Pernikahan itu berlangsung tanpa sebuah pesta. Bahkan tanpa dihadiri oleh orang banyak. Abian hanya mengundang Pak RT Karim dan beberapa orang yang dituakan di kampung itu. Sebuah pernikahan dadakan pun terjadi tanpa hambatan apa-apa. Pagi itu Abian dan Emily pun resmi menjadi sepasang suami istri.
Inung dan Adam menyambutnya dengan penuh suka cita. Meski hanya sebuah pernikahan di atas kertas, tapi mereka berharap setidaknya pernikahan itu akan menghapus bisik-bisik buruk tentang Abian yang selama ini terus berkembang di kampung mereka. Sebab telinga Inung sudah lelah mendengar gosip tak benar tentang sepupunya itu. Dan sekarang Inung berharap semoga pernikahan ini bisa membungkam mulut-mulut tajam ibu-ibu yang tak bertanggungjawab itu hingga gosip itu pun akan menghilang dengan sendirinya.
Benarkah Abian menikah? Rupanya benar ada hubungan istimewa antara Abian dengan Emily! Itu, buktinya mereka menikah hari ini! Jadi Abian itu bukan jeruk makan jeruk, ya? Ah, dia cu
Emily terbangun dari tidurnya saat matahari belum memancarkan cahayanya. Dengan malas dia menggeliat, merenggangkan otot-otot tubuhnya yang terasa kaku. Oh, Emily merasakan seluruh tubuhnya sakit. Nyeri dan pegal! Kenapa ini? Apa karena beberapa hari ini dia lelah mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga yang belum pernah dia kerjakan sebelumnya? Ya ampun! Emily merasa remuk!Aahh, Emily merintih pelan saat mencoba untuk bangun. Bagaimana dia bisa mengerjakan semua pekerjaan itu kalau badannya begini? Mungkin hari ini tak perlu mengepel lantai, cukup menyapu saja. Mungkin hari ini juga tak perlu mencuci dan menyetrika. Toh, baju bersih di lemari masih banyak. Dan mungkin hari ini tak perlu mencoba memasak dulu. Rasa masakannya pun selalu tak karuan. Tak layak untuk dimakan!Hari ini aku ingin istirahat.... rintih hati Emily. Sekadar menghabiskan waktu di depan televisi atau santai di atas kasur. Pasti rasanya nikmat tak harus bergumul dengan berbagai macam pekerjaan ya
Menjelang siang Emily duduk di ruang tamu sambil memijit-mijit pelan kakinya yang sakit. Hm, sudah jauh lebih baik dari pada tadi pagi. Rasanya sudah bisa untuk dipakai beraktivitas, mengerjakan sedikit pekerjaan rumah. Tapi mengerjakan apa, ya? Dapur sudah rapi dibersihkan Abian tadi pagi. Memasak tidak boleh karena siang ini Abian akan pulang membawakan makan siang untuknya. Lantas apa? Mencuci pakaian? Menyetrika? Ah, besok sajalah. Dan akhirnya, Emily kembali duduk santai di tempatnya tanpa melakukan pekerjaan apa-apa.Tiba-tiba sebuah ucapan salam terdengar dari teras rumah. Emily mengangkat kepalanya melihat ke arah pintu. Tak lama wajah Sinta muncul. Perempuan yang pernah menyebabkan Emily terusir dari rumah Abian itu pun tanpa perasaan bersalah berdiri di depan pintu sambil mengedarkan pandangannya ke sekeliling."Cari siapa? Saya ada di sini," kata Emily tak senang dengan sikap Sinta yang dirasanya tak sopan."Mas Abi ke toko?" tanya Sinta tak peduli de
