Adinda menjenguk Andina sendirian karena Sena sedang ada kunjungan ke anak cabang di luar kota."Ponakan Tante lucu banget sih." Adinda menggendong Arion seraya mencium pipi bayi mungil tersebut dengan gemas. "Tante Dinda bikinin Rion adik juga dong," goda Andina. "Kalau bikin mah setiap malam ha ha ha," kelakar Adinda menanggapi godaan kembarannya. "Semoga cepat jadi ya Tante, biar Rion punya temen main.""Aamiin," sahut Arga dari depan pintu. "Kak Arga..." teriak Adinda dan Andina serempak. "Ih, ngagetin aja elo, Kak," imbuh Adinda. "Selamat atas kelahiran baby number one ya Dina, Wildan."Arga menaruh kado untuk baby Arion di atas meja depan sofa. Menyalami Wildan dan memeluk Andina. "Makasih, Kak," balas Andina dan Wildan. "Uh... Gemesnya. Ikut Pakde yuk!" ucap Arga seraya mengulurkan tangannya hendak menggendong Arion. Adinda mendekap tubuh mungil Arion. "Ih, nggak boleh. Dinda baru aja gendong Rion, Kak," tolak Adinda. "Pinjem bentaran doang ih. Kakak juga pengen gend
Seorang wanita di seberang sana menggerutu, memaki-maki orang yang berteleponan dengannya. "Goblok! Lo bener-bener tolol tau gak? Gitu aja nggak bisa diandelin.""Terserah lah. Gue udah nggak mau bantuin lo. Mau mati rasanya dihajar sama Sena.""Mati aja lo sekalian. Dasar nggak guna!" hardiknya kasar. Alvian membanting teleponnya di atas ranjang. "Argh sial. Dasar mantan brengsek! Dari dulu selalu manfaatin gue buat dapatin Sena. Kalau bukan karena duit, ogah gue kayak gini.""Sial... Sial..."Sementara itu sang wanita terlihat geram. Ini kesekian kalinya rencana yang dia buat untuk menyingkirkan Adinda gagal. "Kenapa Dinda selalu lolos sih? Heran banget gue."Wanita yang berusaha mencelakai Adinda tidak lain dan tidak bukan adalah Ella. Ella memutar otaknya, mencari akal. Tiba-tiba Ella teringat oleh salah satu temannya yang bekerja sebagai tukang pukul. "Hallo... Ini gue Ella.""Oh, elo. Kenapa, La?""Gue butuh bantuan lo buat jalanin rencana yang udah gue susun.""Wah... Bau-b
Malam kian larut. Rumah terasa senyap. Hanya suara jangkrik yang mengisi kesunyian malam. Adinda masih terjaga menunggu suaminya pulang. Semenjak menjabat manager, Sena selalu pulang larut malam. Biasalah, banyak urusan di kantor yang harus dia selesaikan.Adinda menutup mulutnya yang terus menguap. Merasa tidak dapat menahan kantuknya, Adinda berbaring di atas sofa. "Tidur sebentar kali ya sambil nungguin Sena pulang."Baru sebentar Adinda memejamkan mata, terdengar bunyi pintu diketuk. Adinda berjalan sempoyongan dengan mata setengah terpejam. Kelopak matanya sungguh terasa berat untuk dibuka. "Mmm..." Adinda tak tahu lagi apa yang terjadi. Tubuhnya terasa lemas. Pandangannya benar-benar berubah menjadi gelap, bukan karena mengantuk, tapi pingsan dalam pengaruh bius. Pria berbadan kekar membopong tubuh rapuh itu. Membawanya masuk ke dalam mobil. Sementara pria lainnya mengawasi keadaan sekitar. Ada juga yang menunggu di dalam mobil. Bersiap tancap gas secepat mungkin agar tidak
