Emily bangun saat matahari sudah bersinar hangat. Di luar rumah pun sudah terdengar ramai oleh aktivitas warga dan orang yang berlalu lalang. Terdengar ramai suara anak-anak yang bermain, juga tukang sayur keliling yang terus berseru memanggil ibu-ibu pelanggannya, serta berisik suara motor yang melintas. Sepertinya cuma Emily yang baru saja bangun karena ternyata Inung pun sudah tak ada lagi di sampingnya.
Emily mencoba mengingat kiranya jam berapa dia tertidur. Pastinya hampir pagi karena jam tiga dini hari saja dia masih terjaga dan asyik mendengarkan suara detak jarum jam dinding sambil melepas pikirannya mengembara tak tentu arah. Dan rasanya Inung pun baru tidur saat menjelang pagi. Karena setelah mendengarkan cerita Emily semalam, dia pun sibuk menenangkan Emily yang kembali menangis.
Dengan mata yang masih mengantuk, Emily beranjak bangun dari tidurnya. Dia melangkah keluar dari kamar dan sedikit bingung mendapati rumah yang sepi.
Kemana Abian dan Inung? Sepi sekali rumah ini. Tapi pintu depannya terbuka lebar. Dan seperti ada seseorang di dapur. Apakah itu Inung?
Bau harum masakan pun menyapa penciuman Emily hingga selera makannya bangkit seketika. Dengan bergegas dia pun melangkah ke arah dapur. Emily berpikir dia akan menjumpai Inung di sana. Tapi ternyata yang dijumpainya adalah Abian. Laki-laki gagah itu sedang berdiri di depan kompor dengan menggunakan celemek berwarna biru. Dan saat menyadari kehadiran Emily di dekatnya, dia pun menoleh.
"Telurnya mau di dadar atau mata sapi?" tanyanya tanpa sebuah senyuman.
Emily yang tak menyangka akan mendapat pertanyaan seperti itu pun tergagap. "Huh? Eh, telur mata sapi," sahut Emily segera.
Emily berdiri memperhatikan Abian yang sedang memecahkan sebutir telur ke dalam mangkuk. Gerakannya begitu cekatan seperti orang yang biasa memasak. Lalu dengan gerakan cepat dia menaburkan sedikit garam di atas telur mentah itu. Dan kemudian menyalakan kompor.
Menunggu minyak yang di dalam wajan panas, Abian pun mengupas ketimun, yang lagi-lagi dilakukannya dengan gerakan yang cepat dan luwes sekali. Ya, Emily yakin jika laki-laki tampan penolongnya ini memang biasa memasak. Mungkin karena dia hidup sendirian, belum ada seorang istri yang melayani segala kebutuhannya.
Merasa diperhatikan, Abian pun kembali menoleh pada Emily. "Ada apa?" tanyanya.
"Nggak..., nggak apa-apa," sahut Emily pelan.
"Mandi sana! Setelah itu sarapan, lalu pulang! Jangan lagi keluyuran nggak jelas. Kalau ketemu orang jahat bisa bahaya," katanya dengan nada tegas.
"Mbak Inung mana?" tanya Emily karena tak melihat ada Inung di sana.
"Sudah pulang. Dia kan harus mengurus suaminya yang mau berangkat kerja," sahut Abian sambil memasukan telur ke dalam minyak panas.
"Oh," ucap Emily sambil terus berdiri memperhatikan Abian. Ada rasa kagum di hati Emily melihat Abian yang sedang asyik memasak. Sebab dia yang seorang perempuan saja tidak bisa melakukan itu. Emily tak pernah memasak. Bahkan berdiri di depan kompor seperti itu pun tidak pernah.
"Kenapa masih berdiri di situ?" tanya Abian mengejutkan Emily.
"Ya, saya akan mandi sekarang," kata Emily yang kemudian bergegas meninggalkan dapur.
Ya, tuhan.... Kenapa dia sekaku itu? Bahkan tak ada senyum di wajahnya sama sekali. Tapi tak apalah, yang penting dia seorang laki-laki baik yang telah menolongku.
Emily segera mandi dan mengganti pakaiannya dengan bajunya sendiri. Sesuai perintah Abian, Emily harus pulang ke rumahnya pagi ini. Emily tak membantah meski pun rasanya tak ingin menuruti.
