Andina dibawa ke ruang bersalin. Wanita itu terus mengaduh kesakitan. Wildan salah satu korban pelampiasan rasa sakitnya. Sudah tak terkira berapa banyak bekas cakaran di tangan pria itu. "Cepat keluarkan bayi ini, Dok! Sakit..." teriak Andina. "Tarik napas ya, Bu. Hembuskan!" perintah sang dokter. "Sekarang mengejan, Bu!" lanjutnya memberi intruksi pada calon ibu tersebut. "Aaa...""Ayo lagi, Bu!" "Aaa... Sakit..."Tak terasa air mata Wildan luruh. Wildan merasakan bagaimana rasa sakit yang dialami sang istri ketika berjuang demi sang buah hati. Hatinya bagai tersayat belati melihat proses sang istri melahirkan. Sungguh perjuangan. Tak tega rasanya. Apalagi bila teringat kesalahan yang dia perbuat satu bulan belakang ini. Makin bersalah rasanya."Kepala sudah kelihatan ya, Bu.""Ayo mengejan sekali lagi!""Aaa...""Oek... Oek..."Bayi laki-laki mungil berbalut darah berada dalam gendongan sang dokter. Dokter memberikan pada suster. Suster segera membersihkan bayi tersebut dan me
Selama pemotretan di Bali berlangsung, Jason terus-terusan meminta Ella untuk kembali bersamanya. Wanita itu sama sekali tidak berniat mengubah pendiriannya. Ella masih sama seperti sebelumnya, selalu terobsesi dengan Sena. Mau seribu pria tampan nan kaya sekalipun tak akan membuatnya luluh. Maunya Sena ya hanya Sena titik, bukan yang lainnya. "Please, La. Mau ya jadi pacar gue?" mohon Jason. "Jawaban gue tetap enggak, Jason. Ini udah ke 24 kalinya ya lo nembak gue. Udah cukup! Semuanya nggak akan ada pengaruhnya apa-apa buat gue.""Kurang gue apa sih, La? Kenapa lo selalu tolak gue?" tanya Jason frustasi. Mimik wajahnya sangat asam sekali. "Kurang waras!" ceplos Ella. "La, gue serius. Jangan bercanda!" maki Jason. "Apa sih, Jason? Lo cari cewek di luaran sana aja sono. Jangan ngintilin gue mulu. Senep lama-lama.""Ayolah, La. Balikan sama gue. Kalau lo sama gue, gue pastiin lo bahagia. Nggak perlu lah susah-susah kerja begini. Harta gue nggak bakalan habis sampai tujuh turunan.
Adinda menjenguk Andina sendirian karena Sena sedang ada kunjungan ke anak cabang di luar kota."Ponakan Tante lucu banget sih." Adinda menggendong Arion seraya mencium pipi bayi mungil tersebut dengan gemas. "Tante Dinda bikinin Rion adik juga dong," goda Andina. "Kalau bikin mah setiap malam ha ha ha," kelakar Adinda menanggapi godaan kembarannya. "Semoga cepat jadi ya Tante, biar Rion punya temen main.""Aamiin," sahut Arga dari depan pintu. "Kak Arga..." teriak Adinda dan Andina serempak. "Ih, ngagetin aja elo, Kak," imbuh Adinda. "Selamat atas kelahiran baby number one ya Dina, Wildan."Arga menaruh kado untuk baby Arion di atas meja depan sofa. Menyalami Wildan dan memeluk Andina. "Makasih, Kak," balas Andina dan Wildan. "Uh... Gemesnya. Ikut Pakde yuk!" ucap Arga seraya mengulurkan tangannya hendak menggendong Arion. Adinda mendekap tubuh mungil Arion. "Ih, nggak boleh. Dinda baru aja gendong Rion, Kak," tolak Adinda. "Pinjem bentaran doang ih. Kakak juga pengen gend
Seorang wanita di seberang sana menggerutu, memaki-maki orang yang berteleponan dengannya. "Goblok! Lo bener-bener tolol tau gak? Gitu aja nggak bisa diandelin.""Terserah lah. Gue udah nggak mau bantuin lo. Mau mati rasanya dihajar sama Sena.""Mati aja lo sekalian. Dasar nggak guna!" hardiknya kasar. Alvian membanting teleponnya di atas ranjang. "Argh sial. Dasar mantan brengsek! Dari dulu selalu manfaatin gue buat dapatin Sena. Kalau bukan karena duit, ogah gue kayak gini.""Sial... Sial..."Sementara itu sang wanita terlihat geram. Ini kesekian kalinya rencana yang dia buat untuk menyingkirkan Adinda gagal. "Kenapa Dinda selalu lolos sih? Heran banget gue."Wanita yang berusaha mencelakai Adinda tidak lain dan tidak bukan adalah Ella. Ella memutar otaknya, mencari akal. Tiba-tiba Ella teringat oleh salah satu temannya yang bekerja sebagai tukang pukul. "Hallo... Ini gue Ella.""Oh, elo. Kenapa, La?""Gue butuh bantuan lo buat jalanin rencana yang udah gue susun.""Wah... Bau-b
