Malam kian larut. Emily tak tahu sudah berapa lama dia berjalan. Yang dia tahu kakinya terasa sakit sekarang. Rasanya seperti tak bisa dipakai untuk menopang tubuhnya lagi. Dengan segera Emily mencari tempat untuk duduk. Dia memandang sekeliling dengan perasaan bingung dan takut.
Emily melihat kalau dia berada di tempat yang belum pernah dia datangi sebelumnya. Saat ini dia berada di sebuah jalan raya yang tidak terlalu besar. Jalan itu ramai dilalui kendaraan bermotor. Tapi di kanan dan kiri jalanan itu tampak berjejer rumah-rumah dan juga toko-toko. Emily tahu jika dia tidak mungkin terlalu jauh dari rumahnya. Tapi dia tak mengenali tempat ini karena memang rasanya belum pernah dia lewati sebelumnya.
Aku masih bisa kembali pulang. Ini pasti belum terlalu jauh dari rumah papa. Tapi..., aduh, kakiku sakit! Dan lagi rasanya aku memang tidak ingin pulang. Aku tidak mau melihat Sandra dan Tomy!
Emily pun melihat ada sebuah bangku kayu di depan sebuah toko yang tutup. Dengan menahan rasa sakit di kedua kakinya, dia tertatih berjalan menghampiri bangku kayu itu. Rupanya tadi dia berjalan sambil melamun hingga tak menyadari kalau kedua kakinya telah dia pakai berjalan lebih lama dari yang pernah dia lakukan dalam hidupnya. Pantas saja sekarang kedua kakinya itu terasa mau copot.
Emily duduk di sana sambil meringis merasakan sakit pada kakinya. Oh, kenapa aku harus berada di tempat ini sekarang? Sementara Sandra dan Tomy sedang berbahagia di rumah papa dan menikmati malam pertama mereka sebagai pengantin baru.
Sekarang aku harus apa? Aku tak tahu harus kemana. Dan lagi kakiku sakit. Aku tak kan sanggup lagi untuk berjalan jauh.
Seketika Emily menyadari kalau dia tidak membawa ponselnya dan tidak membawa sepeser pun uang untuk sekadar membeli makanan dan minuman. Emily benar-benar bingung. Tak ada yang bisa dia hubungi untuk dimintai pertolongan. Dia sendirian sekarang, dengan kaki yang sakit dan tanpa uang.
Emily pun mulai diserang oleh rasa haus dan lapar. Dia baru ingat kalau dia memang belum makan apa-apa sejak pagi. Tapi dia tidak punya uang. Bagaimana caranya dia membeli makanan?
Bagaimana ini? Kakiku sakit, perutku lapar, rasanya aku tak kuat untuk berdiri.
Berbagai macam perasaan pun berkecamuk di dadanya. Dia merasa sedih, kecewa dan marah! Juga merasa bodoh karena telah berada di tempat ini sekarang. Hari ini benar-benar sial!
Emily meremas perutnya yang terasa perih karena kosong. Emily butuh makanan. Tak perlu sepiring nasi. Sepotong roti pun cukuplah untuk mengusir rasa lapar ini. Roti? Huf! Indera penciuman Emily tersentuh oleh aroma harum roti dari sebuah toko roti yang tak jauh dari tempatnya duduk. Emily pun menoleh ke arah toko roti itu. Duh, alangkah menyiksanya harum makanan saat perut sedang kelaparan seperti ini. Emily tak tahan. Dia ingin mencicipi, sedikit saja pun tak apa. Tapi itu tidak mungkin. Apakah dia harus meminta?
Emily terus duduk di sana. Menyiksa dirinya dengan aroma roti dan kue yang tak henti menyentuh penciumannya, sambil terus merasakan kakinya yang berdenyut sakit. Tak ada yang bisa dia lakukan selain membiarkan malam yang semakin jatuh, hingga keadaan di sekelilingnya pun perlahan semakin sepi, tak lagi seramai tadi.
Rasa panik dan takut pun menyerang Emily. Dia tahu jika sebentar lagi pasti akan sepi. Aktivitas orang-orang itu akan berakhir dan toko-toko itu pun akan tutup. Lalu bagaimana dengan dirinya?
