Emily melihat Abian yang melangkah cepat memasuki pagar. Dia tampak acuh. Laki-laki itu tak menghiraukan sapaan dari perempuan berkulit pucat yang tampak sangat bersemangat menyapanya itu. Entah karena laki-laki itu yang terlalu dingin, atau karena dia tidak menyukai perempuan itu. Sebab tadi dia hanya sesaat menoleh untuk kemudian acuh berjalan pulang.
Abian masuk dan melihat Emily yang sedang berdiri di dekat jendela. Dia langsung bisa menebak apa yang Emily lakukan di sana. Abian pun menatap Emily masih dengan wajah dinginnya hingga Emily seperti dipaku di tempatnya berdiri.
"Kenapa ngintip-ngintip seperti itu? Kamu seperti ibu-ibu gosip yang sedang mengintip tetangga untuk dijadikan bahan gosipnya," komentar Abian tanpa senyum.
"Saya cuma sedang melihat keluar," sahut Emily cepat.
"Kamu udah mandi?" tanya Abian merubah topik pembicaraan.
Emily mengangguk. "Sudah," sahutnya segera.
"Inung bilang kamu mau ikut ke toko?" tanya Abian lagi.
Emily pun mengangguk lagi.
"Ya sudah, sebentar lagi kita berangkat. Tapi jalan kaki. Motor saya baru mau diambil dari bengkel siang ini," kata Abian sambil berjalan menuju kamarnya. Entahlah, mungkin ada sesuatu yang ingin diambilnya. Emily hanya berdiri menunggu tanpa sedikit pun bertanya.
Tiba-tiba, hanya berselang detik, perempuan berkulit pucat yang tadi ada di depan sana menerobos masuk tanpa permisi. Dia pun terkejut melihat Emily di sana. Begitu pula Emily yang tersentak melihat perempuan itu tiba-tiba saja sudah berada di depannya seperti itu. Keduanya berdiri berhadapan, saling tatap dengan wajah bingung.
"Kamu siapa?" perempuan berkulit pucat itu bertanya lebih dulu.
"Saya Emily," sahut Emily.
"Kamu siapanya Mas Abi? Kok, ada di sini?" tanya perempuan itu lagi.
"Saya...."
"Ada urusan apa kamu tanya-tanya?" potong Abian cepat hingga Emily tak melanjutkan kalimatnya.
Abian yang baru saja datang dari dalam pun berdiri menatap perempuan berkulit pucat itu dengan wajah masam. Sementara Emily hanya diam memperhatikan. Dan Emily melihat betapa ekspresi yang ditunjukan oleh perempuan itu bertolak belakang dengan sikap dingin Abian.
Perempuan itu langsung tersenyum lebar begitu dia melihat Abian datang. Dan seakan tak peduli dengan raut cemberut Abian, perempuan itu pun menyapa dengan ramah.
"Selamat pagi, Mas Abi. Makin ganteng aja pagi ini," sapanya tersenyum genit.
Abian cuma diam. Menatap dengan pandangan dingin seperti tadi.
"Mas Abi udah sarapan? Saya bawakan sarapan buat Mas Abi," kata perempuan itu yang ternyata membawa rantang makanan.
"Terima kasih. Saya udah sarapan tadi," tolak Abian segera.
Perempuan itu meletakan rantang makanannya di atas meja ruang tamu. Sikap dan senyumnya masih tetap genit seperti tadi. Sepertinya dia benar-benar tak terganggu dengan sikap dingin Abian itu.
"Dibawa aja, mas. Siapa tahu nanti Mas Abi lapar lagi," katanya sedikit memaksa.
"Nggak usah, terima kasih. Saya nggak mungkin sarapan sampai dua kali," tolak Abian lagi.
"Mas Abi mau makan siang apa? Biar nanti saya masakin," kata perempuan itu lagi menawarkan seolah dia tak peduli pada dua kali penolakan yang Abian berikan padanya.
"Nggak usah repot-repot. Saya bisa beli sendiri." Lagi-lagi Abian menolak dengan wajah yang kaku.
