**Entah bagaimana, Rissa seperti bisa menebak ke arah mana cerita Radit bermuara. Semua potongan-potongan kisah yang berceceran sejauh ini, rasanya seperti membentuk sebuah fakta bulat yang agak mencengangkan.Pernyataan Abian yang mengatakan bahwa bayi yang telah dilahirkan Aneska itu bukanlah darah dagingnya. Lalu foto sang makhluk mungil itu sendiri yang memang tidak mirip dengan baik Abian maupun Aneska. Dan yang terakhir ini. Aneska adalah mantan pacar Radit yang belum lama putus.Apakah berlebihan jika Rissa merasa ... bayi itu agak mirip dengan Radit?"Oh, sial!" Perempuan itu merutuk pelan. "Please, Ris. Ini tuh sama sekali nggak ada hubungannya sama hidup kita. Please. Masa-masa Abian udah berakhir, dan kamu masih cukup waras buat mengingat kalau dia sendiri yang mengakhirinya. Jadi kalaupun sekarang mau rumah tangga mereka hancur karena ternyata bayi itu anaknya Aneska sama Radit, ya terus kenapa? Apa masalahmu? Apa hubungannya denganmu? Nggak ada!"Ponsel di atas meja itu
**Carissa tidak mau mengatakan kepada Gara tentang berita yang tadi ibu mertuanya bawa. Biarlah itu menjadi urusan suaminya saja. Ia merasa tidak memiliki hak untuk mengurusi kinerja Radit. Nah, namun yang tetap menjadi beban pikiran adalah, perempuan yang bersama lelaki playboy itu. Membawa bayi? Ya siapa lagi kalau bukan Aneska.Jika Anes pergi bersama Radit, lalu apakah Abian mengetahui hal ini?Demi Tuhan Carissa, sekali lagi itu bukan urusanmu!Menepuk-nepuk pipinya dengan keras, Rissa kembali fokus kepada kegiatan awalnya, membuatkan kopi untuk sang suami. Sagara yang pekanya keterlaluan itu pasti curiga jika Carissa terlalu lama berada di dapur."Lama banget, kamu nggak apa-apa?" Nah, benar, kan?"Iya, Kak. Tadi sama sekalian ngecek dapur. Kopi sama beberapa kebutuhan dapur habis. Kamu sibuk, nggak? Bisa anter aku ke supermarket?""Yaah, aku ada zoom meeting habis ini. Gimana, dong? Kamu mau sama driver?" Raut lelaki itu tampak kecewa sendiri, tapi Rissa kemudian menyambutnya
**Nah, namun benarkah Rissa sungguh-sungguh menganggap bahwa hidup Aneska dan Abian bukan lagi urusannya sekarang?Aneska mungkin ya, Rissa tidak mau lagi berurusan dengan perempuan itu. Tapi Abian?Bagaimana keadaan Abian saat ini, setelah tak lagi bersama dengan Aneska? Apakah lelaki itu baik-baik saja?Rissa menghela napas panjang dan berusaha menenangkan dirinya sendiri sementara Mini Cooper-nya memasuki gerbang rumah. Dan tanpa diduga-duga, suaminya sudah berdiri berkacak pinggang di depan pintu rumah mereka."Kakak ngapain di sini?" tanya Rissa keheranan."Nungguin kamu, lah." Gara menjawab seraya meraih kantong belanjaan dari tangan sang istri. "Kan aku udah bilang jangan lama-lama, Ris."Kata-kata itu membuat Rissa menengok arloji di pergelangan tangannya, dan berdecak kemudian. "Astaga, Kak Gara, aku bener-bener hanya pergi selama satu jam seperti yang kamu bilang tadi, loh.""Masa, sih? Tapi rasanya udah lama banget, tuh."Rissa geleng-geleng kepala seraya mengikuti Gara me
**"Kenapa kamu nggak mau ikut aja, sih?" Sagara berkata dengan setengah memaksa kepada istrinya yang saat itu tengah memasukkan beberapa potong pakaian ke dalam travel bag."Udah dibilangin, Kak. Aku tuh nggak boleh sering-sering ninggalin butik sama Mami. Mami kan masih ribet ngurusin cabang baru yang buka seminggu lalu."Decak tidak suka itu terdengar lagi. "Tapi aku jadi ninggalin kamu sendirian di rumah, kan?""Cuma dua hari, Kak. Aku janji bakalan baik-baik aja di rumah, kok." Carissa tersenyum sembari menutup risleting tas berisi baju suaminya tadi. "Apa sih yang kamu khawatirin? Kegiatan aku cuma seputar di rumah sama di butik aja. Di butik aku nggak mungkin ke mana-mana. Di rumah pun ada sekuriti yang jagain."Lelaki itu tampak cemberut. Dari tadi kerjanya hanya mengekori saja ke mana istrinya melangkah. Nah, besok Gara ada perjalanan bisnis ke kota sebelah. Dan ia memaksa istrinya untuk ikut serta. Namun, Rissa harus menolak karena dirinya juga memiliki tanggung jawab yang t
