#Bab ini khusus cerita Aldo dan Clara ya. Selamat membaca teman-teman... Di balik sikapnya yang menyebalkan dan selalu membuat orang lain darah tinggi, ternyata Aldo sosok lelaki yang berhati baik. Tiga hari berturut-turut Clara menjumpai Aldo sedang menolong orang di jalan. Hari pertama, Clara melihat Aldo sedang membantu seorang ibu membawakan barang belanjaannya. Hari kedua, Clara melihat Aldo membantu seorang nenek menyebrang jalan. Hari ketiga, Clara melihat Aldo menyetep motor orang yang mogok di jalan. Kepedulian Aldo terhadap sesama membuat hati Clara tersentuh. Dia sama sekali tidak menyangka kalau bocah tengil seperti Aldo malah peduli terhadap orang lain.Clara segera berbalik arah, memilih putar balik agar Aldo tidak melihatnya. Namun siapa sangka, Aldo ternyata malah sedang mengejarnya.Brmm... "Ra..." Aldo mulai memelankan laju motornya."Mau ke mana?" tanya Aldo. "Cari makan.""Gue traktir yuk. Buruan naik."Clara hendak melayangkan protes. Dia berencana menolak aj
Hari ini acara tujuh bulanan Andina. Orangtua Wildan datang untuk menyambut acara tasyakuran calon cucu mereka. Andina juga mengundang teman-teman kuliahnya, meskipun hanya sedikit yang dia undang. Maklum saja, Andina tidak terlalu dekat dengan orang lain. Berbeda dengan Adinda. Teman-teman Adinda, Wildan, dan Sena juga ikut datang meramaikan. Ya, mereka semua juga diundang oleh Andina. Tentunya mereka datang. Selain membantu mensukseskan acara ini, tujuan utama anak-anak kos itu tidak lain dan tidak bukan adalah makan gratis. Kaum hawa pun bahu membahu mengurusi masalah konsumsi. Sementara kaum adam ada di depan ikut pengajian. "Din, ini kue-kuenya taruh di depan sekarang apa nanti?" tanya Sasa. Adinda menengok ke depan. "Sekarang, Sa. Pengajiannya udah selesai. Ra, elo bantuin Sasa bawa kue-kue ini ya. Rin, elo bantuin gue bawa minumannya.""Siap, Din.""Soto ayamnya dibawa ke depan juga, Din?" tanya Nana-teman kuliah Andina. "Entar aja, Na, kalau udah selesai ngemilnya. Lo ba
Udara kota Bandung yang dingin membuat Clara mager. Pengennya cuma rebahan sama rebahan aja. Namun skripsinya terus menuntut minta dikerjakan. Dengan amat sangat terpaksa, Clara membawa motor maticnya ke perpusda.Clara memilih buku yang kira-kira sesuai untuk bahan skripsinya. "Nah, ini yang gue cari."Clara mengambil buku dari rak, tapi dari arah berlawanan ada yang menarik buku tersebut. Clara terpaksa melepaskan sisi buku, hingga buku tersebut diambil oleh pria yang tadi menariknya.Meskipun buku tersebut dilepaskan oleh Clara, tapi dia tetap berusaha merebutnya kembali."Jangan gitu dong A, buku ini udah gue ambil duluan." Si pria tidak menyahut, apalagi memberikan buku itu pada Clara. Dia justru pergi begitu saja. "Dik..." panggil seorang pria sembari menepuk pundak Clara. Clara seperti tak asing dengan suaranya. Clara menoleh, dia masih menerka-nerka sosok pria yang tengah berdiri di depannya saat ini. Si pria melepaskan maskernya dan tersenyum manis. "Ini saya, Arga. Masa
Ketika berduka, jangan terlalu larut dalam kesedihan. Pun sebaliknya, ketika berbahagia, jangan terlalu senang dan mengumbar kesenanganmu. Hidup terus berputar, roda tak selamanya di atas maupun di bawah. Semangat dan jangan terombang-ambingkan oleh arus. ***Ella merasa puas atas keberhasilan rencananya. Usaha Andina bisa dia hancurkan dalam sekejap mata. Bahkan dengan tangannya sendiri. Ella akan menyingkirkan Andina dan bayi yang dikandungnya. Berbagai rencana telah dia susun dengan rapi. Ella mau menjadi satu-satunya istri Wildan, demi sang buah hati. Ella mengusap perutnya yang semakin membuncit. Usia kandungannya saat ini menginjak empat bulan. "Kamu sabar ya, Sayang. Mama sedang berusaha agar kamu bisa mendapatkan kasih sayang sepenuhnya dari Papamu. Hanya kamu yang mendapatkan kasih sayangnya, Nak. Bukan anak dari wanita sialan itu."Ella tahu tindakannya ini gila. Namun apa boleh buat, semua demi kebahagiaan si calon buah hati. Ella sudah memastikan kalau malam ini Andin
