Emily berjalan tertatih mengikuti langkah kaki laki-laki jangkung bernama Abi itu. Kakinya masih terasa sakit untuk dipakai berjalan. Sedangkan Abi melangkah cepat di depan seakan tak menimbang rasa pada Emily yang berjalan tertatih di belakangnya.
Abi yang berjalan di depan tahu jika Emily kesulitan mengikuti langkahnya. Beberapakali dia menoleh ke belakang dan berhenti agar Emily tak terlalu jauh tertinggal. Ketika Emily telah mendekat, Abi pun kembali melanjutkan langkahnya dan membiarkan Emily yang kembali tertinggal di belakang.
Emily berusaha untuk tidak tertinggal terlalu jauh. Dia menahan sakit kakinya dan berlari-lari kecil mengikuti langkah Abi. Sebetulnya Emily merasa kesal dengan sikap Abi yang terkesan acuh. Tapi dia tak bisa berteriak marah pada laki-laki itu karena dialah satu-satunya penolong baginya. Jadi Emily hanya diam dan terus berjalan mengikuti.
Sekali lagi Abi menoleh. Dia melihat pada Emily yang telah tertinggal cukup jauh. Dengan berusaha untuk sabar, dia berdiri menunggu sampai Emily mendekat. Diperhatikannya Emily yang berjalan tertatih menghampirinya.
"Kenapa lama sekali jalannya?" tanya Abi ketika Emily telah cukup dekat dengannya.
"Kaki saya sakit dipakai jalan terus," jawab Emily pelan dan hampir kembali menangis.
Abi pun menunduk memperhatikan kaki Emily. "Sudah berapa jauh kamu berjalan?" tanya Abi lagi.
Emily menggeleng. "Nggak tahu," jawabnya.
"Hari ini kebetulan saya nggak bawa motor. Tapi rumah saya nggak jauh, kok. Paling cuma sepuluh menit berjalan kaki dari toko," kata Abi seolah memberi semangat pada Emily.
Sepuluh menit? Ya, tapi mungkin itu untuk dia yang berjalan cepat seperti itu. Sedangkan untukku, rasanya tidak mungkin sepuluh menit. Huh, kenapa hari ini aku terus sial seperti ini? Satu-satunya keberuntunganku hanyalah bertemu dengan laki-laki yang mau menolongku ini. Dia telah memberiku makan dan tempat untuk menginap. Meski sikapnya tak terlalu hangat, tapi dia cukup baik.
"Masih kuat jalan, kan? Saya nggak mau kalau harus gendong kamu," kata Abi kemudian.
Emily tak segera menyahuti. Dia memperhatikan wajah Abi yang tampak dingin ketika dia bicara tadi. Ah, rupanya dia tidak sedang bercanda. Dia serius mengatakan itu. Tapi, siapa juga yang mau digendong sama dia? Walau pun harus berjalan tertatih untuk sampai ke rumahnya, aku lebih memilih untuk berjalan, bisik hati Emily sedikit sewot.
"Saya juga nggak mau digendong," sahut Emily akhirnya.
"Bagus, karena saya pun nggak akan menggendong kamu. Kalau memutuskan untuk lari dari rumah, berarti kamu harus tangguh. Nggak boleh cengeng. Apa lagi manja!"
Setelah mengatakan itu, Abi pun segera melanjutkan langkahnya. Dan Emily kembali tertatih mengikuti dia dari belakang.
Tak lama Abi berbelok memasuki sebuah perumahan. Emily terus mengikuti. Dia memperhatikan gapura yang ada di pintu masuk kompleks perumahan itu. Ada nama perumahan itu tertera di sana. Tapi Emily kurang memperhatikan nama perumahan yang baru saja dimasukinya itu. Perhatian Emily lebih terfokus pada cat warna warni yang menghiasi gapura itu. Tampak meriah sekali seakan-akan melukiskan kegembiraan hati para penghuninya.