"Kamu sarapan aja duluan. Saya mau mandi dulu," kata Abian ketika melihat Emily datang menghampiri. Ketika itu dia baru saja selesai menyiapkan sarapan di atas meja makan.
"Saya tunggu Mas Abi aja," sahut Emily. Dia merasa tidak enak jika sarapan duluan.
Abian tak menyahuti. Dia bergegas mengambil handuknya dan segera masuk ke kamar mandi. Sementara Emily berjalan ke ruang tamu dan duduk menunggu Abian di sana.
Dari jendela ruang tamu itu, Emily bisa melihat aktivitas orang-orang yang ada di luar. Terlihat beberapa orang ibu yang sedang berkerumun mengelilingi seorang tukang sayur yang menggunakan gerobak. Mereka ramai bercanda dan tertawa. Bahkan abang tukang sayurnya pun ikut seru dalam candaan para pembelinya itu. Mereka tampak akrab sekali. Sepertinya lebih lama ngobrol dan bercandanya dari pada belanjanya. Hm, tapi Emily senang memperhatikan semua itu. Satu pemandangan hangat yang tak pernah Emily jumpai di sekitar perumahannya yang mewah yang memang selalu diselimuti sepi.
Ketika Emily sedang asyik memperhatikan semua itu, Abian yang rupanya sudah selesai mandi pun datang menghampiri. Dia mengajak Emily untuk sarapan. Emily pun segera berdiri dan mengikuti Abian ke ruang makan.
Mereka duduk berhadap-hadapan. Emily sedikit kikuk karena Abian tak mengajaknya bicara. Laki-laki itu menyendok nasi goreng yang tadi dibuatnya ke atas piring makannya. Lalu dia mengambil telur goreng, irisan ketimun dan juga kerupuk. Lalu dengan lahap menyantap sarapannya.
Pada suapan yang ketiga, dia berhenti dan menatap Emily dengan bingung karena dilihatnya Emily cuma diam, belum memulai sarapannya.
"Kenapa bengong? Kamu nggak suka sarapannya?" tanyanya hingga Emily tergugup.
"Oh, suka kok, mas," sahut Emily cepat sambil menyendok nasi goreng dan lauk- pauk yang disajikan Abian di atas meja.
Ketika memulai suapan pertamanya, Emily langsung terkejut. Ternyata nasi goreng buatan Abian itu luar biasa lezatnya. Entah apa bumbu yang dipakainya. Tapi lidah Emily begitu bahagia mencicipi masakan selezat itu.
Emily pun langsung lahap menyantap nasi goreng itu. Hingga sampai suapan terakhir, dia merasa masih ingin lagi. Tapi rasanya malu untuk nambah. Apa pantas jika dia melakukan itu? Sedangkan si tuan rumah saja cukup sarapan satu piring saja, tak rakus ingin nambah seperti dirinya.
"Kamu nggak nambah? Inung dan suaminya aja selalu nambah kalau makan masakan saya," kata Abian seolah mengetahui isi hati Emily.
"Apa boleh? Kok, Mas Abi tahu kalau saya pengen nambah?" tanya Emily.
"Kelihatan dari muka kamu," sahut Abian.
Emily pun menatap Abian dengan pipi yang bersemu merah. Benarkah itu? Oh, Emily jadi merasa malu. Dan seperti tahu isi hati Emily lagi, Abian segera menyendokan nasi goreng itu ke piring Emily. Di bibirnya terbias sedikit senyuman.
"Nggak usah malu begitu. Kalau emang belum kenyang, kamu boleh nambah sebanyak yang kamu mau. Saya lebih suka masakan saya dihabiskan dari pada terbuang."
Emily tersenyum, lalu kembali menyantap nasi goreng itu dengan nikmat. Siapa yang mengira jika laki-laki segagah Abian bisa membuat nasi goreng selezat ini? Mungkin dia memang pandai memasak. Hm, pantas saja dia punya toko roti.
"Sebentar lagi saya berangkat ke toko. Kamu harus pulang. Saya yakin orangtua kamu pasti udah kebingungan cari kamu dari semalam," kata Abian ketika Emily hampir menyelesaikan sarapannya.