Perempuan itu masih tetap tersenyum. Emily sampai menatapnya dengan bingung. Tidakkah dia tersinggung dengan sikap dingin Abian itu? Rasanya Emily ingin menanyakan tentang hal itu padanya. Tapi karena rasanya itu tak pantas, Emily pun hanya berdiri diam memperhatikan.
"Saya akan masak sesuatu yang spesial untuk Mas Abi hari ini. Nanti siang saya antar, ya," kata perempuan itu masih terus menawarkan jasa baiknya.
Kali ini Abian tak menyahut. Dia cuma diam seolah malas untuk menanggapi.
Kemudian perempuan itu pun menoleh pada Emily. Dia seperti baru teringat kembali dengan keberadaan Emily di ruangan itu. Pandangannya menyelidik, sedikit tak bersahabat.
"Oh iya, kamu belum jawab pertanyaan saya tadi. Kamu siapanya Mas Abi?" Perempuan itu kembali melontarkan pertanyaan yang sama pada Emily.
"Bukan urusan kamu." Abian cepat menyela. "Untuk apa kamu tanya-tanya seperti itu? Dia tamu saya."
Perempuan itu pun kembali menoleh pada Abian. "Saya cuma tanya, kok. Saya nggak bermaksud usil," ucapnya segera.
"Sekarang sebaiknya kamu pulang. Saya dan Emily mau berangkat ke toko," kata Abian kemudian.
"Cepat sekali berangkat ke tokonya," kata perempuan itu seolah protes. "Ya udah, saya pulang kalau begitu. Tapi nanti siang saya antar makanan ke toko, ya," lanjutnya.
Perempuan itu pun segera hendak keluar meninggalkan rumah Abian. Tapi terdengar suara Abian yang menahan langkahnya dan membuat dia menoleh.
"Bawa sekalian rantang makanan kamu. Mubazir, di sini nggak ada yang makan," kata Abian.
"Bawa aja ke toko," sahut perempuan itu memaksa.
Abian menggeleng.
"Apa masakan saya nggak enak?" tanya perempuan itu agak kecewa.
"Masakan kamu enak, Sinta. Kamu pandai memasak. Tapi sekarang saya udah kenyang. Nggak mungkin lagi saya makan makanan kamu itu," kata Abian sedikit menghibur.
Perempuan yang dipanggil Sinta itu pun tersenyum. "Saya senang kalau Mas Abi suka masakan saya. Nanti siang saya antar makanan sebelum jam makan siang, ya," katanya. Lalu dia mengambil kembali rantang makanannya yang tadi dia letakan di atas meja. Kemudian dia menoleh sekilas pada Emily, tersenyum dan melangkah keluar dengan gerakan yang genit.
Emily mengikuti kepergian perempuan bernama Sinta itu dengan pandangan matanya. Dan dia baru berhenti memperhatikan perempuan itu setelah didengarnya Abian menghela napas panjang.
"Siapa perempuan itu? Sepertinya dia sangat perhatian sama Mas Abi?" tanya Emily tanpa bermaksud ikut campur urusan Abian dan Sinta.
Abian pun menatap Emily dengan pandangan dinginnya.
"Jangan seperti ibu-ibu gosip," sahutnya."Saya cuma tanya," kata Emily pelan.
"Nggak usah tanya-tanya. Mending kita berangkat ke toko sekarang dari pada nanti perempuan itu kembali lagi. Saya pusing menghadapi dia," kata Abian sambil melangkah ke arah pintu.
Emily pun segera mengekor di belakang Abian. Dia tak lagi berani bertanya tentang Sinta. Tapi dari sikap dan ucapan Abian barusan, Emily bisa tahu kalau Abian tidak menyukai perempuan itu. Ya, cukup sebatas itu yang Emily tahu. Tapi entah apa sebabnya, Emily tak mungkin mencaritahu dan bertanya pada Abian yang tak kan mungkin mau menjawabnya.
Ketika mereka melangkah keluar pagar, ternyata Inung telah menunggu mereka di depan rumahnya. Dia tampak sedang berbincang dengan Adam, suaminya. Begitu dia melihat Abian dan Emily keluar dari rumah, dia pun bergegas menghampiri.
"Yuk," ajaknya.