Mereka terus berjalan melewati rumah-rumah berukuran kecil yang berjejer rapi dan bersih. Sepertinya para penghuni kompleks itu peduli dengan kebersihan dan kerapihan lingkungan mereka. Sepanjang jalan yang Emily lewati, semua tampak rapi dan bersih sekali. Juga ada pot-pot bunga yang menghiasi sepanjang jalan itu hingga jalanan kompleks tampak indah dan hijau.
Tiba-tiba langkah Abi berhenti di depan sebuah rumah berpagar putih. Sama seperti rumah-rumah yang lain, rumah ini pun kecil dan sederhana sekali. Tapi terkesan nyaman karena si pemilik rumah Sepertinya mengerti cara menata pekarangannya dengan berbagai macam pohon bunga yang indah.
Abi membuka pintu pagarnya dan mempersilakan Emily untuk masuk dan duduk di teras. Emily pun segera duduk di kursi bambu yang ada di situ. Emily merasakan kakinya berdenyut sakit.
"Kamu tunggu dulu sebentar di sini, ya. Sebentar saya kembali," kata Abi. Lalu tanpa menunggu jawaban dari Emily, dia pun segera melangkah pergi meninggalkan Emily sendirian di teras rumah itu. Tapi rupanya Abi tak pergi jauh. Emily melihat laki-laki itu masuk ke rumah sebelah. Dan tak lama dia kembali bersama dengan seorang perempuan muda yang kira-kira seusia dengannya.
Perempuan muda yang datang bersama Abi itu pun tersenyum ramah pada Emily. Lalu sesaat dia memperhatikan Emily yang sedang duduk dengan sikap kikuk. Perempuan itu tampak bingung, walau pun tetap mengurai senyum.
"Hai, saya Inung, sepupunya Abian," katanya memperkenalkan diri.
"Saya Emily," sahut Emily tersenyum. Ah, jadi Abi itu kependekan dari Abian? Dan perempuan ini adalah sepupunya, pikir Emily sambil membalas senyuman ramah Inung.
Sementara itu Abian membuka pintu rumah dan mengajak Emily dan Inung untuk masuk. Mereka pun masuk ke dalam rumah dan duduk di ruang tamu yang agak sempit. Hanya ada seperangkat sofa di sana. Tapi sama seperti halamannya tadi, ruang tamu itu pun terasa nyaman dan bersih. Wangi bunga dari pengharum ruangan tercium lembut oleh Emily.
"Jadi kamu mau menginap di sini malam ini?" tanya Inung pada Emily.
Emily mengangguk. "Ya, Mas Abi bilang saya boleh menginap di sini."
"Kalau begitu biar saya temani kamu menginap di sini," kata Inung lagi.
"Huh?" Emily sedikit bingung.
"Abian ini masih bujang. Jadi nggak mungkin kalau kamu dan dia berdua-duaan di dalam rumah seperti ini. Karena itulah Abi meminta saya untuk menginap di sini malam ini. Untuk jaga-jaga biar nggak ada yang khilaf," kata Inung tersenyum sambil melirik pada sepupunya itu.
"Menghindari fitnah, Nung," kata Abian cepat menyahuti, seakan ingin meralat kata-kata Inung barusan.
"Emangnya lo nggak bisa khilaf, Bi, berduaan sama gadis cantik begini?" Inung bertanya tanpa basa-basi lagi.
"Semua orang bisa khilaf. Makanya gue panggil lo kemari buat nemenin dia. Udah, ah, jangan bikin dia takut sama gue," sahut Abian sambil melangkah ke dalam kamar.
"Saya nggak takut, kok. Mas Abi baik udah mau nolongin saya," kata Emily.
Abian kembali dengan membawa sebuah handuk dan sebuah sikat gigi. Lalu dia memberikannya pada Emily.
"Jangan terlalu cepat percaya pada orang yang baru kamu kenal. Untung kamu bertemu dengan saya. Seenggaknya saya nggak punya niatan jahat sama kamu," kata Abian segera.
