**"Lagi mikirin apa?"Carissa tersentak sedikit kala suaminya bertanya demikian. Walau seharusnya tidak perlu. Karena tampak jelas pada raut wajahnya yang ayu, perempuan itu sedang overthinking."Nggak ada, Kak.""Harus banget ya, dipaksa ngomong?"Carissa membuang napas dengan jengah. Lupa kadang-kadang lelaki yang berbaring di sampingnya itu keras kepala dan punya sedikit kadar red flag dalam dirinya."Aku mau cerita, tapi nggak mau kalo kamu marah.""Kenapa harus marah?""Harusnya pertanyaan itu aku yang ajuin. Aku cuma mau cerita, jadi kalo nanti kamu marah, aku yang tanya begitu."Sagara terkekeh pelan seraya merapatkan tubuhnya menghadap sang istri. Jemarinya terulur dan bergerak pelan, menelusuri kulit punggung Carissa yang mulus tak tertutup apapun. Oke, setelah mendapatkan beberapa kali pelepasan yang sangat satisfying, suasana hati Gara bisa sangat bagus, jadi mungkin tak apa-apa jikalau Rissa ingin cerita."Jangan marah dan jangan salahin aku." Perempuan itu memperingatkan
**Rissa memejamkan mata. Menikmati hangatnya sinar mentari pagi yang menghujani wajahnya dengan cahaya hangat keemasan. Ini menyenangkan. Sudah berapa lama ia tidak menikmati waktu yang damai seperti ini? —yah, meski keadaan sama sekali tidak sedang damai, sih. Perempuan itu duduk di atas ayunan kecil di taman belakang rumah sembari menikmati pagi yang cerah di hari Sabtu. Sagara masih tidur dan kebetulan Rissa sedang ingin melamun sendirian. Maka ia biarkan saja lelakinya itu terlelap di alam mimpi sedikit lebih lama dari biasanya."Tolong, kamu kembali dengan Abian ...."Kilasan suara Henry Danurendra yang pertama kali membuat Rissa menghela napas dalam-dalam. "Kamu nggak akan pernah bisa bayangkan apa yang bisa aku perbuat kalau kamu berani pergi tinggalin aku."Beban yang kedua disumbang oleh Sagara. Lagi, Carissa harus menghela napas dengan lelah. Entah mengapa lelaki itu menjadi demikian posesif akhir-akhir ini."Aku merindukan kamu."Abian pula masih berani-beraninya menamb
**"Oh, honeymoon? Kalian mau ke mana? Biar aku yang belikan tiketnya." Suara Yasmin bergema melalui speaker ponsel. Sagara melayangkan pandangan apa gue bilang, kan? Kepada Carissa yang masih berdiri di balik counter dapur."Rissa nggak mau jauh-jauh. Katanya khawatir sama butik kalo ditinggal lama." Gara menimpali. Sengaja suaranya dibuat agak bernada kesal begitu supaya ibunya luluh."Oh, itu bagus, sih. Berarti istrimu bisa manage waktu dengan baik." Oh, sepertinya tidak bisa luluh semudah itu, sih. "Jadi kalian mau ke mana?""Ke Bali, Mam.""Cupu!"Sagara mau tak mau mendengus tertawa, sementara Carissa terbelalak manakala ibu mertuanya meneriaki cupu hanya karena ia dan suaminya memutuskan liburan ke Bali. Bahkan Rissa saja belum pernah tahu rupa Bali yang asli itu seperti apa."Singapura kek, minimal."Gara kembali melayangkan pandangan minta pendapat kepada Rissa, namun perempuan itu tetap menggeleng tak setuju."Rissa nggak mau. Udahlah nggak apa-apa. Lagian bagus kan kalau
**Gara memastikan hingga driver yang membantu membawakan koper ke dalam resort sudah benar-benar pergi, sebelum menyusul istrinya yang sedang mencuci muka di kamar mandi."Panas, ya?" keluh perempuan itu ringan. Hanya bermaksud mengatakan apa yang memang terasa, bukannya benar-benar mengeluh. Tapi Sagara bergerak dengan kecepatan cahaya, merenggut dress yang perempuan itu kenakan."Kak Gara! Hei!""Kan kamu bilang panas.""Ya enggak begini juga, kali!" Carissa berkata dengan kedua mata melotot kaget. Ia berusaha merebut kembali bajunya yang tadi Gara rebut paksa. "Siniin bajuku, Kak!""Aku nggak ajak kamu ke sini cuma buat pindah tiduran."Ah, sial! Seharusnya Rissa sudah tahu akhirnya akan seperti ini, kan? Manusia bernama Sagara itu mana mau rugi sampai meninggalkan kantornya tanpa keuntungan apapun. Sepertinya Rissa harus siap-siap nyeri punggung dan kaki sepulangnya dari tempat ini nanti."Seenggaknya kita istirahat dulu, lah.""Kamu boleh istirahat. Biar aku aja yang kerja keras