**"Rissa, Om mohon dengan sangat. Tolong kamu kembali lagi sama Abian, ya ...."Kedua obsidian cokelat milik Rissa otomatis melebar kala mendengar penuturan lelaki separuh baya di hadapannya itu. Lidahnya kelu, tak memiliki apapun untuk diucapkan."Abian sangat mencintai kamu, Ris. Dia nggak bisa lanjutkan hidupnya tanpa kamu. Dia seperti kehilangan semangat hidupnya sekarang."Oh, Tuhan.Carissa rasanya ingin sekali mengatakan kepada manusia ini, begitulah dirinya dahulu ketika Abian mencampakkannya tanpa ampun. Begitulah rasanya ketika Rissa menemukan lelaki itu berada di dalam kamar Aneska dan melakukan apa yang tidak seharusnya mereka lakukan. Rissa dulu tidak boleh sama sekali meminta bantuan, kan? Jadi mengapa sekarang ia harus membantu Abian yang sudah membuangnya?"Rissa ...."Tersenyum kecil, Carissa berusaha memilih kata-kata yang tepat untuk disampaikan kepada Henry."Om, saya minta maaf–""Kamu nggak mau nerima Abian lagi, Ris?" Belum selesai bicara, lelaki itu sudah memo
**Carissa baru saja mengangkat slingbag-nya untuk bersiap pulang. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah enam sore. Butik buka sampai malam, tapi Rissa hanya bekerja sampai jam-jam kantor biasanya. Ini saja sudah ia lebihkan sedikit agar nanti ketika sampai rumah bisa langsung beristirahat."Kamu masih di sini?" Yasmin berdiri di ambang pintu. Wajahnya tampak heran melihat sang menantu yang masih berada di tempat."Kenapa, Mam?""Biar apa rajin-rajin gini? Biar aku terkesan?"Kalau itu orang lain, sudah pasti tak lagi punya nyali berhadapan dengan Yasmin. Tapi ini Carissa, bukan orang lain. Dan tentu saja, ia sudah terbiasa menghadapi sikap sarkas ibu mertuanya ini."Kak Gara lagi ada projek ke luar kota, Mam. Rissa di rumah sendirian. Pulangnya malem-malem aja biar ntar langsung tidur, gitu.""Loh, Gara ke luar kota?" Yasmin kini tampak dua kali heran. "Kok nggak bilang sama aku?""Mungkin mendadak?" tebak Rissa. Sepertinya memang mendadak, sih. Gara mengatakannya malam sebelum bera
**"Oh ya, dan satu lagi. Tadi siang aku kayak lihat kamu di kafe depan butik sama laki-laki. Bener nggak, sih?" Ah, mampus! Mampus lah!Carissa nyaris tersedak. Ia buru-buru meraih cangkir berisi latte di hadapannya. Kali ini menyesap isinya dengan hati-hati agar tidak semakin mencurigakan."Laki-laki, Mam?" Perempuan itu bertanya dengan gestur senatural mungkin. "Laki-laki siapa, sih?""Ya mana kutahu, lah. Aku cuma lihat sekilas dari jendela kantor lantai atas. Yang jelas itu kamu. Aku lihat bajumu." Yasmin menunjuk blus warna pink yang Rissa kenakan saat ini. Membuat perempuan itu mendadak berkeringat dingin. Aduh, bagaimana ini? Apa yang harus ia katakan?"Ah, mungkin sesama pengunjung kafe kali, ya? Tadi siang Rissa emang ke sana buat makan siang, sih. Dan kebetulan waktu itu keadaannya rame."Segala doa Rissa ucapkan dalam hati. Berharap supaya ibu mertuanya itu percaya. Dan, ya. Sepertinya memang percaya."Iya juga, sih. Aku cuma liat kamu masuk bareng sama laki-laki, gitu. A
**"Iya, ini aku Abian, Rissa."Berkali-kali, Carissa memandang layar ponselnya untuk memastikan bahwa seseorang di seberang sana itu tidak sedang bercanda. Ini sungguh-sungguh Abian ataukah hanya orang iseng yang berniat mengganggu waktu istirahat malamnya?Ah, mana mungkin sih orang iseng. Untuk apa memangnya orang melakukan itu?"A-Abian?""Apa aku mengganggu?"Carissa sontak berdecak. "Ya tentu saja. Kamu nelepon istri orang malam-malam, jelas kan itu mengganggu. Kamu pikir gimana perasaan Kak Gara kalau sampai tahu hal ini?""Sagara lagi nggak ada di rumah."Kedua manik gelap Rissa terbelalak panik. Dari mana manusia satu ini mengetahui bahwa suaminya sedang tidak ada di rumah? Carissa mendadak bergidik sendiri. Apakah Abian sedang menguntitnya atau semacam itu?"Kata siapa?" Untuk menutupi keterkejutannya, Rissa berujar dengan sedikit keras. "Kak Gara ada di toilet. Makanya cepet tutup teleponnya!""Gara ada di luar kota.""Abian, kamu–" Carissa tidak bisa melanjutkan kata-katan