Selesai melayani seorang pelanggan yang datang berbelanja, Inung duduk dan menyeruput kopi susunya dengan nikmat. Kemudian untuk beberapa saat lamanya dia terdiam, seolah sedang termenung memikirkan sesuatu. Sementara itu Abian sedang sibuk memasukan roti ke dalam panggangan. Laki-laki tampan itu menoleh sekilas pada Inung yang sedang termenung. Tapi kemudian dia kembali asyik melanjutkan pekerjaannya membuat roti dibantu oleh seorang pemuda bernama Dion, yang sudah dua tahun ini bekerja di toko roti miliknya itu.
Abian menoleh lagi karena didengarnya Inung menghela napas panjang. Diperhatikannya sepupunya itu yang masih duduk termenung sambil bertumpu tangan di atas meja. Inung seperti orang yang sedang dibebani satu masalah. Sejak pagi tadi dia terlihat asyik melamun dan tak banyak bicara seperti biasanya. Tapi ketika berangkat tadi dia tampak biasa saja, pikir Abian bingung. Lantas kenapa sekarang mendadak jadi melamun terus begini?
"Nung," panggil Abian pada Inung.
Inung menoleh, tapi tak menyahut.
"Kenapa lo dari tadi melamun terus?" tanya Abian tanpa menghampiri.
"Gue lagi kepikiran Emily. Kasihan juga dia dikhianati seperti itu sama kakak dan pacarnya," sahut Inung.
Kening Abian berkerut mendengar kata-kata Inung itu. "Dikhianati?" tanyanya tak mengerti.
"Jadi lo belum tahu cerita tentang cewek yang lo tolong itu?" Inung balik bertanya.
"Belum. Emang penting untuk gue tahu, ya?" Sahut Abian yang diikuti dengan sebuah pertanyaan yang dilontarkannya dengan sikap yang acuh sekali.
Lagi-lagi Inung menghela napas panjang. Dia melihat sekilas pada Abian lalu kembali menyeruput kopi susunya dengan nikmat.
"Nggak heran kalo lo masih sendiri sampai sekarang. Sikap lo terlalu acuh. Perempuan suka sama laki-laki yang perhatian, Bi," kata Inung kemudian.
"Apa harus gue kasih perhatian sama semua perempuan, Nung?" tanya Abian santai dan tetap dengan gaya yang acuh.
"Yaah, seenggaknya sama perempuan-perempuan yang ada di sekitar lo, Bi. Kalau lo cuek terus begitu, kapan lo mau dapet pasangan?"
Abian acuh mendengar kata-kata Inung itu. Dia terus asyik melanjutkan pekerjaannya. Abian tahu betul kalau selama ini Inung menginginkan dia untuk segera memiliki pasangan. Tapi Abian berpikir, tak perlu merasa diburu oleh waktu. Dia akan menunggu pada siapa hatinya kan berlabuh.
Menikah bukanlah sesuatu yang main-main. Abian akan melakukannya sekali untuk seumur hidup. Jadi dia menunggu hingga cinta sejatinya itu datang. Karena begitu Abian mengikatnya, maka dia tak akan pernah lagi melepaskannya. Tapi sayangnya, sampai detik itu, cinta sejati yang ditunggunya belum juga datang. Entahlah, mungkin memang Abian yang tak pernah mencari.
"Kira-kira, sanggup atau nggak ya, dia kembali pulang?" Pertanyaan Inung itu seperti sebuah gumaman.
"Siapa?" tanya Abian.
"Emily. Dari tadi kan juga gue lagi ngomongin dia, Bi. Emang lo pikir gue lagi ngomongin siapa?"
"Oh." Sahutan Abian kembali terdengar acuh. "Emangnya kenapa dia nggak sanggup?" tanyanya melanjutkan.
"Karena di rumahnya dia akan bertemu dengan kakak dan pacarnya yang udah khianatin dia. Bahkan dia harus tinggal satu atap dengan mereka," jawab Inung menjelaskan.
Abian pun terdiam beberapa saat. "Kalau pacar yang mengkhianati itu nggak usah ditangisi. Itu berarti dia bukan laki-laki yang baik. Untuk apa menangisi orang yang nggak baik begitu? Harusnya malah bersyukur belum sempat nikah sama dia. Kalau udah jadi suami, pasti akan lebih sakit lagi," ucapnya kemudian.
