"Astaga. Kenapa papamu teriak-teriak begitu. Edna, kamu disini dulu ya, nak. Mama mau lihat apa yang terjadi. Mama takut kalau ada hal yang gak diinginkan semisal kamu ikut keluar. Mama yakin suasana sekarang ini kacau sekali." Claudia baru saja ingin turun tapi lengannya dipegang oleh Edna. Claudia pun menatap bingung ke arah Edna. "Kenapa sayang?"
"Aku...aku takut sendirian disini. Aku takut kayak waktu malam kecelakaan itu. Disana gak ada mama jadi aku takut. Disana gak ada papa, gak ada mas Patrik." Ana tidak tahu apakah aktingnya sudah bisa diterima oleh Claudia atau belum. Yang jelas kan Ana ingin keluar tapi dia masih kebingungan dengan bagaimana cara membujuk yang baik. Wajah Claudia langsung sendu dan matanya berkaca-kaca. "Edna percaya sama mama?" Claudia bertanya dengan lembut. Ana tidak tahu mengapa Claudia bertanya seperti itu tapi bukankah Ana sudah tahu harus menjawab apa. "Aku percaya, ma." Ana menjawab dengan mantap. "Kalau gitu kita keluar bareng-bareng. Karena Edna sudah percaya sama mama berarti pasti nanti gak ada sesuatu yang buruk. Disana juga ada papa dan mas Patrik juga bukan." Claudia seolah mendapatkan keyakinan baru dengan kepercayaan yang Edna berikan pada dirinya. "Pasti, ma. Semua akan baik-baik saja kok." Ana mengangguk dengan mantap sampai membuat Claudia tertawa. Entahlah, mungkin tingkah Ana terlihat lucu di mata Claudia? Yang jelas Ana harus mengasah kemampuan aktingnya dengan baik selama menjadi Edna. Lama-lama Ana merasakan keserakahan yang amat pekat bahwa peran sebagai Edna adalah miliknya sampai kapanpun juga. Ana dan Claudia pun keluar dari mobil dan menghampiri kekacauan yang ada. Saat menuju ke tempat kekacauan itu samar-samar terdengar suara Harjokusumo yang mengamuk, suara seorang pria muda yang entah siapa terdengar memohon-mohon, dan suara mas Patrik yang terdengar mencoba melerai. Apa yang terjadi disini sebenarnya? "Loh, Jagad?!" Ana refleks saja menyebutkan nama pria itu dengan keras saat sampai di tempat kekacauan itu. Kenapa ini bisa terjadi? Apakah Ana sudah mulai terbiasa dengan menjadi Edna? Semua orang yang ada di tempat itu langsung menoleh ke arah Ana, termasuk Claudia yang mendorong kursi rodanya. Mereka semua menatap cemas ke arah Ana. Jagad yang dipanggil seperti itu langsung terlihat kegirangan dan secepat kilat langsung menuju ke tempat Ana. Tentu saja tindakan Jagad tersebut langsung membuat Harjokusumo makin mengamuk. "Sini kamu, Jagad! Jangan ke tempat Edna!" Sayangnya peringatan Harjokusumo itu hanya dianggap sebagai angin lalu oleh Jagad. "Sayang, kamu gakpapa?" Jagad mencoba memegang tangan Ana ketika dia berlutut untuk menyamakan tingginya dengan Ana yang sedang duduk di kursi roda. Namun tangan Jagad tersebut langsung ditepis oleh Claudia. "Jangan berani untuk kamu menyentuh tangan putri saya. Kamu lupa apa yang sudah kamu lakukan pada Edna? Kalau kamu masih sayang dengan Edna harusnya kamu sadar diri dengan tidak menemuinya. Kamu bahkan punya selingkuhan bernama Vanesa kan?" Suara Claudia langsung melirih saat mengucapkan kalimat terakhir. Claudia tidak ingin ada drama yang lebih bombastis kalau sampai Harjokusumo mendengar kalimat ini. Raut wajah Jagad langsung dipenuhi tanda tanya. Bagi Claudia itu seperti raut wajah maling yang tertangkap. Padahal yang sebenarnya terjadi adalah Jagad bingung mengapa Claudia mengatakan hal seperti itu padahal dia saja tidak kenal dengan orang bernama Vanesa apalagi menjadikan dia selingkuhan. Sebenarnya apa yang Ana katakan pada Claudia? Jagad kemudian memberikan kode kepada Ana agar mereka bisa berbicara berdua. Ana rupanya bisa mengerti kode tersebut dan segera berbicara. "Ma, aku mau ngomong