Beranda / Romansa / Bulan di Darah Awan / Bab 2 : Mematikan

Share

Bab 2 : Mematikan

Penulis: Affad DaffaMage
last update Terakhir Diperbarui: 2021-08-09 16:47:42

Setelah tiba di tempat kos, aku segera mengganti pakaianku dengan pakaian santai lalu membuka ponsel. Di sana, aku mulai berselancar di dunia maya. Aku membaca beberapa pesan di grup angkatan.

‘Eh, kalian tau gak kalo kepala asisten praktikumnya killer?’

‘Seriusan njing. Aku dapat dia coba.’

‘Yang cewek di depan tadi pelit nilai, Cuma enak ngajarnya.’

‘Oh ya. Aku browsing di internet ketemu cerita ini (link)’

‘Yang bener. Asisten mati? Dafuq.’

‘Itu beneran sih katanya. Yang cewek ama ketua labnya itu adik dia katanya.’

‘Asisten killer katanya.’

‘Turunan njir. Gak kakak gak adik sama-sama bangke.’

‘Sumpah? Yang bener tot.’

‘Sumpah.’

‘Bluk gubluk, ribut trus.’

‘Eh, yang cewek cantik sih cuy.’

‘Ribut kalian.’

‘Padahal asisten dicerita itu tampan ih, apalagi kalo dari dekat’

[mengirim foto]

Eh, cakep nih cowok. Kok bisa sih cakep banget? Masa kayak oppa-oppa Korea sih?

‘Eh, makasih banget lho fotonya. Idola banget uy. Kayak oppa.’

‘Eh, minta oi.’

‘Save aja langsung pintar.’

‘Sudah-sudah. Kok ribut amat. Ini lagi bikin laporan.’

‘Jangan lupa dikontak seniornya.’

‘Oh ya, ini aku kasih kontak senior-senior yang udah tanya lewat aku buat kontak kalian. Masukin grup kalian ya.’

[berbagi kontak]

‘Oke.’

Entahlah. Waktu aku membaca nama-nama di sana, ada nama yang asing. Apakah mahasiswa internasional? Sebuah undangan masuk.

[Alsya membuat grup]

[Alsya mengundang Zihan, Riris, Haris, Alif, Daniel, Chen, Anastasia, Karim]

Alsya: Selamat malam kakak-kakak semua.

Chen: Umm… what is this group for?

Karim: programming, programming lab.

Chen: Ah. I see. So, this is the team.

Karim: Yes. We are one team.

Anastasia: With new students?

Daniel: Yeah. X-106 always mix the students. Eh, sayang, siapa asistennya?

Alsya: Kak Shadox, say.

Riris: Belum apa-apa sudah mulai. Hadeeh.

Alsya: Iri ya say?

Riris: Iya say 😊

Daniel: Shadox? Sumpah dia?

Alsya: Eh? Kenapa Kak Shadox?

Daniel: Waduh. Mampus deh.

Zihan: Kenapa Kak?

Daniel: Itu pelit nilai, killer lagi.

Zihan: Katanya ketuanya killer, cewe tadi pelit, sekarang asisten ini killer. Kok isinya jahat semua itu lab?

Daniel: Ku kira dapat Faux_Wave

Chen: We are doing this the usual, right?

Daniel: Yeah. Though don’t hope much. The assistant is shitty.

Chen: Seriously? Who is it this time?

Daniel: Shadox.

Chen: Ah, I remember that name mentioned quite often. They say that he’s annoying. I find him have a pretty cool appearance. I envied his appearance personally.

Anastasia: Shadox? I think I’ve heard the name somewhere.

Chen: That guy who gives 0 to one of the groups I recall. You know, the time we see a big fat zero on one of the teams last year?

Anastasia: Him!? The hell! I don’t wanna be under his tutelage. Mom! Save me!

Chen: Might be a time to know him a bit better from different sight.

Daniel: Fuck it!

