"Ini bukan Ana!"
Rita melihat jenazah yang diidentifikasi sebagai Ana mulai memberikan reaksi yang keras terhadap jenazah itu.
"Maksud mama apa sih? Jelas-jelas ini Ana." Vina mulai merasa janggal dengan tingkah mamanya. Apakah ternyata diam-diam selama ini mamanya itu menyayangi Ana hingga tidak rela akan kepergiannya?
"Pak, bisa tunggu di luar saja? Saya dengan istri saya sangat syok dengan kepergian anak kami." Afandi kemudian meminta petugas kamar jenazah itu untuk keluar dan petugas kamar jenazah itu pun setuju.
"Kamu menyesal sekarang? Kamu memperlakukan anak itu dengan buruk, lalu ketika dia sudah meninggal kamu menganggap dia masih hidup. Penyesalan itu tidak ada gunanya, Rita!" kata Afandi, ayah Ana, lalu memandang wajah jenazah itu.
Afandi merasakan penyesalan yang amat mendalam karena selama ini tidak memperlakukan Ana dengan baik. Afandi merasa bersalah pada anak dan istrinya sehingga membiarkan saja perlakuan mereka pada Ana. Padahal nyatanya, Afandi benar-benar menyayangi Ana.
"Kamu terlalu besar kepala hingga menganggap aku menyesal. Aku tidak pernah sedikitpun merasakan penyesalan atas kematian anak ini. Aku justru bersyukur karena anak ini sudah meninggal untuk menyusul ibunya yang pelacur itu!” kata Rita, masih dengan wajah marah.
Rita kembali menatap tubuh yang terbujur kaku itu. “Hanya saja aku yakin bahwa anak ini bukanlah Ana. Lihatlah wajahnya yang terawat itu. Orang ini adalah orang kaya, bukan Ana!”
Tapi semua orang yang ada di sana malah menatap Rita dengan pandangan aneh.
“Kalian semua nggak ada yang akan mengerti maksudku. Dari bayi akulah yang mengurus Ana hingga tahu betul bagaimana perawakan anak itu! Gadis ini bukan Ana!”
“Ma, udahlah—”
“Anak itu pasti sudah kabur entah kemana dan punya ide gila untuk berbuat seperti ini!” Mata Rita terlihat menyalang karena merasa yakin dengan asumsinya. Ana pasti pergi ke suatu tempat yang tidak diketahui oleh keluarganya ini.
Ketiga anak Rita saling berpandangan. Dari pandangan mereka, mereka saling mengerti bahwa mamanya saat ini mungkin sedang syok dengan kepergian Ana hingga bicara melantur seperti itu.
"Rasa gengsimu itu benar-benar mengerikan. Kalaupun kamu sayang pada anak itu ya sudah, tidak usah malu untuk mengakuinya. Aku benar-benar tidak mengerti dengan pola pikirmu itu," ujar Afandi, tetap menganggap bahwa Rita saat ini merasa syok dengan kepergian Ana hingga akhirnya berbicara melantur.
Namun, Rita lagi-lagi membantah dengan keras.
"Dasar kalian semua manusia-manusia tolol! Kalian tidak mengerti apa maksudku. Orang ini bukan Ana dan aku tidak sudi mengurus pemakaman orang yang tidak dikenal!"
Rita akhirnya keluar dari kamar jenazah itu sambil membanting pintu. Afandi memandang kepergian istrinya dengan pandangan nanar yang sulit dijelaskan, sedangkan ketiga anaknya hanya saling berpandangan tanpa mengatakan apapun.
*
"Kalau kita bicara begini kan enak. Saya rasa kita berdua memang harus bicara dengan kepala dingin."
Jagad memulai pembicaraan dengan Ana yang kini kondisinya sudah membaik. Ini adalah saat yang tepat untuk bicara dengan Ana karena baik Patrik, mamanya dan papanya belum akan datang untuk menjenguk Ana yang mereka kira sebagai Edna.
"Saya tidak ingin bicara panjang lebar dengan anda. Saya tidak mau terlibat dengan anda,” sahut Ana dengan nada dingin. “Lagipula, untuk apa sebenarnya ini semua? Kalau pacar anda meninggal ya sudah. Untuk apa membuat dia seolah-olah masih hidup dengan memanfaatkan saya? Anda pasti tahu kan ini adalah tindakan kriminal!"
Jagad menatap Ana dengan tajam. "Saya tahu apa yang saya lakukan,” katanya. “Tapi Anda harus tahu, orang-orang seperti saya ini harus melakukan sesuatu untuk bisa tetap bertahan di lingkungan yang keras.”
Ana menyipitkan mata. Lingkungan yang keras? Apakah pria ini sedang mabuk? Jelas-jelas ia memiliki segalanya!