berdua saja dengan Jagad." Ana kemudian memulai untuk membujuk Claudia. Tentu saja tindakannya itu langsung membuat Harjokusumo tidak senang. "Nak, apalagi yang perlu kamu bicarakan dengan orang seperti itu! Jagad itu yang sudah menyebabkan kamu seperti ini." Claudia kemudian juga berbicara. "Mama gak akan izinkan manusia ini masuk lebih dalam ke rumah kita. Mama tidak ingin ada hal lain yang tidak diinginkan terjadi di rumah ini. Mama harap kamu mengerti keinginan mama, Edna." Tak seperti biasanya, Claudia yang biasanya gampang luluh untuk memenuhi keinginan Edna kini tampak tegas dan dingin seolah apa yang keluar dari mulut Claudia adalah hal mutlak yang tidak bisa dibantah oleh siapapun juga. Ana menelan ludah. Ana harus mencari cara karena kalau tidak bisa saja dia dibunuh oleh Jagad karena dianggap tidak berguna. Ana harus membujuk dengan seperti apa lagi ya? "Aku cinta sama Jagad, ma. Jagad juga cinta kok sama aku. Kemarin waktu aku dirawat di rumah sakit kayaknya Jagad juga gak datang kan ya? Aku kangen sama dia, ma." Ana berakting sebagai anak yang menjadi budak cinta kepada pasangannya. Ana sebenarnya tidak ingin melakukan ini karena jujur saja Ana tidak ingin bersinggungan lagi dengan Jagad. Keluarga ini benar-benar baik kepadanya dan Ana hanya ingin menghabiskan hidupnya menjadi Edna selamanya. Namun tentu saja keinginannya itu tidak masuk akal karena yang membuatnya bisa menjadi Edna kan Jagad. Tentu saja Ana akan terus berhadapan dengan strategi licik yang dijalankan oleh Jagad. Wajah Claudia langsung pucat pasi. "Sayang, cinta yang sebelah saja tidak cukup. Kamu lihat sendiri kan kalau Jagad tidak mencintai kamu. Jagad itu bukanlah pria yang bertanggung jawab. Pria bertanggung jawab mana yang malah minum minuman keras saat tahu dirinya akan menyetir. Ya mama tahu kalau batas yang diminum oleh Jagad itu tidak melampaui batas yang ada. Hanya saja mama tidak ingin kamu terperdaya lagi kedua kalinya. Jadi sekarang ayo nurut sama mama dan gak usah lagi berurusan dengan Jagad. Patrik, sini bawa—" "Aku hamil, ma." Ana langsung menangis tersedu-sedu. Ana tidak punya cara lain. Cara inilah yang bisa dia lakukan agar bisa tetap menjalankan rencana Jagad. "Apa?!" Semua orang yang ada di tempat itu langsung bereaksi seperti itu. "Edna?" Claudia langsung terjatuh ke lantai. Hari itu semua orang dengan susah payah mencoba mencerna hal tersebut. * "Hebat lho ya kamu sampai bikin orang lain merasa kalau kamu itu hamil beneran. Rahasianya apa sih? Oh, kan memang hamil ya. Kok bisa dokter gak tahu kalau kamu hamil?" Jagad memandang Ana dengan tatapan merendahkan sekaligus kebingungan. "Kan sudah aku bilang. Kalau aku sudah bertekad akan sesuatu maka aku akan nekat. Lebih baik kamu tutup mulut kamu saja ya sekarang. Anak ini adalah anakku dengan pacarku. Tapi sekarang dia anak kita berdua, Jagad?" Ana tersenyum menyeringai. Ini adalah rencana luar biasa yang pernah dia jalankan selama ini. "Baiklah, ibunya palsu maka anaknya palsu. Yah calon keluarga kita memang penuh kepalsuan bukan.""Bagaimana bisa Edna seperti itu? Anak itu adalah anak yang bermoral dan bermartabat!" Claudia benar-benar tak habis pikir dengan ucapan Edna tadi. Dokter sudah didatangkan ke rumah itu untuk memeriksa Edna dan hasilnya benar-benar membuat mereka tercengang. Edna benar-benar hamil. "Aku hanya bingung mengapa dokter di rumah sakit itu tidak bilang jika Edna hamil. Bukankah kehamilan adalah kondisi yang serius? Tapi mengapa mereka diam saja?" Patrik juga benar-benar kalang kabut menghadapi situasi. Dirinya benar-benar kesulitan untuk berpikir jernih. "Pilihannya sekarang hanya ada dua. Menggugurkan kandungan anak itu atau menikahkan dia dengan Jagad." Harjokusumo benar-benar kecewa hingga dia tidak ingin mengucap nama Edna lagi. Claudia dan Patrik yang mendengar pilihan seperti itu langsung menatap tidak terima pada Harjokusumo. "Apa-apaan kamu itu mas! Pilihan apa yang kamu berikan pada Edna. Edna itu adalah anak kita. Kebahagiaan dia adalah prioritas utama. Apakah disaat seperti in
