Malam ini Andina tidur di rumah Adinda. Sena sebenarnya tak setuju kalau kakak iparnya itu tinggal di rumah mereka. Bukan apa-apa, namanya rumah tangga lebih baik hanya ada suami dan istri di dalamnya. Lagipula rumah mereka itu kan berdampingan dengan rumah Andina, mereka juga masih bisa mengawasinya tanpa harus tinggal serumah.Tapi Adinda meyakinkan Sena kalau Andina hanya menginap sementara saja. Mau tidak mau, Sena pun membolehkan Andina menginap di rumah mereka. Adinda membawa dua porsi nasi goreng ke meja makan. "Makan yuk, Kak!" ajak Adinda. "Ah, iya." Andina ikut bergabung dengan Adinda di meja makan. Adinda melirik Andina. Kakaknya itu sedari tadi hanya mengaduk-aduk nasinya saja, tanpa menyuap satu sendok pun. "Kak..." Adinda menepuk punggung tangan Andina, membuatnya tersentak. "Hah?""Dimakan, jangan melamun terus!""Iya, ini aku makan." Andina mulai menyuap nasi goreng buatan Adinda. Rasanya sangat enak. Bahkan lebih enak daripada masakannya sendiri, tapi entahlah.
Sena mengusap wajahnya kasar. "Astagfirullah. Aku telah zalim, Ya Allah. Bagaimana bisa aku sempat melarang Dina menginap di rumah kami. Coba saja kalau malam ini dia berada di rumahnya sendirian. Bagaimana nasibnya saat ini."Disatu sisi Sena merasa bersyukur, saat kebakaran berlangsung Andina berada di rumahnya dan aman. Sena mengeluarkan ponsel dari kantong celananya. Dia menghubungi Wildan. Sebagai suami, Wildan harus tahu keadaan istrinya. Panggilan terhubung, tapi tidak dijawab. Sena semakin gusar. "Angkat, Wil. Rumahmu kebakaran dan istrimu sedang bersedih. Apa kamu tidak bisa merasakan betapa nelangsanya Dina saat ini?"Sekali lagi Sena mencoba menghubungi Wildan. "Ah, sial! Lagi sibuk ngapain sih kamu, Wil?"Sena menjambak rambutnya sendiri, merasa kesal dengan Wildan karena sedari tadi tidak bisa dihubungi. Pak RT menepuk pundak Sena. "Mas Sena, jendela dan pintunya sudah kami tutup semua. Asapnya juga sudah keluar semua. Dibersihkan besok pagi saja.""Baik, Pak RT. Sekal
Bau harum mengepul, memenuhi seluruh sudut ruangan. Capcay sayur menjadi menu andalan Adinda hari ini. Dia juga menggoreng ikan nila. Makanan favorit sang mama. Rencananya mau dibawa ke rumah orangtuanya nanti. Mereka berempat sarapan bersama. Sedari mulai sarapan Andina tampak begitu ceria. Dia juga makan dengan lahap. Efek ditemani sang suami tercinta. Melihat Andina makan dengan lahap, Adinda tampak begitu senang. Dia menambahkan ikan goreng ke dalam piring Andina. "Tambah ikannya, Kak. Kamu harus makan banyak biar adik bayinya sehat."Andina protes, hendak mengembalikan ikan tersebut ke dalam piring semula. "Kan aku udah ambil ikannya, Din. Nanti malah nggak jadi bawain ikan buat Mama."Adinda menepisnya. "Buat Mama udah aku sisihkan sendiri, Kak. Tenang aja, aku masak banyak kok."Andina tak lagi protes, dia kembali makan dengan tenang. Setelah semua menyelesaikan makannya, Adinda membuka suara. "Wil, hari ini aku mau ajak Kak Dina ke rumah Mama-Papa, boleh kan?"Wildan mengan
