Matanya sulit terpejam, di atas brankar rumah sakit Ella masih meratapi kesedihannya. Padahal jam sudah menunjukkan pukul 1 dini hari. Wildan saja sudah tidur di atas sofa.'Coba aja waktu itu gue nggak lakuin rencana ini sendirian, pasti bayi gue masih hidup sampai sekarang. Ah, bodoh banget sih gue. Kenapa waktu itu nggak kepikiran menyuruh orang bayaran saja sih. Pasti semuanya bakal berjalan sesuai rencana,' gerutu Ella di dalam hatinya. Seharusnya Ella sadar kalau yang tengah menimpanya saat ini adalah buah dari perbuatannya sendiri. Niat jahatnya untuk mencelakai Andina dan bayinya malah berimbas pada Ella sendiri. Tapi Ella tidak bernah berpikir sampai sana. Dia tidak merasa bahwa bayinya tiada karena karmanya sendiri. Bagi Ella, semua masalah yang ada di dalam hidupnya berakar dari Andina. Semua ini salah Andina. 'Gue udah kehilangan bayi ini, Dina dan bayinya juga harus kehilangan sesuatu. Wildan. Iya, kalian harus kehilangan Wildan.' Rencana baru sudah dia susun dalam ot
Sudah satu bulan ini Wildan tidak pulang ke rumah Andina. Setiap kali dihubungi juga tidak bisa. Tampaknya Wildan sengaja mengganti nomor ponselnya. Andina sendiri juga tidak ke rumah Ella, sekedar mengajak suaminya pulang. Selepas kejadian di rumah sakit itu rasa kecewa masih menggerogoti hatinya. Usia kehamilan Andina sudah jalan delapan bulan. Tinggal menunggu satu bulan lagi dia akan melahirkan. Andina sudah berada di rumah orangtuanya selama sepekan. Selama itu pula Risma dan Salman sering menanyakan Wildan. "Sudah satu minggu lho kamu di sini, Dina. Wildan kok belum juga nyamperin. Apa masih jatahnya di rumah istri muda?" tanya Risma. "Lagi sibuk kali, Ma," jawaban klasik terlontar dari mulut Andina. Dia sendiri juga bingung harus berkata apa. Tidak mungkin bercerita tentang masalah di rumah tangganya yang sedang memanas. Risma menatap Andina penuh selidik. Dia sangat paham betul watak anaknya. Andina tidak jago berbohong. "Ada apa sebenarnya, Nak?" tanya Risma. "Ndak ad
Keesokan harinya Salman dan Bagaskara menemui Wildan di apartemennya."Papa, Papa Salman?" Wildan terkejut melihat kedatangan dua paruh baya ke apartemennya sepagi ini. Wildan bahkan belum sempat mandi ataupun membuat sarapan. Dia tengah bersantai sembari bermain game. Berbeda halnya dengan dua pria paruh baya ini yang sudah rapi dengan setelan pakaian kantor. "Ada apa, Pa, sepagi ini sudah kemari?" tanya Wildan diliputi rasa penasaran. "Persilahkan kami masuk dulu baru kamu tanya-tanyai, Wil," ujar Bagaskara. "Ah, iya. Silahkan masuk, Pa. Maaf berantakan.""Kamu ini, sudah seperti bujangan saja tinggal sendirian di apartemen," sindir Salman. Wildan tak mampu berucap. Dia meneguk ludahnya sendiri karena merasa disindir oleh sang mertua. Salman membuka laptopnya. Dia memperlihatkan bukti rekaman CCTV pada Wildan. "Coba kamu lihat ini, Wil!"Salman memutar video tersebut. Dalam rekaman CCTV terlihat jelas bahwa Ella masuk ke rumah Andina. Bahkan Ella masuk ke dalam kamar Andina.
