Yang paling menyakitkan di dunia ini adalah dikhianati oleh orang yang kita sayangi. Begitulah yang dirasakan Emily saat dia menerima kenyataan kalau kekasihnya telah direbut oleh Sandra, kakaknya yang selama ini selalu menjadi teman curhatnya. Dengan perasaan hancur, Emily mencoba untuk bertahan. Dia mencoba untuk tersenyum saat menyaksikan kakak dan kekasih hatinya itu duduk bersanding di pelaminan. Meski akhirnya tanpa dia sadari, luka hatinya menuntun dia untuk pergi.Langkah kaki yang hilang arah membawa Emily bertemu dengan Abian Aditya, laki-laki dingin yang menolongnya saat terlunta-lunta. Kehidupannya bersama Abian pun menjadi dunia baru bagi Emily. Abian membawanya ke dalam kehidupan sederhana yang belum pernah Emily jalani sebelumnya. Penuh liku dan cobaan yang menerpa, sanggupkah Emily bertahan dalam pelariannya? Atau dia memilih kembali pulang dan membiarkan lukanya terus berdarah?
View MoreEmily memandang sepasang pengantin yang baru saja selesai mengucapkan janji setia itu dengan perasaan hancur. Sepasang pengantin itu adalah Sandra, kakaknya dan Tomy, laki-laki yang telah beberapa tahun kemarin jadi kekasihnya. Mereka adalah dua orang yang sangat Emily sayangi yang ternyata tega mengkhianatinya.
Rasanya terlalu kejam bagi Emily yang harus menerima kenyataan kalau Sandra ternyata hamil karena hubungannya dengan Tomy selama ini di belakangnya. Emily merasa dunianya hancur! Bagaimana mungkin mereka tega menjalin cinta di belakangnya seperti itu? Bahkan hubungan yang mereka lakukan teramat jauh hingga menyebabkan Sandra hamil. Dua bulan sudah usia kandungannya. Dan mau tidak mau Sandra memang harus segera dinikahkan dengan Tomy, laki-laki yang telah menghamilinya.
Ketika Sandra dan Tomy mengungkapkan tentang pengkhianatan mereka itu, Emily merasa seperti dihantam gada raksasa hingga dia hancur berkeping-keping. Remuk tak berbentuk seperti gelas kristal yang dihempaskan kuat-kuat ke lantai. Tapi Emily cuma bisa menangis meski pun sesungguhnya dia ingin menjerit dan mencaci-maki keduanya. Ini jahat! Benar-benar jahat! Tak tahukah mereka seperti apa rasa sakit yang Emily rasakan? Rasa hatinya lebih perih dari pada dihujami dan dikoyak oleh ratusan belati! Bahkan Emily merasa lebih baik dia dijemput saja oleh kematian! Biar berakhir segala pedih dan luka ini! Biar sempurna kekalahan ini!
Ah, isak tangis ibunya menyadarkan Emily dari keinginan bodoh yang tadi menggoda hatinya. Mati? Tidak, nanti dulu! Bukankah kematian adalah sesuatu yang menakutkan? Dipendam dalam tanah yang gelap dan dingin! Sendirian, hanya ditemani oleh cacing-cacing tanah yang menjijikan! Tidak, Emily tak jadi menginginkan kematian. Meski pun perih luka yang telah mereka goreskan, tapi Emily menginginkan nyawanya tetap melekat di badan. Biarlah, mungkin dia memang harus bertahan.
Dengan berlinang air mata, Emily menatap pada wajah orangtuanya yang tampak lesu dihempas kecewa. Pengakuan putri sulung mereka itu benar-benar seperti pukulan keras buat mereka. Ini aib yang memalukan sekaligus perbuatan teramat jahat karena mereka semua tahu jika Tomy adalah kekasih Emily. Betapa teganya Sandra merebut Tomy dari adiknya itu. Dan betapa jahatnya Tomy mengkhianati Emily seperti itu. Mereka berdua benar-benar tak berperasaan!
Tapi tak ada yang bisa dilakukan selain menikahkan mereka secepatnya. Sebab kehamilan Sandra tak bisa menunggu hingga luka Emily sembuh. Jangan sampai kehamilan itu menjadi bahan gunjingan orang dan membuat keluarga mereka tercoreng dan malu. Jadi pada akhirnya Emily harus mengalah dan merelakan Tomy menikahi Sandra demi menyelamatkan nama baik keluarga mereka.
