Keesokan harinya Salman dan Bagaskara menemui Wildan di apartemennya."Papa, Papa Salman?" Wildan terkejut melihat kedatangan dua paruh baya ke apartemennya sepagi ini. Wildan bahkan belum sempat mandi ataupun membuat sarapan. Dia tengah bersantai sembari bermain game. Berbeda halnya dengan dua pria paruh baya ini yang sudah rapi dengan setelan pakaian kantor. "Ada apa, Pa, sepagi ini sudah kemari?" tanya Wildan diliputi rasa penasaran. "Persilahkan kami masuk dulu baru kamu tanya-tanyai, Wil," ujar Bagaskara. "Ah, iya. Silahkan masuk, Pa. Maaf berantakan.""Kamu ini, sudah seperti bujangan saja tinggal sendirian di apartemen," sindir Salman. Wildan tak mampu berucap. Dia meneguk ludahnya sendiri karena merasa disindir oleh sang mertua. Salman membuka laptopnya. Dia memperlihatkan bukti rekaman CCTV pada Wildan. "Coba kamu lihat ini, Wil!"Salman memutar video tersebut. Dalam rekaman CCTV terlihat jelas bahwa Ella masuk ke rumah Andina. Bahkan Ella masuk ke dalam kamar Andina.
Andina sedang duduk di pinggir kolam ikan koi. Tangannya sibuk memberi makan ikan-ikan tersebut, sementara pikirannya menerawang beberapa peristiwa tempo lalu. Wildan yang memaki-maki dirinya begitu membayang di pelupuk mata. Bagaimana dia akan menerima Wildan kembali, jika hatinya saja masih belum sanggup untuk melupakan. Salman melihat putri kembarnya melamun. Dia mendekati Andina. Salman akan memberikan pengetian pada putrinya agar tidak membiarkan masalahnya dengan Wildan berlarut-larut."Sudah waktunya kamu menerima maaf dari Wildan, Nak. Jangan biarkan masalah ini berlarut-larut. Bukankah suamimu sudah meminta maaf?""Tapi, Pa. Dina ngerasa masih ada yang menganjal.""Utarakan apa yang masih mengganjal di hatimu supaya Wildan mengerti maumu.""Pa, Dina mau cerai aja sama Wildan.""Hus... Jangan ngawur kamu. Maafkan Wildan, Dina. Lagipula dia sekarang sudah bercerai dengan Ella. Kalian bisa menjalani biduk rumah tangga secara harmonis setelah ini. Anggap saja masalah yang kemar
Perdebatan Andina dan Wildan tak ada habisnya. Mereka berdua sama-sama mempertahankan keinginannya. Wildan yang bersikukuh mempertahankan hubungan mereka, sedangkan Andina bersikukuh mengakhiri semuanya. Sampai larut malam pun mereka berdua tidak menemukan jalan tengah untuk masalah ini. Andina merebahkan tubuhnya ke atas ranjang. Letih sekali rasanya. Masalah ini sungguh menguras emosi Andina. Wildan ikut merebahkan tubuhnya di samping Andina. Andina menatapnya dengan sinis, kemudian menendang tubuh Wildan hingga jatuh dari ranjang. "Aduh... Kamu kok tega tendang aku sih, Sayang? Sakit tau," protes Wildan. "Jangan harap kamu bisa tidur di sini. Sana tidur di sofa!"Dengan langkah yang tak ikhlas dan misuh-misuh, Wildan terpaksa merebahkan tubuhnya di atas sofa. Mau bagaimana lagi, terima nasib saja lah. Sudah syukur Andina masih memperbolehkan Wildan tidur satu kamar dengannya. Pukul satu dini hari Andina merasakan mulas pada perutnya. Sudah berulang kali dia bolak balik ke kam
Andina dibawa ke ruang bersalin. Wanita itu terus mengaduh kesakitan. Wildan salah satu korban pelampiasan rasa sakitnya. Sudah tak terkira berapa banyak bekas cakaran di tangan pria itu. "Cepat keluarkan bayi ini, Dok! Sakit..." teriak Andina. "Tarik napas ya, Bu. Hembuskan!" perintah sang dokter. "Sekarang mengejan, Bu!" lanjutnya memberi intruksi pada calon ibu tersebut. "Aaa...""Ayo lagi, Bu!" "Aaa... Sakit..."Tak terasa air mata Wildan luruh. Wildan merasakan bagaimana rasa sakit yang dialami sang istri ketika berjuang demi sang buah hati. Hatinya bagai tersayat belati melihat proses sang istri melahirkan. Sungguh perjuangan. Tak tega rasanya. Apalagi bila teringat kesalahan yang dia perbuat satu bulan belakang ini. Makin bersalah rasanya."Kepala sudah kelihatan ya, Bu.""Ayo mengejan sekali lagi!""Aaa...""Oek... Oek..."Bayi laki-laki mungil berbalut darah berada dalam gendongan sang dokter. Dokter memberikan pada suster. Suster segera membersihkan bayi tersebut dan me
Selama pemotretan di Bali berlangsung, Jason terus-terusan meminta Ella untuk kembali bersamanya. Wanita itu sama sekali tidak berniat mengubah pendiriannya. Ella masih sama seperti sebelumnya, selalu terobsesi dengan Sena. Mau seribu pria tampan nan kaya sekalipun tak akan membuatnya luluh. Maunya Sena ya hanya Sena titik, bukan yang lainnya. "Please, La. Mau ya jadi pacar gue?" mohon Jason. "Jawaban gue tetap enggak, Jason. Ini udah ke 24 kalinya ya lo nembak gue. Udah cukup! Semuanya nggak akan ada pengaruhnya apa-apa buat gue.""Kurang gue apa sih, La? Kenapa lo selalu tolak gue?" tanya Jason frustasi. Mimik wajahnya sangat asam sekali. "Kurang waras!" ceplos Ella. "La, gue serius. Jangan bercanda!" maki Jason. "Apa sih, Jason? Lo cari cewek di luaran sana aja sono. Jangan ngintilin gue mulu. Senep lama-lama.""Ayolah, La. Balikan sama gue. Kalau lo sama gue, gue pastiin lo bahagia. Nggak perlu lah susah-susah kerja begini. Harta gue nggak bakalan habis sampai tujuh turunan.