Andina sedang duduk di pinggir kolam ikan koi. Tangannya sibuk memberi makan ikan-ikan tersebut, sementara pikirannya menerawang beberapa peristiwa tempo lalu. Wildan yang memaki-maki dirinya begitu membayang di pelupuk mata. Bagaimana dia akan menerima Wildan kembali, jika hatinya saja masih belum sanggup untuk melupakan. Salman melihat putri kembarnya melamun. Dia mendekati Andina. Salman akan memberikan pengetian pada putrinya agar tidak membiarkan masalahnya dengan Wildan berlarut-larut."Sudah waktunya kamu menerima maaf dari Wildan, Nak. Jangan biarkan masalah ini berlarut-larut. Bukankah suamimu sudah meminta maaf?""Tapi, Pa. Dina ngerasa masih ada yang menganjal.""Utarakan apa yang masih mengganjal di hatimu supaya Wildan mengerti maumu.""Pa, Dina mau cerai aja sama Wildan.""Hus... Jangan ngawur kamu. Maafkan Wildan, Dina. Lagipula dia sekarang sudah bercerai dengan Ella. Kalian bisa menjalani biduk rumah tangga secara harmonis setelah ini. Anggap saja masalah yang kemar
Perdebatan Andina dan Wildan tak ada habisnya. Mereka berdua sama-sama mempertahankan keinginannya. Wildan yang bersikukuh mempertahankan hubungan mereka, sedangkan Andina bersikukuh mengakhiri semuanya. Sampai larut malam pun mereka berdua tidak menemukan jalan tengah untuk masalah ini. Andina merebahkan tubuhnya ke atas ranjang. Letih sekali rasanya. Masalah ini sungguh menguras emosi Andina. Wildan ikut merebahkan tubuhnya di samping Andina. Andina menatapnya dengan sinis, kemudian menendang tubuh Wildan hingga jatuh dari ranjang. "Aduh... Kamu kok tega tendang aku sih, Sayang? Sakit tau," protes Wildan. "Jangan harap kamu bisa tidur di sini. Sana tidur di sofa!"Dengan langkah yang tak ikhlas dan misuh-misuh, Wildan terpaksa merebahkan tubuhnya di atas sofa. Mau bagaimana lagi, terima nasib saja lah. Sudah syukur Andina masih memperbolehkan Wildan tidur satu kamar dengannya. Pukul satu dini hari Andina merasakan mulas pada perutnya. Sudah berulang kali dia bolak balik ke kam
Andina dibawa ke ruang bersalin. Wanita itu terus mengaduh kesakitan. Wildan salah satu korban pelampiasan rasa sakitnya. Sudah tak terkira berapa banyak bekas cakaran di tangan pria itu. "Cepat keluarkan bayi ini, Dok! Sakit..." teriak Andina. "Tarik napas ya, Bu. Hembuskan!" perintah sang dokter. "Sekarang mengejan, Bu!" lanjutnya memberi intruksi pada calon ibu tersebut. "Aaa...""Ayo lagi, Bu!" "Aaa... Sakit..."Tak terasa air mata Wildan luruh. Wildan merasakan bagaimana rasa sakit yang dialami sang istri ketika berjuang demi sang buah hati. Hatinya bagai tersayat belati melihat proses sang istri melahirkan. Sungguh perjuangan. Tak tega rasanya. Apalagi bila teringat kesalahan yang dia perbuat satu bulan belakang ini. Makin bersalah rasanya."Kepala sudah kelihatan ya, Bu.""Ayo mengejan sekali lagi!""Aaa...""Oek... Oek..."Bayi laki-laki mungil berbalut darah berada dalam gendongan sang dokter. Dokter memberikan pada suster. Suster segera membersihkan bayi tersebut dan me
Selama pemotretan di Bali berlangsung, Jason terus-terusan meminta Ella untuk kembali bersamanya. Wanita itu sama sekali tidak berniat mengubah pendiriannya. Ella masih sama seperti sebelumnya, selalu terobsesi dengan Sena. Mau seribu pria tampan nan kaya sekalipun tak akan membuatnya luluh. Maunya Sena ya hanya Sena titik, bukan yang lainnya. "Please, La. Mau ya jadi pacar gue?" mohon Jason. "Jawaban gue tetap enggak, Jason. Ini udah ke 24 kalinya ya lo nembak gue. Udah cukup! Semuanya nggak akan ada pengaruhnya apa-apa buat gue.""Kurang gue apa sih, La? Kenapa lo selalu tolak gue?" tanya Jason frustasi. Mimik wajahnya sangat asam sekali. "Kurang waras!" ceplos Ella. "La, gue serius. Jangan bercanda!" maki Jason. "Apa sih, Jason? Lo cari cewek di luaran sana aja sono. Jangan ngintilin gue mulu. Senep lama-lama.""Ayolah, La. Balikan sama gue. Kalau lo sama gue, gue pastiin lo bahagia. Nggak perlu lah susah-susah kerja begini. Harta gue nggak bakalan habis sampai tujuh turunan.
