Home / Romansa / Bukan Suami Biasa / Amarah Abian

Share

Amarah Abian

Author: Naya Naya
last update Last Updated: 2021-03-09 09:20:12

Emily menatap Abian sambil terisak pelan. Dia bingung bagaimana cara menjelaskan pada Abian tentang alasannya tak jadi pulang. Rasanya Abian tak akan bisa mengerti luka hatinya yang terasa perih. Laki-laki itu tak akan mungkin membenarkan perbuatannya ini. Dia pasti akan marah. Tapi sungguh Emily merasa rumah Abian adalah tempat yang ternyaman baginya saat ini. Karena setidaknya Emily tahu kalau Abian adalah seorang laki-laki yang baik. Dan di rumah laki-laki baik itulah dia bisa bersembunyi.

"Emily, jelaskan pada saya kenapa kamu nggak jadi pulang?" tanya Abian lagi sedikit mendesak. Wajah laki-laki itu tampak serius dan tegas.

Emily menggeleng pelan. 

"Jelaskan, Emily. Saya nggak bisa mengerti cuma dengan gelengan kepala kamu," kata Abian lagi bernada tak sabar.

"Bi!" bentak Inung pelan. "Biar dia tenang dulu. Jangan didesak begitu."

Abian pun mendesah kesal. Bocah cengeng, pikirnya. Tapi tak urung diturutinya juga kata-kata Inung itu. Dia tak lagi mendesak Emily untuk menjelaskan keputusannya kembali kemari. Mungkin Inung benar. Wajah Emily memang terlihat masih pucat. Dan dia terlihat seperti orang bingung. Mungkin sebaiknya berikan lagi dia sedikit waktu untuk bisa merasa tenang dan bisa memberikan penjelasan.

Sementara itu di kepala Emily bayang-bayang Tomy terus berputar tak mau pergi. Oh, betapa sakitnya mengingat wajah itu. Tapi anehnya, Emily malah terus menajamkan ingatannya pada laki-laki itu. Dalam hatinya terus bergema tanya, mengapa...?

Mengapa, Tomy? Mengapa harus Sandra?

Mengapa,  Kak Sandra? Mengapa harus Tomy?

Kalian membunuhku tanpa aku pernah berjumpa dengan kematian. Dan itu lebih menyiksa dari dijemput oleh kematian itu sendiri.

Kini dapatkah Abian dan yang lainnya mengerti kenapa aku harus kembali kemari?

"Tenangkan dirimu, Emily. Saya bisa mengerti rasa sakitmu itu," kata Inung berusaha menenangkan Emily yang terus menangis.

"Saya nggak sanggup untuk pulang, Mbak Inung," ucap Emily lirih.

Inung mengusap pundak Emily pelan, seolah ingin memberikan Emily kekuatan. Sebagai sesama perempuan, mungkin hatinya lebih bisa tersentuh dan ikut merasakan sakit yang Emily rasakan saat ini. Meski hatinya pun merasa bingung dengan kedatangan kembali Emily, tapi Inung tak menyalahkan. Tak mengambil sikap yang membuat Emily semakin merasa disudutkan oleh kenyataan.

Seseorang yang terluka hatinya seringkali membuat keputusan yang salah. Termasuk keputusan yang diambil oleh gadis ini, pikir Inung. Tapi selama keputusannya itu bukan sesuatu yang fatal dan bisa membahayakan jiwanya, mungkin sebaiknya biarkan saja. Karena jika hatinya sudah tenang kembali, mungkin dia bisa memperbaiki keputusannya itu. Ketimbang memaksa dan menyudutkannya hingga dia semakin kalut dan mengambil keputusan yang semakin salah nanti.

"Tadi saya melihat mobil Tomy yang melintas di jalan. Dan saya benar-benar sakit melihatnya. Hanya melihat mobilnya saja hati saya perih, Mbak Inung. Saya nggak sanggup untuk pulang...." Emily melanjutkan ceritanya di sela-sela tangisnya.

Inung pun menatap dengan iba. Tapi dia tak bisa mengucapkan kata-kata penghibur untuk gadis yang sedang terluka itu. Inung bingung harus berkata apa. Masih adakah kata-kata yang bisa menghiburnya?