Setelah berbagai drama, akhirnya Sena dan teman-temannya diizinkan satpam masuk ke dalan rumah.Ting tong... Ting tong... Ting tongSena berulang kali membunyikan bel di rumah Ella dengan tidak sabaran. Dengan mata yang terasa berat, bibi tergopoh membukakan pintu. Bibi mengurut dadanya. Nampak terkejut dengan kedatangan Sena dan gerombolannya. "Astagfirullah... Den Sena kenapa ke sini tengah malam begini?" sunggut bibi kesal. Pandangan Sena menyelisik isi rumah Ella. "Ella mana?" tanya Sena dingin. "Loh, Den Sena emangnya nggak tahu, Non Ella kan sekarang di Bali.""Jangan bohong, Bi!" sentak Sena. Mendengar gertakan Sena, bibi beringsut mundur. "Beneran Den, Bibi mana pernah bohongin Den Sena.""Ella... Keluar kamu!" teriak Sena sembari hendak masuk ke dalam rumah, tapi dengan cepat dicegah oleh bibi. "Jangan teriak-teriak, Den. Nggak enak didengar tetangga. Non Ella emang nggak ada di rumah.""Bohong!" "Beneran, Den. Percaya sama Bibi ya. Sekarang Den Sena pulang. Oke?""Ella
Mendengar suara gaduh, Ella tergopoh menghampiri. Dilihatnya Sena yang sedang dihajar orang bayarannya."Hentikan!" teriak Ella. "Bos?""Mundur semuanya!" perintah Ella. "Sen, lo gapapa?" tanya Ella penuh perhatian.Sena menggeleng lemah. Memegang perutnya yang terasa nyeri akibat kena pukulan. "Ayo, bangun!"Meraih lengan Sena, Ella hendak membantu mantan kekasihnya itu berdiri. Sena menepisnya. Sena bisa berdiri sendiri tanpa bantuan dari Ella. Bukannya songong karena tidak mau dibantu, tapi mengingat Ella kerap kali mencelakai Adinda membuat Sena geram padanya."Lepasin, La. Gue bisa berdiri sendiri.""Tapi, Sen. Perut lo tadi kena pukulan.""Gapapa. Gue udah biasa dipukul kok," balas Sena ketus. Memandang tajam ketujuh orang bayarannya, Ella mengamuk seketika. "Dasar bodoh. Kenapa kalian menghajar Sena, hah?" maki Ella. Menundukkan kepala, para orang bayaran itu tidak berani berkutik. "Ma-maaf, Bos. Kami gak tahu.""Dasar tolol! Gue kan udah bilang jangan sakiti Sena."Sena m
Menyakiti diri sendiri sebagai bentuk pelampiasan emosi. Beberapa helai rambut rontok akibat kuatnya tarikan dari sang pemilik tubuh itu sendiri. Menjerit histeris layaknya orang kesurupan. Masih tidak bisa menerima bahwa dirinya bersalah dan harus merasakan buah dari akibat perbuatannya. "Arghhh..." teriaknya. "Diam! Berisik!" sentak wanita bertato. "Sumpal saja mulutnya dengan kaos kaki," ujar wanita kurus di sebelahnya mengompori. Wanita bertato mendekat, memandang tajam tahanan baru. Menelisik wajah cantik yang dipenuhi air mata. Merasa ngeri karena ditatap sedari tadi, Ella memalingkan wajahnya. Menghindari adu tatap lebih baik ketimbang cari perkara. "Heh, ada kasus apa sampai kau bisa masuk ke sini?" tanya wanita berambut keriting. Mengatupkan kedua bibir rapat-rapat, Ella enggan membuka suara. Membuat wanita bertato geram karena temannya diacuhkan. "Heh, jawab!" sentak wanita bertato."Penculikan.""Menculik siapa?" kepo wanita berambut keriting. "Istri mantan pacarku
"Tante Dinda... Om Sena..." teriak Andina girang. "Baby Rion..." pekik Andina.Gemas, Adinda hendak mencium pipi gembul baby Arion, tapi ujung sweaternya ditarik dari belakang oleh Wildan."Heh, cuci tangan sama cuci kaki dulu kalau mau dekat-dekat sama Rion," ucap Wildan. Adinda mencebikkan bibirnya. "Iya... Iya..."Setelah membasuh tangan dan kaki, Adinda dan Sena mendekati baby Arion. Menimang dan menciumi pipinya dengan gemas."Sen..." lirih Adinda. "Hmm..." Sena hanya bergumam. Sibuk menimang baby Arion. "Kamu pengen punya yang kayak gini?""Pengen banget. Nanti sampai di rumah kita buat ya," balas Sena tersenyum lebar. Tentu saja Sena sudah menginginkan memiliki baby sendiri. Sena merasa bahwa sekarang dirinya sudah siap dan mampu menjadi seorang ayah. Namun, Adinda masih dilanda kebimbangan. Disatu sisi Adinda juga menginginkan hadirnya buah hati, tapi disisi lain Adinda ingin menyelesaikan kuliahnya terlebih dahulu baru memikirkan soal momongan. "Tapi gimana sama perjanj