Emily berbelanja pagi ini. Rencananya dia ingin belajar memasak sayur asem yang inung bilang adalah sayur kesukaan Abian. Karena itulah ketika terdengar seruan nyaring dari tukang sayur barusan, Emily pun bergegas menghampiri.Beberapa orang ibu pun ikut datang menghampiri. Mereka ramai bercanda dan sedikit bergosip. Emily hanya mendengarkan sekilas tanpa berminat untuk menyimak, apa lagi menimpali.Selalu seperti ini, pikir Emily sebal. Selalu gosip jadi menu rutin yang harus ada tiapkali mereka berkumpul untuk berbelanja. Emily tahu jika dia dan Abian pun pasti telah jadi bahan gosip dari ibu-ibu ini. Jika sekarang mereka tak membicarakannya, itu karena dia masih berada di situ. Tunggulah sampai dia selesai berbelanja dan kembali pulang ke rumah. Pastilah dia akan jadi bahan yang empuk untuk digosipkan. Bukan berprasangka buruk, tapi sudah terbukti berita tentang dirinya yang tidak bisa masak saja bisa tersebar secepat kilat dan secara merata sampai ke telinga or
Emily sampai ke toko Abian. Dia langsung duduk dengan raut wajah yang cemberut. Abian, Inung dan Dion yang melihatnya pun saling pandang dengan bingung. Mereka memperhatikan sikap Emily yang tak seperti biasanya itu dan langsung bisa menebak jika ada sesuatu yang telah mengganggu perasaan perempuan cantik itu."Ada apa, Mily? Kok datang-datang cemberut?" tanya Inung segera."Kesal sama ibu-ibu itu," sahut Emily."Ibu-ibu yang mana?""Itu, yang suka belanja sayur di depan rumah.""Kenapa memangnya? Kamu digosipin?"Emily menggeleng. "Bukan. Tapi mereka membanding-bandingkan saya dengan Sinta.""Membandingkan kamu dengan Sinta?""Ya, mereka bilang saya nggak bisa masak. Nggak seperti Sinta yang jago masak.""Lalu?""Mereka bilang Mas Abi nanti bisa direbut Sinta." Emily bicara dengan nada yang kesal.Mendengar itu, Abian pun segera menoleh sedangkan Inung langsung tersenyum lebar menatap pada sepupunya
Abian pulang agak cepat. Entah mengapa pikirannya sejak tadi terpusat pada Emily. Mungkin karena tadi siang Emily pulang dari toko dalam keadaan ngambek, marah padanya karena perkataannya itu. Andai kejadian awalnya berbeda, pasti Abian akan mempertahankan Emily untuk berada di sisinya selamanya. Tapi Abian sadar, pernikahannya dengan Emily tak seperti pernikahan pada umumnya. Bukan karena cinta. Bukan karena ingin membangun rumah tangga bersama. Tapi hanya sekadar memberi jalan buat Emily agar bisa tetap tinggal di sini selama masa pelariannya.Abian tahu, dia tak boleh terbawa oleh perasaannya. Dia harus bisa menjaga semuanya tetap seperti kesepakatan mereka semula. Jika Emily mulai terbawa oleh perasaannya, maka Abian harus bisa mengingatkan. Jangan sampai jika saatnya untuk berpisah tiba, Emily menyesal karena telah berbuat kebodohan bersamanya."Kok, pulang cepat?" tanya Emily yang membukakan pintu."Kenapa memangnya? Nggak boleh kalau saya pulang cepat?" A
Abian berdiri dengan gelisah di depan etalase tokonya. Ketika itu hari masih pagi. Toko roti itu baru saja buka. Belum banyak pembeli yang datang. Dan sejak tadi Abian menghabiskan waktunya dengan melamun dan gelisah di sana.Inung memperhatikan sikap sepupunya yang tidak biasa itu. Sikap dan pembawaan Abian yang biasa selalu terlihat tenang, pagi ini jadi terlihat gelisah dan serba salah. Inung tahu pasti ada yang terjadi dengan sepupunya itu. Sesuatu yang mengganggu pikirannya hingga dia terus merasa resah.Tak lama, Inung pun menghampiri dan ikut berdiri di etalase bersama Abian. Dia melirik memperhatikan Abian yang seolah tak menyadari kehadirannya. Pandangan Abian terus lurus ke depan tapi tak terpusat pada apa pun. Seperti sebuah pandangan kosong seseorang yang sedang dibebani satu masalah. Tapi, masalah apa yang membuat Abian jadi begini? Inung pun mencoba menerka-nerka. Namun tetap dia tak bisa menemukan jawaban dari pertanyaannya itu."Bi." Akhirnya Inu