Adinda menjenguk Andina sendirian karena Sena sedang ada kunjungan ke anak cabang di luar kota."Ponakan Tante lucu banget sih." Adinda menggendong Arion seraya mencium pipi bayi mungil tersebut dengan gemas. "Tante Dinda bikinin Rion adik juga dong," goda Andina. "Kalau bikin mah setiap malam ha ha ha," kelakar Adinda menanggapi godaan kembarannya. "Semoga cepat jadi ya Tante, biar Rion punya temen main.""Aamiin," sahut Arga dari depan pintu. "Kak Arga..." teriak Adinda dan Andina serempak. "Ih, ngagetin aja elo, Kak," imbuh Adinda. "Selamat atas kelahiran baby number one ya Dina, Wildan."Arga menaruh kado untuk baby Arion di atas meja depan sofa. Menyalami Wildan dan memeluk Andina. "Makasih, Kak," balas Andina dan Wildan. "Uh... Gemesnya. Ikut Pakde yuk!" ucap Arga seraya mengulurkan tangannya hendak menggendong Arion. Adinda mendekap tubuh mungil Arion. "Ih, nggak boleh. Dinda baru aja gendong Rion, Kak," tolak Adinda. "Pinjem bentaran doang ih. Kakak juga pengen gend
Suasana penuh kebahagiaan menyertai kediaman keluarga Wijaya. Hari ini ketiga keluarga besar itu berkumpul menjadi satu untuk merayakan kehamilan Adinda.Sena mulai kesal karena dari tadi tidak diperbolehkan berdampingan dengan Adinda. Sedari tadi Opa Gunandar tidak mau jauh dari Adinda. Istri Sena itu hari ini dikuasai oleh Opa Gunandar. Opa Gunandar hanya terlampau bahagia karena sebentar lagi akan mempunyai cicit yang sudah lama didambakannya. "Perutnya Dinda jangan diusap terus dong, Opa. Lama-lama bisa mengikis entar," protes Sena. "Brisik! Ganggu orang lagi bahagia aja," kesal Opa Gunandar. "Ma, geseran dong! Sena pengen duduk sebelah Dinda," ucapnya pada Indah. "Nggak mau. Mama kan juga pengen dekat sama Dinda," tolak Indah. Sena mencebikkan bibirnya. Mama dan Opa-nya sama saja, paling hobi membuat Sena jengkel. Adinda terkekeh. "Sayang, ih... begitu aja masa ngambek," ledek Adinda. "Emang lebay banget tuh suami kamu. Tiap hari juga udah ngekepin, masih aja kurang," cibi
Satu minggu ini kelakuan Adinda membuat Sena pusing tujuh keliling. Setiap hari ada saja hal yang menguji kesabaran Sena. Seperti saat ini, di tengah malam seperti ini Adinda ingin pergi melihat air terjun.Adinda menarik-narik baju Sena. Merengek seperti bocah balita. Keinginannya harus segera terpenuhi. Bila tidak, Adinda tidak akan merasa lega. "Ayo, berangkat sekarang, Yang!""Enggak!" tegas Sena. Sudah berulang kali Adinda merengek, berulang kali pula Sena menolak permintaan Adinda. Semua dirasa tidak masuk akal bagi Sena. Mana ada tempat wisata yang sudah buka di jam pocong seperti saat ini. Adinda berbalik, meringkuk dan memunggungi Sena. Wajahnya sangat masam. Di dalam batinnya itu, Adinda sangat kesal dan terus menggerutu. "Hih, dasar nyebelin. Pengen lihat air terjun aja nggak diturutin."Meraih ponsel di atas nakas, Adinda membuka aplikasi berwarna merah. Menonton video air terjun. Netranya tampak berbinar-binar saat melihat video tersebut. Suara gemericik air membuat h