Karim: Calm

Daniel: I cannot be calm!

Aku menghela nafas berat. Sepertinya ini tidak akan berjalan baik bagiku. Oh ya, lebih baik dihubungi dulu.

Zihan: Siapa yang sudah menghubungi Kak Shadox?

Alsya: Sudah ku hubungi Zih, tapi gak dibales

Alsya: Di read doang ama doi

Daniel: Emang kampret orangnya. Nanti tiba-tiba balas. Liatin aja.

Riris: Tapi bukannya kita perlu Kak Shadox buat kasih pra-praktikumnya?

Daniel: Paling dikasih tiga jam sebelum mulai, liatin aja. Tuh orang hafal banget ama jadwal, trus kasih soal dadakan. Bangsat emang.

Karim: Setauku Kak Shadox itu emang rada susah dicari di kampus. Sibuk banget orangnya.

Daniel: Nah itu masalahnya Kak Karim. Kak Shadox ini gak tau diri banget. Sok banget.

Anastasia: I WANNA A CHANGE!

Daniel: Nope. You’re stuck.

Anastasia: DAMN!

Anastasia: Fine. I’ll do it as usual. Hope he’ll be kind enough to us to at least spare us with a PASS button.

Daniel: Hope so.

“Susah dicari, berbahaya, gak ada kasihan, dadakan… ini makhluk sepertinya pengen disumpah,” gumamku kesal. Aku melihat ke arah jendela kos. Satu hela nafas berat aku hembuskan.

“Kenapa harus seperti ini? Ya Allah, salah Zizih apa?” gumamku lemah. Sebuah pesan masuk dari Alsya ke grup aku, Alsya, dan Riris. Grup bernama Trio Bebek.

Alsya: Eh, aku iseng buka wp. Tebak apa yang aku temukan?

Zihan: Fanfic baru?

Alsya: Kalian gak bakal percaya deh.

[Alsya mengirim foto]

Riris: SERIUSAN!?

Zihan: Masa!? Masa!? Itu aku gak salah baca kan?

Alsya: Aku juga gak percaya masih loh gaes! Ini gila!

Zihan: Pantesan aku ngerasa aneh pas liat nama aslab kita!

Riris: Gila! Gila! Aku gak percaya kalo dia sampe orang yang sama lho. Aku yakin beda! Gak! Gak mungkin sama!

Zihan: Gak mungkin! Kebetulan aja itu!

Alsya: Aku suka cerita-cerita dia, tapi gak sadar pas tadi di papan entah kenapa. Shadox.

Riris: GAK MUNGKIN DIA SAHDOX ASISTEN KITA.

Alsya: Shadox Ris.

Riris: Iya, Shadox. Maaf typo. TAPI TETAP GA MUNGKIN.

Alsya: Udah, kita bahas lagi nanti. Ini dari yayang Daniel.

[Alsya mengirim foto]

Aku mulai mengerjakan laporan wajib yang perlu ditulis. Hanya tugas pra-praktikum asisten aku kosongkan. Sisanya aku kerjakan semampuku, tentunya dengan bantuan Alsya, yang dibantu sama pacarnya, Kak Daniel.

Saat pekerjaan itu selesai, jam menunjukkan 4 sore. Aku memutuskan untuk salat Ashar. Setelahnya, aku mengambil perlengkapan mandi dan pergi ke kamar mandi. Air sejuk yang dibarengi dengan suasana hujan di sore hari membuat tubuhku lebih rileks setelah semua pekerjaan menyiksa tadi.

Setelah selesai, aku memutuskan untuk keluar dari kamar kos ku. Kos ini adalah kos campuran, yang notabene jarang di Indonesia karena masalah norma. Tapi, karena harganya lebih murah dengan fasilitas yang sangat bagus. Ortuku dengan berat hati mengizinkanku di sini demi fasilitas supaya belajarku nyaman, meski posisi sangat jauh dengan jurusan. Aku dapat ceramah karena ini kos campuran. Alhasil, sekarang aku keluar dengan jilbab meski di daerah kos. Jika tidak di kamar, wajib berjilbab.