“Edna meninggal karena kecelakaan dan seperti yang Anda lihat kemarin, Anda bisa melihat betapa sayangnya keluarga Edna padanya. Saya pastikan Anda akan mendapatkan keluarga terbaik di kehidupan ini. Bukankah kehidupan Anda sebagai anak selingkuhan selalu menderita di rumah itu? Menurut saya, ini win-win solution," kata Jagad, menampilkan seringaian yang kejam di mata Ana.
"Anda sudah gila rupanya! Seberapa jauh sebenarnya anda ingin bertindak?!" Ana merasa ngeri dengan orang di depannya ini.
Dengan tindakan Jagad yang mengerikan seperti ini, apakah memang benar bahwa Edna meninggal karena kecelakaan? Ana sungguh tidak yakin.
"Saya tidak mungkin asal mengambil orang untuk kepentingan saya. Anda pikir anda akan mendapatkan kesempatan dimana lagi untuk menjadi seorang putri konglomerat yang begitu disayang oleh keluarganya?”
Ana terhenyak mendengar pertanyaan Jagad. Pertanyaan Jagad seperti membuka impian Ana yang selalu ingin disayangi oleh keluarganya. Ana ingin mendapatkan keluarga yang selalu menyayangi dirinya dengan baik. Ana ingin mendapatkan keluarga yang bukan hanya memakinya saja. Namun bukankah ini adalah tindakan kriminal?
Jagad tersenyum tipis melihat Ana yang tercenung. “Edna sama-sama anak selingkuhan seperti anda, tapi nasibnya berjuta-juta lebih baik daripada anda. Anda tinggal memilih, apakah anda akan kembali ke keluarga yang membenci anda atau datang kepada keluarga baru, keluarga yang menyayangi anda dengan sepenuh hati."
Ana menelan ludah. "Saya bisa masuk penjara. Saya rasa anda pun juga akan masuk penjara dan uang anda pun tidak akan terlalu membantu. Edna adalah konglomerat sama seperti anda. Begitu ini semua ketahuan bukankah kita akan habis?"
Ana rasa walaupun rasa dahaganya akan kasih sayang keluarga begitu besar, ini adalah tindakan yang tidak bisa dibenarkan. Ana pasti akan menanggung dosa yang amat besar karena hal ini.
"Anda berpikir terlalu naif. Yah, tapi wajar saja karena hal ini adalah hal yang besar. Anda tidak perlu khawatir akan apapun, Ana. Semuanya akan aman di dalam kendali. Asalkan anda mengikuti semua instruksi dari saya maka semuanya akan aman."
Ana benar-benar bingung harus melakukan apa. Tak ada pilihan yang lebih baik di matanya.
Ia lantas menatap Jagad lagi. "Sebenarnya kenapa harus Edna? Anda bilang Edna meninggal karena kecelakaan. Anda tinggal bilang saja kepada keluarganya lalu semua akan selesai kan?"
Jagad tidak menjawab pertanyaan Ana dan malah beranjak dari sana. "Ingat, anda harus bisa meniru semua yang ada di kehidupan Edna.”
“Tapi—”
“Ah, tapi ada satu hal yang tidak bisa anda tiru,” kata Jagad sambil menatap Ana dengan ekspresi pongah. “Yaitu status Edna sebagai pacar saya.”
“A-apa?”
“Saya hanya mencintai Edna, dan anda bukan Edna. Jadi jangan hanya karena wajah anda mirip dengan Edna, lalu anda menganggap bahwa saya juga pacar anda yang sesungguhnya."
Setelah mengatakan itu, Jagad kemudian benar-benar keluar dari kamar rawat inap itu.
"Orang sinting itu rupanya terlalu percaya diri!" Ana mendengus tak habis pikir.
Tapi setelah itu, ia tercenung. Ada resah yang menyelimuti hatinya kini.
Ana akan menyelami kehidupan baru yang penuh dengan resiko. Ia tidak tahu apakah ini adalah pilihan yang tepat, tapi mulai hari ini … dirinya adalah Griselda Edna Hariman.