Emily terisak pelan. Apakah yang akan terjadi dengan dirinya malam ini? Oh, Emily takut! Benar-benar takut!
Emily terus menangis sampai sebuah suara terdengar menyapanya. Dengan tersentak kaget Emily menoleh. Dan dia mendapati seorang laki-laki berdiri di dekatnya. Laki-laki itu memandangnya bingung sementara Emily balas memandangnya dengan perasaan takut.
Siapa dia? Kenapa tiba-tiba saja dia sudah berada di sini? Emily tak melihat kedatangannya tadi. Apakah dia orang jahat? Wajahnya tampak galak. Tapi dia terlihat rapi dan bersih. Dari penampilannya, dia tidak terlihat seperti penjahat.
"Sedang apa kamu di sini? Kenapa kamu menangis seperti ini?" tanya laki-laki itu. Suaranya terdengar baik dan tak menyeramkan.
Emily tak menjawab. Dia terus memperhatikan laki-laki itu dengan perasaan takut dan bingung.
"Saya perhatikan sejak tadi kamu duduk di sini seperti orang bingung. Dan sekarang kamu menangis. Ada apa? Kamu kesasar atau dijahati orang? Saya baru sekali ini melihat kamu," kata laki-laki itu lagi.
"Mas memperhatikan saya?" tanya Emily takut.
"Ya. Saya memperhatikan karena kamu sudah lama duduk di sini seperti orang bingung. Saya pikir kamu habis dijahati orang," kata laki-laki itu lagi.
Emily menggeleng. Dia masih terus waspada.
"Sebaiknya kamu cepat pulang. Sebentar lagi semua toko tutup dan akan sepi. Bahaya kalau kamu terus berada di sini," nasihat laki-laki itu.
Emily tahu memang berbahaya untuk tetap berada di sini saat keadaan sekeliling sudah sepi. Tapi kakinya tak kuat lagi untuk berjalan jauh dan perutnya pun semakin melilit karena lapar. Emily pun menoleh lagi pada toko roti yang masih buka itu. Dia sungguh-sungguh merasa lemas karena rasa lapar yang menggila.
"Sebaiknya kamu pulang sekarang. Mumpung belum terlalu malam," kata laki-laki itu lagi.
Emily pun kembali menggeleng. "Saya lapar," ucapnya pelan.
"Lapar? Kamu mau makan?" tanya laki-laki itu.
"Saya nggak punya uang," sahut Emily pelan.
Laki-laki itu pun menatap Emily dengan iba.
"Kamu mau roti?" tanyanya menawarkan.
Emily menatap laki-laki itu. Benarkah? Sepotong roti? Ya, aku mau!
"Itu toko roti saya. Kalau kamu mau, saya akan berikan kamu roti. Tapi sebaiknya kamu duduk di toko saya aja. Lebih aman kamu duduk di sana dari pada di sini," ajak laki-laki itu berbaik hati.
Hati Emily bersorak gembira. Rupanya tuhan telah mengirimkan laki-laki pemilik toko roti itu untuk memberinya makanan. Oh, ini seperti satu keberuntungan yang tak di duga! Emily pun bersyukur tuhan cepat mengirimkan seorang penolong baginya.
Emily berdiri dan melangkah pelan mengikuti laki-laki itu yang berjalan mendahuluinya. Dan semakin dekat dia dengan toko roti itu, semakin tajam harum roti itu menusuk hidungnya. Oh, alangkah nikmatnya aroma lezat ini!
Laki-laki itu mengajak Emily untuk duduk di dalam toko rotinya. Ada sebuah meja kecil dengan empat kursi di sana. Emily pun segera duduk dengan nyaman. Setidaknya kursi itu jauh lebih nyaman dari pada bangku kayu yang tadi didudukinya.
Sebuah roti cokelat dihidangkan oleh laki-laki itu di atas piring. Lalu dia mengambil sebotol air mineral dingin dari dalam kulkas yang ada di sudut toko roti itu dan menaruhnya di depan Emily. Emily segera meneguk air dingin itu dengan rakus seolah-olah dia baru saja berjalan di padang pasir yang gersang dan tandus hingga tubuhnya kini kerontang kehabisan cairan. Kemudian tanpa malu-malu dia pun segera melahap roti cokelat pemberian laki-laki itu. Dan hanya dalam waktu yang singkat, roti itu pun habis dimakannya.