Apa? Rupanya Ujung-ujungngnya Edna tetap dinikahkan dengan Jagad begini kan. Lalu untuk apa tadi bersusah payah mengurung Ana dan membuat Ana merasa tertekan di dalam kamar sana. Ana mulai melancarkan aktingnya. Ana benar-benar terlihat berpikir agar tidak terlalu kentara jika kehamilannya ini adalah cara agar keinginannya untuk menikah dengan Jagad bisa cepat terlaksana. "Aku mau menikah dengan Jagad." Ana menjawab dengan mantap hingga membuat Claudia dan Patrik menatapnya dengan kecewa. Ana tidak tahu mengapa kedua orang itu benar-benar anti terhadap Jagad. Padahal waktu dilihat-lihat tidak ada yang aneh dengan Jagad. Jagad adalah laki-laki yang berasal dari keluar yang setara dengan keluarga ini. "Kamu yakin dengan pilihan kamu? Menikah itu tidak sesederhana berpacaran Edna. Kamu hamil di luar nikah demi bisa menikah dengan Jagad saja adalah bukti bahwa kamu belum mengerti apa arti pernikahan itu. Papa menyarankan kamu untuk menggugurkan kandungan itu saja lalu tinggalkan Jaga
"Kamu sudah mengerti betul rupanya apa peranmu disini. Itu hal yang bagus karena aku tidak perlu terlalu mendikte agar kamu melakukan sesuatu." Jagad tersenyum tipis. "Bayi siapa itu? Siapa ayahnya?" Jagad menatap perut Ana yang masih terlihat rata. "Harusnya kamu sudah tahu kan? Kamu juga yang meminta pada dokter agar kehamilan ini dirahasiakan. Entah apa yang kamu bilang kepada dokter itu hingga mau-mau saja dia menurut ke kamu. "Kamu rupanya salah paham, Ana. Kekuasaanku belum sebesar itu hingga mampu untuk memerintah dokter seperti itu." Jagad tersenyum meremehkan pada Ana yang menganggap dirinya mengetahui semua hal tentang Jagad. "Maksud kamu?" Ini kegilaan macam apa lagi. Apakah ada orang lain selain Jagad yang terlibat dalam permainan gila ini. Ah Ana tidak ingin terlalu pusing dalam memikirkannya. Asalkan dia menurut pada Jagad maka kehidupannya sebagai Edna akan dijamin kan. "Ah iya, lain kali aku harus memanggil kamu Edna karena bisa gawat jika semua orang mulai curiga.
"Aku bukan Edna." Ana yang rambutnya sedang disisir oleh Patrik kemudian bicara dengan pelan. Ana hanya ingin mendapatkan keluarga yang menyayangi dia kok. Tapi kenapa sulit sekali ya? Disaat ada kesempatan seperti ini Ana malah merasa bahwa Jagad lah yang menghalangi segalanya. Seandainya tidak ada Jagad maka Ana akan bisa menjadi Edna dan melakukan apapun dia mau tanpa ada bayang-bayang dari Jagad. Patrik yang sudah tahu keadaan Edna dari dokter yang merawatnya berusaha tegar saat Edna kambuh lagi seperti ini. Baiklah, Patrik akan berusaha semaksimal mungkin agar Edna tidak lagi kambuh seperti ini. "Kalau kamu bukan Edna kamu siapa dong?" Patrik menanti jawaban dari Edna. Apakah Edna akan menyebut nama Ana lagi? Mendengar Patrik yang mau meladeni ucapannya membuat Ana merasa terharu dan langsung menuangkan apa yang mengganjal di hatinya. Walaupun Ana yakin bahwa Patrik tidak menganggap ucapannya sebagai kebenaran setidaknya Patrik sudah meladeni ucapannya dengan baik. "Aku itu An
