Orang-orang berhamburan keluar rumah menyelamatkan jemuran mereka. Gerimis baru saja turun membasahi tanah yang kering. Clara menengadahkan kedua tangannya. Tetesan air hujan menyentuh permukaan kulitnya. "Yah, mana hujan lagi."Clara kembali memasukkan motor Adinda. Dia berjalan keluar kos dengan membawa payung di tangan kanannya. Kalau saja perutnya saat ini tidak kelaparan, mana mau Clara keluar saat hujan. "Bu, nasi rames dibungkus satu," ucapnya pada sang penjual. "Lauknya apa, Neng?" tanya si ibu. "Ayam goreng aja, Bu.""Ditunggu ya, Neng. Duduk dulu."Clara duduk di bangku panjang depan etalase makanan. Dari arah berlawanan sepasang mata terus memperhatikannya."Yang beli cakep bener ya, Mak," ucapnya pada si ibu. "Jangan genit kamu, Fai. Ini nasinya taruh di etalase!" Perintah si ibu sembari menyerahkan bakul nasi."Maaf agak lama, Neng. Nasinya baru ngambil dari dapur.""Oh, nggak apa-apa, Bu."Rifai meletakkan bakul nasi di etalase sembari terus memandangi wajah cantik
Selepas membersihkan tubuhnya di kamar mandi, Clara iseng mengintip melalui jendela kamarnya. Kebetulan jendela kamar Clara menghadap ke arah depan, jadi sangat memudahkannya untuk melihat orang-orang yang ada di depan kos. "Astaga. Ternyata manusia itu masih di sini." Clara cepat-cepat menutup gordennya sebelum Aldo tahu kalau sedang diintip. Clara masih tak menyangka kalau Aldo masih bergeming di depan kosnya. Hmm... dasar manusia batu. Udah di usir juga, masih belum pergi. Clara membuka pintu kamarnya. Kebetulan ada Vina-teman kosnya yang baru saja pulang. "Vin..." panggil Clara lirih. "Lo panggil gue?" tunjuk Vina pada dirinya sendiri. "Kenapa suara lo pelan banget sih, Ra?" Vina sedikit terkejut. Pasalnya Clara ini biasanya kalau ngomong keras, suka bikin telinga sakit. "Tenggorokan gue lagi keganjel sama batu, jadi nggak bisa ngomong keras-keras," oceh Clara asal. "Radang tenggorokan?" tebak Vina. "Hmm," gumam Clara. "Gue mau minta tolong, boleh?""Beliin obat batuk apa
#Bab ini khusus cerita Aldo dan Clara ya. Selamat membaca teman-teman... Di balik sikapnya yang menyebalkan dan selalu membuat orang lain darah tinggi, ternyata Aldo sosok lelaki yang berhati baik. Tiga hari berturut-turut Clara menjumpai Aldo sedang menolong orang di jalan. Hari pertama, Clara melihat Aldo sedang membantu seorang ibu membawakan barang belanjaannya. Hari kedua, Clara melihat Aldo membantu seorang nenek menyebrang jalan. Hari ketiga, Clara melihat Aldo menyetep motor orang yang mogok di jalan. Kepedulian Aldo terhadap sesama membuat hati Clara tersentuh. Dia sama sekali tidak menyangka kalau bocah tengil seperti Aldo malah peduli terhadap orang lain.Clara segera berbalik arah, memilih putar balik agar Aldo tidak melihatnya. Namun siapa sangka, Aldo ternyata malah sedang mengejarnya.Brmm... "Ra..." Aldo mulai memelankan laju motornya."Mau ke mana?" tanya Aldo. "Cari makan.""Gue traktir yuk. Buruan naik."Clara hendak melayangkan protes. Dia berencana menolak aj
Hari ini acara tujuh bulanan Andina. Orangtua Wildan datang untuk menyambut acara tasyakuran calon cucu mereka. Andina juga mengundang teman-teman kuliahnya, meskipun hanya sedikit yang dia undang. Maklum saja, Andina tidak terlalu dekat dengan orang lain. Berbeda dengan Adinda. Teman-teman Adinda, Wildan, dan Sena juga ikut datang meramaikan. Ya, mereka semua juga diundang oleh Andina. Tentunya mereka datang. Selain membantu mensukseskan acara ini, tujuan utama anak-anak kos itu tidak lain dan tidak bukan adalah makan gratis. Kaum hawa pun bahu membahu mengurusi masalah konsumsi. Sementara kaum adam ada di depan ikut pengajian. "Din, ini kue-kuenya taruh di depan sekarang apa nanti?" tanya Sasa. Adinda menengok ke depan. "Sekarang, Sa. Pengajiannya udah selesai. Ra, elo bantuin Sasa bawa kue-kue ini ya. Rin, elo bantuin gue bawa minumannya.""Siap, Din.""Soto ayamnya dibawa ke depan juga, Din?" tanya Nana-teman kuliah Andina. "Entar aja, Na, kalau udah selesai ngemilnya. Lo ba
