**"Rissa, Om mohon dengan sangat. Tolong kamu kembali lagi sama Abian, ya ...."Kedua obsidian cokelat milik Rissa otomatis melebar kala mendengar penuturan lelaki separuh baya di hadapannya itu. Lidahnya kelu, tak memiliki apapun untuk diucapkan."Abian sangat mencintai kamu, Ris. Dia nggak bisa lanjutkan hidupnya tanpa kamu. Dia seperti kehilangan semangat hidupnya sekarang."Oh, Tuhan.Carissa rasanya ingin sekali mengatakan kepada manusia ini, begitulah dirinya dahulu ketika Abian mencampakkannya tanpa ampun. Begitulah rasanya ketika Rissa menemukan lelaki itu berada di dalam kamar Aneska dan melakukan apa yang tidak seharusnya mereka lakukan. Rissa dulu tidak boleh sama sekali meminta bantuan, kan? Jadi mengapa sekarang ia harus membantu Abian yang sudah membuangnya?"Rissa ...."Tersenyum kecil, Carissa berusaha memilih kata-kata yang tepat untuk disampaikan kepada Henry."Om, saya minta maaf–""Kamu nggak mau nerima Abian lagi, Ris?" Belum selesai bicara, lelaki itu sudah memo
**Carissa baru saja mengangkat slingbag-nya untuk bersiap pulang. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah enam sore. Butik buka sampai malam, tapi Rissa hanya bekerja sampai jam-jam kantor biasanya. Ini saja sudah ia lebihkan sedikit agar nanti ketika sampai rumah bisa langsung beristirahat."Kamu masih di sini?" Yasmin berdiri di ambang pintu. Wajahnya tampak heran melihat sang menantu yang masih berada di tempat."Kenapa, Mam?""Biar apa rajin-rajin gini? Biar aku terkesan?"Kalau itu orang lain, sudah pasti tak lagi punya nyali berhadapan dengan Yasmin. Tapi ini Carissa, bukan orang lain. Dan tentu saja, ia sudah terbiasa menghadapi sikap sarkas ibu mertuanya ini."Kak Gara lagi ada projek ke luar kota, Mam. Rissa di rumah sendirian. Pulangnya malem-malem aja biar ntar langsung tidur, gitu.""Loh, Gara ke luar kota?" Yasmin kini tampak dua kali heran. "Kok nggak bilang sama aku?""Mungkin mendadak?" tebak Rissa. Sepertinya memang mendadak, sih. Gara mengatakannya malam sebelum bera
**"Oh ya, dan satu lagi. Tadi siang aku kayak lihat kamu di kafe depan butik sama laki-laki. Bener nggak, sih?" Ah, mampus! Mampus lah!Carissa nyaris tersedak. Ia buru-buru meraih cangkir berisi latte di hadapannya. Kali ini menyesap isinya dengan hati-hati agar tidak semakin mencurigakan."Laki-laki, Mam?" Perempuan itu bertanya dengan gestur senatural mungkin. "Laki-laki siapa, sih?""Ya mana kutahu, lah. Aku cuma lihat sekilas dari jendela kantor lantai atas. Yang jelas itu kamu. Aku lihat bajumu." Yasmin menunjuk blus warna pink yang Rissa kenakan saat ini. Membuat perempuan itu mendadak berkeringat dingin. Aduh, bagaimana ini? Apa yang harus ia katakan?"Ah, mungkin sesama pengunjung kafe kali, ya? Tadi siang Rissa emang ke sana buat makan siang, sih. Dan kebetulan waktu itu keadaannya rame."Segala doa Rissa ucapkan dalam hati. Berharap supaya ibu mertuanya itu percaya. Dan, ya. Sepertinya memang percaya."Iya juga, sih. Aku cuma liat kamu masuk bareng sama laki-laki, gitu. A
**"Iya, ini aku Abian, Rissa."Berkali-kali, Carissa memandang layar ponselnya untuk memastikan bahwa seseorang di seberang sana itu tidak sedang bercanda. Ini sungguh-sungguh Abian ataukah hanya orang iseng yang berniat mengganggu waktu istirahat malamnya?Ah, mana mungkin sih orang iseng. Untuk apa memangnya orang melakukan itu?"A-Abian?""Apa aku mengganggu?"Carissa sontak berdecak. "Ya tentu saja. Kamu nelepon istri orang malam-malam, jelas kan itu mengganggu. Kamu pikir gimana perasaan Kak Gara kalau sampai tahu hal ini?""Sagara lagi nggak ada di rumah."Kedua manik gelap Rissa terbelalak panik. Dari mana manusia satu ini mengetahui bahwa suaminya sedang tidak ada di rumah? Carissa mendadak bergidik sendiri. Apakah Abian sedang menguntitnya atau semacam itu?"Kata siapa?" Untuk menutupi keterkejutannya, Rissa berujar dengan sedikit keras. "Kak Gara ada di toilet. Makanya cepet tutup teleponnya!""Gara ada di luar kota.""Abian, kamu–" Carissa tidak bisa melanjutkan