Mereka bertiga pun berjalan santai diiringi pandangan penasaran dari kelompok ibu-ibu yang sedang berbelanja di seberang jalan.
"Yups, mereka mendapat bahan gosip," celetuk Inung pelan.
"Biarin aja. Nggak usah dipikirin," sahut Abian santai.
Emily menoleh sekilas melihat ke arah para ibu itu. Dia tak melihat Sinta ada di sana. Mungkin dia sudah pulang, pikir Emily. Yang ada di sana hanyalah para ibu yang terus mengikuti langkahnya dengan pandangan mata mereka.
"Apa mereka bergosip tentang saya?" tanya Emily pada Inung.
"Jika ada gadis muda keluar dari rumah seorang bujang, sudah pasti akan jadi bahan gosip yang hangat, Emily. Ini Indonesia. Hal seperti itu belum bisa dianggap lumrah. Iya, kan? Apa lagi mulut ibu-ibu di sini terhitung tajam. Mereka senang menyebarkan satu cerita sesuai dengan apa yang mereka mau, bukan apa yang sebenarnya terjadi."
"Oh, jadi mereka akan menyebarkan gosip tentang Mas Abi karena kehadiran saya?" tanya Emily lagi.
"Nggak usah dibahas," sahut Abian cepat. "Toh, kamu juga nggak akan mau pulang hari ini, kan? Lagi pula saya udah biasa digosipin," lanjutnya lagi.
"Apa Mas Abi mau saya pulang hari ini?"
Abian menoleh mendengar pertanyaan Emily itu. "Untuk apa bertanya seperti itu? Emangnya kamu mau pulang hari ini? Nggak, kan?"
Emily terdiam. Ya, dia memang tidak mungkin pulang hari ini. Pertanyaan itu pasti terdengar seperti sebuah basa-basi di telinga Abian.
"Saya ingin kamu kuat dan nggak cengeng, Emily. Saya ingin kamu bisa menghadapi kenyataan dan nggak lagi lari dan sembunyi seperti ini," kata Abian melanjutkan kata-katanya tadi.
Emily terus terdiam. Dia tak bisa menyahuti kata-kata Abian barusan. Cengeng? Lari dari kenyataan? Ah, terserahlah dia mau bilang apa. Emily tak peduli. Emily hanya ingin menyembuhkan luka meski harus dengan cara lari dan sembunyi seperti ini. Bukankah tiap orang mengambil jalan yang berbeda-beda untuk bisa bangkit dari keterpurukannya?
"Tadi Mas Abi bilang, Mas Abi sudah terbiasa jadi bahan gosip. Apa itu benar? Kenapa begitu?" tanya Emily merubah topik pembicaraan.
"Terus hidup membujang di usia saya yang sekarang tentu mengundang omongan orang, Emily," sahut Abian tanpa beban.
"Ya. Apa lagi ada beberapa orang ibu yang ingin menjodohkan putrinya dengan Abian, tapi ditolak. Sudah pasti akan ada rasa sakit hati atas penolakan itu, kan? Nah, timbullah berbagai macam gosip yang beredar dengan cepat," sambung Inung bersemangat.
"Gosip? Gosip tentang apa?" tanya Emily cepat seolah dia pun bersemangat ingin mendengar gosip itu.
"Macam-macam. Ada yang bilang kalau Abian itu sombonglah, terlalu pilih-pilihlah, ingin membujang seumur hiduplah. Sampai ada yang nyebar cerita kalau Abian itu nggak normal," sahut Inung diakhiri tawa.
"Sampai seperti itu?" tanya Emily lagi dengan nada terkejut.
"Ya," angguk Inung segera. "Tapi Abian nggak pernah menanggapi. Dia santai membiarkan gosip itu menghilang perlahan."
"Tapi kenapa Mas Abi menolak perempuan-perempuan itu? Kenapa nggak pilih satu untuk dijadikan istri? Memangnya perempuan seperti apa yang Mas Abi mau?" tanya Emily bertubi-tubi terdorong oleh rasa penasarannya.
"Yang jelas bukan yang cengeng dan lemah seperti kamu. Dasar bawel!" sahut Abian seperti mengomel.