Emily tak menyahut. Dia cuma mengangguk.
"Rumah kamu nggak terlalu jauh dari sini, kan?" tanya Abian lagi.
"Ya," sahut Emily singkat.
"Saya akan kasih kamu ongkos. Terserah kamu nanti mau naik apa. Ojek, taksi online atau angkutan umum lainnya. Yang penting kamu harus pulang ke rumah. Ngerti kamu?" kata Abian dengan tegas.
"Ya, mas," sahut Emily meski masih ragu untuk menuruti.
"Kalau kamu mau naik taksi biar saya pesankan dulu untuk kamu sebelum saya berangkat," kata Abian menawarkan.
"Nggak usah, mas. Biar saya naik angkutan umum aja," tolak Emily.
Abian pun mengeluarkan dompetnya dan mengambil beberapa lembar uang kertas, lalu memberikannya pada Emily. Empat lembar uang kertas berwarna biru pun Emily terima dari laki-laki penolongnya itu. Gadis itu tersenyum.
"Terima kasih, Mas Abi," ucapnya sopan.
"Ingat, jangan pernah kabur lagi dari rumah. Anak gadis kok kabur-kaburan seperti ini."
Emily diam. Abian memang tak mengetahui alasan Emily pergi dari rumah. Jadi wajar saja kalau dia bicara seperti itu. Siapa pun tak kan membenarkan seorang gadis yang kabur dari rumah. Sebab itu sepertinya memang satu tindakan yang salah meski pun alasan di balik itu kadang begitu kuat.
Pukul sembilan kurang, Inung kembali datang. Dia tampak sudah berpakaian rapi.
"Udah rapi, Bi? Yuk, berangkat!" ajak Inung pada Abian.
Abian mengangguk. "Hari ini jalan kaki lagi, Nung. Motor masih di bengkel," katanya.
"Nggak masalah, kok. Kan nggak jauh juga tokonya," sahut Inung santai.
"Mbak Inung juga mau ke toko?" tanya Emily pada Inung.
"Saya kerja di toko Abi. Tapi nggak sampai malam. Sore saya pulang. Soalnya harus masak untuk makan malam suami dan beres-beres rumah," sahut Inung.
"Wah, hebat! Kerja cari uang tapi nggak lupa sama tugas seorang istri," puji Emily kagum.
"Itu harus, Mil. Tugas sebagai istri emang nggak boleh kita lupakan. Sehebat apa pun karier kamu di luar rumah, tapi di dalam rumah, kamu tetaplah seorang istri yang punya kewajiban untuk melayani semua kebutuhan suami," sahut Inung seperti sebuah nasihat.
Emily tersenyum. "Semoga saya mendapatkan suami yang baik satu hari nanti," ucapnya serupa do'a.
Inung pun cepat mengamini kata-kata Emily itu.
Ketika itu Abian tampak sudah siap untuk berangkat ke toko. Dia melangkah keluar diikuti oleh Inung dan Emily. Dan setelah mengunci pintu, dia pun segera mengajak kedua perempuan yang bersamanya itu untuk berangkat.
"Kamu bisa naik kendaraan umum di depan komplek nanti. Tukang ojek juga banyak di sana," kata Abian pada Emily.
"Loh, kalau mau naik ojek mah sama suami saya aja. Suami saya tukang ojek. Ojek online sih sebetulnya. Tapi sering juga dapat permintaan dari tetangga untuk mengantarkan ke satu tempat. Mumpung Bang Adam masih di rumah, biar saya minta dia untuk antarkan kamu pulang," kata Inung menawarkan.
Emily pun langsung setuju. Dari pada harus mencari ojek dulu, kan, lebih baik naik ojek dari sana saja. Tidak perlu jalan sampai keluar komplek segala. Emily sudah malas untuk jalan kaki yang agak jauh. Kakinya masih terasa pegal.
Inung pun segera kembali ke rumahnya untuk memberitahukan pada suaminya kalau Emily ingin menyewa jasanya untuk mengantarkan dia pulang pagi ini. Sementara itu Abian dan Emily menunggu di depan rumah Abian. Beberapa pasang mata dari ibu-ibu tetangga tampak memperhatikan. Tapi Abian dan Emily acuh, pura-pura tidak tahu dengan semua itu.