Emily duduk sendirian di ruang tamu. Entah kenapa kecupan dari Abian semalam masih terasa sampai sekarang. Kecupan itu hanya sesaat. Tapi sungguh terasa begitu indah dan mengesankankan. Bahkan masih begitu hangat rasanya di bibir Emily hingga sekarang.Apakah semua itu karena dia yang terlalu pandai melakukannya? Ataukah karena aku yang telah terpikat oleh pesonanya? Hingga sedikit saja sentuhan darinya bisa sangat berarti untukku?Ah, Emily terus bertanya-tanya kenapa satu kecupan yang sesaat saja bisa begitu berarti untuknya? Jujur saja, kini Emily mulai membanding-bandingkan antara Tomy dan Abian. Mereka sama tampan. Tapi Abian terlihat lebih gagah. Pembawaannya lebih kalem, lebih tegas dan bijaksana. Dan Emily yakin Abian pun pasti lebih bertanggungjawab dari pada Tomy, mantan kekasihnya itu.Duh, Emily jadi bingung. Kenapa semua penilaian untuk Abian selalu lebih bagus? Apa mungkin memang dia adalah laki-laki yang lebih baik dari Tomy? Ya, rasanya begitu. Dulu
Abian dan Inung memperhatikan Emily yang tampak marah memandang Sinta. Mereka tahu, perempuan muda itu sedang diselimuti rasa cemburu. Tapi mereka bisa memakluminya. Sebab apa yang dilakukan Sinta ini memanglah keterlaluan. Istri mana yang tak kan marah jika ada perempuan lain yang mengirim makan siang untuk suaminya? Apa lagi perempuan itu sudah jelas-jelas mencintai suaminya sejak lama. Istri mana pun pasti akan terbakar cemburu dan mengamuk karenanya."Dasar perempuan tidak punya malu! Tidak punya harga diri! Sudah tahu Mas Abi telah menikah, tapi masih dikejar juga! Mestinya kamu tahu kalau Mas Abi itu nggak suka sama kamu! Karena kalau Mas Abi suka sama kamu, pasti sejak dulu dia nikahi kamu, bukannya malah memilih saya untuk jadi istrinya! Mengerti kamu?!" Suara Emily terdengar tajam.Sinta menatap Emily dengan mata membulat marah. Jelas terlihat jika dia sangat tersinggung dengan ucapan Emily tadi."Jaga ucapan kamu, ya! Dasar perempuan sok cantik!"
<span;>Emily mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Rumah ini masih tetap sama seperti ketika dia tinggalkan dulu. Masih tetap bersih dan terasa sejuk. Sungguh nyaman dan mendamaikan. Dengan perasaan haru Emily pun tersenyum. Tanpa dia sadari, telah banyak kenangan terukir di rumah ini. Rumah ini adalah saksi dari perjalanan cintanya bersama Abian. Juga tentang bagaimana dia berubah dari seorang gadis kaya yang manja, menjadi seorang perempuan sederhana yang pandai mengurus rumah. Ah, Emily merindukan rumah ini. Dan sungguh saat ini dia bahagia bisa kembali kemari. <span;>Ketika itu, Abian yang baru kembali dari kamar untuk menidurkan Amanda di ranjangnya pun tersenyum melihat tingkah Emily yang berdiri di tengah ruangan sambil mengedarkan pandangan. <span;>"Selamat datang, ratuku," katanya sambil menatap Emily dengan romantis. Pagi itu memang mereka baru saja sampai. Dan Abian tahu kalau Emily merindukan rumah ini. <span;>
<span;>Pagi itu Abian baru saja terjaga dari tidurnya ketika didengarnya suara ponsel yang berdenting pertanda ada sebuah pesan yang masuk. Abian mengambil ponsel itu dengan malas. Siapa yang menghubunginya pagi buta begini? Dengan mata yang masih mengantuk dia pun berusaha memfokuskan pandangannya pada layar hp. <span;>Emily?! Abian tersentak bagai terkena aliran listrik. Dia pun segera duduk dan membaca pesan itu. 'Mas Abi sayang, nanti malam datang ke sini ya. Ada yang harus kita bicarakan.' <span;>Abian tercekat. Sekali lagi dia membaca pesan itu untuk meyakinkan dirinya kalau isi pesan yang dibacanya memang benar seperti itu. Tapi..., Emily memanggil sayang? Ah, Abian jadi merasa bingung. Bukankah istrinya itu sedang marah padanya? Sedang marah, tapi memanggil sayang? <span;>'Ya, Mily sayang. Saya akan datang nanti malam. Tapi ada apakah?' <span;>'Nggak bisa saya bicarakan di telepon, mas. Pokoknya Ma