Saat aku keluar, aku melihat seorang laki-laki dengan pakaian asisten X-106 yang berwarna biru dongker mencolok melewati kamarku. Dia tampak mengabaikan keberadaanku dan terus berjalan ke kamarnya yang berada di ujung lorong panjang di lantai dua tempat kos ini.

“Asisten,” gumamku pelan. Aku akhirnya mengabaikan dan berjalan ke teras kos. Sayangnya aku tidak bisa olahraga karena hujan. Aku tidak suka olahraga dalam ruangan. Aku memutuskan untuk duduk di satu dari dua kursi di teras. Sambil duduk, aku membuka ponselku, dengan irama hujan menemani.

Asyik melakukan browsing membuatku tidak sadar kalau seseorang duduk di kursi lainnya. Namun, aku menyadari saat laki-laki berbicara yang mengejutkanku.

“Melelahkan.”

“Eh?”

“Oh. Aku mengejutkanmu?” tanyanya datar. Bagaimana tidak, kamu seperti-

“Asisten praktikum?” ucapan itu keluar tanpa sensor dari otakku. Laki-laki itu menaikkan sebelah alisnya. Dia sepertinya tidak bergeming dengan kalimat itu.

“Lebih tepatnya laboratorium,” jawaban itu keluar tanpa emosi. Di tangan kirinya ada sebuah buku, sementara tangan kanannya ada sebuah bolpoin.

“Menulis apa kak?” tanyaku mencoba mengalihkan topik. Aku tidak ingin ketahuan sebagai maba di jurusan yang sama dengan dia.

“Cerita,” jawabnya datar. Cerita? Aku melihat sekilas ke pakaiannya lebih teliti, dan hanya bisa terdiam tidak percaya.

“Shadox?”

Bab terkait

  • Bulan di Darah Awan   Bab 3 : Perkenalan

    “Itu nama aliasku,” komentarnya datar. Aku masih terpaku tidak percaya. Ini asisten killer yang disebut-sebut oleh Kak Daniel dan senior-senior lainnya. Dia gak terlihat killer di sini. Ingin aku katakan dia asistenku, tapi aku tidak ingin terbongkar kalau aku praktikan sekarang. Mungkin aku bisa sedikit kenal lebih dekat dengan orang ini. Aku ingin membuktikan, apa benar dia Shadox yang menulis karya-karya itu? Apa benar Shadox ini orang yang sama?“Ah, maaf Kak Shadox,” ucapku sedikit tersipu. Sepertinya dia sadar aku bengong.“Tidak apa. Aku hanya orang lain di dalam keramaian kok,” komentarnya. Aku berpikir sejenak sebelum memberi komentarku. Aku ingat salah satu tokoh di novel karya Shadox ada kalimat itu.“Kak. Maaf kalau mengganggu, apa benar Kakak adalah Shadox yang terkenal itu?” tanyaku hati

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-09
  • Bulan di Darah Awan   Bab 4 : Beasiswa

    Terbit matahari menyapaku di sabtu pagi. Tubuhku yang setengah sadar langsung panik menyadari matahari telah sepenggalan naik. Aku bergegas melaksanakan subuh dan dhuha. Selesai itu, aku memutuskan untuk olahraga pagi, mengingat matahari belum terik meski telah naik.Kala aku berjalan keluar dari kos, aku melihat Kak Yahya duduk menulis di teras depan seperti kemarin. Kali ini dia tampak sangat serius, yang membuatku ragu untuk menyapanya. Aku memutuskan untuk berlalu.“Apakah paduka tidak marah?” kalimat tanya itu keluar dari mulutnya kala aku menaiki motor. Eh? Ada apa? Apakah aku melakukan kesalahan?“Apakah paduka tidak marah?” kalimat itu dia ulangi. Apa karena aku tidak menyapanya?“Pagi… Yahya,” sapaku mencoba menghindari kata ‘Kak’ seperti pintanya. S