Ditemani Sena dan pengacaranya, Adinda memasuki ruang sidang. Segala macam bukti sudah Adinda kumpulkan, termasuk hasil visum bekas luka cambuk. Begitu mendudukkan diri, Adinda merasa tidak karuan. Tatapan nanar tertuju kepada mantan kekasih Sena itu. Memori sewaktu penyekapan terus berputar-putar memenuhi pikiran Adinda. Bayangan pecutan cambuk menggores kulit tangan. Sekelebat, Adinda memejamkan mata. Napasnya jadi tersengal-sengal. Ngilu sekali rasanya bila teringat hari itu. Jemari Adinda berada dalam genggaman tangan Sena. Sejenak, keduanya beradu pandang. Tatapan mata Sena seolah menjadi penenang. Sena selalu meyakinkan Adinda bahwa kebahagiaan sebentar lagi akan mereka raih. Adinda tenang karenanya. Sidang putusan berlangsung. Mantan kekasih Sena itu dijerat pasal 333 KUHP tentang penyekapan dan penculikan. Hukuman berlangsung paling lama sembilan tahun.Menjerit histeris usai persidangan, Ella menangis tersedu-sedu. Memohon pengampunan kepada Adinda dan Sena. Meminta belas
Suasana penuh kebahagiaan menyertai kediaman keluarga Wijaya. Hari ini ketiga keluarga besar itu berkumpul menjadi satu untuk merayakan kehamilan Adinda.Sena mulai kesal karena dari tadi tidak diperbolehkan berdampingan dengan Adinda. Sedari tadi Opa Gunandar tidak mau jauh dari Adinda. Istri Sena itu hari ini dikuasai oleh Opa Gunandar. Opa Gunandar hanya terlampau bahagia karena sebentar lagi akan mempunyai cicit yang sudah lama didambakannya. "Perutnya Dinda jangan diusap terus dong, Opa. Lama-lama bisa mengikis entar," protes Sena. "Brisik! Ganggu orang lagi bahagia aja," kesal Opa Gunandar. "Ma, geseran dong! Sena pengen duduk sebelah Dinda," ucapnya pada Indah. "Nggak mau. Mama kan juga pengen dekat sama Dinda," tolak Indah. Sena mencebikkan bibirnya. Mama dan Opa-nya sama saja, paling hobi membuat Sena jengkel. Adinda terkekeh. "Sayang, ih... begitu aja masa ngambek," ledek Adinda. "Emang lebay banget tuh suami kamu. Tiap hari juga udah ngekepin, masih aja kurang," cibi
Satu minggu ini kelakuan Adinda membuat Sena pusing tujuh keliling. Setiap hari ada saja hal yang menguji kesabaran Sena. Seperti saat ini, di tengah malam seperti ini Adinda ingin pergi melihat air terjun.Adinda menarik-narik baju Sena. Merengek seperti bocah balita. Keinginannya harus segera terpenuhi. Bila tidak, Adinda tidak akan merasa lega. "Ayo, berangkat sekarang, Yang!""Enggak!" tegas Sena. Sudah berulang kali Adinda merengek, berulang kali pula Sena menolak permintaan Adinda. Semua dirasa tidak masuk akal bagi Sena. Mana ada tempat wisata yang sudah buka di jam pocong seperti saat ini. Adinda berbalik, meringkuk dan memunggungi Sena. Wajahnya sangat masam. Di dalam batinnya itu, Adinda sangat kesal dan terus menggerutu. "Hih, dasar nyebelin. Pengen lihat air terjun aja nggak diturutin."Meraih ponsel di atas nakas, Adinda membuka aplikasi berwarna merah. Menonton video air terjun. Netranya tampak berbinar-binar saat melihat video tersebut. Suara gemericik air membuat h