<span;>Esok sore, di jam yang sama, Sandra mengetuk pintu kamar Nadya yang tertutup rapat. Tak menunggu lama, pintu kamar itu pun terbuka. Wajah Nadya sedikit bingung karena tak biasanya Sandra mengetuk pintu kamarnya seperti ini. <span;>"Ya, Mbak Sandra, ada apa?" tanya Nadya segera. <span;>"Apa kamu sedang sibuk? Saya ingin minta tolong sebentar," jawab Sandra dengan sikap yang sewajarnya. <span;>"Minta tolong apa, mbak?" <span;>"Tomy datang ingin bertemu dengan Rangga. Tapi Rangga baru saja tidur. Sekarang dia sedang menunggu di teras belakang. Mau kamu menemani dia sebentar? Kamu kan tahu kalau saya atau Mily tidak mungkin menemani dia? Hubungan kami belum baik sampai sekarang." <span;>Nadya pun mengangguk hingga membuat Sandra merasa lega. Lalu tanpa curiga Nadya segera berjalan menuruni tangga menuju ke teras belakang dimana Tomy sedang duduk melamun sendirian. <span;
<span;>"Rasanya sulit untuk percaya kalau Abian berbuat seperti itu, Mily," kata Sandra pada Emily di sore itu. <span;>Emily pun menoleh menatap Sandra untuk beberapa saat. "Jadi kakak percaya pada cerita Mas Abi?" tanyanya sedikit terkejut. <span;>"Percaya seratus persen sih tidak. Tapi kakak melihat pribadi Abian selama ini dan Abian yang diceritakan oleh Nadya, kok, sepertinya bertolak belakang sampai seratus delapan puluh derajat. Coba kamu ingat bagaimana bertanggungjawabnya dia selama ini sebagai suamimu. Juga bagaimana dia berkorban demi memenuhi keinginanmu untuk bisa kuliah lagi. Dia sampai mau mengojek sampai malam, Mily. Dan coba kamu ingat lagi bagaimana dulu Abian tetap bertahan untuk tidak menyentuhmu hanya karena menunggu restu dari papa dan mama. Kamu sudah sah menjadi istrinya ketika itu. Kalian pun tinggal bersama dalam satu rumah. Tapi dia bertahan, Mily. Dia tidak menyentuhmu sampai restu itu dia dapatkan. Jadi, aneh rasa
<span;>"Seorang saksi? Bagaimana mungkin lo bisa menghadirkan seorang saksi, Bi? Siang itu cuma ada lo dan Nadya aja kan di sana?" kata Inung dengan nada bingung. <span;>"Gue juga bingung, Nung. Tapi tanpa kehadiran seorang saksi yang bisa membenarkan cerita gue, Emily akan tetap berpikir kalau gue yang salah. Atau jangan-jangan...." <span;>"Jangan-jangan apa?" <span;>"Atau jangan-jangan dia sengaja berbuat begitu biar dia bisa dekat dengan teman laki-lakinya itu tanpa ada yang menghalangi?" <span;>"Apa iya seperti itu, Bi?" tanya Inung sedikit ragu. <span;>Abian mendesah gelisah. "Gue memang nggak mau nuduh secara langsung sama dia. Tapi bagaimana pun rasa curiga itu tetap ada." <span;>"Semoga rasa curiga lo itu salah, Bi," harap Inung. <span;>"Sore ini gue mau datang lagi ke sana, Nung. Gue kangen banget sama Amanda," kata Abian kemudian. <span;>"Ya, gue ngerti per