"Jadi apa yang akan kamu lakukan sekarang?" tanya Inung setelah beberapa saat terdiam. 

Emily menggeleng pelan. "Saya nggak mau pulang," lirihnya.

"Jadi kamu mau kemana?" Inung kembali bertanya.

Lagi-lagi Emily menggeleng pelan. 

"Dari kemarin pun dia nggak punya tujuan, Nung," sambar Abian cepat.

Inung mendesah pelan. Dia bingung. Tak mungkin bersikap acuh dan menyuruh Emily untuk pergi. Tapi tak mungkin juga untuk kembali menampung gadis itu di rumah Abian seperti semalam. Abian bujang, dan Emily seorang gadis. Tidakkah kehadiran Emily di rumah Abian nanti bisa menimbulkan fitnah dan protes para tetangga?

"Kamu nggak bisa pergi kalau kamu nggak punya tujuan, Emily. Kamu tahu itu, kan?" kata Inung dengan nada yang lembut.

"Saya mau ke rumah Mas Abi," sahut Emily hingga Abian tersentak kaget.

"Ke rumah saya?" tanya Abian cepat. "Ya ampun, Emily..., kamu tahu kalau kamu nggak mungkin bisa tinggal di rumah saya!" 

Tangis Emily kembali pecah. Wajahnya terlihat bingung dan putus asa. "Kalau begitu saya akan pergi ke tempat lain aja," ucapnya sedih.

"Kemana?" Kembali Abian cepat bertanya.

"Nggak tahu," geleng Emily.

Abian pun menepuk keningnya. Dia merasa bingung, kasihan juga kesal.

"Kamu tahu? Kamu kembali menempatkan saya di posisi yang sulit, Emily!" Abian seperti mengomel pada Emily.

"Saya?" tanya Emily sedikit bodoh.

"Ya, kamu! Sebagai manusia saya punya perasaan. Saya nggak tega melepas kamu ke jalan, menggelandang tanpa tujuan. Apa lagi saya tahu kalau kamu nggak akan mungkin bisa bertahan hidup di jalanan. Tapi di sisi lainnya saya nggak bisa menolong kamu dan memberikan kamu tumpangan. Kita nggak bisa tinggal serumah, Emily. Karena saya bujang dan kamu gadis. Kamu mau kita nanti digerebek warga?"

"Tapi saya nggak akan pulang." Emily berkeras pada keputusannya untuk tidak pulang.

"Jadi kamu akan menggelandang?"

Emily pun menutup wajahnya dengan telapak tangan. Pikirannya kalut. Dia merasa otaknya buntu.

"Mungkin lebih baik saya mati saja," rintihnya kalut, seakan dia lupa kalau dia takut pada kematian.

"Bicara apa kamu?!" bentak Abian galak.

Emily tersentak kaget. Dia belum pernah dibentak sekeras itu sebelumnya. Tidak oleh ayahnya, Tomy atau siapa pun juga. Abian adalah orang pertama yang bicara dengan nada sekeras itu padanya. Dan hati Emily serasa menciut.

"Mas Abi nggak ngerasain apa yang saya rasa," sahut Emily pelan di sela tangisnya.

Abian pun menatap gadis yang sedang menangis itu dengan sorot mata yang tajam. Dia benar-benar kesal mendengar ucapan Emily barusan. Kata-kata yang bodoh! Bahkan sangat bodoh!

"Kamu pikir urusan cintamu ini bisa menjadi alasan yang kuat untuk mati? Dasar gadis bodoh!" bentak Abian lagi. Wajahnya benar-benar terlihat marah.

"Bi!" Inung berusaha meminta Abian untuk tenang. Tapi Abian merasa kalau dia belum cukup melepaskan kekesalannya itu. Otak gadis ini harus diluruskan, pikir Abian geram. Menginginkan kematian hanya karena urusan cinta? Hah! Benar-benar tidak menghargai hidup!

Abian pun terus menatap Emily dengan tajam. Sementara yang ditatap menundukan wajahnya yang bersimbah air mata. Dia tak sanggup beradu pandang dengan laki-laki yang sedang menatapnya dengan amarah itu. Mata Abian tampak berkilat. Wajah tampannya terlihat galak.