Dengan pasrah, Emily mencoba mengumpulkan serpihan hatinya dan merekatkannya kembali meski tak bisa lagi menjadi utuh. Ada luka yang masih basah, ada koyakan luka yang masih menganga lebar. Tapi Emily harus kuat. Di depan semua orang, luka hati itu tak boleh terlihat. Emily harus menyimpannya rapat-rapat dan berpura-pura kalau pernikahan itu tak membuatnya terluka. Senyum manis Emily pun terasa getir. Emily merasa hari itu aktingnya begitu sempurna hingga (mungkin) semua tamu yang datang melihat jika dia pun ikut bahagia.
"Bolehkah aku menangis?" tanya kedua mata Emily yang tak tahan harus membendung air mata.
"Tidak! Jangan! Tunggulah sampai kita berada di kamar hingga tak ada orang yang melihat linangan air matamu dan jeritanku," hati Emily menyahuti.
"Kapankah? Aku tak tahan lagi, aku ingin menangis!"
Akhirnya Emily pun masuk ke dalam kamarnya dan meluapkan segala sedihnya di sana. Dia menangis dan bersembunyi seperti seekor hewan kecil yang terluka. Biar, tinggalkan saja pesta sialan itu! Aku tak tahan untuk terus tersenyum sementara hatiku menangis!
Emily membiarkan air matanya terkuras habis. Dia terus bersembunyi, tak peduli pada keramaian di luar sana. Pesta itu bukan untukku. Kebahagiaan mereka adalah luka bagiku. Biarlah aku bersembunyi dulu di sini. Jika nanti hati telah siap, aku akan keluar lagi untuk melihat kebahagiaan mereka.
Tiba-tiba terdengar ponselnya berbunyi. Benda pilih yang diletakannya di atas meja riasnya itu pun terus berbunyi memberitahukan kalau ada satu panggilan masuk. Dengan malas Emily mengangkat ponselnya itu dan melihat nama si penelepon yang tertera di layarnya. Monik. Ah, rupanya sahabatnya itu yang menelepon. Pasti Monik telah menyadari kalau dia tak ada lagi di tengah pesta itu. Dan pasti Monik telah mencarinya kemana-mana tapi tak menemukannya hingga akhirnya dia menelepon ke hp Emily. Emily tahu jika sahabatnya itu sangat mengkhawatirkannya.
"Halo, Mil, lo ada dimana? Dari tadi gue cariin lo tapi lo nggak ada," kata Monik bernada cemas.
"Gue ada di kamar, Nik. Nggak usah khawatir, gue baik-baik aja," sahut Emily di sela tangisnya.
"Mil, lo nangis?" tanya Monik ketika mendengar suara Emily yang serak.
Ya, Monik, tentu aja gue nangis! Apa gue harus tertawa? Hati Emily seolah menjerit mendengar pertanyaan dari Monik itu.
"Gue cuma lagi luapin kesedihan gue," sahut Emily.
"Gue temenin lo, ya? Gue cuma nggak mau kalau lo sendirian, Mil," kata Monik yang merasa sangat khawatir dengan Emily.
"Nggak usah, Nik, terima kasih. Tapi gue lagi pengen sendiri sekarang. Kalau nanti gue udah siap, gue pasti akan keluar lagi," tolak Emily segera.
"Tapi sungguh lo baik-baik aja?"
"Ya, sebentar lagi gue keluar," sahut Emily memberi janji yang belum tentu bisa dia tepati. Sebentar lagi? Tidak, Emily masih ingin menangis dan menguatkan hatinya dulu. Sebab melihat senyum bahagia Sandra dan Tomy, sungguh membuatnya terluka.
"Ya udah kalau begitu gue tunggu lo di luar, ya. Gue duduk di halaman samping sama Edo," kata Monik kemudian. Edo adalah kekasih Monik yang juga sahabat Emily.
"Ya," sahut Emily pendek. Lalu setelah itu, percakapan itu pun berakhir. Emily kembali melanjutkan tangisnya.