Tak lama Inung kembali bersama dengan suaminya, Adam. Suami Inung itu pun tersenyum ramah pada Emily. Emily membalas senyuman itu sambil memperhatikan wajah Adam yang terlihat ramah. Hm, lain sekali dengan Abian yang berwajah dingin dan seolah jarang tersenyum, pikir Emily. Padahal kalau saja dia murah senyum, pasti wajah tampannya itu akan tampak semakin menarik.
"Hati-hati," pesan Inung pada suaminya dan juga Emily. Lalu pada Emily dia berbisik pelan, "Kamu harus kuat."
Emily mengangguk dan tersenyum. Lalu setelah mengucapkan terima kasih pada Abian dan Inung, dia pun pulang kembali ke rumahnya. Hatinya pun berdebar. Sanggupkah dia?
Sejauh inikah aku berjalan? Emily merasa kalau dia sudah cukup lama duduk di atas motor yang dikendarai Adam dengan kecepatan sedang itu. Bahkan rasanya debu-debu jalanan pun sudah tebal menutup pori-porinya. Pantas saja kakinya sakit serasa otot-ototnya membesar dan hampir meledak semalam.Emily tak bisa menepiskan ingatannya pada apa yang menjadi alasan dia pergi meninggalkan rumahnya kemarin sore. Hatinya pun semakin diselimuti oleh rasa ragu. Emily tahu apa yang akan terjadi dengan hatinya jika dia kembali. Sakit!Remuk dan terkoyak, mana yang lebih baik? Keduanya sama menyakitkan dan sama menyiksa. Satu paduan rasa yang membuat orang ingin bercumbu dengan kematian dan meninggalkan hidup. Dan jika sekarang Emily masih bertahan untuk hidup, itu karena dia takut pada kematian. Bukan karena dia hebat, secepat itu bisa berdamai dengan kenyataan.Emily memejamkan matanya sesaat. Mencoba meresapi rasa perih yang menyakitkan itu. Dan ketika dia membuka mata, dua bu
Selesai melayani seorang pelanggan yang datang berbelanja, Inung duduk dan menyeruput kopi susunya dengan nikmat. Kemudian untuk beberapa saat lamanya dia terdiam, seolah sedang termenung memikirkan sesuatu. Sementara itu Abian sedang sibuk memasukan roti ke dalam panggangan. Laki-laki tampan itu menoleh sekilas pada Inung yang sedang termenung. Tapi kemudian dia kembali asyik melanjutkan pekerjaannya membuat roti dibantu oleh seorang pemuda bernama Dion, yang sudah dua tahun ini bekerja di toko roti miliknya itu.Abian menoleh lagi karena didengarnya Inung menghela napas panjang. Diperhatikannya sepupunya itu yang masih duduk termenung sambil bertumpu tangan di atas meja. Inung seperti orang yang sedang dibebani satu masalah. Sejak pagi tadi dia terlihat asyik melamun dan tak banyak bicara seperti biasanya. Tapi ketika berangkat tadi dia tampak biasa saja, pikir Abian bingung. Lantas kenapa sekarang mendadak jadi melamun terus begini?"Nung," panggil Abian pada Inung.