"Dengar, Emily! Hidup memang tak selamanya indah. Saya mengerti kalau hati kamu sedang terluka sekarang. Tapi coba kamu lihat diri kamu. Kamu masih muda, kamu cantik dan saya yakin kalau kamu seorang gadis yang berpendidikan. Itu berarti masih banyak yang bisa kamu lakukan selain menangisi cinta. Apa lagi sampai ingin mati segala!" Amarah Abian berlanjut.

"Tapi Mas Abi nggak tahu gimana sakitnya dikhianati oleh orang-orang yang Mas Abi sayangi." Emily masih berusaha membela diri.

"Begitukah? Jadi menurutmu menginginkan kematian karena patah hati itu pantas? Apa kamu merasa hidupmu ini nggak lagi berharga karena kamu telah kehilangan cinta? Apa nggak ada lagi yang bisa kamu lakukan untuk hidupmu sekarang?" tanya Abian bertubi-tubi.

Emily pun semakin menunduk menyembunyikan wajahnya dalam-dalam. Dia merasa tersudut.

"Pergi dari rumah tanpa tujuan yang jelas aja itu udah sebuah tindakan yang bodoh. Apa lagi pakai menginginkan kematian segala. Sungguh sia-sia orangtuamu membesarkanmu selama ini!"

Begitu tajam kata-kata Abian masuk ke hati Emily hingga gadis itu pun terdiam. Kata-kata laki-laki itu memang benar, hati Emily mengakui. Tapi sungguh terasa tajam menusuk hatiku. Mungkin dia menganggapku bodoh. Mungkin dia tidak pernah merasakan sakit yang seperti ini. Atau mungkin hatinya begitu kuat, tak seperti hatiku yang cengeng ini?

"Jangan bicara seperti itu, Mas Abi," pinta Emily lirih.

"Kenapa memangnya?" tanya Abian dengan suara yang dingin.

Emily pun mengangkat wajahnya. memberanikan dirinya untuk menatap Abian.

"Saya tahu saya telah melakukan kebodohan. Tapi saya benar-benar nggak sanggup untuk pulang. Saya butuh waktu untuk menguatkan hati saya bertemu lagi dengan mereka," ucap Emily masih dengan suara yang lirih.

"Maksudmu?" tanya Abian dengan pandangan mata tak berkedip.

Emily kembali menunduk, menghindari tatapan mata Abian yang terasa menusuk.

"Izinkan saya untuk menginap di rumah Mas Abi." Emily menyahut pelan.

"Apa?" Kening Abian berkerut.

Emily mengangkat wajahnya lagi. Dia kembali menatap Abian dengan mata yang memohon.

"Hanya sementara, Mas Abi," pinta Emily.

"Sementara? Sampai kapan itu?"

"Sampai saya kuat untuk kembali pulang."

"Butuh waktu berapa lama sampai kamu merasa kuat untuk pulang?"

Emily terdiam. Dia bingung untuk menjawabnya. Sampai berapa lamakah?

Inung yang sejak tadi memperhatikan pun mendesah pelan. Dia tahu tak mungkin memaksa Emily untuk kembali pulang hari itu. Dia takut jika gadis yang sedang kalut itu berbuat nekat. Inung merasa sebaiknya memang beri waktu untuk Emily barang sebentar. Sekadar untuk menenangkan hati agar gadis itu bisa kembali berpikir dengan baik. Jadi Inung pun berusaha mengusulkan satu jalan yang menurut dia adalah yang terbaik.

"Bagaimana kalau Emily menginap beberapa hari lagi di rumah lo, Bi? Biar Emily gue temenin nanti. Dan lo tidur di rumah gue," usul Inung sambil menatap Abian.

Abian pun terdiam. Dia balas menatap Inung dengan kening yang berkerut.