"Tapi bagaimana pun rasa sakit dan kecewa itu pasti ada kan, Bi? Dan wajar juga kalau dia menangis."
"Ya. Tapi nggak harus sampai membahayakan diri sendiri, kan? Kabur dari rumah sampai terlunta-lunta di jalan seperti kemarin itu. Kalau ketemu sama orang jahat kan bisa berabe nanti. Iya kalau cuma dirampok. Kalau sampai diperkosa, bagaimana? Untung aja kemarin dia ketemu sama gue. Dia terlalu cantik. Laki-laki mana pun pasti tertarik untuk menjamah dia."
"Termasuk lo?"
Abian menoleh dan cemberut pada Inung. "Gue panggil lo untuk temenin dia, kan?" katanya segera.
"Itu karena akal sehat lo masih jalan. Gue seneng lo nggak khilaf."
"Kalau gue mau sentuh perempuan, harus yang udah sah jadi bini gue, Nung. Gue nggak mau sentuh yang belum halal buat gue."
Inung tersenyum mendengar kata-kata sepupunya itu. Abian memang seorang laki-laki yang baik. Bahkan yang mulai langka menurut Inung. Sebab sampai sekarang dia masih bertahan untuk tidak menyentuh perempuan yang belum dia nikahi. Sedangkan Abian belum juga menikah sampai hari ini. Alhasil, Abian masih tetap perjaka hingga detik ini!
Sebetulnya banyak perempuan yang jatuh cinta pada Abian. Kegagahan Abian ibarat gula yang menarik semut untuk datang. Tapi sayangnya Abian terlalu acuh. Dan tiap kali Inung bertanya kenapa dia seacuh itu, pasti Abian akan menjawab, belum ada yang mampu menggetarkan hatinya dan membuat dia untuk merindu.
"Gue berharap jodoh lo segera datang, Bi," harap Inung serupa do'a.
Abian tak menyahut. Dia kembali sibuk mengeluarkan roti dari panggangan. Abian percaya, jika sudah saatnya, jodohnya itu pasti akan datang.
***
Adam menghentikan motornya di depan rumah Abian. Emily yang duduk di boncengannya pun segera turun. Wajah gadis itu masih pucat. Adam pun memperhatikan dengan cemas. Dia rasa, gadis cantik itu sakit. Butiran keringat tampak keluar dari pori-pori dan membasahi wajahnya. Dan Emily tampak lemas sekali. Dia berdiri berpegangan pada pagar beberapa saat sebelum kemudian melangkah masuk dan duduk diam di kursi bambu yang ada di sana.
"Neng Emily nggak apa-apa?" tanya Adam cemas.
"Saya nggak apa-apa, bang," sahut Emily lemas.
"Sepertinya Neng Emily sakit. Apa mau menunggu Abian di rumah saya aja? Biar neng bisa istirahat di dalam," kata Adam menawarkan.
Emily menggeleng. "Terima kasih, bang. Biar saya tunggu Mas Abi di sini aja."
"Tapi Abian kalau pulang malam. Yakin mau duduk terus di sini sampai malam?"
Emily mengangguk. "Nggak apa-apa. Saya di sini aja."
"Apa nggak sebaiknya saya antar ke toko aja? Dari pada di sini bengong sendirian," kata Adam lagi, menawarkan.
Emily pun berpikir sejenak. Ya, rasanya memang lebih baik dia menyusul ke toko saja dari pada harus bengong sendirian di sini menunggu Abian pulang. Akhirnya Emily pun mengangguk dan segera kembali naik ke boncengan motor Adam yang segera membawanya ke toko Abian.
***
Abian menoleh dan terkejut ketika melihat Adam datang ke tokonya bersama dengan Emily. Kening laki-laki tampan itu pun berkerut. Dia merasa bingung kenapa Adam belum juga mengantarkan Emily pulang. Tapi sekarang malah datang ke tokonya seperti ini.
Perlahan Abian melangkah menghampiri. Sementara Inung yang juga sama terkejut cuma duduk diam dengan wajah yang bingung.
"Kenapa belum lo antar pulang, Dam? Bukannya dari tadi lo udah jalan? Kok, masih di sini?" Pertanyaan Abian bertubi-tubi pada Adam.
Adam tak segera menyahut. Dia menoleh pada Emily yang masih tampak pucat dengan perasaan cemas.
"Duduk dulu, neng," kata Adam sambil mengajak Emily untuk masuk ke toko.