"Mau sampai kapan kamu meratapi kematian Ana? Anak ini meninggal karena kesalahannya sendiri!” kata Rita sambil melipat tangan di dada. “Kecelakaan karena membawa motor ugal-ugalan? Motor siapa yang dia pakai hingga jadi seperti itu?" Saat ini Afandi, Rita, dan ketiga anak mereka masih berada di pemakaman karena Afandi masih merasakan kesedihan yang amat mendalam karena meninggalnya Ana."Diam kamu, Rita! Apakah anak yang sudah meninggal pun masih kamu salahkan seperti ini? Setidaknya kalau tidak bisa menyayangi dia layaknya seorang ibu, maka sayangi dia layaknya manusia yang tidak kamu kenal. Apakah sulit untuk melakukan itu?" Afandi tidak ingin bahkan di hari kematian Ana pun dia masih mendapatkan cercaan dan caci maki. Apakah sulit untuk lebih sedikit mempunyai empati?Wajah Rita langsung menyeringai untuk meremehkan. "Aku bahkan lebih bisa menyayangi manusia asing yang tidak aku kenal dibanding menyayangi anak selingkuhanmu itu,” katanya dengan nada sinis. “Seharusnya kamu sada
Orang di depannya ini adalah Vanesa, musuhnya saat SMA dulu. Sebenarnya Ana malas untuk bermusuhan dengan siapapun tapi orang ini malah memulai semua hal itu. Patrik dan Claudia yang mendengar ucapan perempuan itu langsung merasa aneh. "Maaf, mbak ini siapa ya? Kenapa manggil anak saya dengan nama orang lain begitu?" Claudia sudah cukup pusing dengan berbagai situasi yang ada saat ini. Dirinya tidak ingin bertambah pusing dengan hal yang tidak berguna. Claudia yakin bahwa perempuan ini adalah salah satu dari sekian banyak orang yang mengusik keluarga Hariman. Wajah Vanesa terlihat kebingungan dan wajah Ana makin terlihat pias. Ana tidak ingin dirinya ketahuan secepat ini. Hanya saja melihat situasi yang ada sudah tentu Ana akan ketahuan sekarang bukan? "Jadi anda ibunya Ana? Seingat saya ibu Ana wajahnya bukan seperti ini. Seingat saya—" Ucapan Vanesa tidak selesai karena Ana langsung memotongnya. "Kamu mbak-mbak selingkuhannya Jagad ya? Kamu mau menjatuhkan martabat saya di depa
"Astaga. Kenapa papamu teriak-teriak begitu. Edna, kamu disini dulu ya, nak. Mama mau lihat apa yang terjadi. Mama takut kalau ada hal yang gak diinginkan semisal kamu ikut keluar. Mama yakin suasana sekarang ini kacau sekali." Claudia baru saja ingin turun tapi lengannya dipegang oleh Edna. Claudia pun menatap bingung ke arah Edna. "Kenapa sayang?""Aku...aku takut sendirian disini. Aku takut kayak waktu malam kecelakaan itu. Disana gak ada mama jadi aku takut. Disana gak ada papa, gak ada mas Patrik." Ana tidak tahu apakah aktingnya sudah bisa diterima oleh Claudia atau belum. Yang jelas kan Ana ingin keluar tapi dia masih kebingungan dengan bagaimana cara membujuk yang baik. Wajah Claudia langsung sendu dan matanya berkaca-kaca. "Edna percaya sama mama?" Claudia bertanya dengan lembut. Ana tidak tahu mengapa Claudia bertanya seperti itu tapi bukankah Ana sudah tahu harus menjawab apa. "Aku percaya, ma." Ana menjawab dengan mantap. "Kalau gitu kita keluar bareng-bareng. Karena Ed
"Bagaimana bisa Edna seperti itu? Anak itu adalah anak yang bermoral dan bermartabat!" Claudia benar-benar tak habis pikir dengan ucapan Edna tadi. Dokter sudah didatangkan ke rumah itu untuk memeriksa Edna dan hasilnya benar-benar membuat mereka tercengang. Edna benar-benar hamil. "Aku hanya bingung mengapa dokter di rumah sakit itu tidak bilang jika Edna hamil. Bukankah kehamilan adalah kondisi yang serius? Tapi mengapa mereka diam saja?" Patrik juga benar-benar kalang kabut menghadapi situasi. Dirinya benar-benar kesulitan untuk berpikir jernih. "Pilihannya sekarang hanya ada dua. Menggugurkan kandungan anak itu atau menikahkan dia dengan Jagad." Harjokusumo benar-benar kecewa hingga dia tidak ingin mengucap nama Edna lagi. Claudia dan Patrik yang mendengar pilihan seperti itu langsung menatap tidak terima pada Harjokusumo. "Apa-apaan kamu itu mas! Pilihan apa yang kamu berikan pada Edna. Edna itu adalah anak kita. Kebahagiaan dia adalah prioritas utama. Apakah disaat seperti in