"Mau lagi?" tanya laki-laki itu sambil menatap Emily.
Emily menggeleng. Setelah haus dan laparnya berkurang, rupanya rasa malunya pun kembali hingga dia malu untuk mengangguk meski pun sesungguhnya dia masih ingin memakan roti itu sepotong lagi.
"Betul kamu udah kenyang?" tanyanya yang sepertinya tahu isi hati Emily.
Emily diam. Dia masih merasa lapar.
Laki-laki itu pun berdiri dan mengambil sebuah roti manis untuk Emily.
"Kalau masih lapar, bilang aja. Nggak usah malu-malu," katanya sambil meletakan piring roti yang baru saja diambilnya ke depan Emily yang masih duduk diam.
Emily mengambil roti itu dan kembali dengan lahap menghabiskannya.
"Terima kasih," ucap Emily setelah menghabiskan roti keduanya itu.
Laki-laki itu mengangguk. "Sekarang pulanglah kamu. Bahaya buat seorang gadis berkeliaran di malam hari seperti ini," ucapnya.
Emily menggeleng.
"Kamu nggak punya ongkos?" tanya laki-laki itu.
Emily bingung harus menjawab apa.
"Wajah kamu cantik, pakaian yang kamu pakai bagus, penampilan kamu bersih dan wangi. Jangan bilang kalau kamu nggak punya rumah. Saya tahu kamu bukan gelandangan," kata laki-laki itu dengan pandangan penuh selidik.
Emily menunduk. "Saya nggak mau pulang," ucapnya lirih.
"Jadi kamu pergi dari rumah? Bertengkar dengan orangtua? Atau dengan suami?" tanya laki-laki itu sambil terus menatap Emily lekat-lekat.
"Saya belum punya suami," sahut Emily.
"Jadi bertengkar dengan orangtua?"
Emily kembali hanya menggeleng.
Laki-laki itu menghela napas panjang. Entah karena bingung atau kesal melihat sikap Emily yang seperti itu. Tapi suaranya masih tetap lembut saat dia bicara dengan Emily.
"Dengarkan nasihat saya. Saya nggak tahu masalah apa yang kamu hadapi di rumah. Tapi bagaimana pun juga, untuk gadis secantik dan semuda kamu, rumah tetaplah menjadi tempat yang paling baik dan paling aman. Jadi pulanglah kamu segera."
"Saya nggak mau pulang!" Kali ini Emily bicara dengan suara yang lebih keras.
"Jadi kamu mau kemana? Ada tempat yang kamu tuju?"
Lagi-lagi Emily menggeleng.
"Kamu nggak mau pulang, tapi nggak ada tempat yang kamu tuju? Kamu mau jadi gelandangan?"
"Pokoknya saya nggak mau pulang!"
"Tapi berbahaya kalau kamu berkeliaran di jalanan. Banyak orang jahat di luar sana. Kalau nanti kamu diperkosa gimana?"
Emily menangis. Laki-laki itu pun kini tampak kebingungan.
"Jangan menangis seperti itu di sini. Nanti orang pikir saya menjahati kamu," pintanya.
"Tapi saya nggak mau pulang!"
"Jadi kamu mau menggelandang? Toko saya sebentar lagi tutup. Lantas kamu mau kemana? Saya nggak mungkin meninggalkan kamu di pinggir jalan sendirian."
Emily terus terisak pelan. Ya, harus kemanakah dia sekarang?
Laki-laki itu melihat pada jam yang melingkar di pergelangan tangannya. "Seharusnya toko saya tutup sejak tadi. Saya lelah. Saya mau istirahat," katanya seolah mengusir Emily secara halus.
"Tapi saya harus kemana?" Tangis Emily semakin kencang.
"Hentikan tangisan kamu! Apa kamu mau orang-orang datang kemari dan menuduh saya telah berbuat jahat sama kamu?" kata laki-laki itu cepat.