Related chapters

  • Bukan Suami Biasa   Kembali Ke Rumah Abian

    "Cuma beberapa hari aja, Bi," bujuk Inung.Abian tak menyahut. Dia menatap Emily dengan pandangan yang tajam. Sementara Emily cuma bisa diam. Dia merasa dipaku dengan tatapan tajam itu.Apakah yang ada dalam kepala laki-laki itu? Apakah yang dia pikirkan tentang aku? Pasti di matanya aku hanyalah seorang gadis bodoh yang cengeng. Yang meratap sedih karena kehilangan cinta. Tapi sesungguhnya bukan cinta yang membuatku terluka seperti ini. Tapi dikhianati oleh orang terkasihlah yang membuatku jatuh. Perasaan dikhianati itulah yang sungguh menyakitkan dan membuatku ingin lari dari kenyataan."Berapa lama waktu yang kamu butuhkan, Emily?" Abian kembali melontarkan pertanyaan itu.Emily pun menggeleng pelan. Pertanyaan itu memang seakan tak mempunyai jawaban. Sebab tak akan ada orang yang tahu kapan hatinya bisa kembali kuat setelah dihantam oleh pukulan yang sehebat itu?"Saya bukannya jahat. Saya cuma nggak mau dapat teguran dari Pak RT atau bahkan di

    Last Updated : 2021-03-10
  • Bukan Suami Biasa   Siapakah Perempuan Itu?

    Pagi itu Emily terbangun tanpa Inung di sampingnya. Rumah terasa sepi. Tak terdengar aktivitas suara apa pun di ruang depan atau pun di dapur. Kemanakah Inung? Sudah kembali ke rumahnyakah? Ya, bukankah dia harus mengurus suaminya dulu sebelum berangkat ke toko? Lalu, Abian? Tidakkah dia datang pagi ini? Atau dia langsung berangkat ke toko tanpa pulang dulu kemari? Rumah benar-benar sepi pagi ini. Emily jadi sedikit bingung.Berada di rumah orang dan sendirian seperti ini membuatnya jadi serba salah. Emily tak tahu apa yang harus dia lakukan. Mandi dan membuat sarapan? Tapi Emily tak bisa memasak. Dan dia tak tahu bahan makanan apa saja yang tersedia di dapur.Ah, tak mungkin memasak. Aku cuma akan membuat berantakan dapur Mas Abi saja nanti. Bahkan sekadar memasak telur dadar pun aku tak pernah. Biasanya semua sudah tersedia di atas meja. Dan jika aku butuh sesuatu, aku tinggal meminta pelayan untuk menyiapkannya untukku. Tak perlu bersusah payah mengerjakannya se

    Last Updated : 2021-03-15
  • Bukan Suami Biasa   Perempuan Bernama Sinta

    Emily melihat Abian yang melangkah cepat memasuki pagar. Dia tampak acuh. Laki-laki itu tak menghiraukan sapaan dari perempuan berkulit pucat yang tampak sangat bersemangat menyapanya itu. Entah karena laki-laki itu yang terlalu dingin, atau karena dia tidak menyukai perempuan itu. Sebab tadi dia hanya sesaat menoleh untuk kemudian acuh berjalan pulang.Abian masuk dan melihat Emily yang sedang berdiri di dekat jendela. Dia langsung bisa menebak apa yang Emily lakukan di sana. Abian pun menatap Emily masih dengan wajah dinginnya hingga Emily seperti dipaku di tempatnya berdiri."Kenapa ngintip-ngintip seperti itu? Kamu seperti ibu-ibu gosip yang sedang mengintip tetangga untuk dijadikan bahan gosipnya," komentar Abian tanpa senyum."Saya cuma sedang melihat keluar," sahut Emily cepat."Kamu udah mandi?" tanya Abian merubah topik pembicaraan.Emily mengangguk. "Sudah," sahutnya segera."Inung bilang kamu mau ikut ke toko?" tanya Abian lagi.E

    Last Updated : 2021-03-19
  • Bukan Suami Biasa   Ancaman Sinta

    Abian melihat pada jam tangannya. Kemudian dia membuka celemeknya dan menghampiri Inung yang baru saja selesai melayani seorang pembeli."Gue ke bengkel dulu, Nung. Mau ambil motor."Inung menoleh. "Nggak habis makan siang aja, Bi? Tanggung sebentar lagi jam makan siang. Karyawan bengkelnya juga pada istirahat."Abian menggeleng. "Sekarang aja. Mumpung lagi nggak banyak kerjaan. Dion bisa ngerjain sendirian."Setelah itu Abian pun melangkah pergi dengan tergesa. Inung dan Emily memperhatikan kepergian laki-laki jangkung itu dari dalam toko. Abian tampak menghampiri tukang ojek yang mangkal tak jauh dari situ lalu segera menaikinya dan pergi."Kenapa dia tergesa seperti itu? Cuma ambil motor dari bengkel kok seperti orang mau ambil gaji?" tanya Inung yang merasa bingung dengan kelakuan sepupunya itu."Mungkin Mas Abi mau menghindari perempuan yang janji mau datang siang ini untuk mengantarkan makan siang," celetuk Emily yang tiba-tiba saja teringat