<span;>Beberapa hari telah berlalu. Abian masih tetap berusaha sabar untuk tidak menemui Emily, meskipun kerinduannya pada Emily dan Amanda terasa begitu menyesakan dada. Abian tak dapat tidur, juga tak enak makan. Hari-harinya diisi dengan gelisah. Tak ada yang lain yang mengisi kepalanya selain istri dan putrinya itu. Tapi jika dia datang sekarang, apakah Emily sudah bisa diajak bicara? <span;>"Gue udah nggak bisa nahan rasa kangen gue, Nung. Gue juga nggak bisa membiarkan masalah ini berlarut-larut seperti ini. Gue harus menemui Emily sekarang," kata Abian pada Inung di pagi ini. <span;>"Rasanya memang udah saatnya kalian selesaikan masalah ini. Lo udah kasih waktu untuk dia selama beberapa hari ini. Sekarang saatnya dia dengarkan penjelasan dari lo, Bi. Emily nggak boleh cuma dengar cerita dari satu pihak aja. Dia juga harus mau dengar cerita dari lo," sahut Inung. <span;>"Gue nggak ngerti kenapa Emily bisa termakan cer
<span;>Abian mengulangi pertanyaannya hingga beberapakali. Tapi jawaban dan reaksi Emily tetap sama. Dia tetap berseru meminta Abian untuk pergi dengan wajah yang menyiratkan rasa marah dan kecewa. Abian jadi semakin bingung. Dia tak tahu harus berbuat apa hingga hanya bisa mematung di tempatnya berdiri. Emily seperti tak bisa diajak bicara. Dia terlalu histeris dalam tangis dan kemarahannya. <span;>"Tenang dulu, Mily. Coba jelaskan dulu pada saya ada apa ini sebenarnya? Saya benar-benar nggak ngerti kenapa kamu bersikap seperti ini pada saya?" kata Abian bingung. <span;>"Tanya pada diri Mas Abi sendiri, apa yang sudah Mas Abi lakukan?!" sembur Emily marah. <span;>"Apa yang sudah saya lakukan?" Abian tak mengerti dengan perkataan Emily. "Memangnya apa yang sudah saya lakukan, Mily?" <span;>"Mas yang lebih tahu apa yang sudah Mas lakukan! Dasar laki-laki jahat! Saya benci Mas Abi!" Histeris Emily semakin me
<span;>Sore itu Abian bergegas pulang. Dia ingin mendengar cerita Emily tentang pertemuannya dengan Nadya tadi siang. Abian khawatir terjadi keributan antara Emily dan adik sepupunya itu. Meski Abian tahu kalau Nadya tak akan berani membangkitkan rasa cemburu Emily, tapi tetap saja hati Abian tak tenang membayangkan kedua perempuan itu bertemu dan bicara tentang alasan Nadya meninggalkan rumah mereka dengan cara seperti itu. <span;>Motor Abian berhenti di depan pintu pagar rumahnya. Dia melihat ke arah rumahnya yang sepi. Bahkan jendela pun tertutup rapat. Sepertinya Emily belum pulang. Abian pun berpikir sejenak. Apakah sebaiknya dia menunggu Emily di rumah saja, atau kembali ke toko dan pulang ke rumah lagi nanti? Hm, rasanya lebih baik kembali saja ke toko. Nanti sebelum maghrib, barulah pulang menemui Emily. <span;>Abian pun segera memutar motornya dan melajukannya kembali ke toko. Dan ketika dia memasuki halaman parkir di depan tokonya,
<span;>"Nggak mungkin!" seru Emily pelan. "Nggak mungkin Mas Abi melakukan itu!" <span;>"Saya tahu Mbak Mily tidak akan percaya dengan cerita Saya. Karena itulah saya memilih pergi dan diam," kata Nadya dengan ekspresi wajah yang sangat meyakinkan. <span;>"Oh!" Emily kembali terpekik pelan. Benarkah itu? Benarkah suaminya melakukan perbuatan serendah itu? Rasanya ingin tak percaya, tapi raut wajah Nadya sepertinya tidak main-main. Tampaknya dia tidak sedang bercanda, apa lagi berdusta. <span;>"Maafkan saya, Mbak Mily. Saya tidak tahu kalau selama ini Mas Abi memiliki perasaan yang lain terhadap saya. Andai saja saya tahu, pasti saya tidak akan tinggal di rumah Mbak Mily. Saya pikir, selama ini Mas Abi cuma menganggap saya sebagai adik. Tapi ternyata tidak seperti itu." <span;>"Tapi Mas Abi bukan laki-laki seperti itu, Nadya!" Emily masih mencoba untuk percaya pada kesetiaan suaminya. <span;&