Tangis Emily tak berhenti. Dia merasa tak karuan.
"Siapa namamu?" tanya laki-laki itu kemudian.
"Emily," sahut Emily.
"Dengar Emily, malam ini saya akan memberikanmu tempat untuk menginap. Tapi cuma malam ini! Besok pagi kamu harus pulang!" kata laki-laki itu hingga tangis Emily seketika berhenti.
Benarkah? Emily memandang laki-laki yang sedang menatapnya itu dengan perasaan bingung. Dia tidak mengenal laki-laki ini. Tapi sepertinya dia orang baik.
"Terima kasih, mas...."
"Abi. Panggil saya Abi," kata laki-laki itu memberitahukan namanya.
Emily berjalan tertatih mengikuti langkah kaki laki-laki jangkung bernama Abi itu. Kakinya masih terasa sakit untuk dipakai berjalan. Sedangkan Abi melangkah cepat di depan seakan tak menimbang rasa pada Emily yang berjalan tertatih di belakangnya.Abi yang berjalan di depan tahu jika Emily kesulitan mengikuti langkahnya. Beberapakali dia menoleh ke belakang dan berhenti agar Emily tak terlalu jauh tertinggal. Ketika Emily telah mendekat, Abi pun kembali melanjutkan langkahnya dan membiarkan Emily yang kembali tertinggal di belakang.Emily berusaha untuk tidak tertinggal terlalu jauh. Dia menahan sakit kakinya dan berlari-lari kecil mengikuti langkah Abi. Sebetulnya Emily merasa kesal dengan sikap Abi yang terkesan acuh. Tapi dia tak bisa berteriak marah pada laki-laki itu karena dialah satu-satunya penolong baginya. Jadi Emily hanya diam dan terus berjalan mengikuti.Sekali lagi Abi menoleh. Dia melihat pada Emily yang telah tertinggal cukup jauh. Dengan berusaha
Malam itu Emily tidur bersama Inung di kamar Abian. Sedangkan Abian tidur di kamar sebelah yang biasanya kosong. Laki-laki itu mengalah. Dia memberikan Emily kamar yang lebih nyaman untuk ditempati. Dan lagi tempat tidur yang ada di kamar Abian itu besar. Bisa ditempati berdua dengan Inung. Sedangkan di kamar sebelah yang kosong, tempat tidurnya berukuran kecil. Tak kan mungkin ditempati berdua. Biarlah, tak apa. Toh cuma satu malam saja. Besok pagi Emily sudah akan kembali ke rumahnya.Kembali ke rumah? Benarkah? Rasanya Emily masih berpikir dua kali untuk pulang. Karena malam ini saja dia tak dapat tidur sedikit pun. Rasa sakit hati dan kecewa membuatnya terjaga sepanjang malam. Tiap kali matanya terpejam, bayang-bayang pengkhianatan Sandra dan Tomy pasti akan jelas terlihat. Dan Emily akan kembali merasakan sakit dan perih pada hatinya.Sudah tahu sakit, kenapa terus dibayangkan? Ya, kenapa terus dibayangkan? Mungkin karena Emily tak bisa untuk melupakan. Mungkin ka
Emily bangun saat matahari sudah bersinar hangat. Di luar rumah pun sudah terdengar ramai oleh aktivitas warga dan orang yang berlalu lalang. Terdengar ramai suara anak-anak yang bermain, juga tukang sayur keliling yang terus berseru memanggil ibu-ibu pelanggannya, serta berisik suara motor yang melintas. Sepertinya cuma Emily yang baru saja bangun karena ternyata Inung pun sudah tak ada lagi di sampingnya.Emily mencoba mengingat kiranya jam berapa dia tertidur. Pastinya hampir pagi karena jam tiga dini hari saja dia masih terjaga dan asyik mendengarkan suara detak jarum jam dinding sambil melepas pikirannya mengembara tak tentu arah. Dan rasanya Inung pun baru tidur saat menjelang pagi. Karena setelah mendengarkan cerita Emily semalam, dia pun sibuk menenangkan Emily yang kembali menangis.Dengan mata yang masih mengantuk, Emily beranjak bangun dari tidurnya. Dia melangkah keluar dari kamar dan sedikit bingung mendapati rumah yang sepi.Kemana Abian dan Inung? Se