    Last Updated : 2021-03-22
  • Bukan Suami Biasa   Terusir

    Emily duduk di ruang tamu Abian dengan lemas. Perasaan kesal dan bingung berjejal di hatinya hingga membuatnya ingin menangis. Oh, bagaimana ini? Barusan Pak RT datang dan menyampaikan kabar tentang keberatan warga atas kehadirannya di rumah Abian sebagai tamu yang menginap. Mereka protes. Ini tidak pantas, katanya. Masyarakat di sini menganggap tabu tentang semua ini. Tidak boleh gadis menginap di rumah seorang perjaka. Apa lagi si perjaka hidup sendirian. Itu dalih mereka untuk meminta Emily pergi.Di hadapan beberapa orang ibu yang ikut datang, Emily telah berusaha menjelaskan kalau Abian tak tinggal di rumahnya selama dia berada di sana. Tapi mereka tak mau menerima penjelasan itu. Mereka bilang tak ada yang bisa menjamin jika Abian benar-benar tak tidur di sana. Oh, tuhan! Emily gusar mendengar semua itu. Kenapa mereka begitu senang berprasangka buruk terhadap orang lain? Kenapa tak bisa percaya kalau Abian benar tak tidur satu atap dengan dirinya?Melawan para ib

    Last Updated : 2021-03-25
  • Bukan Suami Biasa   Ke Rumah Monik

    Emily keluar dari rumah Abian pagi-pagi benar. Inung bilang memang sebaiknya begitu. Agar dia tak perlu bertemu dengan ibu-ibu penggosip yang menginginkan kepergiannya. Emily menurut. Rasanya memang sebaiknya tak bertemu dengan mereka. Sebab Emily pasti akan merasa risih nanti. Alangkah tak enaknya jika ada sekelompok orang yang berbisik-bisik di depan kita dan kita tahu jika yang mereka bicarakan itu adalah kita. Oh, benar-benar menyebalkan!Akhirnya, disaat langit belum diterangi oleh cahaya mentari, Emily pun pergi. Tujuannya adalah rumah Monik, sahabatnya. Dan seperti kemarin, Emily diantarkan oleh Adam. Abian yang meminta Adam untuk mengantarkannya pulang. Hm, rupanya dia sungguh mengkhawatirkanku, pikir Emily sedikit senang. Entahlah, mungkin rasa senang yang tak beralasan. Tapi Emily selalu merasa seperti itu tiapkali Abian memberikannya sedikit perhatian.Ketika Emily pergi tadi, Abian dan Inung mengantarkannya sampai ke depan rumah. Inung banyak berpesan, member

    Last Updated : 2021-04-01
  • Bukan Suami Biasa   Bertemu Monik

    Emily duduk diam di sofa ruang tamu Monik. Segelas minuman dingin dipegangnya erat-erat hingga embun dinginnya membasahi telapak tangannya. Emily menikmati rasa dingin itu. Digerakkannya jari jemarinya hingga embun yang menempel di gelas itu mengalir perlahan di sela-sela jarinya. Semua itu dilakukannya untuk menutupi rasa gugup yang menyelimuti hatinya. Ya, rasa gugup yang mengganggu. Bahkan sudah menguasai hatinya sebelum pertanyaannya untuk Monik dia lontarkan.Sementara itu Monik sedang sibuk menghidangkan aneka macam kue dan biskuit untuk Emily. Dia mondar-mandir membawa toples kue juga piring-piring berisi aneka kue basah yang Emily tahu kalau semua itu bukanlah hasil buatannya. Monik tak pandai memasak. Bahkan masuk dapur pun dia tak suka. Yah, sebelas dua belas-lah dengan Emily. Sama-sama perempuan yang tidak bisa memasak dan tak suka dapur. Tapi doyan ngemil. Karena itulah selalu tersedia kue dan berbagai macam jenis camilan di rumah.Sambil terus memegang gel

