Share

Ketahuan?

"Mau sampai kapan kamu meratapi kematian Ana? Anak ini meninggal karena kesalahannya sendiri!” kata Rita sambil melipat tangan di dada. “Kecelakaan karena membawa motor ugal-ugalan? Motor siapa yang dia pakai hingga jadi seperti itu?" 

Saat ini Afandi, Rita, dan ketiga anak mereka masih berada di pemakaman karena Afandi masih merasakan kesedihan yang amat mendalam karena meninggalnya Ana.

"Diam kamu, Rita! Apakah anak yang sudah meninggal pun masih kamu salahkan seperti ini? Setidaknya kalau tidak bisa menyayangi dia layaknya seorang ibu, maka sayangi dia layaknya manusia yang tidak kamu kenal. Apakah sulit untuk melakukan itu?" 

Afandi tidak ingin bahkan di hari kematian Ana pun dia masih mendapatkan cercaan dan caci maki. Apakah sulit untuk lebih sedikit mempunyai empati?

Wajah Rita langsung menyeringai untuk meremehkan. "Aku bahkan lebih bisa menyayangi manusia asing yang tidak aku kenal dibanding menyayangi anak selingkuhanmu itu,” katanya dengan nada sinis. 

“Seharusnya kamu sadar diri bahwa batasanku hanya sampai menerima anak itu ada di rumah. Selebihnya itu adalah tanggung jawabmu untuk memberikan dia kenyamanan. Tapi nyatanya apa? Kamu yang merupakan ayah kandungnya sendiri tidak pernah bertanggung jawab akan hal itu!” 

Afandi terdiam mendengar ucapan istrinya. Ia ingin menyangkal, tapi apa yang dikatakan Rita memang benar adanya. 

“Lalu apa kamu bodoh dengan mengharapkan aku dan anak-anak kita untuk melakukan hal tersebut? Kami ini punya hati dan hati ini sudah terlanjur sakit dengan perbuatan rendahanmu itu!” 

Rita lantas menatap anak-anaknya yang sedari tadi hanya diam menyaksikan pertengkaran mereka. “Anak-anak ayo pergi dari sini. Masih banyak kegiatan lainnya yang lebih positif dibanding meratap di sini terlalu lama."

Afandi yang mendapatkan ucapan seperti itu dan ditinggal sendirian di makam itu merasa semakin tidak berguna. 

*

Di tempat lain, Ana masih dirawat di rumah sakit. Keadaannya sudah mulai membaik, tapi ‘keluarga barunya’ ingin agar dia bisa dirawat sedikit lebih lama untuk memastikan keadaannya. Hanya saja, Ana mulai tidak betah sehingga ia ingin pulang.

"Edna, kamu benar-benar sudah diperbolehkan untuk pulang nak?" Harjokusumo yang akhirnya telah menyelesaikan pekerjaannya datang menemui ‘Edna’.

"Aku sudah tidak betah di sini." Ana yang kini telah benar-benar menjadi Edna bingung harus memanggil orang ini. Beliau adalah ayah Edna tapi Ana tidak punya kekuatan untuk memanggilnya papa.

Harjokusumo merasa aneh dengan tingkah anaknya yang tidak biasa. "Sayang, kamu kok canggung gitu ke papa? Apa kecelakaan itu membuat kamu luka parah atau bagaimana?" 

Harjokusumo menatap para dokter dan perawat yang ada di tempat itu. Pria itu berniat mengganti dokter dan perawat yang akan merawat putrinya jika memang tenaga kesehatan yang ada di sini tidak becus dalam bekerja.

"Kecelakaan Edna memang termasuk kecelakaan yang parah, pak. Itulah sebabnya Edna masih kesulitan untuk bersikap seperti biasanya. Nanti perlahan-lahan ketika Edna mulai pulih, maka dia akan kembali seperti biasanya." Dokter itu menjawab dengan tenang hingga akhirnya mampu menghilangkan rasa takut pada diri ayah Edna itu.

"Ya sudah kalau begitu. Sebentar saya mau keluar dulu untuk bicara dengan istri dan anak laki-laki saya. Edna, papa mau keluar sebentar ya. Kalau ada hal yang kamu butuhkan kamu tinggal memencet tombol ini."

Ana hanya mengangguk pasrah dan membiarkan mereka meninggalkannya sendirian di dalam kamar inap VIP itu.

Gadis itu masih bisa mendengar suara-suara dari luar. Ia pun menajamkan telinga untuk bisa mendengarkan apa yang tengah dibicarakan oleh keluarga Edna di luar sana.

"Apakah dari awal kecelakaan tingkah Edna begitu aneh? Papa merasa dia bukan Edna.” 