Sejauh inikah aku berjalan? Emily merasa kalau dia sudah cukup lama duduk di atas motor yang dikendarai Adam dengan kecepatan sedang itu. Bahkan rasanya debu-debu jalanan pun sudah tebal menutup pori-porinya. Pantas saja kakinya sakit serasa otot-ototnya membesar dan hampir meledak semalam.Emily tak bisa menepiskan ingatannya pada apa yang menjadi alasan dia pergi meninggalkan rumahnya kemarin sore. Hatinya pun semakin diselimuti oleh rasa ragu. Emily tahu apa yang akan terjadi dengan hatinya jika dia kembali. Sakit!Remuk dan terkoyak, mana yang lebih baik? Keduanya sama menyakitkan dan sama menyiksa. Satu paduan rasa yang membuat orang ingin bercumbu dengan kematian dan meninggalkan hidup. Dan jika sekarang Emily masih bertahan untuk hidup, itu karena dia takut pada kematian. Bukan karena dia hebat, secepat itu bisa berdamai dengan kenyataan.Emily memejamkan matanya sesaat. Mencoba meresapi rasa perih yang menyakitkan itu. Dan ketika dia membuka mata, dua bu
Selesai melayani seorang pelanggan yang datang berbelanja, Inung duduk dan menyeruput kopi susunya dengan nikmat. Kemudian untuk beberapa saat lamanya dia terdiam, seolah sedang termenung memikirkan sesuatu. Sementara itu Abian sedang sibuk memasukan roti ke dalam panggangan. Laki-laki tampan itu menoleh sekilas pada Inung yang sedang termenung. Tapi kemudian dia kembali asyik melanjutkan pekerjaannya membuat roti dibantu oleh seorang pemuda bernama Dion, yang sudah dua tahun ini bekerja di toko roti miliknya itu.Abian menoleh lagi karena didengarnya Inung menghela napas panjang. Diperhatikannya sepupunya itu yang masih duduk termenung sambil bertumpu tangan di atas meja. Inung seperti orang yang sedang dibebani satu masalah. Sejak pagi tadi dia terlihat asyik melamun dan tak banyak bicara seperti biasanya. Tapi ketika berangkat tadi dia tampak biasa saja, pikir Abian bingung. Lantas kenapa sekarang mendadak jadi melamun terus begini?"Nung," panggil Abian pada Inung.
Emily menatap Abian sambil terisak pelan. Dia bingung bagaimana cara menjelaskan pada Abian tentang alasannya tak jadi pulang. Rasanya Abian tak akan bisa mengerti luka hatinya yang terasa perih. Laki-laki itu tak akan mungkin membenarkan perbuatannya ini. Dia pasti akan marah. Tapi sungguh Emily merasa rumah Abian adalah tempat yang ternyaman baginya saat ini. Karena setidaknya Emily tahu kalau Abian adalah seorang laki-laki yang baik. Dan di rumah laki-laki baik itulah dia bisa bersembunyi."Emily, jelaskan pada saya kenapa kamu nggak jadi pulang?" tanya Abian lagi sedikit mendesak. Wajah laki-laki itu tampak serius dan tegas.Emily menggeleng pelan."Jelaskan, Emily. Saya nggak bisa mengerti cuma dengan gelengan kepala kamu," kata Abian lagi bernada tak sabar."Bi!" bentak Inung pelan. "Biar dia tenang dulu. Jangan didesak begitu."Abian pun mendesah kesal. Bocah cengeng, pikirnya. Tapi tak urung diturutinya juga kata-kata Inung itu. Dia t