Emily menurut. Dia masuk ke toko lalu duduk di dekat Inung dengan lemas. Dibiarkannya pandangan bingung Abian dan Inung yang tertuju padanya. Emily tak peduli. Dia terlalu sibuk menenangkan hatinya yang terasa kacau.
Sementara itu Abian menatap Adam dengan bingung. Dia mengangkat alisnya seolah meminta Adam untuk memberikan penjelasan padanya. Sedang Adam cuma memberi kode dengan menempelkan telunjuk di depan bibir seolah meminta Abian untuk bersabar.
"Ambilkan Neng Emily minum, Nung," perintah Adam pada Inung.
Inung seolah tersadar dari rasa terkejutnya dan segera berdiri mengambilkan minum untuk Emily. Sebotol air mineral pun Inung berikan pada Emily yang masih duduk diam dengan lemas.
"Neng Emily nggak mau pulang, Bi. Dia malah minta diantar balik ke rumah lo," kata Adam pelan.
"Tapi..., kenapa?" Abian merasa semakin bingung.
Adam menggeleng pelan. "Lo tanya aja sendiri. Tapi biarin dia tenang dulu. Lo liat tuh, wajahnya pucat banget."
Abian pun segera memperhatikan wajah Emily yang memang masih terlihat pucat. Ya, sepertinya memang biarkan Emily tenang dulu sebelum dia lontarkan pertanyaan. Gadis itu tampak tidak sehat.
Abian menunggu beberapa saat. Tapi kemudian dengan tidak sabar, akhirnya dia lontarkan juga pertanyaan yang sudah sejak tadi ingin melompat keluar dari mulutnya.
"Kenapa kamu nggak jadi pulang?"
Emily pun mendongak menatap Abian. Lalu tanpa memberikan jawaban, dia mulai terisak pelan.
Emily menatap Abian sambil terisak pelan. Dia bingung bagaimana cara menjelaskan pada Abian tentang alasannya tak jadi pulang. Rasanya Abian tak akan bisa mengerti luka hatinya yang terasa perih. Laki-laki itu tak akan mungkin membenarkan perbuatannya ini. Dia pasti akan marah. Tapi sungguh Emily merasa rumah Abian adalah tempat yang ternyaman baginya saat ini. Karena setidaknya Emily tahu kalau Abian adalah seorang laki-laki yang baik. Dan di rumah laki-laki baik itulah dia bisa bersembunyi."Emily, jelaskan pada saya kenapa kamu nggak jadi pulang?" tanya Abian lagi sedikit mendesak. Wajah laki-laki itu tampak serius dan tegas.Emily menggeleng pelan."Jelaskan, Emily. Saya nggak bisa mengerti cuma dengan gelengan kepala kamu," kata Abian lagi bernada tak sabar."Bi!" bentak Inung pelan. "Biar dia tenang dulu. Jangan didesak begitu."Abian pun mendesah kesal. Bocah cengeng, pikirnya. Tapi tak urung diturutinya juga kata-kata Inung itu. Dia t
"Cuma beberapa hari aja, Bi," bujuk Inung.Abian tak menyahut. Dia menatap Emily dengan pandangan yang tajam. Sementara Emily cuma bisa diam. Dia merasa dipaku dengan tatapan tajam itu.Apakah yang ada dalam kepala laki-laki itu? Apakah yang dia pikirkan tentang aku? Pasti di matanya aku hanyalah seorang gadis bodoh yang cengeng. Yang meratap sedih karena kehilangan cinta. Tapi sesungguhnya bukan cinta yang membuatku terluka seperti ini. Tapi dikhianati oleh orang terkasihlah yang membuatku jatuh. Perasaan dikhianati itulah yang sungguh menyakitkan dan membuatku ingin lari dari kenyataan."Berapa lama waktu yang kamu butuhkan, Emily?" Abian kembali melontarkan pertanyaan itu.Emily pun menggeleng pelan. Pertanyaan itu memang seakan tak mempunyai jawaban. Sebab tak akan ada orang yang tahu kapan hatinya bisa kembali kuat setelah dihantam oleh pukulan yang sehebat itu?"Saya bukannya jahat. Saya cuma nggak mau dapat teguran dari Pak RT atau bahkan di