    Last Updated : 2021-04-03
  • Bukan Suami Biasa   Aku Ingin Mati

    "Gue kecewa, Nik...," lirih Emily sedih."Tenangin dulu hati lo, Mil. Lo jangan berpikiran orangtua lo nggak peduli sama perasaan lo. Karena itu nggak mungkin. Lo juga anak mereka. Mereka pasti sayang sama lo," kata Monik sambil menggenggam tangan Emily.Emily menggeleng pelan. "Kalau mereka peduli sama perasaan gue, mestinya mereka ngejauhin Kak Sandra dan Tomy dari gue. Karena hidup satu atap dengan mereka pasti akan bikin hati gue tambah hancur. Tapi nyatanya mereka malah meminta Kak Sandra dan Tomy untuk tinggal di sana. Lo bisa bayangin gimana perasaan gue?"Monik terdiam. Dia bisa merasakan bagaimana pedihnya hati Emily. Rasanya Monik ingin ikut menangis bersama dengan sahabatnya itu. Tapi itu tak mungkin dia lakukan. Monik harus bisa membuat Emily menjadi kuat. Bukannya malah membuat Emily lebih terhanyut lagi dalam kesedihannya itu."Ya, Mily. Gue ngerti gimana perasaan lo. Tapi gue harap lo nggak terus hancur seperti ini. Jangan peduliin kebahagi

    Last Updated : 2021-04-07

Latest chapter

  • Bukan Suami Biasa   Berakhir Dengan Indah

    <span;>Emily mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Rumah ini masih tetap sama seperti ketika dia tinggalkan dulu. Masih tetap bersih dan terasa sejuk. Sungguh nyaman dan mendamaikan. Dengan perasaan haru Emily pun tersenyum. Tanpa dia sadari, telah banyak kenangan terukir di rumah ini. Rumah ini adalah saksi dari perjalanan cintanya bersama Abian. Juga tentang bagaimana dia berubah dari seorang gadis kaya yang manja, menjadi seorang perempuan sederhana yang pandai mengurus rumah. Ah, Emily merindukan rumah ini. Dan sungguh saat ini dia bahagia bisa kembali kemari. <span;>Ketika itu, Abian yang baru kembali dari kamar untuk menidurkan Amanda di ranjangnya pun tersenyum melihat tingkah Emily yang berdiri di tengah ruangan sambil mengedarkan pandangan. <span;>"Selamat datang, ratuku," katanya sambil menatap Emily dengan romantis. Pagi itu memang mereka baru saja sampai. Dan Abian tahu kalau Emily merindukan rumah ini. <span;>

  • Bukan Suami Biasa   Akhir Sebuah Masalah

    <span;>Pagi itu Abian baru saja terjaga dari tidurnya ketika didengarnya suara ponsel yang berdenting pertanda ada sebuah pesan yang masuk. Abian mengambil ponsel itu dengan malas. Siapa yang menghubunginya pagi buta begini? Dengan mata yang masih mengantuk dia pun berusaha memfokuskan pandangannya pada layar hp. <span;>Emily?! Abian tersentak bagai terkena aliran listrik. Dia pun segera duduk dan membaca pesan itu. 'Mas Abi sayang, nanti malam datang ke sini ya. Ada yang harus kita bicarakan.' <span;>Abian tercekat. Sekali lagi dia membaca pesan itu untuk meyakinkan dirinya kalau isi pesan yang dibacanya memang benar seperti itu. Tapi..., Emily memanggil sayang? Ah, Abian jadi merasa bingung. Bukankah istrinya itu sedang marah padanya? Sedang marah, tapi memanggil sayang? <span;>'Ya, Mily sayang. Saya akan datang nanti malam. Tapi ada apakah?' <span;>'Nggak bisa saya bicarakan di telepon, mas. Pokoknya Ma