"Ya, kamu beruntung bertemu dengan Abi. Dia orang yang baik. Saya sepupunya dan saya tahu banget seperti apa dia. Dia laki-laki yang bisa dipercaya," sambung Inung seperti sedang mempromosikan Abian di depan Emily.
"Cukup promosinya, Nung. Sekarang biar Emily mandi dulu. Tapi saya nggak punya baju perempuan untuk salinan baju kamu, Emily," kata Abian.
"Biar saya pinjamkan baju saya aja. Sebentar saya ambil," kata Inung sambil berdiri dan melangkah keluar.
Emily duduk diam menunggu. Orang-orang yang baru dikenalnya ini sepertinya memang orang-orang yang baik. Emily bersyukur tuhan telah menolongnya bertemu dengan mereka. Setidaknya malam ini dia punya teman dan tempat untuk tidur. Soal bagaimana besok, biarlah dipikirkan besok.
Setelah Inung kembali dan memberikannya baju ganti, Emily pun segera mandi. Dia menikmati setiap guyuran air yang menyiram tubuhnya. Sejuk sekali. Hilang sudah penat dan keringat lengket bercampur debu yang mengotori tubuhnya setelah berjalan jauh tadi. Meski pun tak ada shower di kamar mandi itu, tapi Emily tetap bisa menikmati acara mandinya itu. Yang penting tubuhnya bersih dan segar sekarang. Tidak kotor dan kumal seperti tadi.
Selesai mandi, Emily cepat mengeringkan tubuhnya dengan handuk yang diberikan oleh Abian. Lalu dia memakai baju yang dipinjamkan oleh Inung. Sebuah daster lengan pendek berwarna biru. Hm, daster itu terasa pas di badan Emily. Syukurlah ukuran tubuh Inung sama dengan tubuhnya hingga Emily tak harus memakai baju yang kebesaran atau kesempitan.
Ketika Emily keluar dari kamar mandi, Abian pun segera bergegas untuk mandi. Pasti dia pun merasa penat, pikir Emily. Sebab Emily melihat ada sedikit keringat di kening laki-laki itu.
Emily kembali duduk di ruang tamu dengan handuk yang masih membungkus rambutnya yang basah. Inung yang masih tetap duduk di tempatnya itu pun tersenyum senang ketika melihat dasternya terlihat pas di badan Emily.
"Wah, rupanya bentuk tubuh saya masih ideal, ya? Buktinya daster saya pas sekali di badan kamu," katanya senang.
Emily tersenyum. "Ya, ukuran badan kita sama," sahutnya.
Tak lama terlihat Abian yang berjalan menuju ke kamar hanya dengan mengenakan lilitan handuk di pinggangnya. Emily melihat dan sesaat dia terpaku. Dia tak menyangka jika ternyata laki-laki penolongnya itu memiliki tubuh yang bagus sekali. Dadanya terlihat bidang dengan otot-otot kekar yang membuat tubuhnya tegap dan gagah. Kulit berwarna coklat bersih yang membalut tubuhnya, membuatnya jadi terlihat sangat seksi di mata Emily. Dada Emily pun bergetar sesaat. Duh, benar-benar satu pemandangan yang indah, pikir Emily sedikit nakal. Tapi dengan wajah yang tampan dan tubuh seindah itu, kenapa belum ada perempuan yang mendampinginya? Adakah sesuatu yang salah dengannya? Emily merasa sedikit penasaran walau pun tahu kalau itu bukanlah urusannya.