Emily menatap Abian sambil terisak pelan. Dia bingung bagaimana cara menjelaskan pada Abian tentang alasannya tak jadi pulang. Rasanya Abian tak akan bisa mengerti luka hatinya yang terasa perih. Laki-laki itu tak akan mungkin membenarkan perbuatannya ini. Dia pasti akan marah. Tapi sungguh Emily merasa rumah Abian adalah tempat yang ternyaman baginya saat ini. Karena setidaknya Emily tahu kalau Abian adalah seorang laki-laki yang baik. Dan di rumah laki-laki baik itulah dia bisa bersembunyi."Emily, jelaskan pada saya kenapa kamu nggak jadi pulang?" tanya Abian lagi sedikit mendesak. Wajah laki-laki itu tampak serius dan tegas.Emily menggeleng pelan."Jelaskan, Emily. Saya nggak bisa mengerti cuma dengan gelengan kepala kamu," kata Abian lagi bernada tak sabar."Bi!" bentak Inung pelan. "Biar dia tenang dulu. Jangan didesak begitu."Abian pun mendesah kesal. Bocah cengeng, pikirnya. Tapi tak urung diturutinya juga kata-kata Inung itu. Dia t
"Cuma beberapa hari aja, Bi," bujuk Inung.Abian tak menyahut. Dia menatap Emily dengan pandangan yang tajam. Sementara Emily cuma bisa diam. Dia merasa dipaku dengan tatapan tajam itu.Apakah yang ada dalam kepala laki-laki itu? Apakah yang dia pikirkan tentang aku? Pasti di matanya aku hanyalah seorang gadis bodoh yang cengeng. Yang meratap sedih karena kehilangan cinta. Tapi sesungguhnya bukan cinta yang membuatku terluka seperti ini. Tapi dikhianati oleh orang terkasihlah yang membuatku jatuh. Perasaan dikhianati itulah yang sungguh menyakitkan dan membuatku ingin lari dari kenyataan."Berapa lama waktu yang kamu butuhkan, Emily?" Abian kembali melontarkan pertanyaan itu.Emily pun menggeleng pelan. Pertanyaan itu memang seakan tak mempunyai jawaban. Sebab tak akan ada orang yang tahu kapan hatinya bisa kembali kuat setelah dihantam oleh pukulan yang sehebat itu?"Saya bukannya jahat. Saya cuma nggak mau dapat teguran dari Pak RT atau bahkan di
Pagi itu Emily terbangun tanpa Inung di sampingnya. Rumah terasa sepi. Tak terdengar aktivitas suara apa pun di ruang depan atau pun di dapur. Kemanakah Inung? Sudah kembali ke rumahnyakah? Ya, bukankah dia harus mengurus suaminya dulu sebelum berangkat ke toko? Lalu, Abian? Tidakkah dia datang pagi ini? Atau dia langsung berangkat ke toko tanpa pulang dulu kemari? Rumah benar-benar sepi pagi ini. Emily jadi sedikit bingung.Berada di rumah orang dan sendirian seperti ini membuatnya jadi serba salah. Emily tak tahu apa yang harus dia lakukan. Mandi dan membuat sarapan? Tapi Emily tak bisa memasak. Dan dia tak tahu bahan makanan apa saja yang tersedia di dapur.Ah, tak mungkin memasak. Aku cuma akan membuat berantakan dapur Mas Abi saja nanti. Bahkan sekadar memasak telur dadar pun aku tak pernah. Biasanya semua sudah tersedia di atas meja. Dan jika aku butuh sesuatu, aku tinggal meminta pelayan untuk menyiapkannya untukku. Tak perlu bersusah payah mengerjakannya se
Emily melihat Abian yang melangkah cepat memasuki pagar. Dia tampak acuh. Laki-laki itu tak menghiraukan sapaan dari perempuan berkulit pucat yang tampak sangat bersemangat menyapanya itu. Entah karena laki-laki itu yang terlalu dingin, atau karena dia tidak menyukai perempuan itu. Sebab tadi dia hanya sesaat menoleh untuk kemudian acuh berjalan pulang.Abian masuk dan melihat Emily yang sedang berdiri di dekat jendela. Dia langsung bisa menebak apa yang Emily lakukan di sana. Abian pun menatap Emily masih dengan wajah dinginnya hingga Emily seperti dipaku di tempatnya berdiri."Kenapa ngintip-ngintip seperti itu? Kamu seperti ibu-ibu gosip yang sedang mengintip tetangga untuk dijadikan bahan gosipnya," komentar Abian tanpa senyum."Saya cuma sedang melihat keluar," sahut Emily cepat."Kamu udah mandi?" tanya Abian merubah topik pembicaraan.Emily mengangguk. "Sudah," sahutnya segera."Inung bilang kamu mau ikut ke toko?" tanya Abian lagi.E