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-09
  • Bulan di Darah Awan   Bab 5 : Retak

    Jam menunjukkan angka dua siang. Alsya mengajak aku dan Riris untuk makan di salah satu restoran ternama. Oke, aku tau situ kaya tapi kami dua ini uang pas-pasan. Untung ditraktir, kalo gak aku tolak. Aku berangkat dengan motorku dari kos menuju tempat Alsya.Di sana, Alsya, Kak Daniel dan Riris sudah menunggu kehadiranku. Kami pun langsung berangkat ke tempat makan yang disepakati itu dengan mobil Alsya. Saat kami tiba, meja yang telah direservasi Alsya telah siap. Kami berempat duduk di meja itu. Tempat ini bisa dikatakan prasmanan, dimana kami bisa memilih makanan kami sendiri. Yang memasak makanan itu juga kami sendiri, atau boleh dibantu karyawan.Karena banyaknya menu yang bisa dipilih, aku tidak tahu harus memulai dari mana. Akhirnya, aku mulai dari mengambil sayur dan daging untuk dimasak dengan sup ayam dari restoran. Saat sedang memilih sayur, aku mendengar dua orang laki-l

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-09
  • Bulan di Darah Awan   Bab 6: Kebermanfaatan

    Ruangan ini tampak berantakan, namun tidak seberapa berantakannya kala beradu dengan benakku kini.Peristiwa kemarin masih membekas dengan jernih.“Aku masih membenci setiap jejak yang tertinggal dari masa laluku, dan sekarang kamu mau menjadi bagian dari kebencianku?” tanyaku kepada gadis itu. Dia hanya diam dibawah tekanan suasana yang ku berikan. Tekanan kekecewaan.“Kala pertemuan pertama kita tempo kemarin, hatiku berkata ada sesuatu yang beda. Kini, bagiku, satu suatu itu seakan porak poranda masa lalu,” ucapku lemah.“Apakah aku melakukan hal yang benar?” gumamku.Aku letakkan kertas itu di depan pintunya. Tidak apa jikalau asisten lainnya memarahi kala berita ini masuk ke pendengar mereka. Faktanya, mereka tidak lebih peduli.

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-01
  • Bulan di Darah Awan   Bab 7: Rapuh

    Bab 7: RapuhAkhirnya, aku selesai dengan semua pertanyaan yang diberikan oleh Shadox. Sekarang, tinggal merapikan berkas praktikum ini. Aku juga perlu menyelesaikan praktikum fisika.“Zihan harus rajin,” ucapku menyemangati diriku sendiri.Jam menunjukkan jam 1, sehingga aku memutuskan untuk zuhur dulu sebelum melanjutkan.Sebuah hentakan keras saat aku selesai salam mengejutkanku. Aku segera keluar kamar dan mendengar langkah kaki menaiki lantai dua. Apakah Kak Yahya kembali?Tubuh laki-laki yang terlihat beberapa saat kemudian menunjukkan itu Kak Yahya. Namun, dia tampak sedih dan tidak fokus. Dia berlalu melewatiku tanpa menyapa, dan saat di depan pintu dia malah terduduk.“Bodoh,” ucapnya lemah.