Malam itu Emily tidur bersama Inung di kamar Abian. Sedangkan Abian tidur di kamar sebelah yang biasanya kosong. Laki-laki itu mengalah. Dia memberikan Emily kamar yang lebih nyaman untuk ditempati. Dan lagi tempat tidur yang ada di kamar Abian itu besar. Bisa ditempati berdua dengan Inung. Sedangkan di kamar sebelah yang kosong, tempat tidurnya berukuran kecil. Tak kan mungkin ditempati berdua. Biarlah, tak apa. Toh cuma satu malam saja. Besok pagi Emily sudah akan kembali ke rumahnya.Kembali ke rumah? Benarkah? Rasanya Emily masih berpikir dua kali untuk pulang. Karena malam ini saja dia tak dapat tidur sedikit pun. Rasa sakit hati dan kecewa membuatnya terjaga sepanjang malam. Tiap kali matanya terpejam, bayang-bayang pengkhianatan Sandra dan Tomy pasti akan jelas terlihat. Dan Emily akan kembali merasakan sakit dan perih pada hatinya.Sudah tahu sakit, kenapa terus dibayangkan? Ya, kenapa terus dibayangkan? Mungkin karena Emily tak bisa untuk melupakan. Mungkin ka
Emily bangun saat matahari sudah bersinar hangat. Di luar rumah pun sudah terdengar ramai oleh aktivitas warga dan orang yang berlalu lalang. Terdengar ramai suara anak-anak yang bermain, juga tukang sayur keliling yang terus berseru memanggil ibu-ibu pelanggannya, serta berisik suara motor yang melintas. Sepertinya cuma Emily yang baru saja bangun karena ternyata Inung pun sudah tak ada lagi di sampingnya.Emily mencoba mengingat kiranya jam berapa dia tertidur. Pastinya hampir pagi karena jam tiga dini hari saja dia masih terjaga dan asyik mendengarkan suara detak jarum jam dinding sambil melepas pikirannya mengembara tak tentu arah. Dan rasanya Inung pun baru tidur saat menjelang pagi. Karena setelah mendengarkan cerita Emily semalam, dia pun sibuk menenangkan Emily yang kembali menangis.Dengan mata yang masih mengantuk, Emily beranjak bangun dari tidurnya. Dia melangkah keluar dari kamar dan sedikit bingung mendapati rumah yang sepi.Kemana Abian dan Inung? Se
Sejauh inikah aku berjalan? Emily merasa kalau dia sudah cukup lama duduk di atas motor yang dikendarai Adam dengan kecepatan sedang itu. Bahkan rasanya debu-debu jalanan pun sudah tebal menutup pori-porinya. Pantas saja kakinya sakit serasa otot-ototnya membesar dan hampir meledak semalam.Emily tak bisa menepiskan ingatannya pada apa yang menjadi alasan dia pergi meninggalkan rumahnya kemarin sore. Hatinya pun semakin diselimuti oleh rasa ragu. Emily tahu apa yang akan terjadi dengan hatinya jika dia kembali. Sakit!Remuk dan terkoyak, mana yang lebih baik? Keduanya sama menyakitkan dan sama menyiksa. Satu paduan rasa yang membuat orang ingin bercumbu dengan kematian dan meninggalkan hidup. Dan jika sekarang Emily masih bertahan untuk hidup, itu karena dia takut pada kematian. Bukan karena dia hebat, secepat itu bisa berdamai dengan kenyataan.Emily memejamkan matanya sesaat. Mencoba meresapi rasa perih yang menyakitkan itu. Dan ketika dia membuka mata, dua bu
Selesai melayani seorang pelanggan yang datang berbelanja, Inung duduk dan menyeruput kopi susunya dengan nikmat. Kemudian untuk beberapa saat lamanya dia terdiam, seolah sedang termenung memikirkan sesuatu. Sementara itu Abian sedang sibuk memasukan roti ke dalam panggangan. Laki-laki tampan itu menoleh sekilas pada Inung yang sedang termenung. Tapi kemudian dia kembali asyik melanjutkan pekerjaannya membuat roti dibantu oleh seorang pemuda bernama Dion, yang sudah dua tahun ini bekerja di toko roti miliknya itu.Abian menoleh lagi karena didengarnya Inung menghela napas panjang. Diperhatikannya sepupunya itu yang masih duduk termenung sambil bertumpu tangan di atas meja. Inung seperti orang yang sedang dibebani satu masalah. Sejak pagi tadi dia terlihat asyik melamun dan tak banyak bicara seperti biasanya. Tapi ketika berangkat tadi dia tampak biasa saja, pikir Abian bingung. Lantas kenapa sekarang mendadak jadi melamun terus begini?"Nung," panggil Abian pada Inung.