Entah berapa lama Emily menangis. Tapi dia sudah merasa lelah sekarang. Emily pun menghentikan tangisnya. Dia segera ke kamar mandi dan membersihkan riasan wajahnya yang rusak terkena air mata. Lalu segera pula merapikan riasannya itu dan berusaha menutupi sembab di kedua matanya karena menangis tadi. Tak boleh terlihat kalau dia habis menangis. Bisa-bisa menimbulkan bahan gosip hangat di kalangan tamu undangan. Apa lagi sebagian dari mereka tahu kalau selama ini Tomy berpacaran dengannya.
Emily pun melangkah pelan keluar kamar. Dia berbaur dengan para tamu undangan yang tampak semakin ramai memenuhi rumah orangtuanya ini. Tapi Emily berjalan ke halaman depan, bukannya ke halaman samping untuk menjumpai Monik yang sedang menunggunya di sana.
Dari teras depan, Emily bisa dengan jelas melihat kursi pelaminan dimana Sandra dan Tomy sedang duduk bersanding di sana. Sepasang pengantin itu tampak begitu bahagia. Ah, sepertinya mereka telah benar-benar melupakan hati Emily. Wajah mereka tampak sangat bahagia seolah mereka tak melukai sekeping hati dengan pernikahan mereka ini.
Merasa tak tahan melihat semua itu, Emily pun perlahan melangkah pergi. Dia hanya ingin menghindari pesta itu. Berusaha melindungi hatinya dari sakit yang lebih parah lagi.
Emily terus berjalan menjauhi rumahnya dan pesta meriah itu. Oh, rasanya Emily tak ingin lagi kembali ke sana. Terbayang dalam kepalanya tentang hari esok yang pasti akan lebih parah lagi. Sebab karena kehamilannya itu, orangtua mereka melarang Sandra untuk pindah dari rumah itu. Mereka khawatir melepas Sandra dengan kehamilan pertamanya itu. Lantas apa jadinya dengan hati Emily jika dia harus serumah dengan Tomy dan Sandra?
Oh, tuhan, yang pasti hatiku akan sakit sepanjang hari. Dan bagaimana aku bisa menyembuhkan luka hatiku jika setiap hari aku harus menjadi saksi atas kebahagiaan mereka? Rasanya memang tidak masuk akal jika menyatukan aku dan mereka di bawah satu atap.
Kaki Emily pun terus melangkah menyusuri jalanan yang telah diguyur lampu jalan. Tak terasa hari mulai beranjak malam. Langit keemasan di sebelah barat sana telah berubah menjadi gelap. Bayang-bayang bulan pun telah terlihat. Emily yang sedang diselimuti oleh kesedihan itu pun terus berjalan tak tentu arah. Yang ada di dalam kepalanya cuma satu. Pergi menjauh dari Tomy dan Sandra hingga dia tak harus melihat kebahagiaan mereka.
<span;>Emily mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Rumah ini masih tetap sama seperti ketika dia tinggalkan dulu. Masih tetap bersih dan terasa sejuk. Sungguh nyaman dan mendamaikan. Dengan perasaan haru Emily pun tersenyum. Tanpa dia sadari, telah banyak kenangan terukir di rumah ini. Rumah ini adalah saksi dari perjalanan cintanya bersama Abian. Juga tentang bagaimana dia berubah dari seorang gadis kaya yang manja, menjadi seorang perempuan sederhana yang pandai mengurus rumah. Ah, Emily merindukan rumah ini. Dan sungguh saat ini dia bahagia bisa kembali kemari. <span;>Ketika itu, Abian yang baru kembali dari kamar untuk menidurkan Amanda di ranjangnya pun tersenyum melihat tingkah Emily yang berdiri di tengah ruangan sambil mengedarkan pandangan. <span;>"Selamat datang, ratuku," katanya sambil menatap Emily dengan romantis. Pagi itu memang mereka baru saja sampai. Dan Abian tahu kalau Emily merindukan rumah ini. <span;>
