Home / Romansa / Bulan di Darah Awan / Bab 29: Dosa Desa

Share

Bab 29: Dosa Desa

last update Huling Na-update: 2021-09-23 17:01:34

“Terima kasih pak,” ucap Mas Yahya seraya menyerahkan bayaran kepada Pak Lukman. Laki-laki tua itu menghaturkan badannya.

“Justru saya yang berterima kasih, Mas Yahya. Semoga lancar segala urusannya,” ucap Pak Lukman. Beliau pun lalu izin pamit meninggalkan kami untuk kembali ke tempat taksi terdekat. Seluruh warga di daerah itu menatap kami seperti melihat sepasang iblis.

“Iblis pulang,” komentar salah satu warga.

“Ngapain balik! Woi!” bentak warga lain. Aku melihat Mas Yahya hanya tersenyum.

“Tidak ada yang berubah,” komentarnya pelan. Apakah Mas Yahya merujuk ke rumah keluarganya, atau ke sikap para warga yang sangat tidak santun, aku tidak yakin yang mana.

“Pergi! Ngapain kamu ke sini! Anak laknat!” ter

Locked Chapter
Ituloy basahin ang aklat na ito sa APP

Kaugnay na kabanata

  • Bulan di Darah Awan   Bab 30: Kebenaran

    “Pak Azhar!?” Reaksi terkejut keluar dari mulut warga-warga desa.“Jadi, selama ini…” ucapan tertahan dari pak kepala desa dijawab langsung oleh Pak Azhar.“Ya, nama alias yang saya pakai selama ini di desa, nama yang saya sebut tidak boleh dikatakan siapapun kepada di luar desa, itu adalah nama palsu,” komentar Pak Azhar dengan santainya.“Lagipula, jika Soul bisa melakukannya, kenapa saya tidak?” lanjut beliau santai. Soul? Siapa Soul?“Jangan bapak bicara rendah terhadap laki-laki yang banyak berjasa terhadap desa kami!” balas salah satu warga desa.“Maaf jika terkesan demikian,” komentar Pak Azhar santai, “tapi kalian juga sepertinya dengan mudah menghina orang kebanggaan saya di sini,&rdqu

    Huling Na-update : 2021-09-24
  • Bulan di Darah Awan   Bab 31: Terima Kasih

    “Tidak perlu kamu berterima kasih, Shadox,” komentar Pak Azhar.“Tetap saja, Pak Azhar, Pak Arrow, terima kasih,” ucapku lagi. Pak Azhar menggelengkan kepala.“Aku tahu sikap nekatmu. Rahima memberitahu,” komentar Pak Arrow. Zihan menatapku tajam dan langsung memeluk lenganku.“Sepertinya ada yang cemburu,” komentar Pak Azhar, yang membuat Zihan malu.“Sederhananya seperti itu. Kalau mau penjelasannya, bisa nanti di perusahaan,” komentar Pak Arrow.“Tidak perlu pak. Ada baiknya Zihan tahu semuanya,” komentarku, “apalagi dia bersedia pergi sejauh ini dan berhadapan dengan masalah ini,” lanjutku. Zihan menampilkan muka terharunya.“Ah, baiklah. Sebelumnya,

    Huling Na-update : 2021-09-25
  • Bulan di Darah Awan   Epilog

    “Saya terima nikahnya Zihan binti Khairul Fahmi dengan mas kawin seratus delapan puluh ribu rupiah dibayar tunai!”“Sah?”“Sah!”“Seriusan ini resepsinya Mas Shad? Gak percaya oi.”“Jaringannya gak main-main kali.”“Hush, gak boleh ngomong gak baik. Kedengeren dia bisa mampus kita.”“Mereka tidak berubah ya, Nurul,” komentar Mutia kepada teman akrabnya, Nurul, melihat kelakuan teman-teman satu kelompok lainnya yang berpikiran jelek. Nurul menganggukkan kepalanya, sependapat.“Entahlah. Aku rasa sulit untuk mengubah pandangan setiap orang, Mutia. Mas Shad sendiri

    Huling Na-update : 2021-09-25
  • Bulan di Darah Awan   Pena Penghujung

    Bismillah. Alhamdulillah Allah SWT berkenan menjaga niat saya untuk menyelesaikan cerita ini.Terima kasih kepada:@Love_yourself7 – telah memberikan semangat dengan opini tentang karya Soul: The Assistant dan terus membuat saya bersemangat lewat dialog-dialog sederhana yang kita lakukan. Ini juga bocah yang bikin rilis bab 14 tiba-tiba tengah malam pas lagi nyenyak-nyenyaknya bobo cantik para pembaca 😊@nezbie – makasih sudah memberi challenge di wall untuk cerita baru yang bersifat roman. Kalimat itu cikal bakal tema roman yang mungkin bikin halu sebagian pembaca di cerita ini. Jujur saja, jadi belajar cara bikin baper gara2 ini.@wattpadesurd – terima kasih atas izinnya untuk menjadi anggota semenjak awal-awal. Saya banyak bel

