Pagi menjelang. Namun, sang surya belum menampakkan sinarnya. Sayup-sayup terdengar suara azan berkumandang. Ayam-ayam tetangga juga berkokok. Seolah ikut membangunkan dua insan yang tengah bergelung di dalam selimut yang sama. "Ayo, bangun, Sayang. Salat subuh dulu!" Wildan mengusap kedua pipi Andina dengan lembut. Bukannya bangun, Andina malah menyembunyikan wajahnya di dada Wildan. "Ehm. Sebentar lagi."Diusapnya surai hitam itu. "Ayo, bangun dulu! Aku mau ke masjid ini, keburu ikamah."Sebenarnya Andina masih ingin bermanja dengan suaminya, tapi dia juga tak mau berdosa. Suaminya ini harus berjemaah di masjid. Dilepaskan pelukannya dari Wildan. Andina juga ikut bangun dan mengambil air wudhu untuk melaksanakan salat subuh. Setelah salat subuh Andina membuatkan sarapan untuk Wildan. Dia ingat kalau Wildan akan mengunjungi Ella sebelum berangkat kerja. Ingin rasanya dia menahan suaminya barang sejenak agar tetap di sisinya. Namun, dia sadar tidak boleh egois. Bagaiman pun Ella ju
Setelah salat ashar Andina sudah bersiap-siap. Hari ini dia akan pergi ke Dokter kandungan, ditemani sang suami tentunya. "Mbak, hari ini bisa pulang lebih awal, soalnya aku mau pergi ke Dokter kandungan," jelas Andina pada Ani dan Wina. Ani menunjukkan packingan yang belum selesai. "Habis packing ini ya, Dina." "Oke, Mbak."Setelah menyelesaikan pekerjaannya, Ani dan Wina pamit pulang pada Andina. Sementara itu, di teras rumah Andina menunggu kedatangan suaminya.Andina mulai resah. Dia sedari tadi melirik jam di pergelangan tangannya. Sudah menunjukkan pukul lima sore. Biasanya Wildan pulang dari kantor pukul empat dan akan sampai rumah pukul setengah lima. "Duh... Aku telepon deh." Andina mencoba menghubungi Wildan. Alhamdulillah, sambungan terhubung. "Hallo, Sayang...""Kenapa, Dina? Wildan lagi di rumah gue." Suara Ella diseberang sana membuat wajah Andina masam. Dia tampak begitu kecewa dengan Wildan. Harusnya kan hari ini jatahnya Wildan pulang ke rumahnya, tapi kenapa ha
Setelah satu minggu lamanya Adinda dan Sena menikmati liburan mereka di kapal pesiar, kini waktunya kembali pada aktivitas semula. Apalagi kalau bukan bekerja dan kuliah. Pagi ini Adinda disibukkan dengan bimbingan skripsi. Dani sebagai dosen pembimbing satu telah menyetujui bab satunya. Adinda senang bukan main, dia mentraktir teman-temannya di caffe dekat kampus. Kaum-kaum suka gratisan ini nampak begitu bahagia. Lumayan uang sakunya tidak berkurang. Apalagi untuk anak kos seperti Sasa, Karin, dan Clara. "Sering-sering traktir kita ya, Din!" ujar Sasa sembari menikmati kentang goreng. "Doain aja skripsi gue selalu di acc. Entar gue traktir kalian lagi deh.""Apa perlu gue kasih jampe-jampe ke Pak Dani biar selalu di acc skripsi elo, Din?" celetuk Karin. "Gila lo. Ya nggak gitu juga kali."Karin menggaruk kepalanya. Dia tampak berpikir. "Lagian gue heran deh sama Pak Dani. Apa susahnya sih cuma kasih tanda tangan acc doang.""Namanya juga dosen perfeksionis, Ra. Maklumin aja."
Malam ini Andina tidur di rumah Adinda. Sena sebenarnya tak setuju kalau kakak iparnya itu tinggal di rumah mereka. Bukan apa-apa, namanya rumah tangga lebih baik hanya ada suami dan istri di dalamnya. Lagipula rumah mereka itu kan berdampingan dengan rumah Andina, mereka juga masih bisa mengawasinya tanpa harus tinggal serumah.Tapi Adinda meyakinkan Sena kalau Andina hanya menginap sementara saja. Mau tidak mau, Sena pun membolehkan Andina menginap di rumah mereka. Adinda membawa dua porsi nasi goreng ke meja makan. "Makan yuk, Kak!" ajak Adinda. "Ah, iya." Andina ikut bergabung dengan Adinda di meja makan. Adinda melirik Andina. Kakaknya itu sedari tadi hanya mengaduk-aduk nasinya saja, tanpa menyuap satu sendok pun. "Kak..." Adinda menepuk punggung tangan Andina, membuatnya tersentak. "Hah?""Dimakan, jangan melamun terus!""Iya, ini aku makan." Andina mulai menyuap nasi goreng buatan Adinda. Rasanya sangat enak. Bahkan lebih enak daripada masakannya sendiri, tapi entahlah.