Adinda menjenguk Andina sendirian karena Sena sedang ada kunjungan ke anak cabang di luar kota."Ponakan Tante lucu banget sih." Adinda menggendong Arion seraya mencium pipi bayi mungil tersebut dengan gemas. "Tante Dinda bikinin Rion adik juga dong," goda Andina. "Kalau bikin mah setiap malam ha ha ha," kelakar Adinda menanggapi godaan kembarannya. "Semoga cepat jadi ya Tante, biar Rion punya temen main.""Aamiin," sahut Arga dari depan pintu. "Kak Arga..." teriak Adinda dan Andina serempak. "Ih, ngagetin aja elo, Kak," imbuh Adinda. "Selamat atas kelahiran baby number one ya Dina, Wildan."Arga menaruh kado untuk baby Arion di atas meja depan sofa. Menyalami Wildan dan memeluk Andina. "Makasih, Kak," balas Andina dan Wildan. "Uh... Gemesnya. Ikut Pakde yuk!" ucap Arga seraya mengulurkan tangannya hendak menggendong Arion. Adinda mendekap tubuh mungil Arion. "Ih, nggak boleh. Dinda baru aja gendong Rion, Kak," tolak Adinda. "Pinjem bentaran doang ih. Kakak juga pengen gend
Seorang wanita di seberang sana menggerutu, memaki-maki orang yang berteleponan dengannya. "Goblok! Lo bener-bener tolol tau gak? Gitu aja nggak bisa diandelin.""Terserah lah. Gue udah nggak mau bantuin lo. Mau mati rasanya dihajar sama Sena.""Mati aja lo sekalian. Dasar nggak guna!" hardiknya kasar. Alvian membanting teleponnya di atas ranjang. "Argh sial. Dasar mantan brengsek! Dari dulu selalu manfaatin gue buat dapatin Sena. Kalau bukan karena duit, ogah gue kayak gini.""Sial... Sial..."Sementara itu sang wanita terlihat geram. Ini kesekian kalinya rencana yang dia buat untuk menyingkirkan Adinda gagal. "Kenapa Dinda selalu lolos sih? Heran banget gue."Wanita yang berusaha mencelakai Adinda tidak lain dan tidak bukan adalah Ella. Ella memutar otaknya, mencari akal. Tiba-tiba Ella teringat oleh salah satu temannya yang bekerja sebagai tukang pukul. "Hallo... Ini gue Ella.""Oh, elo. Kenapa, La?""Gue butuh bantuan lo buat jalanin rencana yang udah gue susun.""Wah... Bau-b
Malam kian larut. Rumah terasa senyap. Hanya suara jangkrik yang mengisi kesunyian malam. Adinda masih terjaga menunggu suaminya pulang. Semenjak menjabat manager, Sena selalu pulang larut malam. Biasalah, banyak urusan di kantor yang harus dia selesaikan.Adinda menutup mulutnya yang terus menguap. Merasa tidak dapat menahan kantuknya, Adinda berbaring di atas sofa. "Tidur sebentar kali ya sambil nungguin Sena pulang."Baru sebentar Adinda memejamkan mata, terdengar bunyi pintu diketuk. Adinda berjalan sempoyongan dengan mata setengah terpejam. Kelopak matanya sungguh terasa berat untuk dibuka. "Mmm..." Adinda tak tahu lagi apa yang terjadi. Tubuhnya terasa lemas. Pandangannya benar-benar berubah menjadi gelap, bukan karena mengantuk, tapi pingsan dalam pengaruh bius. Pria berbadan kekar membopong tubuh rapuh itu. Membawanya masuk ke dalam mobil. Sementara pria lainnya mengawasi keadaan sekitar. Ada juga yang menunggu di dalam mobil. Bersiap tancap gas secepat mungkin agar tidak