    Huling Na-update : 2021-09-25
  • Bulan di Darah Awan   Bab 1: Tim

    “Fokus!”Sebuah hentakan keras dari laki-laki yang berusia senja itu mengejutkan ratusan mahasiswa baru dan mahasiswa lama yang berada di ruangan itu. Perhatian mereka yang sebelumnya terpencar ke berbagai penjuru, beralih ke sumber hentakan.“Saya tidak suka kalau kalian main-main! Fokus atau keluar dari ruangan ini!” teriakan bernada tinggi itu keluar dari mulut laki-laki berusia senja itu. Seorang perempuan di antara ratusan mahasiswa baru itu berzikir pelan, menenangkan diri dari efek kejut itu.“Saya di sini hanya mengingatkan seperti tahun-tahun sebelumnya. Jika kalian meremehkan praktikum pemograman ini, kalian akan menyesal! Kami punya mahasiswa yang gagal lulus karena praktikum ini, jadi jangan diremehkan!” teguran lantang beliau itu di dengarkan dengan seksama oleh ratusan mahasiswa yang akan menjadi pe

    Huling Na-update : 2021-08-09
  • Bulan di Darah Awan   Bab 2 : Mematikan

    Setelah tiba di tempat kos, aku segera mengganti pakaianku dengan pakaian santai lalu membuka ponsel. Di sana, aku mulai berselancar di dunia maya. Aku membaca beberapa pesan di grup angkatan.‘Eh, kalian tau gak kalo kepala asisten praktikumnya killer?’‘Seriusan njing. Aku dapat dia coba.’‘Yang cewek di depan tadi pelit nilai, Cuma enak ngajarnya.’‘Oh ya. Aku browsing di internet ketemu cerita ini (link)’‘Yang bener. Asisten mati? Dafuq.’‘Itu beneran sih katanya. Yang cewek ama ketua labnya itu adik dia katanya.’‘Asisten killer katanya.’‘Turunan njir. Gak kakak gak adik sama-

    Huling Na-update : 2021-08-09
  • Bulan di Darah Awan   Bab 3 : Perkenalan

    “Itu nama aliasku,” komentarnya datar. Aku masih terpaku tidak percaya. Ini asisten killer yang disebut-sebut oleh Kak Daniel dan senior-senior lainnya. Dia gak terlihat killer di sini. Ingin aku katakan dia asistenku, tapi aku tidak ingin terbongkar kalau aku praktikan sekarang. Mungkin aku bisa sedikit kenal lebih dekat dengan orang ini. Aku ingin membuktikan, apa benar dia Shadox yang menulis karya-karya itu? Apa benar Shadox ini orang yang sama?“Ah, maaf Kak Shadox,” ucapku sedikit tersipu. Sepertinya dia sadar aku bengong.“Tidak apa. Aku hanya orang lain di dalam keramaian kok,” komentarnya. Aku berpikir sejenak sebelum memberi komentarku. Aku ingat salah satu tokoh di novel karya Shadox ada kalimat itu.“Kak. Maaf kalau mengganggu, apa benar Kakak adalah Shadox yang terkenal itu?” tanyaku hati

    Huling Na-update : 2021-08-09
  • Bulan di Darah Awan   Bab 4 : Beasiswa

    Terbit matahari menyapaku di sabtu pagi. Tubuhku yang setengah sadar langsung panik menyadari matahari telah sepenggalan naik. Aku bergegas melaksanakan subuh dan dhuha. Selesai itu, aku memutuskan untuk olahraga pagi, mengingat matahari belum terik meski telah naik.Kala aku berjalan keluar dari kos, aku melihat Kak Yahya duduk menulis di teras depan seperti kemarin. Kali ini dia tampak sangat serius, yang membuatku ragu untuk menyapanya. Aku memutuskan untuk berlalu.“Apakah paduka tidak marah?” kalimat tanya itu keluar dari mulutnya kala aku menaiki motor. Eh? Ada apa? Apakah aku melakukan kesalahan?“Apakah paduka tidak marah?” kalimat itu dia ulangi. Apa karena aku tidak menyapanya?“Pagi… Yahya,” sapaku mencoba menghindari kata ‘Kak’ seperti pintanya. S