Melihat wajah-wajah ketakutan, Pak Ihsan menahan tawanya agar tidak meledak. 'Mungkin mereka pikir aku ini dukun yang bisa baca pikiran orang kali ya. Apa tampangku begitu? ha ha ha.'"Nah, ini rumahnya Pak Dullah," ujar Pak Ihsan. Sejenak, Sena menghembuskan napas penuh kelegaan. Pak Ihsan benar-benar membawanya ke rumah Pak Dullah. 'Astagfirullah. Maafkan aku, Ya Allah, sudah suudzon.'"Malah bengong, ayo diketuk pintunya!" ucap Pak Ihsan. Belum sempat Sena mengetuk pintu, pintu sudah dibuka lebih dulu. Menampakkan sang pemilik rumah yang sedang mengulum senyum. "Assalamualaikum..." sapa Pak Dullah. "Waalaikumussalam...""Mau cari buah strawberry yang warnanya hijau kan?" tebak Pak Dullah.Lagi dan lagi, Sena dan Arfan saling melempar pandang. Misteri tentang Pak Ihsan yang bisa membaca pikiran mereka saja belum terpecahkan, ini sudah bertambah Pak Dullah. Semakin membuat Sena dan Arfan pusing saja. "Dari mana Bapak tahu?" tanya Sena heran. Pak Dullah tidak menjawab, justru
"Sayang..." panggil Sena. "Kamu kenapa sih?" tanya Sena kesal karena sedari tadi diacuhkan. Takut mulut Sena beraroma bawang goreng, Adinda mendorong dada Sena. Enggan berdekatan dengan suaminya itu. Menutup hidung rapat-rapat. Biarlah menghindar dan menahan napas ketimbang muntah lagi."Kamu kenapa sih, Yang? Aku bau?""Awas ih, minggir!" teriak Adinda kesal. Menghembuskan napas ke udara, Sena mencium aroma dari dalam mulutnya sendiri. Sena rasa aroma napasnya masih segar. Tidak bau makanan atau apa, karena dia belum sempat makan tadi. Kembali duduk, Adinda sudah menjauhkan toples berisi bawang goreng itu dari jangkauannya. "Loh, bawang gorengnya ke mana, Yang?" tanya Sena. "Nggak ada, udah aku simpen.""Di mana?""Udah buruan duduk! Mau makan nggak?""Ya makan lah. Bentar, aku mau cari bawang goreng dulu.""Nggak ada. Awas ya kalau kamu berani makan bawang goreng, bakalan aku usir kamu dari rumah," ancam Adinda. "Yaelah, Yang. Bagi dikit doang. Jangan mentang-mentang kamu suk
Dua minggu berlalu. Adinda, Sena, dan Arfan duduk di depan ruang sidang. Harap-harap cemas tampak di raut wajah Adinda dan Arfan ketika menunggu giliran selanjutnya. Berbeda dengan keduanya, Sena tampak santai dan biasa-biasa saja. "Sayang, kenapa donat tengahnya bolong?""Kalau yang utuh namanya bolu.""Salah. Yang utuh itu cinta aku ke kamu wkwk."Satu pukulan mendarat di lengan Sena. "Ih, dasar jokes Bapak-bapak.""He he... Biar sedikit mencair suasananya loh, Sayang. Habisnya kamu dari tadi tegang mulu sih.""Ya gimana nggak tegang. Mau sidang juga. Emangnya kamu, daritadi santai begitu.""Ya buat apa pusing-pusing sih. Kalau ditanya ya tinggal di jawab. Begitu aja repot.""Heh, enak banget ya itu bibir kalau ngoceh.""Kalian ini... Udah mau sidang masih aja ribut," ucap Arfan kesal. "Ya gimana, Fan. Abisnya si Sena ngeselin.""Halah. Ngeselin begitu juga lo bucin," cibir Arfan. "He he he... Jelas kalau itu mah," ucap Adinda cengangas-cengenges. "Arfan Ardyatama..." panggil pe
Ditemani Sena dan pengacaranya, Adinda memasuki ruang sidang. Segala macam bukti sudah Adinda kumpulkan, termasuk hasil visum bekas luka cambuk. Begitu mendudukkan diri, Adinda merasa tidak karuan. Tatapan nanar tertuju kepada mantan kekasih Sena itu. Memori sewaktu penyekapan terus berputar-putar memenuhi pikiran Adinda. Bayangan pecutan cambuk menggores kulit tangan. Sekelebat, Adinda memejamkan mata. Napasnya jadi tersengal-sengal. Ngilu sekali rasanya bila teringat hari itu. Jemari Adinda berada dalam genggaman tangan Sena. Sejenak, keduanya beradu pandang. Tatapan mata Sena seolah menjadi penenang. Sena selalu meyakinkan Adinda bahwa kebahagiaan sebentar lagi akan mereka raih. Adinda tenang karenanya. Sidang putusan berlangsung. Mantan kekasih Sena itu dijerat pasal 333 KUHP tentang penyekapan dan penculikan. Hukuman berlangsung paling lama sembilan tahun.Menjerit histeris usai persidangan, Ella menangis tersedu-sedu. Memohon pengampunan kepada Adinda dan Sena. Meminta belas