Emily pun langsung diam dan cemberut. Sementara Inung cuma tersenyum mendengarnya. Dia tahu Emily belum terbiasa dengan mulut ketus Abian. Sedang Abian terus berjalan santai seolah tak peduli pada Emily yang berjalan dengan wajah cemberut di sampingnya.
Laki-laki tampan ini..., hatinya begitu baik. Tapi lidahnya seringkali tajam saat berbicara. Aku ingin tahu perempuan seperti apakah yang sanggup mendampinginya? Hati Emily terus berceloteh menahan rasa kekinya terhadap Abian.
Abian melihat pada jam tangannya. Kemudian dia membuka celemeknya dan menghampiri Inung yang baru saja selesai melayani seorang pembeli."Gue ke bengkel dulu, Nung. Mau ambil motor."Inung menoleh. "Nggak habis makan siang aja, Bi? Tanggung sebentar lagi jam makan siang. Karyawan bengkelnya juga pada istirahat."Abian menggeleng. "Sekarang aja. Mumpung lagi nggak banyak kerjaan. Dion bisa ngerjain sendirian."Setelah itu Abian pun melangkah pergi dengan tergesa. Inung dan Emily memperhatikan kepergian laki-laki jangkung itu dari dalam toko. Abian tampak menghampiri tukang ojek yang mangkal tak jauh dari situ lalu segera menaikinya dan pergi."Kenapa dia tergesa seperti itu? Cuma ambil motor dari bengkel kok seperti orang mau ambil gaji?" tanya Inung yang merasa bingung dengan kelakuan sepupunya itu."Mungkin Mas Abi mau menghindari perempuan yang janji mau datang siang ini untuk mengantarkan makan siang," celetuk Emily yang tiba-tiba saja teringat
Emily duduk di ruang tamu Abian dengan lemas. Perasaan kesal dan bingung berjejal di hatinya hingga membuatnya ingin menangis. Oh, bagaimana ini? Barusan Pak RT datang dan menyampaikan kabar tentang keberatan warga atas kehadirannya di rumah Abian sebagai tamu yang menginap. Mereka protes. Ini tidak pantas, katanya. Masyarakat di sini menganggap tabu tentang semua ini. Tidak boleh gadis menginap di rumah seorang perjaka. Apa lagi si perjaka hidup sendirian. Itu dalih mereka untuk meminta Emily pergi.Di hadapan beberapa orang ibu yang ikut datang, Emily telah berusaha menjelaskan kalau Abian tak tinggal di rumahnya selama dia berada di sana. Tapi mereka tak mau menerima penjelasan itu. Mereka bilang tak ada yang bisa menjamin jika Abian benar-benar tak tidur di sana. Oh, tuhan! Emily gusar mendengar semua itu. Kenapa mereka begitu senang berprasangka buruk terhadap orang lain? Kenapa tak bisa percaya kalau Abian benar tak tidur satu atap dengan dirinya?Melawan para ib
Emily keluar dari rumah Abian pagi-pagi benar. Inung bilang memang sebaiknya begitu. Agar dia tak perlu bertemu dengan ibu-ibu penggosip yang menginginkan kepergiannya. Emily menurut. Rasanya memang sebaiknya tak bertemu dengan mereka. Sebab Emily pasti akan merasa risih nanti. Alangkah tak enaknya jika ada sekelompok orang yang berbisik-bisik di depan kita dan kita tahu jika yang mereka bicarakan itu adalah kita. Oh, benar-benar menyebalkan!Akhirnya, disaat langit belum diterangi oleh cahaya mentari, Emily pun pergi. Tujuannya adalah rumah Monik, sahabatnya. Dan seperti kemarin, Emily diantarkan oleh Adam. Abian yang meminta Adam untuk mengantarkannya pulang. Hm, rupanya dia sungguh mengkhawatirkanku, pikir Emily sedikit senang. Entahlah, mungkin rasa senang yang tak beralasan. Tapi Emily selalu merasa seperti itu tiapkali Abian memberikannya sedikit perhatian.Ketika Emily pergi tadi, Abian dan Inung mengantarkannya sampai ke depan rumah. Inung banyak berpesan, member
