “Penerapan Pancasila di Era Modern” pada hari sabtu. Pembawa materinya adalah orang-orang penting terkait kenegaraan.Selain itu, dosen-dosen menyampaikan bahwasanya mahasiswa kelas Pengantar Teknologi Komputer diwajibkan hadir di seminar “Memajukan Peradaban dengan Teknologi Komputer”, yang mereka sendiri menghadirkan dua narasumber yang notabene susah untuk datang secara langsung. Pertama adalah CEO dari perusahaan Azhar Education Technologies, Pak Azhar. Kedua adalah CEO dar
Wawancara itu berakhir dengan impresi yang buruk, menurutku. Aku tidak yakin aku bisa mendapatkan beasiswa itu. Teledornya aku untuk tidak mengingat persis hari untuk wawancara. Aku akan menyesali ini, sangat menyesalinya…Aku tiba di depan laboratorium beberapa menit sebelum jam 8. Namun, tidak ada keanehan yang aku lihat di sana. Meskipun jantungku gugup karena khawatir akan kemungkinan intimidasi saat aku di dalam.“Kenapa mereka memintaku datang?” gumamku heran. Apa maksud para asisten laboratorium ini?“Zihan?” suara itu mengejutkanku. Aku berbalik ke sumber suara.“Kak Yahya?” tanyaku tidak percaya.“Kenapa kamu ke sini malam-malam?” tanya Kak Yahya, wajah menyelidik.“Kakak d
Aku melihat ke arah laki-laki yang berjenggot lebat dengan postur yang sedikit gemuk itu.“Karena Arrow baru masuk, dia harus kenalan dulu,” komentar Pak Azhar.“Setuju,” jawab Bu Kaynara. Laki-laki yang dipanggil Pak Arrow itu tampak sedikit bingung, sebelum tertawa kesal.“Haduh haduh, dasar ya Azhar. Oke deh. Nama panggilan Arrow. Nama asliku gak penting kan? Males banget kenalan nama asli, apalagi perusahaan pake nama panggilan,” balas Pak Arrow. Pak Azhar menyorot tajam.“Heh, yang bener dong kalo kenalan!” tegurnya dengan gaya galak. Sepertinya disengaja.“Iya. Sok sokan nama asli gak penting lagi. Jangan-jangan nih si Shad dapat sifat dia dari elu Row!” tegur Bu Kaynara.&ldqu
Bismillah. Alhamdulillah Allah SWT berkenan menjaga niat saya untuk menyelesaikan cerita ini.Terima kasih kepada:@Love_yourself7 – telah memberikan semangat dengan opini tentang karya Soul: The Assistant dan terus membuat saya bersemangat lewat dialog-dialog sederhana yang kita lakukan. Ini juga bocah yang bikin rilis bab 14 tiba-tiba tengah malam pas lagi nyenyak-nyenyaknya bobo cantik para pembaca 😊@nezbie – makasih sudah memberi challenge di wall untuk cerita baru yang bersifat roman. Kalimat itu cikal bakal tema roman yang mungkin bikin halu sebagian pembaca di cerita ini. Jujur saja, jadi belajar cara bikin baper gara2 ini.@wattpadesurd – terima kasih atas izinnya untuk menjadi anggota semenjak awal-awal. Saya banyak bel
“Saya terima nikahnya Zihan binti Khairul Fahmi dengan mas kawin seratus delapan puluh ribu rupiah dibayar tunai!”“Sah?”“Sah!”“Seriusan ini resepsinya Mas Shad? Gak percaya oi.”“Jaringannya gak main-main kali.”“Hush, gak boleh ngomong gak baik. Kedengeren dia bisa mampus kita.”“Mereka tidak berubah ya, Nurul,” komentar Mutia kepada teman akrabnya, Nurul, melihat kelakuan teman-teman satu kelompok lainnya yang berpikiran jelek. Nurul menganggukkan kepalanya, sependapat.“Entahlah. Aku rasa sulit untuk mengubah pandangan setiap orang, Mutia. Mas Shad sendiri
“Tidak perlu kamu berterima kasih, Shadox,” komentar Pak Azhar.“Tetap saja, Pak Azhar, Pak Arrow, terima kasih,” ucapku lagi. Pak Azhar menggelengkan kepala.“Aku tahu sikap nekatmu. Rahima memberitahu,” komentar Pak Arrow. Zihan menatapku tajam dan langsung memeluk lenganku.“Sepertinya ada yang cemburu,” komentar Pak Azhar, yang membuat Zihan malu.“Sederhananya seperti itu. Kalau mau penjelasannya, bisa nanti di perusahaan,” komentar Pak Arrow.“Tidak perlu pak. Ada baiknya Zihan tahu semuanya,” komentarku, “apalagi dia bersedia pergi sejauh ini dan berhadapan dengan masalah ini,” lanjutku. Zihan menampilkan muka terharunya.“Ah, baiklah. Sebelumnya,
“Pak Azhar!?” Reaksi terkejut keluar dari mulut warga-warga desa.“Jadi, selama ini…” ucapan tertahan dari pak kepala desa dijawab langsung oleh Pak Azhar.“Ya, nama alias yang saya pakai selama ini di desa, nama yang saya sebut tidak boleh dikatakan siapapun kepada di luar desa, itu adalah nama palsu,” komentar Pak Azhar dengan santainya.“Lagipula, jika Soul bisa melakukannya, kenapa saya tidak?” lanjut beliau santai. Soul? Siapa Soul?“Jangan bapak bicara rendah terhadap laki-laki yang banyak berjasa terhadap desa kami!” balas salah satu warga desa.“Maaf jika terkesan demikian,” komentar Pak Azhar santai, “tapi kalian juga sepertinya dengan mudah menghina orang kebanggaan saya di sini,&rdqu