"Cuma beberapa hari aja, Bi," bujuk Inung.Abian tak menyahut. Dia menatap Emily dengan pandangan yang tajam. Sementara Emily cuma bisa diam. Dia merasa dipaku dengan tatapan tajam itu.Apakah yang ada dalam kepala laki-laki itu? Apakah yang dia pikirkan tentang aku? Pasti di matanya aku hanyalah seorang gadis bodoh yang cengeng. Yang meratap sedih karena kehilangan cinta. Tapi sesungguhnya bukan cinta yang membuatku terluka seperti ini. Tapi dikhianati oleh orang terkasihlah yang membuatku jatuh. Perasaan dikhianati itulah yang sungguh menyakitkan dan membuatku ingin lari dari kenyataan."Berapa lama waktu yang kamu butuhkan, Emily?" Abian kembali melontarkan pertanyaan itu.Emily pun menggeleng pelan. Pertanyaan itu memang seakan tak mempunyai jawaban. Sebab tak akan ada orang yang tahu kapan hatinya bisa kembali kuat setelah dihantam oleh pukulan yang sehebat itu?"Saya bukannya jahat. Saya cuma nggak mau dapat teguran dari Pak RT atau bahkan di
Pagi itu Emily terbangun tanpa Inung di sampingnya. Rumah terasa sepi. Tak terdengar aktivitas suara apa pun di ruang depan atau pun di dapur. Kemanakah Inung? Sudah kembali ke rumahnyakah? Ya, bukankah dia harus mengurus suaminya dulu sebelum berangkat ke toko? Lalu, Abian? Tidakkah dia datang pagi ini? Atau dia langsung berangkat ke toko tanpa pulang dulu kemari? Rumah benar-benar sepi pagi ini. Emily jadi sedikit bingung.Berada di rumah orang dan sendirian seperti ini membuatnya jadi serba salah. Emily tak tahu apa yang harus dia lakukan. Mandi dan membuat sarapan? Tapi Emily tak bisa memasak. Dan dia tak tahu bahan makanan apa saja yang tersedia di dapur.Ah, tak mungkin memasak. Aku cuma akan membuat berantakan dapur Mas Abi saja nanti. Bahkan sekadar memasak telur dadar pun aku tak pernah. Biasanya semua sudah tersedia di atas meja. Dan jika aku butuh sesuatu, aku tinggal meminta pelayan untuk menyiapkannya untukku. Tak perlu bersusah payah mengerjakannya se
<span;>Emily mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Rumah ini masih tetap sama seperti ketika dia tinggalkan dulu. Masih tetap bersih dan terasa sejuk. Sungguh nyaman dan mendamaikan. Dengan perasaan haru Emily pun tersenyum. Tanpa dia sadari, telah banyak kenangan terukir di rumah ini. Rumah ini adalah saksi dari perjalanan cintanya bersama Abian. Juga tentang bagaimana dia berubah dari seorang gadis kaya yang manja, menjadi seorang perempuan sederhana yang pandai mengurus rumah. Ah, Emily merindukan rumah ini. Dan sungguh saat ini dia bahagia bisa kembali kemari. <span;>Ketika itu, Abian yang baru kembali dari kamar untuk menidurkan Amanda di ranjangnya pun tersenyum melihat tingkah Emily yang berdiri di tengah ruangan sambil mengedarkan pandangan. <span;>"Selamat datang, ratuku," katanya sambil menatap Emily dengan romantis. Pagi itu memang mereka baru saja sampai. Dan Abian tahu kalau Emily merindukan rumah ini. <span;>
<span;>Pagi itu Abian baru saja terjaga dari tidurnya ketika didengarnya suara ponsel yang berdenting pertanda ada sebuah pesan yang masuk. Abian mengambil ponsel itu dengan malas. Siapa yang menghubunginya pagi buta begini? Dengan mata yang masih mengantuk dia pun berusaha memfokuskan pandangannya pada layar hp. <span;>Emily?! Abian tersentak bagai terkena aliran listrik. Dia pun segera duduk dan membaca pesan itu. 'Mas Abi sayang, nanti malam datang ke sini ya. Ada yang harus kita bicarakan.' <span;>Abian tercekat. Sekali lagi dia membaca pesan itu untuk meyakinkan dirinya kalau isi pesan yang dibacanya memang benar seperti itu. Tapi..., Emily memanggil sayang? Ah, Abian jadi merasa bingung. Bukankah istrinya itu sedang marah padanya? Sedang marah, tapi memanggil sayang? <span;>'Ya, Mily sayang. Saya akan datang nanti malam. Tapi ada apakah?' <span;>'Nggak bisa saya bicarakan di telepon, mas. Pokoknya Ma