  • Bukan Suami Biasa   Jebakan Tomy

    <span;>Esok sore, di jam yang sama, Sandra mengetuk pintu kamar Nadya yang tertutup rapat. Tak menunggu lama, pintu kamar itu pun terbuka. Wajah Nadya sedikit bingung karena tak biasanya Sandra mengetuk pintu kamarnya seperti ini. <span;>"Ya, Mbak Sandra, ada apa?" tanya Nadya segera. <span;>"Apa kamu sedang sibuk? Saya ingin minta tolong sebentar," jawab Sandra dengan sikap yang sewajarnya. <span;>"Minta tolong apa, mbak?" <span;>"Tomy datang ingin bertemu dengan Rangga. Tapi Rangga baru saja tidur. Sekarang dia sedang menunggu di teras belakang. Mau kamu menemani dia sebentar? Kamu kan tahu kalau saya atau Mily tidak mungkin menemani dia? Hubungan kami belum baik sampai sekarang." <span;>Nadya pun mengangguk hingga membuat Sandra merasa lega. Lalu tanpa curiga Nadya segera berjalan menuruni tangga menuju ke teras belakang dimana Tomy sedang duduk melamun sendirian. <span;

  • Bukan Suami Biasa   Rencana Tomy

    <span;>"Rasanya sulit untuk percaya kalau Abian berbuat seperti itu, Mily," kata Sandra pada Emily di sore itu. <span;>Emily pun menoleh menatap Sandra untuk beberapa saat. "Jadi kakak percaya pada cerita Mas Abi?" tanyanya sedikit terkejut. <span;>"Percaya seratus persen sih tidak. Tapi kakak melihat pribadi Abian selama ini dan Abian yang diceritakan oleh Nadya, kok, sepertinya bertolak belakang sampai seratus delapan puluh derajat. Coba kamu ingat bagaimana bertanggungjawabnya dia selama ini sebagai suamimu. Juga bagaimana dia berkorban demi memenuhi keinginanmu untuk bisa kuliah lagi. Dia sampai mau mengojek sampai malam, Mily. Dan coba kamu ingat lagi bagaimana dulu Abian tetap bertahan untuk tidak menyentuhmu hanya karena menunggu restu dari papa dan mama. Kamu sudah sah menjadi istrinya ketika itu. Kalian pun tinggal bersama dalam satu rumah. Tapi dia bertahan, Mily. Dia tidak menyentuhmu sampai restu itu dia dapatkan. Jadi, aneh rasa

  • Bukan Suami Biasa   Pertemuan Tiga Lelaki

    <span;>"Seorang saksi? Bagaimana mungkin lo bisa menghadirkan seorang saksi, Bi? Siang itu cuma ada lo dan Nadya aja kan di sana?" kata Inung dengan nada bingung. <span;>"Gue juga bingung, Nung. Tapi tanpa kehadiran seorang saksi yang bisa membenarkan cerita gue, Emily akan tetap berpikir kalau gue yang salah. Atau jangan-jangan...." <span;>"Jangan-jangan apa?" <span;>"Atau jangan-jangan dia sengaja berbuat begitu biar dia bisa dekat dengan teman laki-lakinya itu tanpa ada yang menghalangi?" <span;>"Apa iya seperti itu, Bi?" tanya Inung sedikit ragu. <span;>Abian mendesah gelisah. "Gue memang nggak mau nuduh secara langsung sama dia. Tapi bagaimana pun rasa curiga itu tetap ada." <span;>"Semoga rasa curiga lo itu salah, Bi," harap Inung. <span;>"Sore ini gue mau datang lagi ke sana, Nung. Gue kangen banget sama Amanda," kata Abian kemudian. <span;>"Ya, gue ngerti per

  • Bukan Suami Biasa   Jalan Buntu

    <span;>Beberapa hari telah berlalu. Abian masih tetap berusaha sabar untuk tidak menemui Emily, meskipun kerinduannya pada Emily dan Amanda terasa begitu menyesakan dada. Abian tak dapat tidur, juga tak enak makan. Hari-harinya diisi dengan gelisah. Tak ada yang lain yang mengisi kepalanya selain istri dan putrinya itu. Tapi jika dia datang sekarang, apakah Emily sudah bisa diajak bicara? <span;>"Gue udah nggak bisa nahan rasa kangen gue, Nung. Gue juga nggak bisa membiarkan masalah ini berlarut-larut seperti ini. Gue harus menemui Emily sekarang," kata Abian pada Inung di pagi ini. <span;>"Rasanya memang udah saatnya kalian selesaikan masalah ini. Lo udah kasih waktu untuk dia selama beberapa hari ini. Sekarang saatnya dia dengarkan penjelasan dari lo, Bi. Emily nggak boleh cuma dengar cerita dari satu pihak aja. Dia juga harus mau dengar cerita dari lo," sahut Inung. <span;>"Gue nggak ngerti kenapa Emily bisa termakan cer