Ana menelan ludah mendengarnya. Apakah dia akan ketahuan secepat ini?

“Maksud papa, dia kelihatan sangat canggung. Padahal kalian tahu sendiri betapa lengketnya Edna dengan papa. Edna selalu menyambut kedatangan papa yang habis bekerja dengan bermanja-manja,” kata Harjokusumo lagi. “Papa tidak mengerti seberapa keras efek kecelakaan itu pada Edna. Apakah kecelakaan memang benar-benar mempengaruhi kepribadian seseorang secepat ini?" 

Ana seketika merasa resah. Dia menggigit gelisah sambil merutuki kebodohannya sendiri. 

‘Harusnya aku tidak menerima permainan gila ini!’ gerutunya dalam hati. 

"Pa, kata dokter kecelakaan Edna memang parah dan itu mempengaruhi cara kerja otaknya.” 

Ana mendengar suara Patrik menjawab. 

“Ini semua gara-gara Jagad! Kalau saja dia tidak berkendara bersama Edna, pasti semua ini tidak akan terjadi!” 

Kali ini, Claudia yang bersuara. Ana semakin merasa tidak tenang karena situasi di luar sana tampak semakin ribut.

“Ma, kita tidak bisa sepenuhnya menyalahkan Jagad. Mama ingat kan, saat kecelakaan itu terjadi, bahkan ketika sekarat pun dia masih sempat mengabari ke rumah untuk memberitahu kondisi Edna,” kata Patrik. “Kondisinya juga tidak kalah mengenaskan saat itu. Keluarganya yang di luar negeri tidak ada satupun yang menjenguk dia." 

Ana terdiam, masih sambil mendengar pembicaraan di balik pintu kamar inapnya. 

“Kondisinya mengenaskan?” gumam Ana terheran-heran. Jagad tampak baik-baik saja saat menemuinya! 

"Sudahlah. Mama nggak peduli sama Jagad karena dia juga yang menyebabkan kecelakaan ini terjadi! Mama hanya ingin Edna baik-baik saja. Kalaupun ada perubahan sikap berarti kita yang harus menyesuaikan diri dengan Edna. Kita semua harus memberikan kasih sayang yang penuh padanya!"

Dari suaranya yang terdengar putus asa, Ana tahu seberapa frustrasinya ibu Edna itu. Dan entah mengapa itu membuatnya iri. Apakah saat ini keluarganya juga merasakan hal yang sama? 

Tapi Ana tahu, itu sesuatu yang mustahil. Keluarganya barangkali tengah bersorak karena ia tak ada lagi di dunia ini, bukan?

"Ya sudah kalau memang begitu. Papa akan mengurus kepulangan Edna ke rumah ya." Harjokusumo akhirnya pergi dari tempat Claudia dan Patrik.

Ana pikir, percakapan itu sudah berakhir. Akan tetapi, suara Patrik kembali terdengar. 

"Ma, apa mama menyalahkan Jagad karena kecelakaan ini?" 

"Tentu saja mama menyalahkan dia karena menyetir dalam kondisi setelah minum alkohol. Walaupun alkohol dalam tubuhnya masih dalam batas yang normal tapi tentu saja itu adalah kesalahan!” 

Setelah itu, pintu ruangan inapnya terbuka dari luar, Claudia dan Patrik masuk ke dalam ruangan dan tersenyum saat melihatnya. 

"Sayang, ayo kita pulang sekarang,” kata Claudia sambil menghampirinya. “Patrik, kamu yang dorong kursi rodanya Edna ya. Mama sama papa bawa barang-barang Edna." 

Berbeda dengan suaranya yang tadi terdengar putus asa, Ana melihat Claudia kini tampak lebih ceria. Sepertinya, wanita paruh baya itu tidak ingin menunjukkan kegelisahannya di depan anaknya.

"Edna, nanti di rumah kalau kamu butuh apapun ada mas Patrik ya. Kamu nggak usah canggung atau merasa bersalah," ujar Patrik. 

Ia menganggap bahwa sikap Edna yang aneh pasca kecelakaan ini adalah karena rasa bersalahnya akibat main terlalu larut hingga mengalami kecelakaan itu.

Ana hanya mengangguk pelan. Setelah itu, mereka pun keluar dari rumah sakit. 

Mereka menunggu di lobi hingga sebuah mobil berhenti di depan mereka. 

Patrik baru saja hendak membantu Ana untuk masuk ke dalam mobil, saat tiba-tiba  sebuah suara menyapa pendengaran Ana dan juga keluarga barunya. 

"Loh, Ana? Ini kamu kan? Kok sekarang kamu beda banget?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status