Udara kota Bandung yang dingin membuat Clara mager. Pengennya cuma rebahan sama rebahan aja. Namun skripsinya terus menuntut minta dikerjakan. Dengan amat sangat terpaksa, Clara membawa motor maticnya ke perpusda.Clara memilih buku yang kira-kira sesuai untuk bahan skripsinya. "Nah, ini yang gue cari."Clara mengambil buku dari rak, tapi dari arah berlawanan ada yang menarik buku tersebut. Clara terpaksa melepaskan sisi buku, hingga buku tersebut diambil oleh pria yang tadi menariknya.Meskipun buku tersebut dilepaskan oleh Clara, tapi dia tetap berusaha merebutnya kembali."Jangan gitu dong A, buku ini udah gue ambil duluan." Si pria tidak menyahut, apalagi memberikan buku itu pada Clara. Dia justru pergi begitu saja. "Dik..." panggil seorang pria sembari menepuk pundak Clara. Clara seperti tak asing dengan suaranya. Clara menoleh, dia masih menerka-nerka sosok pria yang tengah berdiri di depannya saat ini. Si pria melepaskan maskernya dan tersenyum manis. "Ini saya, Arga. Masa
Ketika berduka, jangan terlalu larut dalam kesedihan. Pun sebaliknya, ketika berbahagia, jangan terlalu senang dan mengumbar kesenanganmu. Hidup terus berputar, roda tak selamanya di atas maupun di bawah. Semangat dan jangan terombang-ambingkan oleh arus. ***Ella merasa puas atas keberhasilan rencananya. Usaha Andina bisa dia hancurkan dalam sekejap mata. Bahkan dengan tangannya sendiri. Ella akan menyingkirkan Andina dan bayi yang dikandungnya. Berbagai rencana telah dia susun dengan rapi. Ella mau menjadi satu-satunya istri Wildan, demi sang buah hati. Ella mengusap perutnya yang semakin membuncit. Usia kandungannya saat ini menginjak empat bulan. "Kamu sabar ya, Sayang. Mama sedang berusaha agar kamu bisa mendapatkan kasih sayang sepenuhnya dari Papamu. Hanya kamu yang mendapatkan kasih sayangnya, Nak. Bukan anak dari wanita sialan itu."Ella tahu tindakannya ini gila. Namun apa boleh buat, semua demi kebahagiaan si calon buah hati. Ella sudah memastikan kalau malam ini Andin
Arga dan Clara kembali lagi ke perpustakaan untuk mengambil motor. Rencananya setelah dari perpustakaan, Arga mau mampir ke toko kue dulu. Membelikan buah tangan untuk orangtua Clara. "Dik, nanti mampir ke toko kue sebentar ya.""Oke, Kak. Kakak ikutin Clara dari belakang ya," ucap gadis itu penuh semangat. "Siap, Adik kecil."Clara sudah berkendara di depan mobil Arga. Gadis itu naik motor begitu cepat. Mirip sekali dengan adiknya-Adinda yang suka kebut-kebutan di jalanan. Kalau saja Arga naik motor, mungkin dia bisa menyeimbangi kecepatan berkendara Clara. Berbeda dengan naik mobil, sedikit sulit untuk menyalip beberapa kendaraan. Apalagi di saat liburan seperti ini, lumayan macet. Arga benar-benar ketinggalan jejak gadis itu. Dia menepikan mobilnya di depan toko kue. Arga mengambil ponselnya dan menelepon Clara. Oh iya, Arga dapat nomor ponselnya dari Adinda. Bukan minta sendiri pada Clara. "Hallo. Ini siapa ya? Gue lagi motoran di jalan nih. Kalau telepon entar aja ya," teria
Matanya sulit terpejam, di atas brankar rumah sakit Ella masih meratapi kesedihannya. Padahal jam sudah menunjukkan pukul 1 dini hari. Wildan saja sudah tidur di atas sofa.'Coba aja waktu itu gue nggak lakuin rencana ini sendirian, pasti bayi gue masih hidup sampai sekarang. Ah, bodoh banget sih gue. Kenapa waktu itu nggak kepikiran menyuruh orang bayaran saja sih. Pasti semuanya bakal berjalan sesuai rencana,' gerutu Ella di dalam hatinya. Seharusnya Ella sadar kalau yang tengah menimpanya saat ini adalah buah dari perbuatannya sendiri. Niat jahatnya untuk mencelakai Andina dan bayinya malah berimbas pada Ella sendiri. Tapi Ella tidak bernah berpikir sampai sana. Dia tidak merasa bahwa bayinya tiada karena karmanya sendiri. Bagi Ella, semua masalah yang ada di dalam hidupnya berakar dari Andina. Semua ini salah Andina. 'Gue udah kehilangan bayi ini, Dina dan bayinya juga harus kehilangan sesuatu. Wildan. Iya, kalian harus kehilangan Wildan.' Rencana baru sudah dia susun dalam ot