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-02
  • Bulan di Darah Awan   Bab 8: Mie Instan

    “Lapar,” keluhku setelah selesai ashar. Aku belum makan besar hari ini, jadi tidak mengejutkan jika aku lapar. Saat ini, yang ada di kamarku hanyalah camilan dan beberapa bungkus mie instan. Oke, aku awalnya mengira mie instan dan anak kos adalah mitos, tapi ternyata itu benar adanya.Fasilitas yang tidak berada dalam ruangan sendiri adalah dapur, mesin cuci dan tempat pembuangan sampah. Ketiganya terdapat tempat khusus di lantai satu. Satu untuk dapur dan mesin cuci, satu lagi tempat khusus pembuangan sampah yang biasa diambil petugas sampah setiap hari.Rasanya malas ke dapur. Lebih baik aku cari makan di luar. Namun, dompet memutuskan untuk berkata bahwa ‘aku miskin’ dengan isinya yang berisi warna abu-abu dan krim. Menghela nafas berat, aku mengambil satu bungkus mie instan, pakaian panjang, dan jilbabku.“Oke, ber

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-03
  • Bulan di Darah Awan   Bab 9: Kuliah

    Laki-laki sepuh itu masuk ke dalam ruangan kelas dan duduk di meja dosen depan kelas, sementara seorang mahasiswa dengan pakaian lab X-206 masuk menyusul dan berdiri di samping beliau. Semua mahasiswa, termasuk aku, yang masih sibuk dengan pekerjaan masing-masing langsung berhenti kala melihat mahasiswa berpakaian lab itu.“Selamat pagi!” teriak dosen sepuh itu. Dalam kebingungan, kami menjawab.“Selamat pagi!” jawab kami serentak. Aku menatap dosen sepuh itu dengan tatapan heran, apakah beliau dosen pemograman kami sebenarnya?“Baiklah. Kita akan mulai pelajaran hari ini. Sebelumnya, saya mohon maaf sebesar-besarnya telah absen selama tiga minggu karena pelatihan dari kampus. Saya telah secara pribadi menunjuk Mas Fauzan untuk mengajar di kelas ini selama saya absen. Saya harap kalian sudah paham semua yang dia sampai

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-04
  • Bulan di Darah Awan   Bab 10: Aspek

    Aku tiba di kos saat maghrib tiba. Segera aku ke kamar dan mandi, lalu melaksanakan salat maghrib. Aku memutuskan untuk membaca Al-Qur’an setelahnya, dan melaksanakan salat isya begitu waktunya masuk. Akhirnya, aku memutuskan tidur setelah isya.Pagi hari berikutnya, aku salat subuh di kos. Pakaian kuliah yang ku pilih hari itu adalah pakaian serba hijau toska. Selama perjalananku dari aku keluar dari kamar hingga naik motor, aku tidak melihat kehadiran siapapun di kos.Kelas pertama adalah kelas Agama Islam. Setelahnya, ada kelas Matematika 1, yang dilanjutkan dengan kelas Bahasa Inggris. Terakhir, ada kelas Pengantar Teknologi Komputer. Kelas pagi dan siang dapat kulalui dengan mudah (kecuali Matematika, kenapa harus ada sih?), dan aku mengejar zuhur yang terlalu mepet waktunya antara kelas ketiga dan ke-4.Sore harinya, sebelum ashar, adal

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-05

Bab terbaru

  • Bulan di Darah Awan   Pena Penghujung

    Bismillah. Alhamdulillah Allah SWT berkenan menjaga niat saya untuk menyelesaikan cerita ini.Terima kasih kepada:@Love_yourself7 – telah memberikan semangat dengan opini tentang karya Soul: The Assistant dan terus membuat saya bersemangat lewat dialog-dialog sederhana yang kita lakukan. Ini juga bocah yang bikin rilis bab 14 tiba-tiba tengah malam pas lagi nyenyak-nyenyaknya bobo cantik para pembaca 😊@nezbie – makasih sudah memberi challenge di wall untuk cerita baru yang bersifat roman. Kalimat itu cikal bakal tema roman yang mungkin bikin halu sebagian pembaca di cerita ini. Jujur saja, jadi belajar cara bikin baper gara2 ini.@wattpadesurd – terima kasih atas izinnya untuk menjadi anggota semenjak awal-awal. Saya banyak bel