<span;>Esok sore, di jam yang sama, Sandra mengetuk pintu kamar Nadya yang tertutup rapat. Tak menunggu lama, pintu kamar itu pun terbuka. Wajah Nadya sedikit bingung karena tak biasanya Sandra mengetuk pintu kamarnya seperti ini. <span;>"Ya, Mbak Sandra, ada apa?" tanya Nadya segera. <span;>"Apa kamu sedang sibuk? Saya ingin minta tolong sebentar," jawab Sandra dengan sikap yang sewajarnya. <span;>"Minta tolong apa, mbak?" <span;>"Tomy datang ingin bertemu dengan Rangga. Tapi Rangga baru saja tidur. Sekarang dia sedang menunggu di teras belakang. Mau kamu menemani dia sebentar? Kamu kan tahu kalau saya atau Mily tidak mungkin menemani dia? Hubungan kami belum baik sampai sekarang." <span;>Nadya pun mengangguk hingga membuat Sandra merasa lega. Lalu tanpa curiga Nadya segera berjalan menuruni tangga menuju ke teras belakang dimana Tomy sedang duduk melamun sendirian. <span;
<span;>"Rasanya sulit untuk percaya kalau Abian berbuat seperti itu, Mily," kata Sandra pada Emily di sore itu. <span;>Emily pun menoleh menatap Sandra untuk beberapa saat. "Jadi kakak percaya pada cerita Mas Abi?" tanyanya sedikit terkejut. <span;>"Percaya seratus persen sih tidak. Tapi kakak melihat pribadi Abian selama ini dan Abian yang diceritakan oleh Nadya, kok, sepertinya bertolak belakang sampai seratus delapan puluh derajat. Coba kamu ingat bagaimana bertanggungjawabnya dia selama ini sebagai suamimu. Juga bagaimana dia berkorban demi memenuhi keinginanmu untuk bisa kuliah lagi. Dia sampai mau mengojek sampai malam, Mily. Dan coba kamu ingat lagi bagaimana dulu Abian tetap bertahan untuk tidak menyentuhmu hanya karena menunggu restu dari papa dan mama. Kamu sudah sah menjadi istrinya ketika itu. Kalian pun tinggal bersama dalam satu rumah. Tapi dia bertahan, Mily. Dia tidak menyentuhmu sampai restu itu dia dapatkan. Jadi, aneh rasa
<span;>"Seorang saksi? Bagaimana mungkin lo bisa menghadirkan seorang saksi, Bi? Siang itu cuma ada lo dan Nadya aja kan di sana?" kata Inung dengan nada bingung. <span;>"Gue juga bingung, Nung. Tapi tanpa kehadiran seorang saksi yang bisa membenarkan cerita gue, Emily akan tetap berpikir kalau gue yang salah. Atau jangan-jangan...." <span;>"Jangan-jangan apa?" <span;>"Atau jangan-jangan dia sengaja berbuat begitu biar dia bisa dekat dengan teman laki-lakinya itu tanpa ada yang menghalangi?" <span;>"Apa iya seperti itu, Bi?" tanya Inung sedikit ragu. <span;>Abian mendesah gelisah. "Gue memang nggak mau nuduh secara langsung sama dia. Tapi bagaimana pun rasa curiga itu tetap ada." <span;>"Semoga rasa curiga lo itu salah, Bi," harap Inung. <span;>"Sore ini gue mau datang lagi ke sana, Nung. Gue kangen banget sama Amanda," kata Abian kemudian. <span;>"Ya, gue ngerti per