Emily duduk diam di sofa ruang tamu Monik. Segelas minuman dingin dipegangnya erat-erat hingga embun dinginnya membasahi telapak tangannya. Emily menikmati rasa dingin itu. Digerakkannya jari jemarinya hingga embun yang menempel di gelas itu mengalir perlahan di sela-sela jarinya. Semua itu dilakukannya untuk menutupi rasa gugup yang menyelimuti hatinya. Ya, rasa gugup yang mengganggu. Bahkan sudah menguasai hatinya sebelum pertanyaannya untuk Monik dia lontarkan.Sementara itu Monik sedang sibuk menghidangkan aneka macam kue dan biskuit untuk Emily. Dia mondar-mandir membawa toples kue juga piring-piring berisi aneka kue basah yang Emily tahu kalau semua itu bukanlah hasil buatannya. Monik tak pandai memasak. Bahkan masuk dapur pun dia tak suka. Yah, sebelas dua belas-lah dengan Emily. Sama-sama perempuan yang tidak bisa memasak dan tak suka dapur. Tapi doyan ngemil. Karena itulah selalu tersedia kue dan berbagai macam jenis camilan di rumah.Sambil terus memegang gel
"Gue kecewa, Nik...," lirih Emily sedih."Tenangin dulu hati lo, Mil. Lo jangan berpikiran orangtua lo nggak peduli sama perasaan lo. Karena itu nggak mungkin. Lo juga anak mereka. Mereka pasti sayang sama lo," kata Monik sambil menggenggam tangan Emily.Emily menggeleng pelan. "Kalau mereka peduli sama perasaan gue, mestinya mereka ngejauhin Kak Sandra dan Tomy dari gue. Karena hidup satu atap dengan mereka pasti akan bikin hati gue tambah hancur. Tapi nyatanya mereka malah meminta Kak Sandra dan Tomy untuk tinggal di sana. Lo bisa bayangin gimana perasaan gue?"Monik terdiam. Dia bisa merasakan bagaimana pedihnya hati Emily. Rasanya Monik ingin ikut menangis bersama dengan sahabatnya itu. Tapi itu tak mungkin dia lakukan. Monik harus bisa membuat Emily menjadi kuat. Bukannya malah membuat Emily lebih terhanyut lagi dalam kesedihannya itu."Ya, Mily. Gue ngerti gimana perasaan lo. Tapi gue harap lo nggak terus hancur seperti ini. Jangan peduliin kebahagi
Adam menatap Emily tak percaya. Sedangkan gadis cantik itu masih terus menangis dengan tubuh yang terasa lemas. Perlahan Adam menyentuh pundak Emily hingga gadis itu menoleh dan menatap Adam dengan matanya yang basah."Kenapa seperti ini, Neng Emily?" tanya Adam trenyuh.Emily tak menyahut. Dia cuma menatap Adam sambil terisak."Bapak kenal dengan gadis ini?" tanya seseorang pada Adam.Adam mengangguk. "Ya. Gadis ini..., kerabat saya," sahutnya.Lalu orang yang bertanya menoleh pada Emily dan melontarkan pertanyaan yang serupa."Kamu kenal dengan bapak ini? Apa benar bapak ini kerabatmu?"Emily mengangguk pelan."Ya sudah kalau begitu cepat dibawa pulang saja, pak. Jangan dibiarkan dia pergi sendirian. Nanti dia berbuat nekat lagi," nasihat orang yang bertanya tadi.Adam mengangguk. "Terima kasih atas pertolongannya, bapak-bapak semua," ucapnya pada orang-orang yang tadi telah menolong Emily.Kemudian Adam kembali