Pagi itu Emily terbangun tanpa Inung di sampingnya. Rumah terasa sepi. Tak terdengar aktivitas suara apa pun di ruang depan atau pun di dapur. Kemanakah Inung? Sudah kembali ke rumahnyakah? Ya, bukankah dia harus mengurus suaminya dulu sebelum berangkat ke toko? Lalu, Abian? Tidakkah dia datang pagi ini? Atau dia langsung berangkat ke toko tanpa pulang dulu kemari? Rumah benar-benar sepi pagi ini. Emily jadi sedikit bingung.Berada di rumah orang dan sendirian seperti ini membuatnya jadi serba salah. Emily tak tahu apa yang harus dia lakukan. Mandi dan membuat sarapan? Tapi Emily tak bisa memasak. Dan dia tak tahu bahan makanan apa saja yang tersedia di dapur.Ah, tak mungkin memasak. Aku cuma akan membuat berantakan dapur Mas Abi saja nanti. Bahkan sekadar memasak telur dadar pun aku tak pernah. Biasanya semua sudah tersedia di atas meja. Dan jika aku butuh sesuatu, aku tinggal meminta pelayan untuk menyiapkannya untukku. Tak perlu bersusah payah mengerjakannya se
Emily melihat Abian yang melangkah cepat memasuki pagar. Dia tampak acuh. Laki-laki itu tak menghiraukan sapaan dari perempuan berkulit pucat yang tampak sangat bersemangat menyapanya itu. Entah karena laki-laki itu yang terlalu dingin, atau karena dia tidak menyukai perempuan itu. Sebab tadi dia hanya sesaat menoleh untuk kemudian acuh berjalan pulang.Abian masuk dan melihat Emily yang sedang berdiri di dekat jendela. Dia langsung bisa menebak apa yang Emily lakukan di sana. Abian pun menatap Emily masih dengan wajah dinginnya hingga Emily seperti dipaku di tempatnya berdiri."Kenapa ngintip-ngintip seperti itu? Kamu seperti ibu-ibu gosip yang sedang mengintip tetangga untuk dijadikan bahan gosipnya," komentar Abian tanpa senyum."Saya cuma sedang melihat keluar," sahut Emily cepat."Kamu udah mandi?" tanya Abian merubah topik pembicaraan.Emily mengangguk. "Sudah," sahutnya segera."Inung bilang kamu mau ikut ke toko?" tanya Abian lagi.E
Abian melihat pada jam tangannya. Kemudian dia membuka celemeknya dan menghampiri Inung yang baru saja selesai melayani seorang pembeli."Gue ke bengkel dulu, Nung. Mau ambil motor."Inung menoleh. "Nggak habis makan siang aja, Bi? Tanggung sebentar lagi jam makan siang. Karyawan bengkelnya juga pada istirahat."Abian menggeleng. "Sekarang aja. Mumpung lagi nggak banyak kerjaan. Dion bisa ngerjain sendirian."Setelah itu Abian pun melangkah pergi dengan tergesa. Inung dan Emily memperhatikan kepergian laki-laki jangkung itu dari dalam toko. Abian tampak menghampiri tukang ojek yang mangkal tak jauh dari situ lalu segera menaikinya dan pergi."Kenapa dia tergesa seperti itu? Cuma ambil motor dari bengkel kok seperti orang mau ambil gaji?" tanya Inung yang merasa bingung dengan kelakuan sepupunya itu."Mungkin Mas Abi mau menghindari perempuan yang janji mau datang siang ini untuk mengantarkan makan siang," celetuk Emily yang tiba-tiba saja teringat
Emily duduk di ruang tamu Abian dengan lemas. Perasaan kesal dan bingung berjejal di hatinya hingga membuatnya ingin menangis. Oh, bagaimana ini? Barusan Pak RT datang dan menyampaikan kabar tentang keberatan warga atas kehadirannya di rumah Abian sebagai tamu yang menginap. Mereka protes. Ini tidak pantas, katanya. Masyarakat di sini menganggap tabu tentang semua ini. Tidak boleh gadis menginap di rumah seorang perjaka. Apa lagi si perjaka hidup sendirian. Itu dalih mereka untuk meminta Emily pergi.Di hadapan beberapa orang ibu yang ikut datang, Emily telah berusaha menjelaskan kalau Abian tak tinggal di rumahnya selama dia berada di sana. Tapi mereka tak mau menerima penjelasan itu. Mereka bilang tak ada yang bisa menjamin jika Abian benar-benar tak tidur di sana. Oh, tuhan! Emily gusar mendengar semua itu. Kenapa mereka begitu senang berprasangka buruk terhadap orang lain? Kenapa tak bisa percaya kalau Abian benar tak tidur satu atap dengan dirinya?Melawan para ib