Emily menatap Abian sambil terisak pelan. Dia bingung bagaimana cara menjelaskan pada Abian tentang alasannya tak jadi pulang. Rasanya Abian tak akan bisa mengerti luka hatinya yang terasa perih. Laki-laki itu tak akan mungkin membenarkan perbuatannya ini. Dia pasti akan marah. Tapi sungguh Emily merasa rumah Abian adalah tempat yang ternyaman baginya saat ini. Karena setidaknya Emily tahu kalau Abian adalah seorang laki-laki yang baik. Dan di rumah laki-laki baik itulah dia bisa bersembunyi."Emily, jelaskan pada saya kenapa kamu nggak jadi pulang?" tanya Abian lagi sedikit mendesak. Wajah laki-laki itu tampak serius dan tegas.Emily menggeleng pelan."Jelaskan, Emily. Saya nggak bisa mengerti cuma dengan gelengan kepala kamu," kata Abian lagi bernada tak sabar."Bi!" bentak Inung pelan. "Biar dia tenang dulu. Jangan didesak begitu."Abian pun mendesah kesal. Bocah cengeng, pikirnya. Tapi tak urung diturutinya juga kata-kata Inung itu. Dia t
"Cuma beberapa hari aja, Bi," bujuk Inung.Abian tak menyahut. Dia menatap Emily dengan pandangan yang tajam. Sementara Emily cuma bisa diam. Dia merasa dipaku dengan tatapan tajam itu.Apakah yang ada dalam kepala laki-laki itu? Apakah yang dia pikirkan tentang aku? Pasti di matanya aku hanyalah seorang gadis bodoh yang cengeng. Yang meratap sedih karena kehilangan cinta. Tapi sesungguhnya bukan cinta yang membuatku terluka seperti ini. Tapi dikhianati oleh orang terkasihlah yang membuatku jatuh. Perasaan dikhianati itulah yang sungguh menyakitkan dan membuatku ingin lari dari kenyataan."Berapa lama waktu yang kamu butuhkan, Emily?" Abian kembali melontarkan pertanyaan itu.Emily pun menggeleng pelan. Pertanyaan itu memang seakan tak mempunyai jawaban. Sebab tak akan ada orang yang tahu kapan hatinya bisa kembali kuat setelah dihantam oleh pukulan yang sehebat itu?"Saya bukannya jahat. Saya cuma nggak mau dapat teguran dari Pak RT atau bahkan di
Pagi itu Emily terbangun tanpa Inung di sampingnya. Rumah terasa sepi. Tak terdengar aktivitas suara apa pun di ruang depan atau pun di dapur. Kemanakah Inung? Sudah kembali ke rumahnyakah? Ya, bukankah dia harus mengurus suaminya dulu sebelum berangkat ke toko? Lalu, Abian? Tidakkah dia datang pagi ini? Atau dia langsung berangkat ke toko tanpa pulang dulu kemari? Rumah benar-benar sepi pagi ini. Emily jadi sedikit bingung.Berada di rumah orang dan sendirian seperti ini membuatnya jadi serba salah. Emily tak tahu apa yang harus dia lakukan. Mandi dan membuat sarapan? Tapi Emily tak bisa memasak. Dan dia tak tahu bahan makanan apa saja yang tersedia di dapur.Ah, tak mungkin memasak. Aku cuma akan membuat berantakan dapur Mas Abi saja nanti. Bahkan sekadar memasak telur dadar pun aku tak pernah. Biasanya semua sudah tersedia di atas meja. Dan jika aku butuh sesuatu, aku tinggal meminta pelayan untuk menyiapkannya untukku. Tak perlu bersusah payah mengerjakannya se