Abian melihat pada jam tangannya. Kemudian dia membuka celemeknya dan menghampiri Inung yang baru saja selesai melayani seorang pembeli."Gue ke bengkel dulu, Nung. Mau ambil motor."Inung menoleh. "Nggak habis makan siang aja, Bi? Tanggung sebentar lagi jam makan siang. Karyawan bengkelnya juga pada istirahat."Abian menggeleng. "Sekarang aja. Mumpung lagi nggak banyak kerjaan. Dion bisa ngerjain sendirian."Setelah itu Abian pun melangkah pergi dengan tergesa. Inung dan Emily memperhatikan kepergian laki-laki jangkung itu dari dalam toko. Abian tampak menghampiri tukang ojek yang mangkal tak jauh dari situ lalu segera menaikinya dan pergi."Kenapa dia tergesa seperti itu? Cuma ambil motor dari bengkel kok seperti orang mau ambil gaji?" tanya Inung yang merasa bingung dengan kelakuan sepupunya itu."Mungkin Mas Abi mau menghindari perempuan yang janji mau datang siang ini untuk mengantarkan makan siang," celetuk Emily yang tiba-tiba saja teringat
Emily duduk di ruang tamu Abian dengan lemas. Perasaan kesal dan bingung berjejal di hatinya hingga membuatnya ingin menangis. Oh, bagaimana ini? Barusan Pak RT datang dan menyampaikan kabar tentang keberatan warga atas kehadirannya di rumah Abian sebagai tamu yang menginap. Mereka protes. Ini tidak pantas, katanya. Masyarakat di sini menganggap tabu tentang semua ini. Tidak boleh gadis menginap di rumah seorang perjaka. Apa lagi si perjaka hidup sendirian. Itu dalih mereka untuk meminta Emily pergi.Di hadapan beberapa orang ibu yang ikut datang, Emily telah berusaha menjelaskan kalau Abian tak tinggal di rumahnya selama dia berada di sana. Tapi mereka tak mau menerima penjelasan itu. Mereka bilang tak ada yang bisa menjamin jika Abian benar-benar tak tidur di sana. Oh, tuhan! Emily gusar mendengar semua itu. Kenapa mereka begitu senang berprasangka buruk terhadap orang lain? Kenapa tak bisa percaya kalau Abian benar tak tidur satu atap dengan dirinya?Melawan para ib
<span;>Emily mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Rumah ini masih tetap sama seperti ketika dia tinggalkan dulu. Masih tetap bersih dan terasa sejuk. Sungguh nyaman dan mendamaikan. Dengan perasaan haru Emily pun tersenyum. Tanpa dia sadari, telah banyak kenangan terukir di rumah ini. Rumah ini adalah saksi dari perjalanan cintanya bersama Abian. Juga tentang bagaimana dia berubah dari seorang gadis kaya yang manja, menjadi seorang perempuan sederhana yang pandai mengurus rumah. Ah, Emily merindukan rumah ini. Dan sungguh saat ini dia bahagia bisa kembali kemari. <span;>Ketika itu, Abian yang baru kembali dari kamar untuk menidurkan Amanda di ranjangnya pun tersenyum melihat tingkah Emily yang berdiri di tengah ruangan sambil mengedarkan pandangan. <span;>"Selamat datang, ratuku," katanya sambil menatap Emily dengan romantis. Pagi itu memang mereka baru saja sampai. Dan Abian tahu kalau Emily merindukan rumah ini. <span;>