Emily keluar dari rumah Abian pagi-pagi benar. Inung bilang memang sebaiknya begitu. Agar dia tak perlu bertemu dengan ibu-ibu penggosip yang menginginkan kepergiannya. Emily menurut. Rasanya memang sebaiknya tak bertemu dengan mereka. Sebab Emily pasti akan merasa risih nanti. Alangkah tak enaknya jika ada sekelompok orang yang berbisik-bisik di depan kita dan kita tahu jika yang mereka bicarakan itu adalah kita. Oh, benar-benar menyebalkan!Akhirnya, disaat langit belum diterangi oleh cahaya mentari, Emily pun pergi. Tujuannya adalah rumah Monik, sahabatnya. Dan seperti kemarin, Emily diantarkan oleh Adam. Abian yang meminta Adam untuk mengantarkannya pulang. Hm, rupanya dia sungguh mengkhawatirkanku, pikir Emily sedikit senang. Entahlah, mungkin rasa senang yang tak beralasan. Tapi Emily selalu merasa seperti itu tiapkali Abian memberikannya sedikit perhatian.Ketika Emily pergi tadi, Abian dan Inung mengantarkannya sampai ke depan rumah. Inung banyak berpesan, member
Emily duduk diam di sofa ruang tamu Monik. Segelas minuman dingin dipegangnya erat-erat hingga embun dinginnya membasahi telapak tangannya. Emily menikmati rasa dingin itu. Digerakkannya jari jemarinya hingga embun yang menempel di gelas itu mengalir perlahan di sela-sela jarinya. Semua itu dilakukannya untuk menutupi rasa gugup yang menyelimuti hatinya. Ya, rasa gugup yang mengganggu. Bahkan sudah menguasai hatinya sebelum pertanyaannya untuk Monik dia lontarkan.Sementara itu Monik sedang sibuk menghidangkan aneka macam kue dan biskuit untuk Emily. Dia mondar-mandir membawa toples kue juga piring-piring berisi aneka kue basah yang Emily tahu kalau semua itu bukanlah hasil buatannya. Monik tak pandai memasak. Bahkan masuk dapur pun dia tak suka. Yah, sebelas dua belas-lah dengan Emily. Sama-sama perempuan yang tidak bisa memasak dan tak suka dapur. Tapi doyan ngemil. Karena itulah selalu tersedia kue dan berbagai macam jenis camilan di rumah.Sambil terus memegang gel
<span;>Emily mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Rumah ini masih tetap sama seperti ketika dia tinggalkan dulu. Masih tetap bersih dan terasa sejuk. Sungguh nyaman dan mendamaikan. Dengan perasaan haru Emily pun tersenyum. Tanpa dia sadari, telah banyak kenangan terukir di rumah ini. Rumah ini adalah saksi dari perjalanan cintanya bersama Abian. Juga tentang bagaimana dia berubah dari seorang gadis kaya yang manja, menjadi seorang perempuan sederhana yang pandai mengurus rumah. Ah, Emily merindukan rumah ini. Dan sungguh saat ini dia bahagia bisa kembali kemari. <span;>Ketika itu, Abian yang baru kembali dari kamar untuk menidurkan Amanda di ranjangnya pun tersenyum melihat tingkah Emily yang berdiri di tengah ruangan sambil mengedarkan pandangan. <span;>"Selamat datang, ratuku," katanya sambil menatap Emily dengan romantis. Pagi itu memang mereka baru saja sampai. Dan Abian tahu kalau Emily merindukan rumah ini. <span;>