Emily melihat Abian yang melangkah cepat memasuki pagar. Dia tampak acuh. Laki-laki itu tak menghiraukan sapaan dari perempuan berkulit pucat yang tampak sangat bersemangat menyapanya itu. Entah karena laki-laki itu yang terlalu dingin, atau karena dia tidak menyukai perempuan itu. Sebab tadi dia hanya sesaat menoleh untuk kemudian acuh berjalan pulang.Abian masuk dan melihat Emily yang sedang berdiri di dekat jendela. Dia langsung bisa menebak apa yang Emily lakukan di sana. Abian pun menatap Emily masih dengan wajah dinginnya hingga Emily seperti dipaku di tempatnya berdiri."Kenapa ngintip-ngintip seperti itu? Kamu seperti ibu-ibu gosip yang sedang mengintip tetangga untuk dijadikan bahan gosipnya," komentar Abian tanpa senyum."Saya cuma sedang melihat keluar," sahut Emily cepat."Kamu udah mandi?" tanya Abian merubah topik pembicaraan.Emily mengangguk. "Sudah," sahutnya segera."Inung bilang kamu mau ikut ke toko?" tanya Abian lagi.E
<span;>Emily mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Rumah ini masih tetap sama seperti ketika dia tinggalkan dulu. Masih tetap bersih dan terasa sejuk. Sungguh nyaman dan mendamaikan. Dengan perasaan haru Emily pun tersenyum. Tanpa dia sadari, telah banyak kenangan terukir di rumah ini. Rumah ini adalah saksi dari perjalanan cintanya bersama Abian. Juga tentang bagaimana dia berubah dari seorang gadis kaya yang manja, menjadi seorang perempuan sederhana yang pandai mengurus rumah. Ah, Emily merindukan rumah ini. Dan sungguh saat ini dia bahagia bisa kembali kemari. <span;>Ketika itu, Abian yang baru kembali dari kamar untuk menidurkan Amanda di ranjangnya pun tersenyum melihat tingkah Emily yang berdiri di tengah ruangan sambil mengedarkan pandangan. <span;>"Selamat datang, ratuku," katanya sambil menatap Emily dengan romantis. Pagi itu memang mereka baru saja sampai. Dan Abian tahu kalau Emily merindukan rumah ini. <span;>
<span;>Pagi itu Abian baru saja terjaga dari tidurnya ketika didengarnya suara ponsel yang berdenting pertanda ada sebuah pesan yang masuk. Abian mengambil ponsel itu dengan malas. Siapa yang menghubunginya pagi buta begini? Dengan mata yang masih mengantuk dia pun berusaha memfokuskan pandangannya pada layar hp. <span;>Emily?! Abian tersentak bagai terkena aliran listrik. Dia pun segera duduk dan membaca pesan itu. 'Mas Abi sayang, nanti malam datang ke sini ya. Ada yang harus kita bicarakan.' <span;>Abian tercekat. Sekali lagi dia membaca pesan itu untuk meyakinkan dirinya kalau isi pesan yang dibacanya memang benar seperti itu. Tapi..., Emily memanggil sayang? Ah, Abian jadi merasa bingung. Bukankah istrinya itu sedang marah padanya? Sedang marah, tapi memanggil sayang? <span;>'Ya, Mily sayang. Saya akan datang nanti malam. Tapi ada apakah?' <span;>'Nggak bisa saya bicarakan di telepon, mas. Pokoknya Ma