Melihat wajah-wajah ketakutan, Pak Ihsan menahan tawanya agar tidak meledak. 'Mungkin mereka pikir aku ini dukun yang bisa baca pikiran orang kali ya. Apa tampangku begitu? ha ha ha.'"Nah, ini rumahnya Pak Dullah," ujar Pak Ihsan. Sejenak, Sena menghembuskan napas penuh kelegaan. Pak Ihsan benar-benar membawanya ke rumah Pak Dullah. 'Astagfirullah. Maafkan aku, Ya Allah, sudah suudzon.'"Malah bengong, ayo diketuk pintunya!" ucap Pak Ihsan. Belum sempat Sena mengetuk pintu, pintu sudah dibuka lebih dulu. Menampakkan sang pemilik rumah yang sedang mengulum senyum. "Assalamualaikum..." sapa Pak Dullah. "Waalaikumussalam...""Mau cari buah strawberry yang warnanya hijau kan?" tebak Pak Dullah.Lagi dan lagi, Sena dan Arfan saling melempar pandang. Misteri tentang Pak Ihsan yang bisa membaca pikiran mereka saja belum terpecahkan, ini sudah bertambah Pak Dullah. Semakin membuat Sena dan Arfan pusing saja. "Dari mana Bapak tahu?" tanya Sena heran. Pak Dullah tidak menjawab, justru
"Sayang..." panggil Sena. "Kamu kenapa sih?" tanya Sena kesal karena sedari tadi diacuhkan. Takut mulut Sena beraroma bawang goreng, Adinda mendorong dada Sena. Enggan berdekatan dengan suaminya itu. Menutup hidung rapat-rapat. Biarlah menghindar dan menahan napas ketimbang muntah lagi."Kamu kenapa sih, Yang? Aku bau?""Awas ih, minggir!" teriak Adinda kesal. Menghembuskan napas ke udara, Sena mencium aroma dari dalam mulutnya sendiri. Sena rasa aroma napasnya masih segar. Tidak bau makanan atau apa, karena dia belum sempat makan tadi. Kembali duduk, Adinda sudah menjauhkan toples berisi bawang goreng itu dari jangkauannya. "Loh, bawang gorengnya ke mana, Yang?" tanya Sena. "Nggak ada, udah aku simpen.""Di mana?""Udah buruan duduk! Mau makan nggak?""Ya makan lah. Bentar, aku mau cari bawang goreng dulu.""Nggak ada. Awas ya kalau kamu berani makan bawang goreng, bakalan aku usir kamu dari rumah," ancam Adinda. "Yaelah, Yang. Bagi dikit doang. Jangan mentang-mentang kamu suk
Dua minggu berlalu. Adinda, Sena, dan Arfan duduk di depan ruang sidang. Harap-harap cemas tampak di raut wajah Adinda dan Arfan ketika menunggu giliran selanjutnya. Berbeda dengan keduanya, Sena tampak santai dan biasa-biasa saja. "Sayang, kenapa donat tengahnya bolong?""Kalau yang utuh namanya bolu.""Salah. Yang utuh itu cinta aku ke kamu wkwk."Satu pukulan mendarat di lengan Sena. "Ih, dasar jokes Bapak-bapak.""He he... Biar sedikit mencair suasananya loh, Sayang. Habisnya kamu dari tadi tegang mulu sih.""Ya gimana nggak tegang. Mau sidang juga. Emangnya kamu, daritadi santai begitu.""Ya buat apa pusing-pusing sih. Kalau ditanya ya tinggal di jawab. Begitu aja repot.""Heh, enak banget ya itu bibir kalau ngoceh.""Kalian ini... Udah mau sidang masih aja ribut," ucap Arfan kesal. "Ya gimana, Fan. Abisnya si Sena ngeselin.""Halah. Ngeselin begitu juga lo bucin," cibir Arfan. "He he he... Jelas kalau itu mah," ucap Adinda cengangas-cengenges. "Arfan Ardyatama..." panggil pe
Ditemani Sena dan pengacaranya, Adinda memasuki ruang sidang. Segala macam bukti sudah Adinda kumpulkan, termasuk hasil visum bekas luka cambuk. Begitu mendudukkan diri, Adinda merasa tidak karuan. Tatapan nanar tertuju kepada mantan kekasih Sena itu. Memori sewaktu penyekapan terus berputar-putar memenuhi pikiran Adinda. Bayangan pecutan cambuk menggores kulit tangan. Sekelebat, Adinda memejamkan mata. Napasnya jadi tersengal-sengal. Ngilu sekali rasanya bila teringat hari itu. Jemari Adinda berada dalam genggaman tangan Sena. Sejenak, keduanya beradu pandang. Tatapan mata Sena seolah menjadi penenang. Sena selalu meyakinkan Adinda bahwa kebahagiaan sebentar lagi akan mereka raih. Adinda tenang karenanya. Sidang putusan berlangsung. Mantan kekasih Sena itu dijerat pasal 333 KUHP tentang penyekapan dan penculikan. Hukuman berlangsung paling lama sembilan tahun.Menjerit histeris usai persidangan, Ella menangis tersedu-sedu. Memohon pengampunan kepada Adinda dan Sena. Meminta belas