  • Bukan Suami Biasa   Beri Dia Waktu

    <span;>Abian mengulangi pertanyaannya hingga beberapakali. Tapi jawaban dan reaksi Emily tetap sama. Dia tetap berseru meminta Abian untuk pergi dengan wajah yang menyiratkan rasa marah dan kecewa. Abian jadi semakin bingung. Dia tak tahu harus berbuat apa hingga hanya bisa mematung di tempatnya berdiri. Emily seperti tak bisa diajak bicara. Dia terlalu histeris dalam tangis dan kemarahannya. <span;>"Tenang dulu, Mily. Coba jelaskan dulu pada saya ada apa ini sebenarnya? Saya benar-benar nggak ngerti kenapa kamu bersikap seperti ini pada saya?" kata Abian bingung. <span;>"Tanya pada diri Mas Abi sendiri, apa yang sudah Mas Abi lakukan?!" sembur Emily marah. <span;>"Apa yang sudah saya lakukan?" Abian tak mengerti dengan perkataan Emily. "Memangnya apa yang sudah saya lakukan, Mily?" <span;>"Mas yang lebih tahu apa yang sudah Mas lakukan! Dasar laki-laki jahat! Saya benci Mas Abi!" Histeris Emily semakin me

  • Bukan Suami Biasa   Menjemput Emily

    <span;>Sore itu Abian bergegas pulang. Dia ingin mendengar cerita Emily tentang pertemuannya dengan Nadya tadi siang. Abian khawatir terjadi keributan antara Emily dan adik sepupunya itu. Meski Abian tahu kalau Nadya tak akan berani membangkitkan rasa cemburu Emily, tapi tetap saja hati Abian tak tenang membayangkan kedua perempuan itu bertemu dan bicara tentang alasan Nadya meninggalkan rumah mereka dengan cara seperti itu. <span;>Motor Abian berhenti di depan pintu pagar rumahnya. Dia melihat ke arah rumahnya yang sepi. Bahkan jendela pun tertutup rapat. Sepertinya Emily belum pulang. Abian pun berpikir sejenak. Apakah sebaiknya dia menunggu Emily di rumah saja, atau kembali ke toko dan pulang ke rumah lagi nanti? Hm, rasanya lebih baik kembali saja ke toko. Nanti sebelum maghrib, barulah pulang menemui Emily. <span;>Abian pun segera memutar motornya dan melajukannya kembali ke toko. Dan ketika dia memasuki halaman parkir di depan tokonya,

  • Bukan Suami Biasa   Terguncang

    <span;>"Nggak mungkin!" seru Emily pelan. "Nggak mungkin Mas Abi melakukan itu!" <span;>"Saya tahu Mbak Mily tidak akan percaya dengan cerita Saya. Karena itulah saya memilih pergi dan diam," kata Nadya dengan ekspresi wajah yang sangat meyakinkan. <span;>"Oh!" Emily kembali terpekik pelan. Benarkah itu? Benarkah suaminya melakukan perbuatan serendah itu? Rasanya ingin tak percaya, tapi raut wajah Nadya sepertinya tidak main-main. Tampaknya dia tidak sedang bercanda, apa lagi berdusta. <span;>"Maafkan saya, Mbak Mily. Saya tidak tahu kalau selama ini Mas Abi memiliki perasaan yang lain terhadap saya. Andai saja saya tahu, pasti saya tidak akan tinggal di rumah Mbak Mily. Saya pikir, selama ini Mas Abi cuma menganggap saya sebagai adik. Tapi ternyata tidak seperti itu." <span;>"Tapi Mas Abi bukan laki-laki seperti itu, Nadya!" Emily masih mencoba untuk percaya pada kesetiaan suaminya. <span;&

DMCA.com Protection Status