Ketika berduka, jangan terlalu larut dalam kesedihan. Pun sebaliknya, ketika berbahagia, jangan terlalu senang dan mengumbar kesenanganmu. Hidup terus berputar, roda tak selamanya di atas maupun di bawah. Semangat dan jangan terombang-ambingkan oleh arus. ***Ella merasa puas atas keberhasilan rencananya. Usaha Andina bisa dia hancurkan dalam sekejap mata. Bahkan dengan tangannya sendiri. Ella akan menyingkirkan Andina dan bayi yang dikandungnya. Berbagai rencana telah dia susun dengan rapi. Ella mau menjadi satu-satunya istri Wildan, demi sang buah hati. Ella mengusap perutnya yang semakin membuncit. Usia kandungannya saat ini menginjak empat bulan. "Kamu sabar ya, Sayang. Mama sedang berusaha agar kamu bisa mendapatkan kasih sayang sepenuhnya dari Papamu. Hanya kamu yang mendapatkan kasih sayangnya, Nak. Bukan anak dari wanita sialan itu."Ella tahu tindakannya ini gila. Namun apa boleh buat, semua demi kebahagiaan si calon buah hati. Ella sudah memastikan kalau malam ini Andin
Arga dan Clara kembali lagi ke perpustakaan untuk mengambil motor. Rencananya setelah dari perpustakaan, Arga mau mampir ke toko kue dulu. Membelikan buah tangan untuk orangtua Clara. "Dik, nanti mampir ke toko kue sebentar ya.""Oke, Kak. Kakak ikutin Clara dari belakang ya," ucap gadis itu penuh semangat. "Siap, Adik kecil."Clara sudah berkendara di depan mobil Arga. Gadis itu naik motor begitu cepat. Mirip sekali dengan adiknya-Adinda yang suka kebut-kebutan di jalanan. Kalau saja Arga naik motor, mungkin dia bisa menyeimbangi kecepatan berkendara Clara. Berbeda dengan naik mobil, sedikit sulit untuk menyalip beberapa kendaraan. Apalagi di saat liburan seperti ini, lumayan macet. Arga benar-benar ketinggalan jejak gadis itu. Dia menepikan mobilnya di depan toko kue. Arga mengambil ponselnya dan menelepon Clara. Oh iya, Arga dapat nomor ponselnya dari Adinda. Bukan minta sendiri pada Clara. "Hallo. Ini siapa ya? Gue lagi motoran di jalan nih. Kalau telepon entar aja ya," teria
Matanya sulit terpejam, di atas brankar rumah sakit Ella masih meratapi kesedihannya. Padahal jam sudah menunjukkan pukul 1 dini hari. Wildan saja sudah tidur di atas sofa.'Coba aja waktu itu gue nggak lakuin rencana ini sendirian, pasti bayi gue masih hidup sampai sekarang. Ah, bodoh banget sih gue. Kenapa waktu itu nggak kepikiran menyuruh orang bayaran saja sih. Pasti semuanya bakal berjalan sesuai rencana,' gerutu Ella di dalam hatinya. Seharusnya Ella sadar kalau yang tengah menimpanya saat ini adalah buah dari perbuatannya sendiri. Niat jahatnya untuk mencelakai Andina dan bayinya malah berimbas pada Ella sendiri. Tapi Ella tidak bernah berpikir sampai sana. Dia tidak merasa bahwa bayinya tiada karena karmanya sendiri. Bagi Ella, semua masalah yang ada di dalam hidupnya berakar dari Andina. Semua ini salah Andina. 'Gue udah kehilangan bayi ini, Dina dan bayinya juga harus kehilangan sesuatu. Wildan. Iya, kalian harus kehilangan Wildan.' Rencana baru sudah dia susun dalam ot
Sudah satu bulan ini Wildan tidak pulang ke rumah Andina. Setiap kali dihubungi juga tidak bisa. Tampaknya Wildan sengaja mengganti nomor ponselnya. Andina sendiri juga tidak ke rumah Ella, sekedar mengajak suaminya pulang. Selepas kejadian di rumah sakit itu rasa kecewa masih menggerogoti hatinya. Usia kehamilan Andina sudah jalan delapan bulan. Tinggal menunggu satu bulan lagi dia akan melahirkan. Andina sudah berada di rumah orangtuanya selama sepekan. Selama itu pula Risma dan Salman sering menanyakan Wildan. "Sudah satu minggu lho kamu di sini, Dina. Wildan kok belum juga nyamperin. Apa masih jatahnya di rumah istri muda?" tanya Risma. "Lagi sibuk kali, Ma," jawaban klasik terlontar dari mulut Andina. Dia sendiri juga bingung harus berkata apa. Tidak mungkin bercerita tentang masalah di rumah tangganya yang sedang memanas. Risma menatap Andina penuh selidik. Dia sangat paham betul watak anaknya. Andina tidak jago berbohong. "Ada apa sebenarnya, Nak?" tanya Risma. "Ndak ad
Keesokan harinya Salman dan Bagaskara menemui Wildan di apartemennya."Papa, Papa Salman?" Wildan terkejut melihat kedatangan dua paruh baya ke apartemennya sepagi ini. Wildan bahkan belum sempat mandi ataupun membuat sarapan. Dia tengah bersantai sembari bermain game. Berbeda halnya dengan dua pria paruh baya ini yang sudah rapi dengan setelan pakaian kantor. "Ada apa, Pa, sepagi ini sudah kemari?" tanya Wildan diliputi rasa penasaran. "Persilahkan kami masuk dulu baru kamu tanya-tanyai, Wil," ujar Bagaskara. "Ah, iya. Silahkan masuk, Pa. Maaf berantakan.""Kamu ini, sudah seperti bujangan saja tinggal sendirian di apartemen," sindir Salman. Wildan tak mampu berucap. Dia meneguk ludahnya sendiri karena merasa disindir oleh sang mertua. Salman membuka laptopnya. Dia memperlihatkan bukti rekaman CCTV pada Wildan. "Coba kamu lihat ini, Wil!"Salman memutar video tersebut. Dalam rekaman CCTV terlihat jelas bahwa Ella masuk ke rumah Andina. Bahkan Ella masuk ke dalam kamar Andina.