Orang-orang berhamburan keluar rumah menyelamatkan jemuran mereka. Gerimis baru saja turun membasahi tanah yang kering. Clara menengadahkan kedua tangannya. Tetesan air hujan menyentuh permukaan kulitnya. "Yah, mana hujan lagi."Clara kembali memasukkan motor Adinda. Dia berjalan keluar kos dengan membawa payung di tangan kanannya. Kalau saja perutnya saat ini tidak kelaparan, mana mau Clara keluar saat hujan. "Bu, nasi rames dibungkus satu," ucapnya pada sang penjual. "Lauknya apa, Neng?" tanya si ibu. "Ayam goreng aja, Bu.""Ditunggu ya, Neng. Duduk dulu."Clara duduk di bangku panjang depan etalase makanan. Dari arah berlawanan sepasang mata terus memperhatikannya."Yang beli cakep bener ya, Mak," ucapnya pada si ibu. "Jangan genit kamu, Fai. Ini nasinya taruh di etalase!" Perintah si ibu sembari menyerahkan bakul nasi."Maaf agak lama, Neng. Nasinya baru ngambil dari dapur.""Oh, nggak apa-apa, Bu."Rifai meletakkan bakul nasi di etalase sembari terus memandangi wajah cantik
Selepas membersihkan tubuhnya di kamar mandi, Clara iseng mengintip melalui jendela kamarnya. Kebetulan jendela kamar Clara menghadap ke arah depan, jadi sangat memudahkannya untuk melihat orang-orang yang ada di depan kos. "Astaga. Ternyata manusia itu masih di sini." Clara cepat-cepat menutup gordennya sebelum Aldo tahu kalau sedang diintip. Clara masih tak menyangka kalau Aldo masih bergeming di depan kosnya. Hmm... dasar manusia batu. Udah di usir juga, masih belum pergi. Clara membuka pintu kamarnya. Kebetulan ada Vina-teman kosnya yang baru saja pulang. "Vin..." panggil Clara lirih. "Lo panggil gue?" tunjuk Vina pada dirinya sendiri. "Kenapa suara lo pelan banget sih, Ra?" Vina sedikit terkejut. Pasalnya Clara ini biasanya kalau ngomong keras, suka bikin telinga sakit. "Tenggorokan gue lagi keganjel sama batu, jadi nggak bisa ngomong keras-keras," oceh Clara asal. "Radang tenggorokan?" tebak Vina. "Hmm," gumam Clara. "Gue mau minta tolong, boleh?""Beliin obat batuk apa
#Bab ini khusus cerita Aldo dan Clara ya. Selamat membaca teman-teman... Di balik sikapnya yang menyebalkan dan selalu membuat orang lain darah tinggi, ternyata Aldo sosok lelaki yang berhati baik. Tiga hari berturut-turut Clara menjumpai Aldo sedang menolong orang di jalan. Hari pertama, Clara melihat Aldo sedang membantu seorang ibu membawakan barang belanjaannya. Hari kedua, Clara melihat Aldo membantu seorang nenek menyebrang jalan. Hari ketiga, Clara melihat Aldo menyetep motor orang yang mogok di jalan. Kepedulian Aldo terhadap sesama membuat hati Clara tersentuh. Dia sama sekali tidak menyangka kalau bocah tengil seperti Aldo malah peduli terhadap orang lain.Clara segera berbalik arah, memilih putar balik agar Aldo tidak melihatnya. Namun siapa sangka, Aldo ternyata malah sedang mengejarnya.Brmm... "Ra..." Aldo mulai memelankan laju motornya."Mau ke mana?" tanya Aldo. "Cari makan.""Gue traktir yuk. Buruan naik."Clara hendak melayangkan protes. Dia berencana menolak aj
Hari ini acara tujuh bulanan Andina. Orangtua Wildan datang untuk menyambut acara tasyakuran calon cucu mereka. Andina juga mengundang teman-teman kuliahnya, meskipun hanya sedikit yang dia undang. Maklum saja, Andina tidak terlalu dekat dengan orang lain. Berbeda dengan Adinda. Teman-teman Adinda, Wildan, dan Sena juga ikut datang meramaikan. Ya, mereka semua juga diundang oleh Andina. Tentunya mereka datang. Selain membantu mensukseskan acara ini, tujuan utama anak-anak kos itu tidak lain dan tidak bukan adalah makan gratis. Kaum hawa pun bahu membahu mengurusi masalah konsumsi. Sementara kaum adam ada di depan ikut pengajian. "Din, ini kue-kuenya taruh di depan sekarang apa nanti?" tanya Sasa. Adinda menengok ke depan. "Sekarang, Sa. Pengajiannya udah selesai. Ra, elo bantuin Sasa bawa kue-kue ini ya. Rin, elo bantuin gue bawa minumannya.""Siap, Din.""Soto ayamnya dibawa ke depan juga, Din?" tanya Nana-teman kuliah Andina. "Entar aja, Na, kalau udah selesai ngemilnya. Lo ba
Udara kota Bandung yang dingin membuat Clara mager. Pengennya cuma rebahan sama rebahan aja. Namun skripsinya terus menuntut minta dikerjakan. Dengan amat sangat terpaksa, Clara membawa motor maticnya ke perpusda.Clara memilih buku yang kira-kira sesuai untuk bahan skripsinya. "Nah, ini yang gue cari."Clara mengambil buku dari rak, tapi dari arah berlawanan ada yang menarik buku tersebut. Clara terpaksa melepaskan sisi buku, hingga buku tersebut diambil oleh pria yang tadi menariknya.Meskipun buku tersebut dilepaskan oleh Clara, tapi dia tetap berusaha merebutnya kembali."Jangan gitu dong A, buku ini udah gue ambil duluan." Si pria tidak menyahut, apalagi memberikan buku itu pada Clara. Dia justru pergi begitu saja. "Dik..." panggil seorang pria sembari menepuk pundak Clara. Clara seperti tak asing dengan suaranya. Clara menoleh, dia masih menerka-nerka sosok pria yang tengah berdiri di depannya saat ini. Si pria melepaskan maskernya dan tersenyum manis. "Ini saya, Arga. Masa
Suasana penuh kebahagiaan menyertai kediaman keluarga Wijaya. Hari ini ketiga keluarga besar itu berkumpul menjadi satu untuk merayakan kehamilan Adinda.Sena mulai kesal karena dari tadi tidak diperbolehkan berdampingan dengan Adinda. Sedari tadi Opa Gunandar tidak mau jauh dari Adinda. Istri Sena itu hari ini dikuasai oleh Opa Gunandar. Opa Gunandar hanya terlampau bahagia karena sebentar lagi akan mempunyai cicit yang sudah lama didambakannya. "Perutnya Dinda jangan diusap terus dong, Opa. Lama-lama bisa mengikis entar," protes Sena. "Brisik! Ganggu orang lagi bahagia aja," kesal Opa Gunandar. "Ma, geseran dong! Sena pengen duduk sebelah Dinda," ucapnya pada Indah. "Nggak mau. Mama kan juga pengen dekat sama Dinda," tolak Indah. Sena mencebikkan bibirnya. Mama dan Opa-nya sama saja, paling hobi membuat Sena jengkel. Adinda terkekeh. "Sayang, ih... begitu aja masa ngambek," ledek Adinda. "Emang lebay banget tuh suami kamu. Tiap hari juga udah ngekepin, masih aja kurang," cibi
Satu minggu ini kelakuan Adinda membuat Sena pusing tujuh keliling. Setiap hari ada saja hal yang menguji kesabaran Sena. Seperti saat ini, di tengah malam seperti ini Adinda ingin pergi melihat air terjun.Adinda menarik-narik baju Sena. Merengek seperti bocah balita. Keinginannya harus segera terpenuhi. Bila tidak, Adinda tidak akan merasa lega. "Ayo, berangkat sekarang, Yang!""Enggak!" tegas Sena. Sudah berulang kali Adinda merengek, berulang kali pula Sena menolak permintaan Adinda. Semua dirasa tidak masuk akal bagi Sena. Mana ada tempat wisata yang sudah buka di jam pocong seperti saat ini. Adinda berbalik, meringkuk dan memunggungi Sena. Wajahnya sangat masam. Di dalam batinnya itu, Adinda sangat kesal dan terus menggerutu. "Hih, dasar nyebelin. Pengen lihat air terjun aja nggak diturutin."Meraih ponsel di atas nakas, Adinda membuka aplikasi berwarna merah. Menonton video air terjun. Netranya tampak berbinar-binar saat melihat video tersebut. Suara gemericik air membuat h
Melihat wajah-wajah ketakutan, Pak Ihsan menahan tawanya agar tidak meledak. 'Mungkin mereka pikir aku ini dukun yang bisa baca pikiran orang kali ya. Apa tampangku begitu? ha ha ha.'"Nah, ini rumahnya Pak Dullah," ujar Pak Ihsan. Sejenak, Sena menghembuskan napas penuh kelegaan. Pak Ihsan benar-benar membawanya ke rumah Pak Dullah. 'Astagfirullah. Maafkan aku, Ya Allah, sudah suudzon.'"Malah bengong, ayo diketuk pintunya!" ucap Pak Ihsan. Belum sempat Sena mengetuk pintu, pintu sudah dibuka lebih dulu. Menampakkan sang pemilik rumah yang sedang mengulum senyum. "Assalamualaikum..." sapa Pak Dullah. "Waalaikumussalam...""Mau cari buah strawberry yang warnanya hijau kan?" tebak Pak Dullah.Lagi dan lagi, Sena dan Arfan saling melempar pandang. Misteri tentang Pak Ihsan yang bisa membaca pikiran mereka saja belum terpecahkan, ini sudah bertambah Pak Dullah. Semakin membuat Sena dan Arfan pusing saja. "Dari mana Bapak tahu?" tanya Sena heran. Pak Dullah tidak menjawab, justru
"Sayang..." panggil Sena. "Kamu kenapa sih?" tanya Sena kesal karena sedari tadi diacuhkan. Takut mulut Sena beraroma bawang goreng, Adinda mendorong dada Sena. Enggan berdekatan dengan suaminya itu. Menutup hidung rapat-rapat. Biarlah menghindar dan menahan napas ketimbang muntah lagi."Kamu kenapa sih, Yang? Aku bau?""Awas ih, minggir!" teriak Adinda kesal. Menghembuskan napas ke udara, Sena mencium aroma dari dalam mulutnya sendiri. Sena rasa aroma napasnya masih segar. Tidak bau makanan atau apa, karena dia belum sempat makan tadi. Kembali duduk, Adinda sudah menjauhkan toples berisi bawang goreng itu dari jangkauannya. "Loh, bawang gorengnya ke mana, Yang?" tanya Sena. "Nggak ada, udah aku simpen.""Di mana?""Udah buruan duduk! Mau makan nggak?""Ya makan lah. Bentar, aku mau cari bawang goreng dulu.""Nggak ada. Awas ya kalau kamu berani makan bawang goreng, bakalan aku usir kamu dari rumah," ancam Adinda. "Yaelah, Yang. Bagi dikit doang. Jangan mentang-mentang kamu suk
Dua minggu berlalu. Adinda, Sena, dan Arfan duduk di depan ruang sidang. Harap-harap cemas tampak di raut wajah Adinda dan Arfan ketika menunggu giliran selanjutnya. Berbeda dengan keduanya, Sena tampak santai dan biasa-biasa saja. "Sayang, kenapa donat tengahnya bolong?""Kalau yang utuh namanya bolu.""Salah. Yang utuh itu cinta aku ke kamu wkwk."Satu pukulan mendarat di lengan Sena. "Ih, dasar jokes Bapak-bapak.""He he... Biar sedikit mencair suasananya loh, Sayang. Habisnya kamu dari tadi tegang mulu sih.""Ya gimana nggak tegang. Mau sidang juga. Emangnya kamu, daritadi santai begitu.""Ya buat apa pusing-pusing sih. Kalau ditanya ya tinggal di jawab. Begitu aja repot.""Heh, enak banget ya itu bibir kalau ngoceh.""Kalian ini... Udah mau sidang masih aja ribut," ucap Arfan kesal. "Ya gimana, Fan. Abisnya si Sena ngeselin.""Halah. Ngeselin begitu juga lo bucin," cibir Arfan. "He he he... Jelas kalau itu mah," ucap Adinda cengangas-cengenges. "Arfan Ardyatama..." panggil pe
Ditemani Sena dan pengacaranya, Adinda memasuki ruang sidang. Segala macam bukti sudah Adinda kumpulkan, termasuk hasil visum bekas luka cambuk. Begitu mendudukkan diri, Adinda merasa tidak karuan. Tatapan nanar tertuju kepada mantan kekasih Sena itu. Memori sewaktu penyekapan terus berputar-putar memenuhi pikiran Adinda. Bayangan pecutan cambuk menggores kulit tangan. Sekelebat, Adinda memejamkan mata. Napasnya jadi tersengal-sengal. Ngilu sekali rasanya bila teringat hari itu. Jemari Adinda berada dalam genggaman tangan Sena. Sejenak, keduanya beradu pandang. Tatapan mata Sena seolah menjadi penenang. Sena selalu meyakinkan Adinda bahwa kebahagiaan sebentar lagi akan mereka raih. Adinda tenang karenanya. Sidang putusan berlangsung. Mantan kekasih Sena itu dijerat pasal 333 KUHP tentang penyekapan dan penculikan. Hukuman berlangsung paling lama sembilan tahun.Menjerit histeris usai persidangan, Ella menangis tersedu-sedu. Memohon pengampunan kepada Adinda dan Sena. Meminta belas
"Tante Dinda... Om Sena..." teriak Andina girang. "Baby Rion..." pekik Andina.Gemas, Adinda hendak mencium pipi gembul baby Arion, tapi ujung sweaternya ditarik dari belakang oleh Wildan."Heh, cuci tangan sama cuci kaki dulu kalau mau dekat-dekat sama Rion," ucap Wildan. Adinda mencebikkan bibirnya. "Iya... Iya..."Setelah membasuh tangan dan kaki, Adinda dan Sena mendekati baby Arion. Menimang dan menciumi pipinya dengan gemas."Sen..." lirih Adinda. "Hmm..." Sena hanya bergumam. Sibuk menimang baby Arion. "Kamu pengen punya yang kayak gini?""Pengen banget. Nanti sampai di rumah kita buat ya," balas Sena tersenyum lebar. Tentu saja Sena sudah menginginkan memiliki baby sendiri. Sena merasa bahwa sekarang dirinya sudah siap dan mampu menjadi seorang ayah. Namun, Adinda masih dilanda kebimbangan. Disatu sisi Adinda juga menginginkan hadirnya buah hati, tapi disisi lain Adinda ingin menyelesaikan kuliahnya terlebih dahulu baru memikirkan soal momongan. "Tapi gimana sama perjanj
Menyakiti diri sendiri sebagai bentuk pelampiasan emosi. Beberapa helai rambut rontok akibat kuatnya tarikan dari sang pemilik tubuh itu sendiri. Menjerit histeris layaknya orang kesurupan. Masih tidak bisa menerima bahwa dirinya bersalah dan harus merasakan buah dari akibat perbuatannya. "Arghhh..." teriaknya. "Diam! Berisik!" sentak wanita bertato. "Sumpal saja mulutnya dengan kaos kaki," ujar wanita kurus di sebelahnya mengompori. Wanita bertato mendekat, memandang tajam tahanan baru. Menelisik wajah cantik yang dipenuhi air mata. Merasa ngeri karena ditatap sedari tadi, Ella memalingkan wajahnya. Menghindari adu tatap lebih baik ketimbang cari perkara. "Heh, ada kasus apa sampai kau bisa masuk ke sini?" tanya wanita berambut keriting. Mengatupkan kedua bibir rapat-rapat, Ella enggan membuka suara. Membuat wanita bertato geram karena temannya diacuhkan. "Heh, jawab!" sentak wanita bertato."Penculikan.""Menculik siapa?" kepo wanita berambut keriting. "Istri mantan pacarku
Mendengar suara gaduh, Ella tergopoh menghampiri. Dilihatnya Sena yang sedang dihajar orang bayarannya."Hentikan!" teriak Ella. "Bos?""Mundur semuanya!" perintah Ella. "Sen, lo gapapa?" tanya Ella penuh perhatian.Sena menggeleng lemah. Memegang perutnya yang terasa nyeri akibat kena pukulan. "Ayo, bangun!"Meraih lengan Sena, Ella hendak membantu mantan kekasihnya itu berdiri. Sena menepisnya. Sena bisa berdiri sendiri tanpa bantuan dari Ella. Bukannya songong karena tidak mau dibantu, tapi mengingat Ella kerap kali mencelakai Adinda membuat Sena geram padanya."Lepasin, La. Gue bisa berdiri sendiri.""Tapi, Sen. Perut lo tadi kena pukulan.""Gapapa. Gue udah biasa dipukul kok," balas Sena ketus. Memandang tajam ketujuh orang bayarannya, Ella mengamuk seketika. "Dasar bodoh. Kenapa kalian menghajar Sena, hah?" maki Ella. Menundukkan kepala, para orang bayaran itu tidak berani berkutik. "Ma-maaf, Bos. Kami gak tahu.""Dasar tolol! Gue kan udah bilang jangan sakiti Sena."Sena m