<span;>Pagi itu Abian baru saja terjaga dari tidurnya ketika didengarnya suara ponsel yang berdenting pertanda ada sebuah pesan yang masuk. Abian mengambil ponsel itu dengan malas. Siapa yang menghubunginya pagi buta begini? Dengan mata yang masih mengantuk dia pun berusaha memfokuskan pandangannya pada layar hp. <span;>Emily?! Abian tersentak bagai terkena aliran listrik. Dia pun segera duduk dan membaca pesan itu. 'Mas Abi sayang, nanti malam datang ke sini ya. Ada yang harus kita bicarakan.' <span;>Abian tercekat. Sekali lagi dia membaca pesan itu untuk meyakinkan dirinya kalau isi pesan yang dibacanya memang benar seperti itu. Tapi..., Emily memanggil sayang? Ah, Abian jadi merasa bingung. Bukankah istrinya itu sedang marah padanya? Sedang marah, tapi memanggil sayang? <span;>'Ya, Mily sayang. Saya akan datang nanti malam. Tapi ada apakah?' <span;>'Nggak bisa saya bicarakan di telepon, mas. Pokoknya Ma
<span;>Esok sore, di jam yang sama, Sandra mengetuk pintu kamar Nadya yang tertutup rapat. Tak menunggu lama, pintu kamar itu pun terbuka. Wajah Nadya sedikit bingung karena tak biasanya Sandra mengetuk pintu kamarnya seperti ini. <span;>"Ya, Mbak Sandra, ada apa?" tanya Nadya segera. <span;>"Apa kamu sedang sibuk? Saya ingin minta tolong sebentar," jawab Sandra dengan sikap yang sewajarnya. <span;>"Minta tolong apa, mbak?" <span;>"Tomy datang ingin bertemu dengan Rangga. Tapi Rangga baru saja tidur. Sekarang dia sedang menunggu di teras belakang. Mau kamu menemani dia sebentar? Kamu kan tahu kalau saya atau Mily tidak mungkin menemani dia? Hubungan kami belum baik sampai sekarang." <span;>Nadya pun mengangguk hingga membuat Sandra merasa lega. Lalu tanpa curiga Nadya segera berjalan menuruni tangga menuju ke teras belakang dimana Tomy sedang duduk melamun sendirian. <span;
<span;>"Rasanya sulit untuk percaya kalau Abian berbuat seperti itu, Mily," kata Sandra pada Emily di sore itu. <span;>Emily pun menoleh menatap Sandra untuk beberapa saat. "Jadi kakak percaya pada cerita Mas Abi?" tanyanya sedikit terkejut. <span;>"Percaya seratus persen sih tidak. Tapi kakak melihat pribadi Abian selama ini dan Abian yang diceritakan oleh Nadya, kok, sepertinya bertolak belakang sampai seratus delapan puluh derajat. Coba kamu ingat bagaimana bertanggungjawabnya dia selama ini sebagai suamimu. Juga bagaimana dia berkorban demi memenuhi keinginanmu untuk bisa kuliah lagi. Dia sampai mau mengojek sampai malam, Mily. Dan coba kamu ingat lagi bagaimana dulu Abian tetap bertahan untuk tidak menyentuhmu hanya karena menunggu restu dari papa dan mama. Kamu sudah sah menjadi istrinya ketika itu. Kalian pun tinggal bersama dalam satu rumah. Tapi dia bertahan, Mily. Dia tidak menyentuhmu sampai restu itu dia dapatkan. Jadi, aneh rasa
<span;>"Seorang saksi? Bagaimana mungkin lo bisa menghadirkan seorang saksi, Bi? Siang itu cuma ada lo dan Nadya aja kan di sana?" kata Inung dengan nada bingung. <span;>"Gue juga bingung, Nung. Tapi tanpa kehadiran seorang saksi yang bisa membenarkan cerita gue, Emily akan tetap berpikir kalau gue yang salah. Atau jangan-jangan...." <span;>"Jangan-jangan apa?" <span;>"Atau jangan-jangan dia sengaja berbuat begitu biar dia bisa dekat dengan teman laki-lakinya itu tanpa ada yang menghalangi?" <span;>"Apa iya seperti itu, Bi?" tanya Inung sedikit ragu. <span;>Abian mendesah gelisah. "Gue memang nggak mau nuduh secara langsung sama dia. Tapi bagaimana pun rasa curiga itu tetap ada." <span;>"Semoga rasa curiga lo itu salah, Bi," harap Inung. <span;>"Sore ini gue mau datang lagi ke sana, Nung. Gue kangen banget sama Amanda," kata Abian kemudian. <span;>"Ya, gue ngerti per