"Tante Dinda... Om Sena..." teriak Andina girang. "Baby Rion..." pekik Andina.Gemas, Adinda hendak mencium pipi gembul baby Arion, tapi ujung sweaternya ditarik dari belakang oleh Wildan."Heh, cuci tangan sama cuci kaki dulu kalau mau dekat-dekat sama Rion," ucap Wildan. Adinda mencebikkan bibirnya. "Iya... Iya..."Setelah membasuh tangan dan kaki, Adinda dan Sena mendekati baby Arion. Menimang dan menciumi pipinya dengan gemas."Sen..." lirih Adinda. "Hmm..." Sena hanya bergumam. Sibuk menimang baby Arion. "Kamu pengen punya yang kayak gini?""Pengen banget. Nanti sampai di rumah kita buat ya," balas Sena tersenyum lebar. Tentu saja Sena sudah menginginkan memiliki baby sendiri. Sena merasa bahwa sekarang dirinya sudah siap dan mampu menjadi seorang ayah. Namun, Adinda masih dilanda kebimbangan. Disatu sisi Adinda juga menginginkan hadirnya buah hati, tapi disisi lain Adinda ingin menyelesaikan kuliahnya terlebih dahulu baru memikirkan soal momongan. "Tapi gimana sama perjanj
Menyakiti diri sendiri sebagai bentuk pelampiasan emosi. Beberapa helai rambut rontok akibat kuatnya tarikan dari sang pemilik tubuh itu sendiri. Menjerit histeris layaknya orang kesurupan. Masih tidak bisa menerima bahwa dirinya bersalah dan harus merasakan buah dari akibat perbuatannya. "Arghhh..." teriaknya. "Diam! Berisik!" sentak wanita bertato. "Sumpal saja mulutnya dengan kaos kaki," ujar wanita kurus di sebelahnya mengompori. Wanita bertato mendekat, memandang tajam tahanan baru. Menelisik wajah cantik yang dipenuhi air mata. Merasa ngeri karena ditatap sedari tadi, Ella memalingkan wajahnya. Menghindari adu tatap lebih baik ketimbang cari perkara. "Heh, ada kasus apa sampai kau bisa masuk ke sini?" tanya wanita berambut keriting. Mengatupkan kedua bibir rapat-rapat, Ella enggan membuka suara. Membuat wanita bertato geram karena temannya diacuhkan. "Heh, jawab!" sentak wanita bertato."Penculikan.""Menculik siapa?" kepo wanita berambut keriting. "Istri mantan pacarku
Mendengar suara gaduh, Ella tergopoh menghampiri. Dilihatnya Sena yang sedang dihajar orang bayarannya."Hentikan!" teriak Ella. "Bos?""Mundur semuanya!" perintah Ella. "Sen, lo gapapa?" tanya Ella penuh perhatian.Sena menggeleng lemah. Memegang perutnya yang terasa nyeri akibat kena pukulan. "Ayo, bangun!"Meraih lengan Sena, Ella hendak membantu mantan kekasihnya itu berdiri. Sena menepisnya. Sena bisa berdiri sendiri tanpa bantuan dari Ella. Bukannya songong karena tidak mau dibantu, tapi mengingat Ella kerap kali mencelakai Adinda membuat Sena geram padanya."Lepasin, La. Gue bisa berdiri sendiri.""Tapi, Sen. Perut lo tadi kena pukulan.""Gapapa. Gue udah biasa dipukul kok," balas Sena ketus. Memandang tajam ketujuh orang bayarannya, Ella mengamuk seketika. "Dasar bodoh. Kenapa kalian menghajar Sena, hah?" maki Ella. Menundukkan kepala, para orang bayaran itu tidak berani berkutik. "Ma-maaf, Bos. Kami gak tahu.""Dasar tolol! Gue kan udah bilang jangan sakiti Sena."Sena m