**"Jadi, kalian pulang besok?" Suara Yasmin kembali bergema di seberang sana. Carissa mengangguk sebelum ingat bahwa ibu mertuanya itu tidak bisa melihat apa yang ia lakukan."Iya, Mami. Kan kita udah janji perginya cuma tiga hari.""Aku nggak pernah suruh kalian buru-buru balik, kok.""Mam, nggak ada angin nggak ada hujan, kita mendadak liburan. Udah yang kayak nggak punya kerjaan aja. Mana ninggalin Mami urusin apa-apa sendiri. Masa iya yang begitu masih tega pergi lama-lama?"Dengus tawa Yasmin terdengar lirih di seberang sana. "Heh, sebelum adanya kamu, aku udah terbiasa lakuin semua ini sendiri, ya. Jangan ngeremehin mentang-mentang aku udah tua.""Ya makanya karena sekarang ada Rissa, kan Mami nggak perlu lakuin semuanya sendirian lagi.""Pinter ngejawab sekarang."Giliran Rissa yang tertawa. Entah bagaimana bisa semua tingkah ketus Yasmin yang dulu terasa begitu menakutkan itu, kini hanya terasa seperti ibu-ibu cerewet pada umumnya."Tapi jangan pikir ini semua gratis ya, Ris
**Back to home, back to work. Entah sejak kapan, tapi kini Rissa merasa dirinya sudah kecanduan kerja seperti Sagara. Pulang liburan singkat di Bali, pesawat mendarat jam sebelas siang. Dan sekarang, saat waktu menunjukkan pukul setengah dua siang, Carissa sudah mengemudi menuju butik mertuanya."Kamu langsung ke tempat baru aja, Ris. Temenin pegawai baru." Itu pesan yang dikirim Yasmin beberapa saat yang lalu. Yang bersangkutan sedang berada di kantor Mellifluous untuk pertemuan para petinggi atau semacam itulah.Maka, di sinilah Carissa sekarang. Berada di lokasi butik baru yang dibuka beberapa minggu yang lalu. Wah, yang ini lebih kecil tapi cozy sekali tempatnya."Selamat siang, Bu." Seorang gadis pegawai menyapa dengan penuh senyum. Ah, dia cantik.Carissa mengangguk dan tersenyum, membalas sapaannya."Namanya siapa? Aku Carissa. Panggil aja Rissa." Rissa berusaha bersikap tidak terlalu formal. Lagi pun gadis ini tampak seusia dengannya."Saya Anna, Bu.""Jangan panggil Bu, dong
**"Aku bisa lakuin apa yang nggak pernah terpikirkan olehmu, Ris. Jangan sombong, kataku. Atau kamu akan menyesal seumur hidup."Tamara berlalu meninggalkan kibasan surai panjangnya selepas berkata demikian. Perempuan itu melayangkan tatapan penuh benci kepada Carissa yang sedari tadi tak beranjak dari balik meja kasir."Astaga!" keluh Anna, agak terlambat. "Kok begitu ya, Kak? Sebenarnya dia itu siapanya Pak Gara, sih?"Carissa mengulum senyum. Merasa bukan tempatnya untuk bicara hal-hal pribadi kepada orang lain yang baru kenal seperti ini."Hanya rekan kerjanya, kok. Yah, memang sedikit ... seperti itulah." Rissa mengangkat bahu.Nah, namun meskipun Rissa mengatakan tidak apa-apa, hal itu tetap pula mengganggu pikirannya. Ia tahu Tamara benar-benar akan menepati kata-katanya suatu saat nanti. Entah apapun yang akan perempuan itu lakukan, Rissa harap ia tidak menyeret orang lain. Ini adalah urusannya dengan Rissa saja."Mungkin salahku juga, sih. Nggak bisa agak ramah dikit sama di
**"Anna, maaf. Tapi aku tinggal kamu sendirian, apa nggak apa-apa?""It's okay, Kak. Lagian tokonya juga nggak rame banget, kan?"Carissa menarik tangan suaminya untuk keluar dari butik mewah itu. Memasuki sedan hitam di parkiran yang biasa Gara pakai, lalu duduk berhadapan di dalam sana."Kita ngobrol di sini aja. Nggak enak kalau Anna ikut denger. Ini masalah pribadi rumah tangga kita, Kak." Carissa memandang lelaki itu lekat, mencoba memindai raut keruh yang sedari tadi masih belum hilang-hilang juga itu. "Jadi, bisa diulangi dengan lebih jelas, kamu tadi ngomong apa, sih?"Lelaki itu tampak enggan sekali berbicara, tapi Rissa terus memojokkannya dengan pandangan penuh telisik."Seharusnya aku cerita ini lebih awal, sih.""Bener, seharusnya kalau ada apa-apa, kamu segera cerita sama aku. Jangan dibiarin berlarut-larut." Rissa mengangguk-angguk sok paham. "Jadi, ada apa, Kak?""Sebenernya aku bareng Abian waktu perjalanan bisnis kemarin itu."Rissa sudah tahu. Abian menelepon dan m