<span;>Pagi itu Abian baru saja terjaga dari tidurnya ketika didengarnya suara ponsel yang berdenting pertanda ada sebuah pesan yang masuk. Abian mengambil ponsel itu dengan malas. Siapa yang menghubunginya pagi buta begini? Dengan mata yang masih mengantuk dia pun berusaha memfokuskan pandangannya pada layar hp. <span;>Emily?! Abian tersentak bagai terkena aliran listrik. Dia pun segera duduk dan membaca pesan itu. 'Mas Abi sayang, nanti malam datang ke sini ya. Ada yang harus kita bicarakan.' <span;>Abian tercekat. Sekali lagi dia membaca pesan itu untuk meyakinkan dirinya kalau isi pesan yang dibacanya memang benar seperti itu. Tapi..., Emily memanggil sayang? Ah, Abian jadi merasa bingung. Bukankah istrinya itu sedang marah padanya? Sedang marah, tapi memanggil sayang? <span;>'Ya, Mily sayang. Saya akan datang nanti malam. Tapi ada apakah?' <span;>'Nggak bisa saya bicarakan di telepon, mas. Pokoknya Ma
<span;>Esok sore, di jam yang sama, Sandra mengetuk pintu kamar Nadya yang tertutup rapat. Tak menunggu lama, pintu kamar itu pun terbuka. Wajah Nadya sedikit bingung karena tak biasanya Sandra mengetuk pintu kamarnya seperti ini. <span;>"Ya, Mbak Sandra, ada apa?" tanya Nadya segera. <span;>"Apa kamu sedang sibuk? Saya ingin minta tolong sebentar," jawab Sandra dengan sikap yang sewajarnya. <span;>"Minta tolong apa, mbak?" <span;>"Tomy datang ingin bertemu dengan Rangga. Tapi Rangga baru saja tidur. Sekarang dia sedang menunggu di teras belakang. Mau kamu menemani dia sebentar? Kamu kan tahu kalau saya atau Mily tidak mungkin menemani dia? Hubungan kami belum baik sampai sekarang." <span;>Nadya pun mengangguk hingga membuat Sandra merasa lega. Lalu tanpa curiga Nadya segera berjalan menuruni tangga menuju ke teras belakang dimana Tomy sedang duduk melamun sendirian. <span;
<span;>"Rasanya sulit untuk percaya kalau Abian berbuat seperti itu, Mily," kata Sandra pada Emily di sore itu. <span;>Emily pun menoleh menatap Sandra untuk beberapa saat. "Jadi kakak percaya pada cerita Mas Abi?" tanyanya sedikit terkejut. <span;>"Percaya seratus persen sih tidak. Tapi kakak melihat pribadi Abian selama ini dan Abian yang diceritakan oleh Nadya, kok, sepertinya bertolak belakang sampai seratus delapan puluh derajat. Coba kamu ingat bagaimana bertanggungjawabnya dia selama ini sebagai suamimu. Juga bagaimana dia berkorban demi memenuhi keinginanmu untuk bisa kuliah lagi. Dia sampai mau mengojek sampai malam, Mily. Dan coba kamu ingat lagi bagaimana dulu Abian tetap bertahan untuk tidak menyentuhmu hanya karena menunggu restu dari papa dan mama. Kamu sudah sah menjadi istrinya ketika itu. Kalian pun tinggal bersama dalam satu rumah. Tapi dia bertahan, Mily. Dia tidak menyentuhmu sampai restu itu dia dapatkan. Jadi, aneh rasa
<span;>"Seorang saksi? Bagaimana mungkin lo bisa menghadirkan seorang saksi, Bi? Siang itu cuma ada lo dan Nadya aja kan di sana?" kata Inung dengan nada bingung. <span;>"Gue juga bingung, Nung. Tapi tanpa kehadiran seorang saksi yang bisa membenarkan cerita gue, Emily akan tetap berpikir kalau gue yang salah. Atau jangan-jangan...." <span;>"Jangan-jangan apa?" <span;>"Atau jangan-jangan dia sengaja berbuat begitu biar dia bisa dekat dengan teman laki-lakinya itu tanpa ada yang menghalangi?" <span;>"Apa iya seperti itu, Bi?" tanya Inung sedikit ragu. <span;>Abian mendesah gelisah. "Gue memang nggak mau nuduh secara langsung sama dia. Tapi bagaimana pun rasa curiga itu tetap ada." <span;>"Semoga rasa curiga lo itu salah, Bi," harap Inung. <span;>"Sore ini gue mau datang lagi ke sana, Nung. Gue kangen banget sama Amanda," kata Abian kemudian. <span;>"Ya, gue ngerti per