kata-katan
**"Apanya yang nggak boleh ajak aku?"Dua perempuan itu sontak menoleh ke arah pintu ruang makan begitu vokalisasi bariton menyapa dari sekitar sana. Nah, benar saja. Sagara berdiri dengan hasta terlipat di dada dan tubuh bersandar pada dinding."Loh, Kak Gara?" Carissa serius terbelalak kaget. "Bukannya pulangnya masih nanti sore? Kok udah ada di situ aja? Kapan dateng, ih?""Kok kamu kelihatannya nggak seneng gitu aku dateng, hm?""Eh, bukan gitu. Tapi kan kamu bilangnya nanti sore."Lelaki gagah itu beranjak dari ambang pintu menuju meja makan berisi dua perempuan tersayangnya yang sedang terkejut. Duduk di kursi samping Carissa, lalu memandang wanitanya dengan serius."Sopan santunmu mana, Gar? Main duduk aja, nggak kasih salam sama orang tua dulu," hardik Yasmin tiba-tiba, membuat yang bersangkutan pura-pura terlonjak kaget."Oh, astaga! Ternyata ada Mami juga di sini. Sorry, Mam. Karena begitu aku lihat Rissa, alam sekitar rasanya mendadak blur. Good morning Mrs. President. Hav
**Member premium?Aneska hanya pernah mendengar sekilas dari Abian bahwa selepas putus dengan lelaki itu, Carissa tiba-tiba menikah dengan seorang businessman sukses. Sesiapa orang itu, Abian sama sekali enggan menjelaskan. Nah, pun Radit. Hanya menyuarakan tawa penuh ejekan kala Rissa bertanya siapa lelaki yang telah mempersunting sepupunya itu dan mengapa Radit begitu menghormatinya.Sekarang, Aneska seperti ditampar oleh kenyataan dengan mengetahui semuanya."Ibu Rissa, saya sungguh minta maaf." Itu adalah manager yang sebenarnya. Masih tetap membungkuk penuh hormat, membuat Rissa sungkan sendiri."Sudah, sudah. Nggak perlu seperti itu, saya nggak apa-apa, kok. Santai aja.""Tolong jangan menurunkan standar anda terhadap perusahaan kami karena kejadian barusan ya, Ibu Rissa."Carissa tertawa pelan, sementara kedua obsidian Aneska bertambah lebar saja. "Keputusan apapun kan terserah Mami, Kak. Saya hanya menemani, kok.""Ada apa?" Suara lain menyusul masuk dari arah luar. Yasmin b
**"Lagi mikirin apa?"Carissa tersentak sedikit kala suaminya bertanya demikian. Walau seharusnya tidak perlu. Karena tampak jelas pada raut wajahnya yang ayu, perempuan itu sedang overthinking."Nggak ada, Kak.""Harus banget ya, dipaksa ngomong?"Carissa membuang napas dengan jengah. Lupa kadang-kadang lelaki yang berbaring di sampingnya itu keras kepala dan punya sedikit kadar red flag dalam dirinya."Aku mau cerita, tapi nggak mau kalo kamu marah.""Kenapa harus marah?""Harusnya pertanyaan itu aku yang ajuin. Aku cuma mau cerita, jadi kalo nanti kamu marah, aku yang tanya begitu."Sagara terkekeh pelan seraya merapatkan tubuhnya menghadap sang istri. Jemarinya terulur dan bergerak pelan, menelusuri kulit punggung Carissa yang mulus tak tertutup apapun. Oke, setelah mendapatkan beberapa kali pelepasan yang sangat satisfying, suasana hati Gara bisa sangat bagus, jadi mungkin tak apa-apa jikalau Rissa ingin cerita."Jangan marah dan jangan salahin aku." Perempuan itu memperingatkan
**Rissa memejamkan mata. Menikmati hangatnya sinar mentari pagi yang menghujani wajahnya dengan cahaya hangat keemasan. Ini menyenangkan. Sudah berapa lama ia tidak menikmati waktu yang damai seperti ini? —yah, meski keadaan sama sekali tidak sedang damai, sih. Perempuan itu duduk di atas ayunan kecil di taman belakang rumah sembari menikmati pagi yang cerah di hari Sabtu. Sagara masih tidur dan kebetulan Rissa sedang ingin melamun sendirian. Maka ia biarkan saja lelakinya itu terlelap di alam mimpi sedikit lebih lama dari biasanya."Tolong, kamu kembali dengan Abian ...."Kilasan suara Henry Danurendra yang pertama kali membuat Rissa menghela napas dalam-dalam. "Kamu nggak akan pernah bisa bayangkan apa yang bisa aku perbuat kalau kamu berani pergi tinggalin aku."Beban yang kedua disumbang oleh Sagara. Lagi, Carissa harus menghela napas dengan lelah. Entah mengapa lelaki itu menjadi demikian posesif akhir-akhir ini."Aku merindukan kamu."Abian pula masih berani-beraninya menamb