Share

Bukan Sebatas Gadis Pengganti
Bukan Sebatas Gadis Pengganti
Penulis: Lavien Wu

Pertemuan dengan Pria Aneh

"Ana, kalau kerja yang becus! Jangan cuma leha-leha aja! Kamu pikir kamu siapa di rumah ini?!"

Ana menghela napas mendengar ucapan dari wanita paruh baya itu. "Kerjaan aku udah beres semua, Tante. Piring sama perabotan yang lain udah dicuci, baju kalian semua juga udah dicuci, rumah udah dibersihin. Bukannya kalian yang dari tadi cuma leha-leha?"

PLAK!

"Dasar jalang gak tahu diri! Masih untung kamu masih diterima di rumah ini. Anak haram itu gak usah kebanyakan bacot!” sergah Rita, ibu tiri Ana. Setelah puas mencacinya, wanita itu pergi dan memanggil ketiga anaknya.

Ana merasakan bekas tamparan yang sakit sekaligus panas. Dari dulu ibu tirinya itu memang punya dendam yang membara pada Ana karena ia adalah anak selingkuhan ayahnya. Ana tahu, Rita merasa sakit hati dengan bukti perselingkuhan suaminya yang hidup di rumah yang sama dengan dirinya. 

Dan Ana tidak bisa melakukan apapun untuk itu. Ibu tirinya akan selalu memperlakukannya dengan kasar, seolah dirinya bukan manusia. 

"Heh pelacur, mana uang buat aku?" Alma, anak sulung keluarga itu, datang menghampirinya dengan wajah galak.

“Nggak ada,” kata Ana. “Kamu minta ke Bapak aja. Kemarin upahku udah aku belikan untuk kebutuhan sehari-hari.” 

"Dasar belagu! Udah dibilangin tiap dapat duit dari hasil kerjaan kamu itu ya harus dikasih ke aku! Sialan!" Alma mengumpat sambil menendang tulang kering Ana dengan keras. 

Tendangan itu langsung membuat Ana terjatuh. Alma mendengus melihat saudara tirinya meringis kesakitan. "Dasar manja! Ditendang gitu aja langsung roboh!" 

Masih pagi, tapi Ana sudah mendapatkan dua macam kekerasan fisik yang mengenai pipi dan kakinya. Ana mungkin harus menanti lagi siksaan fisik dari dua saudara tirinya yang lain.

"Ya ampun, Ana. Kamu baik-baik saja?" Nara, saudara tiri yang lain menatapnya iba. Namun, tatapan itu berubah secepat kilat saat dengan sengaja Nara menuangkan air minumnya ke tubuh Ana. "Astaga, tangan aku kepeleset. Maaf ya." 

Setelah melakukan itu, Ana ditinggalkan sendiri dengan kondisi kuyup.

Sungguh, rasanya Ana sudah muak dengan keadaan ini. Ana buru-buru berdiri agar Vina tidak menambah penderitaannya. 

Vina adalah manusia terkejam di rumah ini. Ana tidak ingin mencari gara-gara dengan dirinya. Namun naas, Ana terlambat. Suara Vina muncul dari arah belakangnya, membuat Ana menelan ludah gugup.

"Loh, Ana? Kok masih di rumah? Bukannya harusnya kamu udah berangkat kerja?” Vina memang berucap dengan lembut, tapi senyum palsu di wajahnya itu benar-benar mengerikan. Seolah ia akan menerkam ketika Ana lengah. 

"Vina, ngapain kamu masih ngobrol sama anak haram itu?!" Sebelum Vina memberikan siksaan pada Ana, ibunya lebih dulu menegur agar ia segera berangkat.

Vina mendengus, tapi tak membantah. Ia berlalu setelah melemparkan tatapan penuh peringatan pada Ana yang tertunduk.

"Heh, anak haram! Ngapain masih di sana? Sana kerja! Mau jadi apa kamu kalau malas seperti itu!” cecar Rita pada Ana yang hanya berdiri sambil melamun.

Ana hanya menoleh sekilas sebelum keluar untuk berangkat kerja. Tentu saja tindakan tersebut dianggap tidak sopan oleh Rita sehingga dia memaki-maki Ana yang sudah keluar dari rumah. 

"Dasar jalang gak tahu diri! Begini nih akibatnya kalau anak yang lahir dari perbuatan haram!"