Sena mengusap wajahnya kasar. "Astagfirullah. Aku telah zalim, Ya Allah. Bagaimana bisa aku sempat melarang Dina menginap di rumah kami. Coba saja kalau malam ini dia berada di rumahnya sendirian. Bagaimana nasibnya saat ini."Disatu sisi Sena merasa bersyukur, saat kebakaran berlangsung Andina berada di rumahnya dan aman. Sena mengeluarkan ponsel dari kantong celananya. Dia menghubungi Wildan. Sebagai suami, Wildan harus tahu keadaan istrinya. Panggilan terhubung, tapi tidak dijawab. Sena semakin gusar. "Angkat, Wil. Rumahmu kebakaran dan istrimu sedang bersedih. Apa kamu tidak bisa merasakan betapa nelangsanya Dina saat ini?"Sekali lagi Sena mencoba menghubungi Wildan. "Ah, sial! Lagi sibuk ngapain sih kamu, Wil?"Sena menjambak rambutnya sendiri, merasa kesal dengan Wildan karena sedari tadi tidak bisa dihubungi. Pak RT menepuk pundak Sena. "Mas Sena, jendela dan pintunya sudah kami tutup semua. Asapnya juga sudah keluar semua. Dibersihkan besok pagi saja.""Baik, Pak RT. Sekal
Bau harum mengepul, memenuhi seluruh sudut ruangan. Capcay sayur menjadi menu andalan Adinda hari ini. Dia juga menggoreng ikan nila. Makanan favorit sang mama. Rencananya mau dibawa ke rumah orangtuanya nanti. Mereka berempat sarapan bersama. Sedari mulai sarapan Andina tampak begitu ceria. Dia juga makan dengan lahap. Efek ditemani sang suami tercinta. Melihat Andina makan dengan lahap, Adinda tampak begitu senang. Dia menambahkan ikan goreng ke dalam piring Andina. "Tambah ikannya, Kak. Kamu harus makan banyak biar adik bayinya sehat."Andina protes, hendak mengembalikan ikan tersebut ke dalam piring semula. "Kan aku udah ambil ikannya, Din. Nanti malah nggak jadi bawain ikan buat Mama."Adinda menepisnya. "Buat Mama udah aku sisihkan sendiri, Kak. Tenang aja, aku masak banyak kok."Andina tak lagi protes, dia kembali makan dengan tenang. Setelah semua menyelesaikan makannya, Adinda membuka suara. "Wil, hari ini aku mau ajak Kak Dina ke rumah Mama-Papa, boleh kan?"Wildan mengan
Orang-orang berhamburan keluar rumah menyelamatkan jemuran mereka. Gerimis baru saja turun membasahi tanah yang kering. Clara menengadahkan kedua tangannya. Tetesan air hujan menyentuh permukaan kulitnya. "Yah, mana hujan lagi."Clara kembali memasukkan motor Adinda. Dia berjalan keluar kos dengan membawa payung di tangan kanannya. Kalau saja perutnya saat ini tidak kelaparan, mana mau Clara keluar saat hujan. "Bu, nasi rames dibungkus satu," ucapnya pada sang penjual. "Lauknya apa, Neng?" tanya si ibu. "Ayam goreng aja, Bu.""Ditunggu ya, Neng. Duduk dulu."Clara duduk di bangku panjang depan etalase makanan. Dari arah berlawanan sepasang mata terus memperhatikannya."Yang beli cakep bener ya, Mak," ucapnya pada si ibu. "Jangan genit kamu, Fai. Ini nasinya taruh di etalase!" Perintah si ibu sembari menyerahkan bakul nasi."Maaf agak lama, Neng. Nasinya baru ngambil dari dapur.""Oh, nggak apa-apa, Bu."Rifai meletakkan bakul nasi di etalase sembari terus memandangi wajah cantik
Selepas membersihkan tubuhnya di kamar mandi, Clara iseng mengintip melalui jendela kamarnya. Kebetulan jendela kamar Clara menghadap ke arah depan, jadi sangat memudahkannya untuk melihat orang-orang yang ada di depan kos. "Astaga. Ternyata manusia itu masih di sini." Clara cepat-cepat menutup gordennya sebelum Aldo tahu kalau sedang diintip. Clara masih tak menyangka kalau Aldo masih bergeming di depan kosnya. Hmm... dasar manusia batu. Udah di usir juga, masih belum pergi. Clara membuka pintu kamarnya. Kebetulan ada Vina-teman kosnya yang baru saja pulang. "Vin..." panggil Clara lirih. "Lo panggil gue?" tunjuk Vina pada dirinya sendiri. "Kenapa suara lo pelan banget sih, Ra?" Vina sedikit terkejut. Pasalnya Clara ini biasanya kalau ngomong keras, suka bikin telinga sakit. "Tenggorokan gue lagi keganjel sama batu, jadi nggak bisa ngomong keras-keras," oceh Clara asal. "Radang tenggorokan?" tebak Vina. "Hmm," gumam Clara. "Gue mau minta tolong, boleh?""Beliin obat batuk apa