“Terima kasih pak,” ucap Mas Yahya seraya menyerahkan bayaran kepada Pak Lukman. Laki-laki tua itu menghaturkan badannya.“Justru saya yang berterima kasih, Mas Yahya. Semoga lancar segala urusannya,” ucap Pak Lukman. Beliau pun lalu izin pamit meninggalkan kami untuk kembali ke tempat taksi terdekat. Seluruh warga di daerah itu menatap kami seperti melihat sepasang iblis.“Iblis pulang,” komentar salah satu warga.“Ngapain balik! Woi!” bentak warga lain. Aku melihat Mas Yahya hanya tersenyum.“Tidak ada yang berubah,” komentarnya pelan. Apakah Mas Yahya merujuk ke rumah keluarganya, atau ke sikap para warga yang sangat tidak santun, aku tidak yakin yang mana.“Pergi! Ngapain kamu ke sini! Anak laknat!” ter
Ahad pagi itu cerah, namun suasana yang tampak di wajah Mas Yahya tidak menunjukkan demikian. Aku tahu, karena inilah hari yang kami takutkan itu. Mas Yahya memesan kereta api kelas eksekutif ke sana. Jujur saja, aku tidak mengerti alasan dia membuang uang sebanyak itu untuk kunjungan yang dia tidak inginkan.“Assalamu’alaikum Pak Lukman. Saya Yahya Hakim,” ucap Mas Yahya menelpon seseorang. Aku tidak mendengar persis apa balasan dari seberang.“Seharusnya jelas ya pak kenapa saya menghubungi bapak,” ucap Mas Yahya dengan nada tertawa, “saya mau bapak menjemput saya di stasiun.”“Saya mau berangkat ini pak. Kira-kira empat jam lagi lah di sana. Bapak bisa sambil narik orang kok pak. Saya juga masih lama.”“Terima kasih banyak pak, Assalamu’alaikum,
“Anak iblis!” teriakan dari laki-laki yang selama ini aku sebut sebagai ayah itu menyakitkan telingaku. Ibuku menangis sesenggukan, sementara adik-adikku menatap tidak percaya.“Ayah ajarin kamu buat jadi anak baik-baik! Kamu malah hamilin anak orang! Yahya!” bentak ayahku keras. Satu pukulan mendarat di wajahku.“Ayah lebih percaya perempuan itu daripada aku!?” balasku tidak percaya. Laki-laki itu memukulku lagi. Rasanya menyakitkan. Bukan, pukulan itu bukanlah bagian paling menyakitkan, tetapi fakta bahwasanya orang tuamu lebih percaya kata orang lain daripada dirimu yang darahnya mengalir di dalam tubuhmu.“Aku gak ajarin kamu jadi anak bangsat!”“Mulai sekarang! Kamu bukan anakku! Keluar! Pergi!” teriakan itu b
Desas-desus beredar di antara teman-temanku. Rasanya tidak enak mendengarnya. Aku berusaha untuk tetap diam. Para asisten terfokus di area depan, seakan ada sekat samar antara asisten dan praktikan.“Jika anda tidak maju, maka kami akan tahan kalian semua sampai maghrib,” komentar Kak Affa lagi. Kenapa kakak membuat aku terjebak dengan pilihan rumit sih!? Apa maksudnya ini!?Bisikan keluar dari berbagai sisi. Tuduhan, hinaan, cacian, makian, semua terucap dengan nada yang samar. Mas Yahya tampak tenang di depan. Dia melukiskan sebuah senyuman.“Sepertinya kalian nikmati sampai maghrib ya,” sindir Kak Affa. Kenapa mereka membuatku mati kutu seperti ini!? Kenapa Mas Yahya juga tenang sekali!?“Mana sih Zihan Azizah ini!?” keluhan beberapa anak yang agak berisik itu menjadi sinyal
Setelah zuhur, kami telah berkumpul di ruang yang memulai praktikum kami semua. Ruangan yang menandai awal kisahku menuju bertemu Mas Yahya. Tempat pertama yang membuatku benar-benar menyadari kehadiran para asisten praktikum. Sayangnya, aku, Riris, dan Alsya tidak mendapat tempat yang berdekatan.“Sepertinya sudah waktunya. Saya akan mulai. Assalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh.”Kehadiran Mas Yahya yang menjadi pemateri membuatku terkejut. Namun, aku berusaha untuk menyembunyikan kekaguman dan ketakjuban yang ku rasakan. Aku mendengar beberapa perempuan di dekatku berdesas-desus tentang penampilan Mas Yahya yang menurutku jauh lebih keren dari biasanya. Ada sebuah aura wibawa berbeda yang dia bawa, dan itu membuatku takut. Takut jika membuat perempuan yang berada di ruangan ini takjub kepadanya.“Perkenalan akan kita