<span;>Pagi itu Abian baru saja terjaga dari tidurnya ketika didengarnya suara ponsel yang berdenting pertanda ada sebuah pesan yang masuk. Abian mengambil ponsel itu dengan malas. Siapa yang menghubunginya pagi buta begini? Dengan mata yang masih mengantuk dia pun berusaha memfokuskan pandangannya pada layar hp. <span;>Emily?! Abian tersentak bagai terkena aliran listrik. Dia pun segera duduk dan membaca pesan itu. 'Mas Abi sayang, nanti malam datang ke sini ya. Ada yang harus kita bicarakan.' <span;>Abian tercekat. Sekali lagi dia membaca pesan itu untuk meyakinkan dirinya kalau isi pesan yang dibacanya memang benar seperti itu. Tapi..., Emily memanggil sayang? Ah, Abian jadi merasa bingung. Bukankah istrinya itu sedang marah padanya? Sedang marah, tapi memanggil sayang? <span;>'Ya, Mily sayang. Saya akan datang nanti malam. Tapi ada apakah?' <span;>'Nggak bisa saya bicarakan di telepon, mas. Pokoknya Ma
<span;>Esok sore, di jam yang sama, Sandra mengetuk pintu kamar Nadya yang tertutup rapat. Tak menunggu lama, pintu kamar itu pun terbuka. Wajah Nadya sedikit bingung karena tak biasanya Sandra mengetuk pintu kamarnya seperti ini. <span;>"Ya, Mbak Sandra, ada apa?" tanya Nadya segera. <span;>"Apa kamu sedang sibuk? Saya ingin minta tolong sebentar," jawab Sandra dengan sikap yang sewajarnya. <span;>"Minta tolong apa, mbak?" <span;>"Tomy datang ingin bertemu dengan Rangga. Tapi Rangga baru saja tidur. Sekarang dia sedang menunggu di teras belakang. Mau kamu menemani dia sebentar? Kamu kan tahu kalau saya atau Mily tidak mungkin menemani dia? Hubungan kami belum baik sampai sekarang." <span;>Nadya pun mengangguk hingga membuat Sandra merasa lega. Lalu tanpa curiga Nadya segera berjalan menuruni tangga menuju ke teras belakang dimana Tomy sedang duduk melamun sendirian. <span;
<span;>"Rasanya sulit untuk percaya kalau Abian berbuat seperti itu, Mily," kata Sandra pada Emily di sore itu. <span;>Emily pun menoleh menatap Sandra untuk beberapa saat. "Jadi kakak percaya pada cerita Mas Abi?" tanyanya sedikit terkejut. <span;>"Percaya seratus persen sih tidak. Tapi kakak melihat pribadi Abian selama ini dan Abian yang diceritakan oleh Nadya, kok, sepertinya bertolak belakang sampai seratus delapan puluh derajat. Coba kamu ingat bagaimana bertanggungjawabnya dia selama ini sebagai suamimu. Juga bagaimana dia berkorban demi memenuhi keinginanmu untuk bisa kuliah lagi. Dia sampai mau mengojek sampai malam, Mily. Dan coba kamu ingat lagi bagaimana dulu Abian tetap bertahan untuk tidak menyentuhmu hanya karena menunggu restu dari papa dan mama. Kamu sudah sah menjadi istrinya ketika itu. Kalian pun tinggal bersama dalam satu rumah. Tapi dia bertahan, Mily. Dia tidak menyentuhmu sampai restu itu dia dapatkan. Jadi, aneh rasa
<span;>"Seorang saksi? Bagaimana mungkin lo bisa menghadirkan seorang saksi, Bi? Siang itu cuma ada lo dan Nadya aja kan di sana?" kata Inung dengan nada bingung. <span;>"Gue juga bingung, Nung. Tapi tanpa kehadiran seorang saksi yang bisa membenarkan cerita gue, Emily akan tetap berpikir kalau gue yang salah. Atau jangan-jangan...." <span;>"Jangan-jangan apa?" <span;>"Atau jangan-jangan dia sengaja berbuat begitu biar dia bisa dekat dengan teman laki-lakinya itu tanpa ada yang menghalangi?" <span;>"Apa iya seperti itu, Bi?" tanya Inung sedikit ragu. <span;>Abian mendesah gelisah. "Gue memang nggak mau nuduh secara langsung sama dia. Tapi bagaimana pun rasa curiga itu tetap ada." <span;>"Semoga rasa curiga lo itu salah, Bi," harap Inung. <span;>"Sore ini gue mau datang lagi ke sana, Nung. Gue kangen banget sama Amanda," kata Abian kemudian. <span;>"Ya, gue ngerti per