<span;>Esok sore, di jam yang sama, Sandra mengetuk pintu kamar Nadya yang tertutup rapat. Tak menunggu lama, pintu kamar itu pun terbuka. Wajah Nadya sedikit bingung karena tak biasanya Sandra mengetuk pintu kamarnya seperti ini. <span;>"Ya, Mbak Sandra, ada apa?" tanya Nadya segera. <span;>"Apa kamu sedang sibuk? Saya ingin minta tolong sebentar," jawab Sandra dengan sikap yang sewajarnya. <span;>"Minta tolong apa, mbak?" <span;>"Tomy datang ingin bertemu dengan Rangga. Tapi Rangga baru saja tidur. Sekarang dia sedang menunggu di teras belakang. Mau kamu menemani dia sebentar? Kamu kan tahu kalau saya atau Mily tidak mungkin menemani dia? Hubungan kami belum baik sampai sekarang." <span;>Nadya pun mengangguk hingga membuat Sandra merasa lega. Lalu tanpa curiga Nadya segera berjalan menuruni tangga menuju ke teras belakang dimana Tomy sedang duduk melamun sendirian. <span;
<span;>"Rasanya sulit untuk percaya kalau Abian berbuat seperti itu, Mily," kata Sandra pada Emily di sore itu. <span;>Emily pun menoleh menatap Sandra untuk beberapa saat. "Jadi kakak percaya pada cerita Mas Abi?" tanyanya sedikit terkejut. <span;>"Percaya seratus persen sih tidak. Tapi kakak melihat pribadi Abian selama ini dan Abian yang diceritakan oleh Nadya, kok, sepertinya bertolak belakang sampai seratus delapan puluh derajat. Coba kamu ingat bagaimana bertanggungjawabnya dia selama ini sebagai suamimu. Juga bagaimana dia berkorban demi memenuhi keinginanmu untuk bisa kuliah lagi. Dia sampai mau mengojek sampai malam, Mily. Dan coba kamu ingat lagi bagaimana dulu Abian tetap bertahan untuk tidak menyentuhmu hanya karena menunggu restu dari papa dan mama. Kamu sudah sah menjadi istrinya ketika itu. Kalian pun tinggal bersama dalam satu rumah. Tapi dia bertahan, Mily. Dia tidak menyentuhmu sampai restu itu dia dapatkan. Jadi, aneh rasa
<span;>"Seorang saksi? Bagaimana mungkin lo bisa menghadirkan seorang saksi, Bi? Siang itu cuma ada lo dan Nadya aja kan di sana?" kata Inung dengan nada bingung. <span;>"Gue juga bingung, Nung. Tapi tanpa kehadiran seorang saksi yang bisa membenarkan cerita gue, Emily akan tetap berpikir kalau gue yang salah. Atau jangan-jangan...." <span;>"Jangan-jangan apa?" <span;>"Atau jangan-jangan dia sengaja berbuat begitu biar dia bisa dekat dengan teman laki-lakinya itu tanpa ada yang menghalangi?" <span;>"Apa iya seperti itu, Bi?" tanya Inung sedikit ragu. <span;>Abian mendesah gelisah. "Gue memang nggak mau nuduh secara langsung sama dia. Tapi bagaimana pun rasa curiga itu tetap ada." <span;>"Semoga rasa curiga lo itu salah, Bi," harap Inung. <span;>"Sore ini gue mau datang lagi ke sana, Nung. Gue kangen banget sama Amanda," kata Abian kemudian. <span;>"Ya, gue ngerti per
<span;>Beberapa hari telah berlalu. Abian masih tetap berusaha sabar untuk tidak menemui Emily, meskipun kerinduannya pada Emily dan Amanda terasa begitu menyesakan dada. Abian tak dapat tidur, juga tak enak makan. Hari-harinya diisi dengan gelisah. Tak ada yang lain yang mengisi kepalanya selain istri dan putrinya itu. Tapi jika dia datang sekarang, apakah Emily sudah bisa diajak bicara? <span;>"Gue udah nggak bisa nahan rasa kangen gue, Nung. Gue juga nggak bisa membiarkan masalah ini berlarut-larut seperti ini. Gue harus menemui Emily sekarang," kata Abian pada Inung di pagi ini. <span;>"Rasanya memang udah saatnya kalian selesaikan masalah ini. Lo udah kasih waktu untuk dia selama beberapa hari ini. Sekarang saatnya dia dengarkan penjelasan dari lo, Bi. Emily nggak boleh cuma dengar cerita dari satu pihak aja. Dia juga harus mau dengar cerita dari lo," sahut Inung. <span;>"Gue nggak ngerti kenapa Emily bisa termakan cer