*

"Edna, kok kamu di sini? Masih marah soal kemarin?" 

Sore itu, Ana berjalan pulang sehabis bekerja. Tapi tiba-tiba saja, seseorang menarik tangannya. Saat menoleh dan menjumpai seorang pria asing, Ana langsung menghempaskan pegangan pria itu. 

Apalagi Ana dipanggil dengan nama orang lain. Siapa juga Edna itu?

"Maaf sepertinya Mas salah orang. Saya bukan Edna." Ana pun segera bergegas kembali berjalan. 

Upah pekerjaan sebagai buruh cuci dan buruh gosok kali ini jelas akan diminta oleh Rita. Untung saja tadi Ana sudah menyisihkan sedikit uangnya untuk ditabung.

"Edna, kamu masih marah? Apa-apaan juga baju kamu ini? Ngapain kamu pakai baju lusuh begini? Kalau mama kamu tahu pasti beliau bisa syok!"

Ana yang dikejar oleh pria itu tentu saja merasa kesal. Ia masih harus melakukan banyak pekerjaan di rumah. Tiba-tiba saja orang ini memanggilnya dengan nama yang aneh dan juga menghina dirinya. 

"Mas, Anda salah orang. Saya bukan Edna dan soal baju saya yang lusuh ini, ya memang ini pakaian saya sehari-hari," kata Ana berusaha tidak tersulut emosi.

Ana tahu bahwa orang di depannya ini adalah orang kaya, terlihat dari penampilan dan barang-barang branded yang melekat di tubuhnya. Dia terlihat sangat kontras dengan pemukiman di sekitarnya.

“Edna, jangan bercanda,” kata pria itu lagi. Ia mendekat dan menelisik wajah Ana dengan kerutan pada dahi. “Wajah kamu kenapa? Kok jadi kusam begini?” 

Ana menghela napas panjang, mulai lelah menghadapi lelaki aneh di hadapannya. Tepat saat ingin bersuara, dering ponsel tiba-tiba terdengar. 

“Sebentar aku angkat telepon dulu.” 

Pria itu sedikit menjauh dari Ana. Dari caranya memegang ponsel, Ana tahu pria itu sedang melakukan panggilan video. Ekspresinya yang tadinya datar tiba-tiba berubah kaget. Matanya membelalak sambil sesekali menatap ke arah Ana. 

Ana tidak mendengar percakapan mereka, tapi yang jelas, pria asing itu tampak begitu syok.

Tak lama kemudian, pria itu kembali lagi setelah selesai bertelepon. "Mbak, maafkan saya yang kurang ajar sama mbak dan mengganggu aktivitas mbaknya,” katanya sungkan. Ia lalu menyerahkan sebuah kartu nama pada Ana. “Mbak bisa datang ke sini untuk minta ganti rugi atas kesalahan saya.” 

Ana menerima kartu itu dengan ragu, dahinya mengerut kebingungan. Mengapa pria itu tiba-tiba ingin ganti rugi?

"Tenang saja mbak, untuk biaya transportasi ke sana dan pulang akan saya tanggung. Saya harap mbak mau menerima permintaan maaf saya."

Ana terdiam sambil berpikir. Pria ini ingin ganti rugi dengan apa? Apakah dia akan memberi sejumlah uang? 

‘Aku lagi butuh uang,’ batin Ana sambil menimbang-nimbang.

"Kalau saya ke sana besok apa bisa? Saya butuh uang ganti ruginya," kata Ana, berusaha menekan harga diri. Bagaimanapun, ia pasti akan terbantu jika pria itu benar-benar memberinya uang. 

‘Setidaknya, aku tidak akan disiksa untuk sementara waktu kalau membawa uang lebih,’ pikir Ana.

Pria itu mengangguk. “Besok mbak hubungi saja nomor di kartu itu kalau memang mau ke tempat saya. Oh, nama mbak siapa? Saya Jagad.” 

“Saya Ana,” sahutnya. 

Jagad kembali mengangguk. Setelah basa-basi sejenak,  ia pamit pergi. 

Ana juga kembali melanjutkan jalan dengan pikiran melanglang buana. Ia merasa ini pertemuan yang aneh. Apalagi, pria itu benar-benar mengira dirinya adalah orang lain. 

Sebenarnya, siapa Edna itu? Dan mengapa Jagad tampak begitu terkejut melihatnya?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status