    Huling Na-update : 2021-08-09

Pinakabagong kabanata

  • Bulan di Darah Awan   Pena Penghujung

    Bismillah. Alhamdulillah Allah SWT berkenan menjaga niat saya untuk menyelesaikan cerita ini.Terima kasih kepada:@Love_yourself7 – telah memberikan semangat dengan opini tentang karya Soul: The Assistant dan terus membuat saya bersemangat lewat dialog-dialog sederhana yang kita lakukan. Ini juga bocah yang bikin rilis bab 14 tiba-tiba tengah malam pas lagi nyenyak-nyenyaknya bobo cantik para pembaca 😊@nezbie – makasih sudah memberi challenge di wall untuk cerita baru yang bersifat roman. Kalimat itu cikal bakal tema roman yang mungkin bikin halu sebagian pembaca di cerita ini. Jujur saja, jadi belajar cara bikin baper gara2 ini.@wattpadesurd – terima kasih atas izinnya untuk menjadi anggota semenjak awal-awal. Saya banyak bel

  • Bulan di Darah Awan   Epilog

    “Saya terima nikahnya Zihan binti Khairul Fahmi dengan mas kawin seratus delapan puluh ribu rupiah dibayar tunai!”“Sah?”“Sah!”“Seriusan ini resepsinya Mas Shad? Gak percaya oi.”“Jaringannya gak main-main kali.”“Hush, gak boleh ngomong gak baik. Kedengeren dia bisa mampus kita.”“Mereka tidak berubah ya, Nurul,” komentar Mutia kepada teman akrabnya, Nurul, melihat kelakuan teman-teman satu kelompok lainnya yang berpikiran jelek. Nurul menganggukkan kepalanya, sependapat.“Entahlah. Aku rasa sulit untuk mengubah pandangan setiap orang, Mutia. Mas Shad sendiri

  • Bulan di Darah Awan   Bab 31: Terima Kasih

    “Tidak perlu kamu berterima kasih, Shadox,” komentar Pak Azhar.“Tetap saja, Pak Azhar, Pak Arrow, terima kasih,” ucapku lagi. Pak Azhar menggelengkan kepala.“Aku tahu sikap nekatmu. Rahima memberitahu,” komentar Pak Arrow. Zihan menatapku tajam dan langsung memeluk lenganku.“Sepertinya ada yang cemburu,” komentar Pak Azhar, yang membuat Zihan malu.“Sederhananya seperti itu. Kalau mau penjelasannya, bisa nanti di perusahaan,” komentar Pak Arrow.“Tidak perlu pak. Ada baiknya Zihan tahu semuanya,” komentarku, “apalagi dia bersedia pergi sejauh ini dan berhadapan dengan masalah ini,” lanjutku. Zihan menampilkan muka terharunya.“Ah, baiklah. Sebelumnya,

  • Bulan di Darah Awan   Bab 30: Kebenaran

    “Pak Azhar!?” Reaksi terkejut keluar dari mulut warga-warga desa.“Jadi, selama ini…” ucapan tertahan dari pak kepala desa dijawab langsung oleh Pak Azhar.“Ya, nama alias yang saya pakai selama ini di desa, nama yang saya sebut tidak boleh dikatakan siapapun kepada di luar desa, itu adalah nama palsu,” komentar Pak Azhar dengan santainya.“Lagipula, jika Soul bisa melakukannya, kenapa saya tidak?” lanjut beliau santai. Soul? Siapa Soul?“Jangan bapak bicara rendah terhadap laki-laki yang banyak berjasa terhadap desa kami!” balas salah satu warga desa.“Maaf jika terkesan demikian,” komentar Pak Azhar santai, “tapi kalian juga sepertinya dengan mudah menghina orang kebanggaan saya di sini,&rdqu

  • Bulan di Darah Awan   Bab 29: Dosa Desa

    “Terima kasih pak,” ucap Mas Yahya seraya menyerahkan bayaran kepada Pak Lukman. Laki-laki tua itu menghaturkan badannya.“Justru saya yang berterima kasih, Mas Yahya. Semoga lancar segala urusannya,” ucap Pak Lukman. Beliau pun lalu izin pamit meninggalkan kami untuk kembali ke tempat taksi terdekat. Seluruh warga di daerah itu menatap kami seperti melihat sepasang iblis.“Iblis pulang,” komentar salah satu warga.“Ngapain balik! Woi!” bentak warga lain. Aku melihat Mas Yahya hanya tersenyum.“Tidak ada yang berubah,” komentarnya pelan. Apakah Mas Yahya merujuk ke rumah keluarganya, atau ke sikap para warga yang sangat tidak santun, aku tidak yakin yang mana.“Pergi! Ngapain kamu ke sini! Anak laknat!” ter