  • Bulan di Darah Awan   Epilog

    “Saya terima nikahnya Zihan binti Khairul Fahmi dengan mas kawin seratus delapan puluh ribu rupiah dibayar tunai!”“Sah?”“Sah!”“Seriusan ini resepsinya Mas Shad? Gak percaya oi.”“Jaringannya gak main-main kali.”“Hush, gak boleh ngomong gak baik. Kedengeren dia bisa mampus kita.”“Mereka tidak berubah ya, Nurul,” komentar Mutia kepada teman akrabnya, Nurul, melihat kelakuan teman-teman satu kelompok lainnya yang berpikiran jelek. Nurul menganggukkan kepalanya, sependapat.“Entahlah. Aku rasa sulit untuk mengubah pandangan setiap orang, Mutia. Mas Shad sendiri

  • Bulan di Darah Awan   Bab 31: Terima Kasih

    “Tidak perlu kamu berterima kasih, Shadox,” komentar Pak Azhar.“Tetap saja, Pak Azhar, Pak Arrow, terima kasih,” ucapku lagi. Pak Azhar menggelengkan kepala.“Aku tahu sikap nekatmu. Rahima memberitahu,” komentar Pak Arrow. Zihan menatapku tajam dan langsung memeluk lenganku.“Sepertinya ada yang cemburu,” komentar Pak Azhar, yang membuat Zihan malu.“Sederhananya seperti itu. Kalau mau penjelasannya, bisa nanti di perusahaan,” komentar Pak Arrow.“Tidak perlu pak. Ada baiknya Zihan tahu semuanya,” komentarku, “apalagi dia bersedia pergi sejauh ini dan berhadapan dengan masalah ini,” lanjutku. Zihan menampilkan muka terharunya.“Ah, baiklah. Sebelumnya,

  • Bulan di Darah Awan   Bab 30: Kebenaran

    “Pak Azhar!?” Reaksi terkejut keluar dari mulut warga-warga desa.“Jadi, selama ini…” ucapan tertahan dari pak kepala desa dijawab langsung oleh Pak Azhar.“Ya, nama alias yang saya pakai selama ini di desa, nama yang saya sebut tidak boleh dikatakan siapapun kepada di luar desa, itu adalah nama palsu,” komentar Pak Azhar dengan santainya.“Lagipula, jika Soul bisa melakukannya, kenapa saya tidak?” lanjut beliau santai. Soul? Siapa Soul?“Jangan bapak bicara rendah terhadap laki-laki yang banyak berjasa terhadap desa kami!” balas salah satu warga desa.“Maaf jika terkesan demikian,” komentar Pak Azhar santai, “tapi kalian juga sepertinya dengan mudah menghina orang kebanggaan saya di sini,&rdqu

  • Bulan di Darah Awan   Bab 29: Dosa Desa

    “Terima kasih pak,” ucap Mas Yahya seraya menyerahkan bayaran kepada Pak Lukman. Laki-laki tua itu menghaturkan badannya.“Justru saya yang berterima kasih, Mas Yahya. Semoga lancar segala urusannya,” ucap Pak Lukman. Beliau pun lalu izin pamit meninggalkan kami untuk kembali ke tempat taksi terdekat. Seluruh warga di daerah itu menatap kami seperti melihat sepasang iblis.“Iblis pulang,” komentar salah satu warga.“Ngapain balik! Woi!” bentak warga lain. Aku melihat Mas Yahya hanya tersenyum.“Tidak ada yang berubah,” komentarnya pelan. Apakah Mas Yahya merujuk ke rumah keluarganya, atau ke sikap para warga yang sangat tidak santun, aku tidak yakin yang mana.“Pergi! Ngapain kamu ke sini! Anak laknat!” ter