<span;>Beberapa hari telah berlalu. Abian masih tetap berusaha sabar untuk tidak menemui Emily, meskipun kerinduannya pada Emily dan Amanda terasa begitu menyesakan dada. Abian tak dapat tidur, juga tak enak makan. Hari-harinya diisi dengan gelisah. Tak ada yang lain yang mengisi kepalanya selain istri dan putrinya itu. Tapi jika dia datang sekarang, apakah Emily sudah bisa diajak bicara? <span;>"Gue udah nggak bisa nahan rasa kangen gue, Nung. Gue juga nggak bisa membiarkan masalah ini berlarut-larut seperti ini. Gue harus menemui Emily sekarang," kata Abian pada Inung di pagi ini. <span;>"Rasanya memang udah saatnya kalian selesaikan masalah ini. Lo udah kasih waktu untuk dia selama beberapa hari ini. Sekarang saatnya dia dengarkan penjelasan dari lo, Bi. Emily nggak boleh cuma dengar cerita dari satu pihak aja. Dia juga harus mau dengar cerita dari lo," sahut Inung. <span;>"Gue nggak ngerti kenapa Emily bisa termakan cer
<span;>Abian mengulangi pertanyaannya hingga beberapakali. Tapi jawaban dan reaksi Emily tetap sama. Dia tetap berseru meminta Abian untuk pergi dengan wajah yang menyiratkan rasa marah dan kecewa. Abian jadi semakin bingung. Dia tak tahu harus berbuat apa hingga hanya bisa mematung di tempatnya berdiri. Emily seperti tak bisa diajak bicara. Dia terlalu histeris dalam tangis dan kemarahannya. <span;>"Tenang dulu, Mily. Coba jelaskan dulu pada saya ada apa ini sebenarnya? Saya benar-benar nggak ngerti kenapa kamu bersikap seperti ini pada saya?" kata Abian bingung. <span;>"Tanya pada diri Mas Abi sendiri, apa yang sudah Mas Abi lakukan?!" sembur Emily marah. <span;>"Apa yang sudah saya lakukan?" Abian tak mengerti dengan perkataan Emily. "Memangnya apa yang sudah saya lakukan, Mily?" <span;>"Mas yang lebih tahu apa yang sudah Mas lakukan! Dasar laki-laki jahat! Saya benci Mas Abi!" Histeris Emily semakin me
<span;>Sore itu Abian bergegas pulang. Dia ingin mendengar cerita Emily tentang pertemuannya dengan Nadya tadi siang. Abian khawatir terjadi keributan antara Emily dan adik sepupunya itu. Meski Abian tahu kalau Nadya tak akan berani membangkitkan rasa cemburu Emily, tapi tetap saja hati Abian tak tenang membayangkan kedua perempuan itu bertemu dan bicara tentang alasan Nadya meninggalkan rumah mereka dengan cara seperti itu. <span;>Motor Abian berhenti di depan pintu pagar rumahnya. Dia melihat ke arah rumahnya yang sepi. Bahkan jendela pun tertutup rapat. Sepertinya Emily belum pulang. Abian pun berpikir sejenak. Apakah sebaiknya dia menunggu Emily di rumah saja, atau kembali ke toko dan pulang ke rumah lagi nanti? Hm, rasanya lebih baik kembali saja ke toko. Nanti sebelum maghrib, barulah pulang menemui Emily. <span;>Abian pun segera memutar motornya dan melajukannya kembali ke toko. Dan ketika dia memasuki halaman parkir di depan tokonya,
<span;>"Nggak mungkin!" seru Emily pelan. "Nggak mungkin Mas Abi melakukan itu!" <span;>"Saya tahu Mbak Mily tidak akan percaya dengan cerita Saya. Karena itulah saya memilih pergi dan diam," kata Nadya dengan ekspresi wajah yang sangat meyakinkan. <span;>"Oh!" Emily kembali terpekik pelan. Benarkah itu? Benarkah suaminya melakukan perbuatan serendah itu? Rasanya ingin tak percaya, tapi raut wajah Nadya sepertinya tidak main-main. Tampaknya dia tidak sedang bercanda, apa lagi berdusta. <span;>"Maafkan saya, Mbak Mily. Saya tidak tahu kalau selama ini Mas Abi memiliki perasaan yang lain terhadap saya. Andai saja saya tahu, pasti saya tidak akan tinggal di rumah Mbak Mily. Saya pikir, selama ini Mas Abi cuma menganggap saya sebagai adik. Tapi ternyata tidak seperti itu." <span;>"Tapi Mas Abi bukan laki-laki seperti itu, Nadya!" Emily masih mencoba untuk percaya pada kesetiaan suaminya. <span;&