Jagad masih saja terus menelpon Ana. Yang bisa Ana lakukan adalah memberlakukan mode silent pada ponselnya agar tidak ada dering panggilan yang menganggu. Demi apapun rasanya Ana benar-benar ingin lari dari sini saja."Ana, mas masuk dulu ya." Patrik mengetuk pintu bebarengan dengan panggilan dari Jagad. Tentu saja hal ini membuat Ana langsung mematikan panggilan tersebut. Ana tidak ingin terjadi hal yang tidak diinginkan. "Iya, mas. Ana kemudian segera menonaktifkan ponselnya dan meletakkannya di kasur begitu saja. "Ini mas bawain nasi hainan buat kamu. Ini juga ada susu...eh ini bukan susu yang biasanya kamu minum. Ini...ini susu..." Patrik terlihat kesulitan untuk berbicara dan Ana paham betul apa yang membuat Patrik sampai seperti itu. "Susu ibu hamil kan?" Ana tersenyum menenangkan dan hal itu tentu saja membuat Patrik bisa bernafas lega. "Ah, iya. Mas bingung mau ngomong kayak gimana. Oh iya, kamu pengen sesuatu lagi kah? Ibu hamil tuh ngidam gitu kali ya?" Patrik terlihat c
"Akhirnya kamu mengangkat panggilan dari aku ya." Saat ini Jagad dan Ana bertemu di luar karena memang ingin bicara dua mata. Seandainya Jagad tahu betapa sulitnya untuk meminta izin agar bisa keluar sendiri saja. Lagi-lagi Ana menggunakan alasan kehamilan. "Kenapa kamu kayak perempuan gini?" Ana merasa terkejut ketika melihat Jagad yang berdandan seperti perempuan. Jika Ana tidak tahu bahwa Jagad adalah laki-laki dia pasti akan percaya kalau dibilang Jagad adalah perempuan. "Menurut kamu, keluarga kamu itu akan membiarkan begitu saja kamu keluar sendirian? Mereka pasti mengawasi kamu dan saat ini aku melihat ada beberapa orang yang mengawasi kamu dari kejauhan. Lain kali berpikir dengan baik, Ana. Edna adalah gadis yang pintar jadi sudah seharusnya kamu seperti dia. Jangan mempermalukan nama Edna selama kamu hidup menjadi dia." Jagad berucap dengan dingin dan itu tambah melukai harga diri Ana. "Aku hanya gadis pengganti. Gak penting kan aku bersikap seperti apa selama menjadi Edna
Ana merebahkan dirinya di atas kasur kamarnya. Demi apapun hari ini melelahkan sekali. Ana pikir setelah jadi Edna hidupnya akan damai dan menyenangkan. Rupanya kenyataan tidak sebaik ekspetasi yang ada. Yang Ana rasakan sekarang adalah perasaan tertekan. "Edna, ayo keluar dulu. Papa mau ngomong di ruang keluarga." Dari luar kamar Claudia memberikan Ana instruksi agar keluar dari kamar. Ana sebenarnya ingin menolak permintaan itu tapi merasa tak tega. Bisa-bisa nanti semuanya akan jadi kacau balau karena Ana kebanyakan bertingkah. "Edna, kamu tidur atau gimana? Mama ke kamar kamu ya?" Karena tak kunjung mendapatkan jawaban dari Ana, Claudia berniat untuk masuk ke dalam kamarnya saja. Ana langsung gelagapan dan segera menyahut. "Aku gak tidur kok, ma. Ini aku mau keluar jadi mama gak usah masuk ke dalam kamar." Saat ini Ana tidak ingin wilayahnya dimasuki oleh siapapun. "Oke kalau gitu. Kamu langsung keluar kamar ya karena papa mau ngobrol penting dengan kita semua." Claudia mengu
"Kenapa papa yang memusuhi kamu malah mau menerima kamu disini? Kamu bahkan diajak ke perkampungan mawar. Trik apa yang kamu pakai Jagad?" Wajah Ana saat ini menunjukkan betapa geramnya dia. Tentu saja Ana merasa geram karena dia pikir dia tidak akan perlu bertemu dengan Jagad sampai nanti dia memutuskan untuk menerima lamaran Jagad. "Trik? Kamu selalu berprasangka buruk padaku, Ana. Tidak ada satupun trik yang aku lakukan sehingga bisa pergi denganmu ke perkampungan mawar. Lagipula bagus juga kan kalau aku ikut. Mulut orang-orang disana sangat liar dan dengan penampilan kamu sekarang maka tentu saja orang-orang tersebut akan heboh sendiri. Nah jadi apa kamu berpikir bahwa lebih aku tidak ikut?" Berbeda dengan Ana yang dengan terang-terangan menunjukkan bahwa dia tidak suka dengan kenyataan bahwa Jagad ikut ke perkampungan mawar, Jagad justru terlihat sangat santai. Jagad menunjukkan sikap tenang yang membuat Ana semakin muak. "Aku bisa mengatasi masalahku sendiri. Dengan adanya kam