Malam kian larut. Rumah terasa senyap. Hanya suara jangkrik yang mengisi kesunyian malam. Adinda masih terjaga menunggu suaminya pulang. Semenjak menjabat manager, Sena selalu pulang larut malam. Biasalah, banyak urusan di kantor yang harus dia selesaikan.Adinda menutup mulutnya yang terus menguap. Merasa tidak dapat menahan kantuknya, Adinda berbaring di atas sofa. "Tidur sebentar kali ya sambil nungguin Sena pulang."Baru sebentar Adinda memejamkan mata, terdengar bunyi pintu diketuk. Adinda berjalan sempoyongan dengan mata setengah terpejam. Kelopak matanya sungguh terasa berat untuk dibuka. "Mmm..." Adinda tak tahu lagi apa yang terjadi. Tubuhnya terasa lemas. Pandangannya benar-benar berubah menjadi gelap, bukan karena mengantuk, tapi pingsan dalam pengaruh bius. Pria berbadan kekar membopong tubuh rapuh itu. Membawanya masuk ke dalam mobil. Sementara pria lainnya mengawasi keadaan sekitar. Ada juga yang menunggu di dalam mobil. Bersiap tancap gas secepat mungkin agar tidak
Setelah berbagai drama, akhirnya Sena dan teman-temannya diizinkan satpam masuk ke dalan rumah.Ting tong... Ting tong... Ting tongSena berulang kali membunyikan bel di rumah Ella dengan tidak sabaran. Dengan mata yang terasa berat, bibi tergopoh membukakan pintu. Bibi mengurut dadanya. Nampak terkejut dengan kedatangan Sena dan gerombolannya. "Astagfirullah... Den Sena kenapa ke sini tengah malam begini?" sunggut bibi kesal. Pandangan Sena menyelisik isi rumah Ella. "Ella mana?" tanya Sena dingin. "Loh, Den Sena emangnya nggak tahu, Non Ella kan sekarang di Bali.""Jangan bohong, Bi!" sentak Sena. Mendengar gertakan Sena, bibi beringsut mundur. "Beneran Den, Bibi mana pernah bohongin Den Sena.""Ella... Keluar kamu!" teriak Sena sembari hendak masuk ke dalam rumah, tapi dengan cepat dicegah oleh bibi. "Jangan teriak-teriak, Den. Nggak enak didengar tetangga. Non Ella emang nggak ada di rumah.""Bohong!" "Beneran, Den. Percaya sama Bibi ya. Sekarang Den Sena pulang. Oke?""Ella
Mendengar suara gaduh, Ella tergopoh menghampiri. Dilihatnya Sena yang sedang dihajar orang bayarannya."Hentikan!" teriak Ella. "Bos?""Mundur semuanya!" perintah Ella. "Sen, lo gapapa?" tanya Ella penuh perhatian.Sena menggeleng lemah. Memegang perutnya yang terasa nyeri akibat kena pukulan. "Ayo, bangun!"Meraih lengan Sena, Ella hendak membantu mantan kekasihnya itu berdiri. Sena menepisnya. Sena bisa berdiri sendiri tanpa bantuan dari Ella. Bukannya songong karena tidak mau dibantu, tapi mengingat Ella kerap kali mencelakai Adinda membuat Sena geram padanya."Lepasin, La. Gue bisa berdiri sendiri.""Tapi, Sen. Perut lo tadi kena pukulan.""Gapapa. Gue udah biasa dipukul kok," balas Sena ketus. Memandang tajam ketujuh orang bayarannya, Ella mengamuk seketika. "Dasar bodoh. Kenapa kalian menghajar Sena, hah?" maki Ella. Menundukkan kepala, para orang bayaran itu tidak berani berkutik. "Ma-maaf, Bos. Kami gak tahu.""Dasar tolol! Gue kan udah bilang jangan sakiti Sena."Sena m
Menyakiti diri sendiri sebagai bentuk pelampiasan emosi. Beberapa helai rambut rontok akibat kuatnya tarikan dari sang pemilik tubuh itu sendiri. Menjerit histeris layaknya orang kesurupan. Masih tidak bisa menerima bahwa dirinya bersalah dan harus merasakan buah dari akibat perbuatannya. "Arghhh..." teriaknya. "Diam! Berisik!" sentak wanita bertato. "Sumpal saja mulutnya dengan kaos kaki," ujar wanita kurus di sebelahnya mengompori. Wanita bertato mendekat, memandang tajam tahanan baru. Menelisik wajah cantik yang dipenuhi air mata. Merasa ngeri karena ditatap sedari tadi, Ella memalingkan wajahnya. Menghindari adu tatap lebih baik ketimbang cari perkara. "Heh, ada kasus apa sampai kau bisa masuk ke sini?" tanya wanita berambut keriting. Mengatupkan kedua bibir rapat-rapat, Ella enggan membuka suara. Membuat wanita bertato geram karena temannya diacuhkan. "Heh, jawab!" sentak wanita bertato."Penculikan.""Menculik siapa?" kepo wanita berambut keriting. "Istri mantan pacarku