Pernikahan itu berlangsung tanpa sebuah pesta. Bahkan tanpa dihadiri oleh orang banyak. Abian hanya mengundang Pak RT Karim dan beberapa orang yang dituakan di kampung itu. Sebuah pernikahan dadakan pun terjadi tanpa hambatan apa-apa. Pagi itu Abian dan Emily pun resmi menjadi sepasang suami istri.Inung dan Adam menyambutnya dengan penuh suka cita. Meski hanya sebuah pernikahan di atas kertas, tapi mereka berharap setidaknya pernikahan itu akan menghapus bisik-bisik buruk tentang Abian yang selama ini terus berkembang di kampung mereka. Sebab telinga Inung sudah lelah mendengar gosip tak benar tentang sepupunya itu. Dan sekarang Inung berharap semoga pernikahan ini bisa membungkam mulut-mulut tajam ibu-ibu yang tak bertanggungjawab itu hingga gosip itu pun akan menghilang dengan sendirinya.Benarkah Abian menikah? Rupanya benar ada hubungan istimewa antara Abian dengan Emily! Itu, buktinya mereka menikah hari ini! Jadi Abian itu bukan jeruk makan jeruk, ya? Ah, dia cu
Emily terbangun dari tidurnya saat matahari belum memancarkan cahayanya. Dengan malas dia menggeliat, merenggangkan otot-otot tubuhnya yang terasa kaku. Oh, Emily merasakan seluruh tubuhnya sakit. Nyeri dan pegal! Kenapa ini? Apa karena beberapa hari ini dia lelah mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga yang belum pernah dia kerjakan sebelumnya? Ya ampun! Emily merasa remuk!Aahh, Emily merintih pelan saat mencoba untuk bangun. Bagaimana dia bisa mengerjakan semua pekerjaan itu kalau badannya begini? Mungkin hari ini tak perlu mengepel lantai, cukup menyapu saja. Mungkin hari ini juga tak perlu mencuci dan menyetrika. Toh, baju bersih di lemari masih banyak. Dan mungkin hari ini tak perlu mencoba memasak dulu. Rasa masakannya pun selalu tak karuan. Tak layak untuk dimakan!Hari ini aku ingin istirahat.... rintih hati Emily. Sekadar menghabiskan waktu di depan televisi atau santai di atas kasur. Pasti rasanya nikmat tak harus bergumul dengan berbagai macam pekerjaan ya
<span;>Emily mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Rumah ini masih tetap sama seperti ketika dia tinggalkan dulu. Masih tetap bersih dan terasa sejuk. Sungguh nyaman dan mendamaikan. Dengan perasaan haru Emily pun tersenyum. Tanpa dia sadari, telah banyak kenangan terukir di rumah ini. Rumah ini adalah saksi dari perjalanan cintanya bersama Abian. Juga tentang bagaimana dia berubah dari seorang gadis kaya yang manja, menjadi seorang perempuan sederhana yang pandai mengurus rumah. Ah, Emily merindukan rumah ini. Dan sungguh saat ini dia bahagia bisa kembali kemari. <span;>Ketika itu, Abian yang baru kembali dari kamar untuk menidurkan Amanda di ranjangnya pun tersenyum melihat tingkah Emily yang berdiri di tengah ruangan sambil mengedarkan pandangan. <span;>"Selamat datang, ratuku," katanya sambil menatap Emily dengan romantis. Pagi itu memang mereka baru saja sampai. Dan Abian tahu kalau Emily merindukan rumah ini. <span;>
<span;>Pagi itu Abian baru saja terjaga dari tidurnya ketika didengarnya suara ponsel yang berdenting pertanda ada sebuah pesan yang masuk. Abian mengambil ponsel itu dengan malas. Siapa yang menghubunginya pagi buta begini? Dengan mata yang masih mengantuk dia pun berusaha memfokuskan pandangannya pada layar hp. <span;>Emily?! Abian tersentak bagai terkena aliran listrik. Dia pun segera duduk dan membaca pesan itu. 'Mas Abi sayang, nanti malam datang ke sini ya. Ada yang harus kita bicarakan.' <span;>Abian tercekat. Sekali lagi dia membaca pesan itu untuk meyakinkan dirinya kalau isi pesan yang dibacanya memang benar seperti itu. Tapi..., Emily memanggil sayang? Ah, Abian jadi merasa bingung. Bukankah istrinya itu sedang marah padanya? Sedang marah, tapi memanggil sayang? <span;>'Ya, Mily sayang. Saya akan datang nanti malam. Tapi ada apakah?' <span;>'Nggak bisa saya bicarakan di telepon, mas. Pokoknya Ma