Andina sedang duduk di pinggir kolam ikan koi. Tangannya sibuk memberi makan ikan-ikan tersebut, sementara pikirannya menerawang beberapa peristiwa tempo lalu. Wildan yang memaki-maki dirinya begitu membayang di pelupuk mata. Bagaimana dia akan menerima Wildan kembali, jika hatinya saja masih belum sanggup untuk melupakan. Salman melihat putri kembarnya melamun. Dia mendekati Andina. Salman akan memberikan pengetian pada putrinya agar tidak membiarkan masalahnya dengan Wildan berlarut-larut."Sudah waktunya kamu menerima maaf dari Wildan, Nak. Jangan biarkan masalah ini berlarut-larut. Bukankah suamimu sudah meminta maaf?""Tapi, Pa. Dina ngerasa masih ada yang menganjal.""Utarakan apa yang masih mengganjal di hatimu supaya Wildan mengerti maumu.""Pa, Dina mau cerai aja sama Wildan.""Hus... Jangan ngawur kamu. Maafkan Wildan, Dina. Lagipula dia sekarang sudah bercerai dengan Ella. Kalian bisa menjalani biduk rumah tangga secara harmonis setelah ini. Anggap saja masalah yang kemar
Perdebatan Andina dan Wildan tak ada habisnya. Mereka berdua sama-sama mempertahankan keinginannya. Wildan yang bersikukuh mempertahankan hubungan mereka, sedangkan Andina bersikukuh mengakhiri semuanya. Sampai larut malam pun mereka berdua tidak menemukan jalan tengah untuk masalah ini. Andina merebahkan tubuhnya ke atas ranjang. Letih sekali rasanya. Masalah ini sungguh menguras emosi Andina. Wildan ikut merebahkan tubuhnya di samping Andina. Andina menatapnya dengan sinis, kemudian menendang tubuh Wildan hingga jatuh dari ranjang. "Aduh... Kamu kok tega tendang aku sih, Sayang? Sakit tau," protes Wildan. "Jangan harap kamu bisa tidur di sini. Sana tidur di sofa!"Dengan langkah yang tak ikhlas dan misuh-misuh, Wildan terpaksa merebahkan tubuhnya di atas sofa. Mau bagaimana lagi, terima nasib saja lah. Sudah syukur Andina masih memperbolehkan Wildan tidur satu kamar dengannya. Pukul satu dini hari Andina merasakan mulas pada perutnya. Sudah berulang kali dia bolak balik ke kam
Andina dibawa ke ruang bersalin. Wanita itu terus mengaduh kesakitan. Wildan salah satu korban pelampiasan rasa sakitnya. Sudah tak terkira berapa banyak bekas cakaran di tangan pria itu. "Cepat keluarkan bayi ini, Dok! Sakit..." teriak Andina. "Tarik napas ya, Bu. Hembuskan!" perintah sang dokter. "Sekarang mengejan, Bu!" lanjutnya memberi intruksi pada calon ibu tersebut. "Aaa...""Ayo lagi, Bu!" "Aaa... Sakit..."Tak terasa air mata Wildan luruh. Wildan merasakan bagaimana rasa sakit yang dialami sang istri ketika berjuang demi sang buah hati. Hatinya bagai tersayat belati melihat proses sang istri melahirkan. Sungguh perjuangan. Tak tega rasanya. Apalagi bila teringat kesalahan yang dia perbuat satu bulan belakang ini. Makin bersalah rasanya."Kepala sudah kelihatan ya, Bu.""Ayo mengejan sekali lagi!""Aaa...""Oek... Oek..."Bayi laki-laki mungil berbalut darah berada dalam gendongan sang dokter. Dokter memberikan pada suster. Suster segera membersihkan bayi tersebut dan me