<span;>Beberapa hari telah berlalu. Abian masih tetap berusaha sabar untuk tidak menemui Emily, meskipun kerinduannya pada Emily dan Amanda terasa begitu menyesakan dada. Abian tak dapat tidur, juga tak enak makan. Hari-harinya diisi dengan gelisah. Tak ada yang lain yang mengisi kepalanya selain istri dan putrinya itu. Tapi jika dia datang sekarang, apakah Emily sudah bisa diajak bicara? <span;>"Gue udah nggak bisa nahan rasa kangen gue, Nung. Gue juga nggak bisa membiarkan masalah ini berlarut-larut seperti ini. Gue harus menemui Emily sekarang," kata Abian pada Inung di pagi ini. <span;>"Rasanya memang udah saatnya kalian selesaikan masalah ini. Lo udah kasih waktu untuk dia selama beberapa hari ini. Sekarang saatnya dia dengarkan penjelasan dari lo, Bi. Emily nggak boleh cuma dengar cerita dari satu pihak aja. Dia juga harus mau dengar cerita dari lo," sahut Inung. <span;>"Gue nggak ngerti kenapa Emily bisa termakan cer
<span;>Abian mengulangi pertanyaannya hingga beberapakali. Tapi jawaban dan reaksi Emily tetap sama. Dia tetap berseru meminta Abian untuk pergi dengan wajah yang menyiratkan rasa marah dan kecewa. Abian jadi semakin bingung. Dia tak tahu harus berbuat apa hingga hanya bisa mematung di tempatnya berdiri. Emily seperti tak bisa diajak bicara. Dia terlalu histeris dalam tangis dan kemarahannya. <span;>"Tenang dulu, Mily. Coba jelaskan dulu pada saya ada apa ini sebenarnya? Saya benar-benar nggak ngerti kenapa kamu bersikap seperti ini pada saya?" kata Abian bingung. <span;>"Tanya pada diri Mas Abi sendiri, apa yang sudah Mas Abi lakukan?!" sembur Emily marah. <span;>"Apa yang sudah saya lakukan?" Abian tak mengerti dengan perkataan Emily. "Memangnya apa yang sudah saya lakukan, Mily?" <span;>"Mas yang lebih tahu apa yang sudah Mas lakukan! Dasar laki-laki jahat! Saya benci Mas Abi!" Histeris Emily semakin me
<span;>Sore itu Abian bergegas pulang. Dia ingin mendengar cerita Emily tentang pertemuannya dengan Nadya tadi siang. Abian khawatir terjadi keributan antara Emily dan adik sepupunya itu. Meski Abian tahu kalau Nadya tak akan berani membangkitkan rasa cemburu Emily, tapi tetap saja hati Abian tak tenang membayangkan kedua perempuan itu bertemu dan bicara tentang alasan Nadya meninggalkan rumah mereka dengan cara seperti itu. <span;>Motor Abian berhenti di depan pintu pagar rumahnya. Dia melihat ke arah rumahnya yang sepi. Bahkan jendela pun tertutup rapat. Sepertinya Emily belum pulang. Abian pun berpikir sejenak. Apakah sebaiknya dia menunggu Emily di rumah saja, atau kembali ke toko dan pulang ke rumah lagi nanti? Hm, rasanya lebih baik kembali saja ke toko. Nanti sebelum maghrib, barulah pulang menemui Emily. <span;>Abian pun segera memutar motornya dan melajukannya kembali ke toko. Dan ketika dia memasuki halaman parkir di depan tokonya,
<span;>"Nggak mungkin!" seru Emily pelan. "Nggak mungkin Mas Abi melakukan itu!" <span;>"Saya tahu Mbak Mily tidak akan percaya dengan cerita Saya. Karena itulah saya memilih pergi dan diam," kata Nadya dengan ekspresi wajah yang sangat meyakinkan. <span;>"Oh!" Emily kembali terpekik pelan. Benarkah itu? Benarkah suaminya melakukan perbuatan serendah itu? Rasanya ingin tak percaya, tapi raut wajah Nadya sepertinya tidak main-main. Tampaknya dia tidak sedang bercanda, apa lagi berdusta. <span;>"Maafkan saya, Mbak Mily. Saya tidak tahu kalau selama ini Mas Abi memiliki perasaan yang lain terhadap saya. Andai saja saya tahu, pasti saya tidak akan tinggal di rumah Mbak Mily. Saya pikir, selama ini Mas Abi cuma menganggap saya sebagai adik. Tapi ternyata tidak seperti itu." <span;>"Tapi Mas Abi bukan laki-laki seperti itu, Nadya!" Emily masih mencoba untuk percaya pada kesetiaan suaminya. <span;&