<span;>Esok sore, di jam yang sama, Sandra mengetuk pintu kamar Nadya yang tertutup rapat. Tak menunggu lama, pintu kamar itu pun terbuka. Wajah Nadya sedikit bingung karena tak biasanya Sandra mengetuk pintu kamarnya seperti ini. <span;>"Ya, Mbak Sandra, ada apa?" tanya Nadya segera. <span;>"Apa kamu sedang sibuk? Saya ingin minta tolong sebentar," jawab Sandra dengan sikap yang sewajarnya. <span;>"Minta tolong apa, mbak?" <span;>"Tomy datang ingin bertemu dengan Rangga. Tapi Rangga baru saja tidur. Sekarang dia sedang menunggu di teras belakang. Mau kamu menemani dia sebentar? Kamu kan tahu kalau saya atau Mily tidak mungkin menemani dia? Hubungan kami belum baik sampai sekarang." <span;>Nadya pun mengangguk hingga membuat Sandra merasa lega. Lalu tanpa curiga Nadya segera berjalan menuruni tangga menuju ke teras belakang dimana Tomy sedang duduk melamun sendirian. <span;
<span;>"Rasanya sulit untuk percaya kalau Abian berbuat seperti itu, Mily," kata Sandra pada Emily di sore itu. <span;>Emily pun menoleh menatap Sandra untuk beberapa saat. "Jadi kakak percaya pada cerita Mas Abi?" tanyanya sedikit terkejut. <span;>"Percaya seratus persen sih tidak. Tapi kakak melihat pribadi Abian selama ini dan Abian yang diceritakan oleh Nadya, kok, sepertinya bertolak belakang sampai seratus delapan puluh derajat. Coba kamu ingat bagaimana bertanggungjawabnya dia selama ini sebagai suamimu. Juga bagaimana dia berkorban demi memenuhi keinginanmu untuk bisa kuliah lagi. Dia sampai mau mengojek sampai malam, Mily. Dan coba kamu ingat lagi bagaimana dulu Abian tetap bertahan untuk tidak menyentuhmu hanya karena menunggu restu dari papa dan mama. Kamu sudah sah menjadi istrinya ketika itu. Kalian pun tinggal bersama dalam satu rumah. Tapi dia bertahan, Mily. Dia tidak menyentuhmu sampai restu itu dia dapatkan. Jadi, aneh rasa
<span;>"Seorang saksi? Bagaimana mungkin lo bisa menghadirkan seorang saksi, Bi? Siang itu cuma ada lo dan Nadya aja kan di sana?" kata Inung dengan nada bingung. <span;>"Gue juga bingung, Nung. Tapi tanpa kehadiran seorang saksi yang bisa membenarkan cerita gue, Emily akan tetap berpikir kalau gue yang salah. Atau jangan-jangan...." <span;>"Jangan-jangan apa?" <span;>"Atau jangan-jangan dia sengaja berbuat begitu biar dia bisa dekat dengan teman laki-lakinya itu tanpa ada yang menghalangi?" <span;>"Apa iya seperti itu, Bi?" tanya Inung sedikit ragu. <span;>Abian mendesah gelisah. "Gue memang nggak mau nuduh secara langsung sama dia. Tapi bagaimana pun rasa curiga itu tetap ada." <span;>"Semoga rasa curiga lo itu salah, Bi," harap Inung. <span;>"Sore ini gue mau datang lagi ke sana, Nung. Gue kangen banget sama Amanda," kata Abian kemudian. <span;>"Ya, gue ngerti per