Arga dan Clara kembali lagi ke perpustakaan untuk mengambil motor. Rencananya setelah dari perpustakaan, Arga mau mampir ke toko kue dulu. Membelikan buah tangan untuk orangtua Clara. "Dik, nanti mampir ke toko kue sebentar ya.""Oke, Kak. Kakak ikutin Clara dari belakang ya," ucap gadis itu penuh semangat. "Siap, Adik kecil."Clara sudah berkendara di depan mobil Arga. Gadis itu naik motor begitu cepat. Mirip sekali dengan adiknya-Adinda yang suka kebut-kebutan di jalanan. Kalau saja Arga naik motor, mungkin dia bisa menyeimbangi kecepatan berkendara Clara. Berbeda dengan naik mobil, sedikit sulit untuk menyalip beberapa kendaraan. Apalagi di saat liburan seperti ini, lumayan macet. Arga benar-benar ketinggalan jejak gadis itu. Dia menepikan mobilnya di depan toko kue. Arga mengambil ponselnya dan menelepon Clara. Oh iya, Arga dapat nomor ponselnya dari Adinda. Bukan minta sendiri pada Clara. "Hallo. Ini siapa ya? Gue lagi motoran di jalan nih. Kalau telepon entar aja ya," teria
Matanya sulit terpejam, di atas brankar rumah sakit Ella masih meratapi kesedihannya. Padahal jam sudah menunjukkan pukul 1 dini hari. Wildan saja sudah tidur di atas sofa.'Coba aja waktu itu gue nggak lakuin rencana ini sendirian, pasti bayi gue masih hidup sampai sekarang. Ah, bodoh banget sih gue. Kenapa waktu itu nggak kepikiran menyuruh orang bayaran saja sih. Pasti semuanya bakal berjalan sesuai rencana,' gerutu Ella di dalam hatinya. Seharusnya Ella sadar kalau yang tengah menimpanya saat ini adalah buah dari perbuatannya sendiri. Niat jahatnya untuk mencelakai Andina dan bayinya malah berimbas pada Ella sendiri. Tapi Ella tidak bernah berpikir sampai sana. Dia tidak merasa bahwa bayinya tiada karena karmanya sendiri. Bagi Ella, semua masalah yang ada di dalam hidupnya berakar dari Andina. Semua ini salah Andina. 'Gue udah kehilangan bayi ini, Dina dan bayinya juga harus kehilangan sesuatu. Wildan. Iya, kalian harus kehilangan Wildan.' Rencana baru sudah dia susun dalam ot
Sudah satu bulan ini Wildan tidak pulang ke rumah Andina. Setiap kali dihubungi juga tidak bisa. Tampaknya Wildan sengaja mengganti nomor ponselnya. Andina sendiri juga tidak ke rumah Ella, sekedar mengajak suaminya pulang. Selepas kejadian di rumah sakit itu rasa kecewa masih menggerogoti hatinya. Usia kehamilan Andina sudah jalan delapan bulan. Tinggal menunggu satu bulan lagi dia akan melahirkan. Andina sudah berada di rumah orangtuanya selama sepekan. Selama itu pula Risma dan Salman sering menanyakan Wildan. "Sudah satu minggu lho kamu di sini, Dina. Wildan kok belum juga nyamperin. Apa masih jatahnya di rumah istri muda?" tanya Risma. "Lagi sibuk kali, Ma," jawaban klasik terlontar dari mulut Andina. Dia sendiri juga bingung harus berkata apa. Tidak mungkin bercerita tentang masalah di rumah tangganya yang sedang memanas. Risma menatap Andina penuh selidik. Dia sangat paham betul watak anaknya. Andina tidak jago berbohong. "Ada apa sebenarnya, Nak?" tanya Risma. "Ndak ad
Keesokan harinya Salman dan Bagaskara menemui Wildan di apartemennya."Papa, Papa Salman?" Wildan terkejut melihat kedatangan dua paruh baya ke apartemennya sepagi ini. Wildan bahkan belum sempat mandi ataupun membuat sarapan. Dia tengah bersantai sembari bermain game. Berbeda halnya dengan dua pria paruh baya ini yang sudah rapi dengan setelan pakaian kantor. "Ada apa, Pa, sepagi ini sudah kemari?" tanya Wildan diliputi rasa penasaran. "Persilahkan kami masuk dulu baru kamu tanya-tanyai, Wil," ujar Bagaskara. "Ah, iya. Silahkan masuk, Pa. Maaf berantakan.""Kamu ini, sudah seperti bujangan saja tinggal sendirian di apartemen," sindir Salman. Wildan tak mampu berucap. Dia meneguk ludahnya sendiri karena merasa disindir oleh sang mertua. Salman membuka laptopnya. Dia memperlihatkan bukti rekaman CCTV pada Wildan. "Coba kamu lihat ini, Wil!"Salman memutar video tersebut. Dalam rekaman CCTV terlihat jelas bahwa Ella masuk ke rumah Andina. Bahkan Ella masuk ke dalam kamar Andina.