Apa? Rupanya Ujung-ujungngnya Edna tetap dinikahkan dengan Jagad begini kan. Lalu untuk apa tadi bersusah payah mengurung Ana dan membuat Ana merasa tertekan di dalam kamar sana. Ana mulai melancarkan aktingnya. Ana benar-benar terlihat berpikir agar tidak terlalu kentara jika kehamilannya ini adalah cara agar keinginannya untuk menikah dengan Jagad bisa cepat terlaksana. "Aku mau menikah dengan Jagad." Ana menjawab dengan mantap hingga membuat Claudia dan Patrik menatapnya dengan kecewa. Ana tidak tahu mengapa kedua orang itu benar-benar anti terhadap Jagad. Padahal waktu dilihat-lihat tidak ada yang aneh dengan Jagad. Jagad adalah laki-laki yang berasal dari keluar yang setara dengan keluarga ini. "Kamu yakin dengan pilihan kamu? Menikah itu tidak sesederhana berpacaran Edna. Kamu hamil di luar nikah demi bisa menikah dengan Jagad saja adalah bukti bahwa kamu belum mengerti apa arti pernikahan itu. Papa menyarankan kamu untuk menggugurkan kandungan itu saja lalu tinggalkan Jaga
"Kamu sudah mengerti betul rupanya apa peranmu disini. Itu hal yang bagus karena aku tidak perlu terlalu mendikte agar kamu melakukan sesuatu." Jagad tersenyum tipis. "Bayi siapa itu? Siapa ayahnya?" Jagad menatap perut Ana yang masih terlihat rata. "Harusnya kamu sudah tahu kan? Kamu juga yang meminta pada dokter agar kehamilan ini dirahasiakan. Entah apa yang kamu bilang kepada dokter itu hingga mau-mau saja dia menurut ke kamu. "Kamu rupanya salah paham, Ana. Kekuasaanku belum sebesar itu hingga mampu untuk memerintah dokter seperti itu." Jagad tersenyum meremehkan pada Ana yang menganggap dirinya mengetahui semua hal tentang Jagad. "Maksud kamu?" Ini kegilaan macam apa lagi. Apakah ada orang lain selain Jagad yang terlibat dalam permainan gila ini. Ah Ana tidak ingin terlalu pusing dalam memikirkannya. Asalkan dia menurut pada Jagad maka kehidupannya sebagai Edna akan dijamin kan. "Ah iya, lain kali aku harus memanggil kamu Edna karena bisa gawat jika semua orang mulai curiga.
"Aku bukan Edna." Ana yang rambutnya sedang disisir oleh Patrik kemudian bicara dengan pelan. Ana hanya ingin mendapatkan keluarga yang menyayangi dia kok. Tapi kenapa sulit sekali ya? Disaat ada kesempatan seperti ini Ana malah merasa bahwa Jagad lah yang menghalangi segalanya. Seandainya tidak ada Jagad maka Ana akan bisa menjadi Edna dan melakukan apapun dia mau tanpa ada bayang-bayang dari Jagad. Patrik yang sudah tahu keadaan Edna dari dokter yang merawatnya berusaha tegar saat Edna kambuh lagi seperti ini. Baiklah, Patrik akan berusaha semaksimal mungkin agar Edna tidak lagi kambuh seperti ini. "Kalau kamu bukan Edna kamu siapa dong?" Patrik menanti jawaban dari Edna. Apakah Edna akan menyebut nama Ana lagi? Mendengar Patrik yang mau meladeni ucapannya membuat Ana merasa terharu dan langsung menuangkan apa yang mengganjal di hatinya. Walaupun Ana yakin bahwa Patrik tidak menganggap ucapannya sebagai kebenaran setidaknya Patrik sudah meladeni ucapannya dengan baik. "Aku itu An
Jagad masih saja terus menelpon Ana. Yang bisa Ana lakukan adalah memberlakukan mode silent pada ponselnya agar tidak ada dering panggilan yang menganggu. Demi apapun rasanya Ana benar-benar ingin lari dari sini saja."Ana, mas masuk dulu ya." Patrik mengetuk pintu bebarengan dengan panggilan dari Jagad. Tentu saja hal ini membuat Ana langsung mematikan panggilan tersebut. Ana tidak ingin terjadi hal yang tidak diinginkan. "Iya, mas. Ana kemudian segera menonaktifkan ponselnya dan meletakkannya di kasur begitu saja. "Ini mas bawain nasi hainan buat kamu. Ini juga ada susu...eh ini bukan susu yang biasanya kamu minum. Ini...ini susu..." Patrik terlihat kesulitan untuk berbicara dan Ana paham betul apa yang membuat Patrik sampai seperti itu. "Susu ibu hamil kan?" Ana tersenyum menenangkan dan hal itu tentu saja membuat Patrik bisa bernafas lega. "Ah, iya. Mas bingung mau ngomong kayak gimana. Oh iya, kamu pengen sesuatu lagi kah? Ibu hamil tuh ngidam gitu kali ya?" Patrik terlihat c