<span;>Beberapa hari telah berlalu. Abian masih tetap berusaha sabar untuk tidak menemui Emily, meskipun kerinduannya pada Emily dan Amanda terasa begitu menyesakan dada. Abian tak dapat tidur, juga tak enak makan. Hari-harinya diisi dengan gelisah. Tak ada yang lain yang mengisi kepalanya selain istri dan putrinya itu. Tapi jika dia datang sekarang, apakah Emily sudah bisa diajak bicara? <span;>"Gue udah nggak bisa nahan rasa kangen gue, Nung. Gue juga nggak bisa membiarkan masalah ini berlarut-larut seperti ini. Gue harus menemui Emily sekarang," kata Abian pada Inung di pagi ini. <span;>"Rasanya memang udah saatnya kalian selesaikan masalah ini. Lo udah kasih waktu untuk dia selama beberapa hari ini. Sekarang saatnya dia dengarkan penjelasan dari lo, Bi. Emily nggak boleh cuma dengar cerita dari satu pihak aja. Dia juga harus mau dengar cerita dari lo," sahut Inung. <span;>"Gue nggak ngerti kenapa Emily bisa termakan cer
<span;>Abian mengulangi pertanyaannya hingga beberapakali. Tapi jawaban dan reaksi Emily tetap sama. Dia tetap berseru meminta Abian untuk pergi dengan wajah yang menyiratkan rasa marah dan kecewa. Abian jadi semakin bingung. Dia tak tahu harus berbuat apa hingga hanya bisa mematung di tempatnya berdiri. Emily seperti tak bisa diajak bicara. Dia terlalu histeris dalam tangis dan kemarahannya. <span;>"Tenang dulu, Mily. Coba jelaskan dulu pada saya ada apa ini sebenarnya? Saya benar-benar nggak ngerti kenapa kamu bersikap seperti ini pada saya?" kata Abian bingung. <span;>"Tanya pada diri Mas Abi sendiri, apa yang sudah Mas Abi lakukan?!" sembur Emily marah. <span;>"Apa yang sudah saya lakukan?" Abian tak mengerti dengan perkataan Emily. "Memangnya apa yang sudah saya lakukan, Mily?" <span;>"Mas yang lebih tahu apa yang sudah Mas lakukan! Dasar laki-laki jahat! Saya benci Mas Abi!" Histeris Emily semakin me
<span;>Sore itu Abian bergegas pulang. Dia ingin mendengar cerita Emily tentang pertemuannya dengan Nadya tadi siang. Abian khawatir terjadi keributan antara Emily dan adik sepupunya itu. Meski Abian tahu kalau Nadya tak akan berani membangkitkan rasa cemburu Emily, tapi tetap saja hati Abian tak tenang membayangkan kedua perempuan itu bertemu dan bicara tentang alasan Nadya meninggalkan rumah mereka dengan cara seperti itu. <span;>Motor Abian berhenti di depan pintu pagar rumahnya. Dia melihat ke arah rumahnya yang sepi. Bahkan jendela pun tertutup rapat. Sepertinya Emily belum pulang. Abian pun berpikir sejenak. Apakah sebaiknya dia menunggu Emily di rumah saja, atau kembali ke toko dan pulang ke rumah lagi nanti? Hm, rasanya lebih baik kembali saja ke toko. Nanti sebelum maghrib, barulah pulang menemui Emily. <span;>Abian pun segera memutar motornya dan melajukannya kembali ke toko. Dan ketika dia memasuki halaman parkir di depan tokonya,
<span;>"Nggak mungkin!" seru Emily pelan. "Nggak mungkin Mas Abi melakukan itu!" <span;>"Saya tahu Mbak Mily tidak akan percaya dengan cerita Saya. Karena itulah saya memilih pergi dan diam," kata Nadya dengan ekspresi wajah yang sangat meyakinkan. <span;>"Oh!" Emily kembali terpekik pelan. Benarkah itu? Benarkah suaminya melakukan perbuatan serendah itu? Rasanya ingin tak percaya, tapi raut wajah Nadya sepertinya tidak main-main. Tampaknya dia tidak sedang bercanda, apa lagi berdusta. <span;>"Maafkan saya, Mbak Mily. Saya tidak tahu kalau selama ini Mas Abi memiliki perasaan yang lain terhadap saya. Andai saja saya tahu, pasti saya tidak akan tinggal di rumah Mbak Mily. Saya pikir, selama ini Mas Abi cuma menganggap saya sebagai adik. Tapi ternyata tidak seperti itu." <span;>"Tapi Mas Abi bukan laki-laki seperti itu, Nadya!" Emily masih mencoba untuk percaya pada kesetiaan suaminya. <span;&