<span;>Beberapa hari telah berlalu. Abian masih tetap berusaha sabar untuk tidak menemui Emily, meskipun kerinduannya pada Emily dan Amanda terasa begitu menyesakan dada. Abian tak dapat tidur, juga tak enak makan. Hari-harinya diisi dengan gelisah. Tak ada yang lain yang mengisi kepalanya selain istri dan putrinya itu. Tapi jika dia datang sekarang, apakah Emily sudah bisa diajak bicara? <span;>"Gue udah nggak bisa nahan rasa kangen gue, Nung. Gue juga nggak bisa membiarkan masalah ini berlarut-larut seperti ini. Gue harus menemui Emily sekarang," kata Abian pada Inung di pagi ini. <span;>"Rasanya memang udah saatnya kalian selesaikan masalah ini. Lo udah kasih waktu untuk dia selama beberapa hari ini. Sekarang saatnya dia dengarkan penjelasan dari lo, Bi. Emily nggak boleh cuma dengar cerita dari satu pihak aja. Dia juga harus mau dengar cerita dari lo," sahut Inung. <span;>"Gue nggak ngerti kenapa Emily bisa termakan cer
<span;>Abian mengulangi pertanyaannya hingga beberapakali. Tapi jawaban dan reaksi Emily tetap sama. Dia tetap berseru meminta Abian untuk pergi dengan wajah yang menyiratkan rasa marah dan kecewa. Abian jadi semakin bingung. Dia tak tahu harus berbuat apa hingga hanya bisa mematung di tempatnya berdiri. Emily seperti tak bisa diajak bicara. Dia terlalu histeris dalam tangis dan kemarahannya. <span;>"Tenang dulu, Mily. Coba jelaskan dulu pada saya ada apa ini sebenarnya? Saya benar-benar nggak ngerti kenapa kamu bersikap seperti ini pada saya?" kata Abian bingung. <span;>"Tanya pada diri Mas Abi sendiri, apa yang sudah Mas Abi lakukan?!" sembur Emily marah. <span;>"Apa yang sudah saya lakukan?" Abian tak mengerti dengan perkataan Emily. "Memangnya apa yang sudah saya lakukan, Mily?" <span;>"Mas yang lebih tahu apa yang sudah Mas lakukan! Dasar laki-laki jahat! Saya benci Mas Abi!" Histeris Emily semakin me
<span;>Sore itu Abian bergegas pulang. Dia ingin mendengar cerita Emily tentang pertemuannya dengan Nadya tadi siang. Abian khawatir terjadi keributan antara Emily dan adik sepupunya itu. Meski Abian tahu kalau Nadya tak akan berani membangkitkan rasa cemburu Emily, tapi tetap saja hati Abian tak tenang membayangkan kedua perempuan itu bertemu dan bicara tentang alasan Nadya meninggalkan rumah mereka dengan cara seperti itu. <span;>Motor Abian berhenti di depan pintu pagar rumahnya. Dia melihat ke arah rumahnya yang sepi. Bahkan jendela pun tertutup rapat. Sepertinya Emily belum pulang. Abian pun berpikir sejenak. Apakah sebaiknya dia menunggu Emily di rumah saja, atau kembali ke toko dan pulang ke rumah lagi nanti? Hm, rasanya lebih baik kembali saja ke toko. Nanti sebelum maghrib, barulah pulang menemui Emily. <span;>Abian pun segera memutar motornya dan melajukannya kembali ke toko. Dan ketika dia memasuki halaman parkir di depan tokonya,
<span;>"Nggak mungkin!" seru Emily pelan. "Nggak mungkin Mas Abi melakukan itu!" <span;>"Saya tahu Mbak Mily tidak akan percaya dengan cerita Saya. Karena itulah saya memilih pergi dan diam," kata Nadya dengan ekspresi wajah yang sangat meyakinkan. <span;>"Oh!" Emily kembali terpekik pelan. Benarkah itu? Benarkah suaminya melakukan perbuatan serendah itu? Rasanya ingin tak percaya, tapi raut wajah Nadya sepertinya tidak main-main. Tampaknya dia tidak sedang bercanda, apa lagi berdusta. <span;>"Maafkan saya, Mbak Mily. Saya tidak tahu kalau selama ini Mas Abi memiliki perasaan yang lain terhadap saya. Andai saja saya tahu, pasti saya tidak akan tinggal di rumah Mbak Mily. Saya pikir, selama ini Mas Abi cuma menganggap saya sebagai adik. Tapi ternyata tidak seperti itu." <span;>"Tapi Mas Abi bukan laki-laki seperti itu, Nadya!" Emily masih mencoba untuk percaya pada kesetiaan suaminya. <span;&
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments