Share

Terbangun di Tempat Asing

Keesokan harinya, Ana bekerja seperti biasa sebagai buruh cuci. Ia berencana untuk menemui Jagad setelah ini.

"Ana, mau pulang sekarang?" Suryani, salah satu ibu-ibu yang tinggal di kawasan tempat Ana tinggal, muncul dari arah belakangnya. Hari ini, Ana bekerja di rumah wanita itu.

"Iya, bu. Ada apa ya?" tanya Ana. Ia baru saja selesai menyetrika baju. 

"Ini tolong kasih ke ibu kamu. Kebetulan ibu kemarin baru saja dapat rejeki." Suryani menyerahkan satu box besar kue kepada Ana. 

Ana pun menerima pemberian itu sambil tersenyum. "Terima kasih ya, bu. Kalau begitu saya izin pamit ya." 

"Eh, tunggu dulu,” kata Suryani menahan Ana. “Ini, kamu makan dulu kuenya di sini. Kalau di rumah pasti gak akan kebagian. Bentar, ibu panggilkan Leona dulu ya buat nemenin makan." Wanita itu kembali masuk ke dalam rumah sambil memanggil anaknya. 

Ana menatap potongan kue yang disajikan di piring itu dengan seksama. Ana tidak kaget kalau para tetangganya sudah tahu dengan perlakuan buruk keluarganya kepada dirinya. 

Ia tahu para tetangganya menganggap perlakuan yang buruk itu adalah hal yang wajar mengingat Ana adalah anak dari hasil perselingkuhan antara ayahnya dan seorang pelacur. 

Namun, perlakuan sehangat ini jelas membuat Ana sedikit terharu. Dari dulu yang memperlakukan dirinya dengan baik hanyalah Suryani dan keluarganya. 

"Kenapa berdiri saja? Nungguin aku ya?" Leona muncul dengan rambutnya yang acak-acakan. 

"Siapa yang nungguin? Ini aku emang masih mau nanti saja makannya," sahut Ana. 

Keduanya memang berteman. Walaupun mereka tidak bisa bertemu setiap hari atau bahkan nongkrong seperti pertemanan pada umumnya.

Leona adalah gadis yang ceria dan apa adanya. Ia juga tidak pernah merendahkan atau mempermasalahkan latar belakang Ana. 

"Kamu tahu nggak, aku baru aja dapat sepatu mahal dari anak perempuan keluarga Hariman," kata Leona dengan wajah yang terlihat berbinar.

"Anak keluarga Hariman? Itu siapa?" tanya Ana. Dia memang tidak banyak mengenal orang-orang selain di lingkungan ini.

"Keluarga konglomerat gitu deh. Aku abis bantuin dia cari gaun buat ke acara bisnis ayahnya. Dia merasa puas sama gaun yang aku carikan, terus ngasih aku sepatu yang mahal dan cantik,” Leona bercerita dengan semangat. “Tapi kamu tahu nggak, wajahnya sama persis kayak kamu! Aku sampai mengira kalian itu kembar yang terpisah.” 

“Hah? Semirip itu?” tanya Ana. Ini mengingatkannya pada pertemuan dengan Jagad kemarin. 

“Nih, aku kasih lihat fotonya." Leona kemudian mengambil ponsel dan memperlihatkan sebuah foto kepada Ana.

Ana yang melihat foto itu merasa takjub. Wajah mereka memang terlihat sama persis, seperti saudara kembar. Hanya saja, dari kesamaan wajah itu juga bisa dilihat bagaimana perbedaan nasib keduanya yang seperti langit dan bumi. 

Gadis di foto itu tampak cantik dan menguarkan aura ‘orang berada’.

“Mirip kan?”

Ana mengangguk. "Kok bisa mirip banget sama aku ya?" Wajah Ana terlihat takjub dan heran sekaligus.

"Aku bilang juga apa!" kata Leona. “Jangan-jangan, kalian memang kembar?” 

Ana menggeleng. “Nggak mungkin. Aku nggak punya saudara kembar…”

Leona berdecak. “Benar juga.” 

"Eh, maaf banget ini sudah malam. Aku harus pulang sekarang,” kata Ana. Rasa takut mulai menghantuinya. Ibu tiri dan saudara tirinya itu pasti akan menghajarnya kalau pulang terlambat. 

"Oh iya. Kamu bawa motor aku aja tuh. Kalau jalan kaki pasti jauh dan ini sudah malam. Ini aku maksa, jadi gak boleh nolak." 

Leona buru-buru masuk ke dalam rumah dan mengambil kunci motornya untuk diberikan pada Ana.

"Gak usah pamit sama ibuku karena beliau lagi ngaji. Kalau nunggu ibuku bisa-bisa kamu pulangnya larut malam." Leona dengan terburu-buru meminta Ana untuk pulang. “Sana, nanti kamu malah diomelin karena pulang lama.”

Mau tak mau, Ana pun menerima saran dari temannya itu.

"Makasih ya, Leona. Besok akan aku kembalikan ini motornya. Aku pulang dulu."

Di perjalanan pulang, Ana merasakan perasaan yang mengganjal. Ia merasa ada orang yang mengikutinya.

"Apa perasaan aku aja ya?" Ana melirik ke belakang dan tidak menemukan siapa-siapa selain sebuah mobil hitam yang tak begitu jauh di belakangnya.

Gadis itu pun mulai mempercepat laju motornya dan ternyata mobil itu juga melakukan hal yang sama. 

Ana mulai merasa cemas. Jalanan sudah gelap dan sepi, hanya ada ia dan mobil itu di sepanjang jalan. 

Ana pun mempercepat lagi laju motornya untuk melarikan diri. Tapi, ia bisa mendengar deru mobil di belakangnya terasa begitu dekat. 

Kejadian itu begitu cepat, Ana tak sempat menghindar ketika mobil itu menabraknya dengan kecepatan tinggi.

BRAK!

Ana merasakan dunianya berputar. Ia memejamkan mata dan pasrah saat tubuhnya jatuh menghantam aspal. 

Hening. Selama beberapa saat Ana tidak mendengar suara apapun. Tapi ia bisa merasakan tubuhnya terasa sakit dan ngilu di beberapa bagian. 

Samar-samar, dengan penglihatan yang memburam, Ana melihat beberapa orang menghampirinya. Lalu ia merasakan tubuhnya diangkat dan dibawa ke dalam mobil. 

“Aku mau dibawa ke mana…” lirih Ana dengan kesadaran yang sudah menipis. 

Tepat sebelum semuanya menjadi gelap, Ana mendengar salah satu dari pria yang membawanya berkata,

"Kita harus segera membawa dia ke rumah sakit. Keluarga Nona Edna pasti akan segera mencarinya!"

** 

Ana ingin membuka mata, tapi dia tidak sanggup untuk melakukannya. Seluruh badannya terasa remuk. 

Ana hanya mendengar suara seorang wanita sedang menangis. 

Oh, bukan hanya suara wanita, ada juga suara seorang pria. Suaranya berat namun terdengar hangat. 

‘Apa aku sudah mati?’ Ana membatin dalam hati.

Tapi, karena masih bisa merasakan sakit, berarti dia masih hidup. 

Perlahan, Ana mulai bisa merasakan bahwa kasur yang dia tiduri ini terasa sangat nyaman, empuk, dan lembut. 

Saat Ana membuka matanya secara perlahan, cahaya silau langsung menyambutnya. Itu terasa menyakitkan, tapi Ana tidak bisa hanya terus menutup mata. 

Hal yang pertama dia lihat adalah langit-langit ruangan yang tampak asing. Bau khas obat yang tercium dan selang infus yang menusuk tangan kirinya membuatnya menyadari bahwa ia tengah berada di rumah sakit.

Ana kemudian mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan. Semakin dilihat semakin nampak kemewahan yang membuatnya heran. 

"Edna, Sayang. Astaga kamu sudah bangun,” kata sebuah suara yang membuat perhatian Ana teralihkan. 

“Patrik, tolong cepat tekan tombol itu untuk memanggil dokter!" kata wanita itu.

Pria yang dipanggil Patrik itu melakukan permintaan dengan sigap. Wajahnya terlihat bahagia sekaligus cemas saat melihat Ana yang akhirnya sadar.

“Edna, ya Tuhan ….”

Dahi Ana mengerut bingung mendengar nama yang keluar dari mulut wanita ini untuk memanggilnya. 

Edna? Namanya adalah Ana, mengapa wanita ini memanggilnya Edna?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status