"Tante Dinda... Om Sena..." teriak Andina girang. "Baby Rion..." pekik Andina.Gemas, Adinda hendak mencium pipi gembul baby Arion, tapi ujung sweaternya ditarik dari belakang oleh Wildan."Heh, cuci tangan sama cuci kaki dulu kalau mau dekat-dekat sama Rion," ucap Wildan. Adinda mencebikkan bibirnya. "Iya... Iya..."Setelah membasuh tangan dan kaki, Adinda dan Sena mendekati baby Arion. Menimang dan menciumi pipinya dengan gemas."Sen..." lirih Adinda. "Hmm..." Sena hanya bergumam. Sibuk menimang baby Arion. "Kamu pengen punya yang kayak gini?""Pengen banget. Nanti sampai di rumah kita buat ya," balas Sena tersenyum lebar. Tentu saja Sena sudah menginginkan memiliki baby sendiri. Sena merasa bahwa sekarang dirinya sudah siap dan mampu menjadi seorang ayah. Namun, Adinda masih dilanda kebimbangan. Disatu sisi Adinda juga menginginkan hadirnya buah hati, tapi disisi lain Adinda ingin menyelesaikan kuliahnya terlebih dahulu baru memikirkan soal momongan. "Tapi gimana sama perjanj
Menyakiti diri sendiri sebagai bentuk pelampiasan emosi. Beberapa helai rambut rontok akibat kuatnya tarikan dari sang pemilik tubuh itu sendiri. Menjerit histeris layaknya orang kesurupan. Masih tidak bisa menerima bahwa dirinya bersalah dan harus merasakan buah dari akibat perbuatannya. "Arghhh..." teriaknya. "Diam! Berisik!" sentak wanita bertato. "Sumpal saja mulutnya dengan kaos kaki," ujar wanita kurus di sebelahnya mengompori. Wanita bertato mendekat, memandang tajam tahanan baru. Menelisik wajah cantik yang dipenuhi air mata. Merasa ngeri karena ditatap sedari tadi, Ella memalingkan wajahnya. Menghindari adu tatap lebih baik ketimbang cari perkara. "Heh, ada kasus apa sampai kau bisa masuk ke sini?" tanya wanita berambut keriting. Mengatupkan kedua bibir rapat-rapat, Ella enggan membuka suara. Membuat wanita bertato geram karena temannya diacuhkan. "Heh, jawab!" sentak wanita bertato."Penculikan.""Menculik siapa?" kepo wanita berambut keriting. "Istri mantan pacarku
Mendengar suara gaduh, Ella tergopoh menghampiri. Dilihatnya Sena yang sedang dihajar orang bayarannya."Hentikan!" teriak Ella. "Bos?""Mundur semuanya!" perintah Ella. "Sen, lo gapapa?" tanya Ella penuh perhatian.Sena menggeleng lemah. Memegang perutnya yang terasa nyeri akibat kena pukulan. "Ayo, bangun!"Meraih lengan Sena, Ella hendak membantu mantan kekasihnya itu berdiri. Sena menepisnya. Sena bisa berdiri sendiri tanpa bantuan dari Ella. Bukannya songong karena tidak mau dibantu, tapi mengingat Ella kerap kali mencelakai Adinda membuat Sena geram padanya."Lepasin, La. Gue bisa berdiri sendiri.""Tapi, Sen. Perut lo tadi kena pukulan.""Gapapa. Gue udah biasa dipukul kok," balas Sena ketus. Memandang tajam ketujuh orang bayarannya, Ella mengamuk seketika. "Dasar bodoh. Kenapa kalian menghajar Sena, hah?" maki Ella. Menundukkan kepala, para orang bayaran itu tidak berani berkutik. "Ma-maaf, Bos. Kami gak tahu.""Dasar tolol! Gue kan udah bilang jangan sakiti Sena."Sena m