  • Bulan di Darah Awan   Bab 28: Kembali

    Ahad pagi itu cerah, namun suasana yang tampak di wajah Mas Yahya tidak menunjukkan demikian. Aku tahu, karena inilah hari yang kami takutkan itu. Mas Yahya memesan kereta api kelas eksekutif ke sana. Jujur saja, aku tidak mengerti alasan dia membuang uang sebanyak itu untuk kunjungan yang dia tidak inginkan.“Assalamu’alaikum Pak Lukman. Saya Yahya Hakim,” ucap Mas Yahya menelpon seseorang. Aku tidak mendengar persis apa balasan dari seberang.“Seharusnya jelas ya pak kenapa saya menghubungi bapak,” ucap Mas Yahya dengan nada tertawa, “saya mau bapak menjemput saya di stasiun.”“Saya mau berangkat ini pak. Kira-kira empat jam lagi lah di sana. Bapak bisa sambil narik orang kok pak. Saya juga masih lama.”“Terima kasih banyak pak, Assalamu’alaikum,

  • Bulan di Darah Awan   Bab 27: Anak Iblis

    “Anak iblis!” teriakan dari laki-laki yang selama ini aku sebut sebagai ayah itu menyakitkan telingaku. Ibuku menangis sesenggukan, sementara adik-adikku menatap tidak percaya.“Ayah ajarin kamu buat jadi anak baik-baik! Kamu malah hamilin anak orang! Yahya!” bentak ayahku keras. Satu pukulan mendarat di wajahku.“Ayah lebih percaya perempuan itu daripada aku!?” balasku tidak percaya. Laki-laki itu memukulku lagi. Rasanya menyakitkan. Bukan, pukulan itu bukanlah bagian paling menyakitkan, tetapi fakta bahwasanya orang tuamu lebih percaya kata orang lain daripada dirimu yang darahnya mengalir di dalam tubuhmu.“Aku gak ajarin kamu jadi anak bangsat!”“Mulai sekarang! Kamu bukan anakku! Keluar! Pergi!” teriakan itu b

  • Bulan di Darah Awan   Bab 26: Jawaban

    Desas-desus beredar di antara teman-temanku. Rasanya tidak enak mendengarnya. Aku berusaha untuk tetap diam. Para asisten terfokus di area depan, seakan ada sekat samar antara asisten dan praktikan.“Jika anda tidak maju, maka kami akan tahan kalian semua sampai maghrib,” komentar Kak Affa lagi. Kenapa kakak membuat aku terjebak dengan pilihan rumit sih!? Apa maksudnya ini!?Bisikan keluar dari berbagai sisi. Tuduhan, hinaan, cacian, makian, semua terucap dengan nada yang samar. Mas Yahya tampak tenang di depan. Dia melukiskan sebuah senyuman.“Sepertinya kalian nikmati sampai maghrib ya,” sindir Kak Affa. Kenapa mereka membuatku mati kutu seperti ini!? Kenapa Mas Yahya juga tenang sekali!?“Mana sih Zihan Azizah ini!?” keluhan beberapa anak yang agak berisik itu menjadi sinyal

  • Bulan di Darah Awan   Bab 25: Titik Mula

    Setelah zuhur, kami telah berkumpul di ruang yang memulai praktikum kami semua. Ruangan yang menandai awal kisahku menuju bertemu Mas Yahya. Tempat pertama yang membuatku benar-benar menyadari kehadiran para asisten praktikum. Sayangnya, aku, Riris, dan Alsya tidak mendapat tempat yang berdekatan.“Sepertinya sudah waktunya. Saya akan mulai. Assalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh.”Kehadiran Mas Yahya yang menjadi pemateri membuatku terkejut. Namun, aku berusaha untuk menyembunyikan kekaguman dan ketakjuban yang ku rasakan. Aku mendengar beberapa perempuan di dekatku berdesas-desus tentang penampilan Mas Yahya yang menurutku jauh lebih keren dari biasanya. Ada sebuah aura wibawa berbeda yang dia bawa, dan itu membuatku takut. Takut jika membuat perempuan yang berada di ruangan ini takjub kepadanya.“Perkenalan akan kita

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status