<span;>Beberapa hari telah berlalu. Abian masih tetap berusaha sabar untuk tidak menemui Emily, meskipun kerinduannya pada Emily dan Amanda terasa begitu menyesakan dada. Abian tak dapat tidur, juga tak enak makan. Hari-harinya diisi dengan gelisah. Tak ada yang lain yang mengisi kepalanya selain istri dan putrinya itu. Tapi jika dia datang sekarang, apakah Emily sudah bisa diajak bicara? <span;>"Gue udah nggak bisa nahan rasa kangen gue, Nung. Gue juga nggak bisa membiarkan masalah ini berlarut-larut seperti ini. Gue harus menemui Emily sekarang," kata Abian pada Inung di pagi ini. <span;>"Rasanya memang udah saatnya kalian selesaikan masalah ini. Lo udah kasih waktu untuk dia selama beberapa hari ini. Sekarang saatnya dia dengarkan penjelasan dari lo, Bi. Emily nggak boleh cuma dengar cerita dari satu pihak aja. Dia juga harus mau dengar cerita dari lo," sahut Inung. <span;>"Gue nggak ngerti kenapa Emily bisa termakan cer
<span;>Abian mengulangi pertanyaannya hingga beberapakali. Tapi jawaban dan reaksi Emily tetap sama. Dia tetap berseru meminta Abian untuk pergi dengan wajah yang menyiratkan rasa marah dan kecewa. Abian jadi semakin bingung. Dia tak tahu harus berbuat apa hingga hanya bisa mematung di tempatnya berdiri. Emily seperti tak bisa diajak bicara. Dia terlalu histeris dalam tangis dan kemarahannya. <span;>"Tenang dulu, Mily. Coba jelaskan dulu pada saya ada apa ini sebenarnya? Saya benar-benar nggak ngerti kenapa kamu bersikap seperti ini pada saya?" kata Abian bingung. <span;>"Tanya pada diri Mas Abi sendiri, apa yang sudah Mas Abi lakukan?!" sembur Emily marah. <span;>"Apa yang sudah saya lakukan?" Abian tak mengerti dengan perkataan Emily. "Memangnya apa yang sudah saya lakukan, Mily?" <span;>"Mas yang lebih tahu apa yang sudah Mas lakukan! Dasar laki-laki jahat! Saya benci Mas Abi!" Histeris Emily semakin me
<span;>Sore itu Abian bergegas pulang. Dia ingin mendengar cerita Emily tentang pertemuannya dengan Nadya tadi siang. Abian khawatir terjadi keributan antara Emily dan adik sepupunya itu. Meski Abian tahu kalau Nadya tak akan berani membangkitkan rasa cemburu Emily, tapi tetap saja hati Abian tak tenang membayangkan kedua perempuan itu bertemu dan bicara tentang alasan Nadya meninggalkan rumah mereka dengan cara seperti itu. <span;>Motor Abian berhenti di depan pintu pagar rumahnya. Dia melihat ke arah rumahnya yang sepi. Bahkan jendela pun tertutup rapat. Sepertinya Emily belum pulang. Abian pun berpikir sejenak. Apakah sebaiknya dia menunggu Emily di rumah saja, atau kembali ke toko dan pulang ke rumah lagi nanti? Hm, rasanya lebih baik kembali saja ke toko. Nanti sebelum maghrib, barulah pulang menemui Emily. <span;>Abian pun segera memutar motornya dan melajukannya kembali ke toko. Dan ketika dia memasuki halaman parkir di depan tokonya,
<span;>"Nggak mungkin!" seru Emily pelan. "Nggak mungkin Mas Abi melakukan itu!" <span;>"Saya tahu Mbak Mily tidak akan percaya dengan cerita Saya. Karena itulah saya memilih pergi dan diam," kata Nadya dengan ekspresi wajah yang sangat meyakinkan. <span;>"Oh!" Emily kembali terpekik pelan. Benarkah itu? Benarkah suaminya melakukan perbuatan serendah itu? Rasanya ingin tak percaya, tapi raut wajah Nadya sepertinya tidak main-main. Tampaknya dia tidak sedang bercanda, apa lagi berdusta. <span;>"Maafkan saya, Mbak Mily. Saya tidak tahu kalau selama ini Mas Abi memiliki perasaan yang lain terhadap saya. Andai saja saya tahu, pasti saya tidak akan tinggal di rumah Mbak Mily. Saya pikir, selama ini Mas Abi cuma menganggap saya sebagai adik. Tapi ternyata tidak seperti itu." <span;>"Tapi Mas Abi bukan laki-laki seperti itu, Nadya!" Emily masih mencoba untuk percaya pada kesetiaan suaminya. <span;&