<span;>Abian mengulangi pertanyaannya hingga beberapakali. Tapi jawaban dan reaksi Emily tetap sama. Dia tetap berseru meminta Abian untuk pergi dengan wajah yang menyiratkan rasa marah dan kecewa. Abian jadi semakin bingung. Dia tak tahu harus berbuat apa hingga hanya bisa mematung di tempatnya berdiri. Emily seperti tak bisa diajak bicara. Dia terlalu histeris dalam tangis dan kemarahannya. <span;>"Tenang dulu, Mily. Coba jelaskan dulu pada saya ada apa ini sebenarnya? Saya benar-benar nggak ngerti kenapa kamu bersikap seperti ini pada saya?" kata Abian bingung. <span;>"Tanya pada diri Mas Abi sendiri, apa yang sudah Mas Abi lakukan?!" sembur Emily marah. <span;>"Apa yang sudah saya lakukan?" Abian tak mengerti dengan perkataan Emily. "Memangnya apa yang sudah saya lakukan, Mily?" <span;>"Mas yang lebih tahu apa yang sudah Mas lakukan! Dasar laki-laki jahat! Saya benci Mas Abi!" Histeris Emily semakin me
<span;>Sore itu Abian bergegas pulang. Dia ingin mendengar cerita Emily tentang pertemuannya dengan Nadya tadi siang. Abian khawatir terjadi keributan antara Emily dan adik sepupunya itu. Meski Abian tahu kalau Nadya tak akan berani membangkitkan rasa cemburu Emily, tapi tetap saja hati Abian tak tenang membayangkan kedua perempuan itu bertemu dan bicara tentang alasan Nadya meninggalkan rumah mereka dengan cara seperti itu. <span;>Motor Abian berhenti di depan pintu pagar rumahnya. Dia melihat ke arah rumahnya yang sepi. Bahkan jendela pun tertutup rapat. Sepertinya Emily belum pulang. Abian pun berpikir sejenak. Apakah sebaiknya dia menunggu Emily di rumah saja, atau kembali ke toko dan pulang ke rumah lagi nanti? Hm, rasanya lebih baik kembali saja ke toko. Nanti sebelum maghrib, barulah pulang menemui Emily. <span;>Abian pun segera memutar motornya dan melajukannya kembali ke toko. Dan ketika dia memasuki halaman parkir di depan tokonya,
<span;>"Nggak mungkin!" seru Emily pelan. "Nggak mungkin Mas Abi melakukan itu!" <span;>"Saya tahu Mbak Mily tidak akan percaya dengan cerita Saya. Karena itulah saya memilih pergi dan diam," kata Nadya dengan ekspresi wajah yang sangat meyakinkan. <span;>"Oh!" Emily kembali terpekik pelan. Benarkah itu? Benarkah suaminya melakukan perbuatan serendah itu? Rasanya ingin tak percaya, tapi raut wajah Nadya sepertinya tidak main-main. Tampaknya dia tidak sedang bercanda, apa lagi berdusta. <span;>"Maafkan saya, Mbak Mily. Saya tidak tahu kalau selama ini Mas Abi memiliki perasaan yang lain terhadap saya. Andai saja saya tahu, pasti saya tidak akan tinggal di rumah Mbak Mily. Saya pikir, selama ini Mas Abi cuma menganggap saya sebagai adik. Tapi ternyata tidak seperti itu." <span;>"Tapi Mas Abi bukan laki-laki seperti itu, Nadya!" Emily masih mencoba untuk percaya pada kesetiaan suaminya. <span;&