  • Bulan di Darah Awan   Bab 28: Kembali

    Ahad pagi itu cerah, namun suasana yang tampak di wajah Mas Yahya tidak menunjukkan demikian. Aku tahu, karena inilah hari yang kami takutkan itu. Mas Yahya memesan kereta api kelas eksekutif ke sana. Jujur saja, aku tidak mengerti alasan dia membuang uang sebanyak itu untuk kunjungan yang dia tidak inginkan.“Assalamu’alaikum Pak Lukman. Saya Yahya Hakim,” ucap Mas Yahya menelpon seseorang. Aku tidak mendengar persis apa balasan dari seberang.“Seharusnya jelas ya pak kenapa saya menghubungi bapak,” ucap Mas Yahya dengan nada tertawa, “saya mau bapak menjemput saya di stasiun.”“Saya mau berangkat ini pak. Kira-kira empat jam lagi lah di sana. Bapak bisa sambil narik orang kok pak. Saya juga masih lama.”“Terima kasih banyak pak, Assalamu’alaikum,

  • Bulan di Darah Awan   Bab 27: Anak Iblis

    “Anak iblis!” teriakan dari laki-laki yang selama ini aku sebut sebagai ayah itu menyakitkan telingaku. Ibuku menangis sesenggukan, sementara adik-adikku menatap tidak percaya.“Ayah ajarin kamu buat jadi anak baik-baik! Kamu malah hamilin anak orang! Yahya!” bentak ayahku keras. Satu pukulan mendarat di wajahku.“Ayah lebih percaya perempuan itu daripada aku!?” balasku tidak percaya. Laki-laki itu memukulku lagi. Rasanya menyakitkan. Bukan, pukulan itu bukanlah bagian paling menyakitkan, tetapi fakta bahwasanya orang tuamu lebih percaya kata orang lain daripada dirimu yang darahnya mengalir di dalam tubuhmu.“Aku gak ajarin kamu jadi anak bangsat!”“Mulai sekarang! Kamu bukan anakku! Keluar! Pergi!” teriakan itu b

  • Bulan di Darah Awan   Bab 26: Jawaban

    Desas-desus beredar di antara teman-temanku. Rasanya tidak enak mendengarnya. Aku berusaha untuk tetap diam. Para asisten terfokus di area depan, seakan ada sekat samar antara asisten dan praktikan.“Jika anda tidak maju, maka kami akan tahan kalian semua sampai maghrib,” komentar Kak Affa lagi. Kenapa kakak membuat aku terjebak dengan pilihan rumit sih!? Apa maksudnya ini!?Bisikan keluar dari berbagai sisi. Tuduhan, hinaan, cacian, makian, semua terucap dengan nada yang samar. Mas Yahya tampak tenang di depan. Dia melukiskan sebuah senyuman.“Sepertinya kalian nikmati sampai maghrib ya,” sindir Kak Affa. Kenapa mereka membuatku mati kutu seperti ini!? Kenapa Mas Yahya juga tenang sekali!?“Mana sih Zihan Azizah ini!?” keluhan beberapa anak yang agak berisik itu menjadi sinyal

  • Bulan di Darah Awan   Bab 25: Titik Mula

    Setelah zuhur, kami telah berkumpul di ruang yang memulai praktikum kami semua. Ruangan yang menandai awal kisahku menuju bertemu Mas Yahya. Tempat pertama yang membuatku benar-benar menyadari kehadiran para asisten praktikum. Sayangnya, aku, Riris, dan Alsya tidak mendapat tempat yang berdekatan.“Sepertinya sudah waktunya. Saya akan mulai. Assalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh.”Kehadiran Mas Yahya yang menjadi pemateri membuatku terkejut. Namun, aku berusaha untuk menyembunyikan kekaguman dan ketakjuban yang ku rasakan. Aku mendengar beberapa perempuan di dekatku berdesas-desus tentang penampilan Mas Yahya yang menurutku jauh lebih keren dari biasanya. Ada sebuah aura wibawa berbeda yang dia bawa, dan itu membuatku takut. Takut jika membuat perempuan yang berada di ruangan ini takjub kepadanya.“Perkenalan akan kita

DMCA.com Protection Status