**"Oh, honeymoon? Kalian mau ke mana? Biar aku yang belikan tiketnya." Suara Yasmin bergema melalui speaker ponsel. Sagara melayangkan pandangan apa gue bilang, kan? Kepada Carissa yang masih berdiri di balik counter dapur."Rissa nggak mau jauh-jauh. Katanya khawatir sama butik kalo ditinggal lama." Gara menimpali. Sengaja suaranya dibuat agak bernada kesal begitu supaya ibunya luluh."Oh, itu bagus, sih. Berarti istrimu bisa manage waktu dengan baik." Oh, sepertinya tidak bisa luluh semudah itu, sih. "Jadi kalian mau ke mana?""Ke Bali, Mam.""Cupu!"Sagara mau tak mau mendengus tertawa, sementara Carissa terbelalak manakala ibu mertuanya meneriaki cupu hanya karena ia dan suaminya memutuskan liburan ke Bali. Bahkan Rissa saja belum pernah tahu rupa Bali yang asli itu seperti apa."Singapura kek, minimal."Gara kembali melayangkan pandangan minta pendapat kepada Rissa, namun perempuan itu tetap menggeleng tak setuju."Rissa nggak mau. Udahlah nggak apa-apa. Lagian bagus kan kalau
**Gara memastikan hingga driver yang membantu membawakan koper ke dalam resort sudah benar-benar pergi, sebelum menyusul istrinya yang sedang mencuci muka di kamar mandi."Panas, ya?" keluh perempuan itu ringan. Hanya bermaksud mengatakan apa yang memang terasa, bukannya benar-benar mengeluh. Tapi Sagara bergerak dengan kecepatan cahaya, merenggut dress yang perempuan itu kenakan."Kak Gara! Hei!""Kan kamu bilang panas.""Ya enggak begini juga, kali!" Carissa berkata dengan kedua mata melotot kaget. Ia berusaha merebut kembali bajunya yang tadi Gara rebut paksa. "Siniin bajuku, Kak!""Aku nggak ajak kamu ke sini cuma buat pindah tiduran."Ah, sial! Seharusnya Rissa sudah tahu akhirnya akan seperti ini, kan? Manusia bernama Sagara itu mana mau rugi sampai meninggalkan kantornya tanpa keuntungan apapun. Sepertinya Rissa harus siap-siap nyeri punggung dan kaki sepulangnya dari tempat ini nanti."Seenggaknya kita istirahat dulu, lah.""Kamu boleh istirahat. Biar aku aja yang kerja keras
**"Jadi, kalian pulang besok?" Suara Yasmin kembali bergema di seberang sana. Carissa mengangguk sebelum ingat bahwa ibu mertuanya itu tidak bisa melihat apa yang ia lakukan."Iya, Mami. Kan kita udah janji perginya cuma tiga hari.""Aku nggak pernah suruh kalian buru-buru balik, kok.""Mam, nggak ada angin nggak ada hujan, kita mendadak liburan. Udah yang kayak nggak punya kerjaan aja. Mana ninggalin Mami urusin apa-apa sendiri. Masa iya yang begitu masih tega pergi lama-lama?"Dengus tawa Yasmin terdengar lirih di seberang sana. "Heh, sebelum adanya kamu, aku udah terbiasa lakuin semua ini sendiri, ya. Jangan ngeremehin mentang-mentang aku udah tua.""Ya makanya karena sekarang ada Rissa, kan Mami nggak perlu lakuin semuanya sendirian lagi.""Pinter ngejawab sekarang."Giliran Rissa yang tertawa. Entah bagaimana bisa semua tingkah ketus Yasmin yang dulu terasa begitu menakutkan itu, kini hanya terasa seperti ibu-ibu cerewet pada umumnya."Tapi jangan pikir ini semua gratis ya, Ris
**Back to home, back to work. Entah sejak kapan, tapi kini Rissa merasa dirinya sudah kecanduan kerja seperti Sagara. Pulang liburan singkat di Bali, pesawat mendarat jam sebelas siang. Dan sekarang, saat waktu menunjukkan pukul setengah dua siang, Carissa sudah mengemudi menuju butik mertuanya."Kamu langsung ke tempat baru aja, Ris. Temenin pegawai baru." Itu pesan yang dikirim Yasmin beberapa saat yang lalu. Yang bersangkutan sedang berada di kantor Mellifluous untuk pertemuan para petinggi atau semacam itulah.Maka, di sinilah Carissa sekarang. Berada di lokasi butik baru yang dibuka beberapa minggu yang lalu. Wah, yang ini lebih kecil tapi cozy sekali tempatnya."Selamat siang, Bu." Seorang gadis pegawai menyapa dengan penuh senyum. Ah, dia cantik.Carissa mengangguk dan tersenyum, membalas sapaannya."Namanya siapa? Aku Carissa. Panggil aja Rissa." Rissa berusaha bersikap tidak terlalu formal. Lagi pun gadis ini tampak seusia dengannya."Saya Anna, Bu.""Jangan panggil Bu, dong
**"Aku bisa lakuin apa yang nggak pernah terpikirkan olehmu, Ris. Jangan sombong, kataku. Atau kamu akan menyesal seumur hidup."Tamara berlalu meninggalkan kibasan surai panjangnya selepas berkata demikian. Perempuan itu melayangkan tatapan penuh benci kepada Carissa yang sedari tadi tak beranjak dari balik meja kasir."Astaga!" keluh Anna, agak terlambat. "Kok begitu ya, Kak? Sebenarnya dia itu siapanya Pak Gara, sih?"Carissa mengulum senyum. Merasa bukan tempatnya untuk bicara hal-hal pribadi kepada orang lain yang baru kenal seperti ini."Hanya rekan kerjanya, kok. Yah, memang sedikit ... seperti itulah." Rissa mengangkat bahu.Nah, namun meskipun Rissa mengatakan tidak apa-apa, hal itu tetap pula mengganggu pikirannya. Ia tahu Tamara benar-benar akan menepati kata-katanya suatu saat nanti. Entah apapun yang akan perempuan itu lakukan, Rissa harap ia tidak menyeret orang lain. Ini adalah urusannya dengan Rissa saja."Mungkin salahku juga, sih. Nggak bisa agak ramah dikit sama di
**"Anna, maaf. Tapi aku tinggal kamu sendirian, apa nggak apa-apa?""It's okay, Kak. Lagian tokonya juga nggak rame banget, kan?"Carissa menarik tangan suaminya untuk keluar dari butik mewah itu. Memasuki sedan hitam di parkiran yang biasa Gara pakai, lalu duduk berhadapan di dalam sana."Kita ngobrol di sini aja. Nggak enak kalau Anna ikut denger. Ini masalah pribadi rumah tangga kita, Kak." Carissa memandang lelaki itu lekat, mencoba memindai raut keruh yang sedari tadi masih belum hilang-hilang juga itu. "Jadi, bisa diulangi dengan lebih jelas, kamu tadi ngomong apa, sih?"Lelaki itu tampak enggan sekali berbicara, tapi Rissa terus memojokkannya dengan pandangan penuh telisik."Seharusnya aku cerita ini lebih awal, sih.""Bener, seharusnya kalau ada apa-apa, kamu segera cerita sama aku. Jangan dibiarin berlarut-larut." Rissa mengangguk-angguk sok paham. "Jadi, ada apa, Kak?""Sebenernya aku bareng Abian waktu perjalanan bisnis kemarin itu."Rissa sudah tahu. Abian menelepon dan m
**"Tamara?"Carissa menunjuk benda pipih yang Gara letakkan di atas meja itu dengan santai saja."Tuh, angkat, tuh.""Ngapain dia nelepon malem-malem begini?""Kamu nanya sama aku, terus aku nanya sama siapa, dong? Ya udah gih sana angkat, biar ketahuan dia maunya apa." Carissa mengedikkan dagu, menunjuk ponsel yang terus menerus berbunyi pantang menyerah itu.Gara berdecak. Ia meraih ponsel mahal tersebut. Saat sudah menempel di telinganya, tanpa basa-basi ia menyalak."Apa? Aku lagi sibuk, kalau teleponmu ini nggak penting-penting banget, sebaiknya tunda besok pagi aja."Kedua alis Rissa otomatis terangkat naik mendengar itu. Ketus sekali pria ini, eh?"Gara, aku cuma pengen denger suara kamu. Kenapa ketus banget, sih?"Wah, nekat sekali. Kedua alis Rissa kian naik mendengar itu. Wah, wah, Tamara memang gigih sekali."Bagus. Kamu konfirmasi sendiri kalau teleponmu nggak penting. Selamat malam–""Tunggu, tunggu bentar lah, Gar. Jangan ditutup dulu–"Klik!Gara matikan sambungan tele
**Carissa kembali bekerja di butik yang lama hari ini. Menolak tawaran Yasmin untuk mengurus butik yang baru, meski prospek kerja di sana lebih menjanjikan. Ah, Carissa tidak mau jika tiba-tiba ia bertemu Tamara seperti kemarin."Emangnya kenapa kalau ketemu sama Tamara?" Yasmin bertanya dengan enteng saja."Nggak nyaman, Mam." Perempuan itu menjawab dengan jujur. "Dia ngancam terus-terusan, katanya mau ngerebut Kak Gara dari Rissa masa.""Tamara bilang begitu?"Carissa mengangguk dengan murung. Bukan ia takut kepada Tamara, tapi lebih ke menghindari keributan saja, sih. Rissa kan orangnya cinta damai."Begitu aja udah takut, ha? Berapa kali sih aku bilang, kamu tuh harus terus belajar kuatin mental. Kalo cuma begitu aja kamu udah mundur, ya besok-besok kamu bakal diinjek-injek sama dunia.""Untuk yang ini, Rissa nggak mau ambil resiko lah, Mam.""Terserah kau ajalah. Kalo gitu selesein kerjaan yang aku kasih tadi. Aku mau jalan ke sana." Yasmin hanya mencibir. Wanita itu berujar sem
**Sagara berlari kencang menyusuri deretan kursi-kursi ruang tunggu bandara. Ia menerabas palang pintu dan tiba tepat sebelum gate keberangkatan akan ditutup. Dengan napas memburu, pria itu menyerahkan boarding pass-nya kepada pramugari yang menatap tak habis pikir. Meski demikian, pramugari cantik itu tidak mengatakan apapun dan memilih bekerja dalam diam sebab tahu bahwa penumpang yang ini bukanlah orang sembarangan. Ia hanya menampakkan seulas senyum kecut.“Silakan duduk di tempat yang sudah anda reservasi, Pak,” ucap si pramugari, mempersilahkan Gara masuk, sebelum kemudian menyudahi proses check-in terakhir. Menghela napas lega, Gara kemudian melangkah masuk dan menghempaskan tubuh berkeringatnya di kursi penumpang yang berada di samping jendela pesawat. Menata napasnya yang tadi sempat terputus-putus.“Rissa, tunggu sebentar ya, Sayang. Aku pulang,” bisiknya sembari memejamkan mata. Jantungnya menderu seperti suara mesin pesawat yang sudah menyala. Ia merapalkan doa, semoga ma
**Abian tersenyum saat meletakkan sebuah foto ke dalam kotak besar bersama bermacam-macam benda lain di dalamnya. Boneka, buku diary, baju, dan semacam itu. Ia pandangi baik-baik foto tersebut dengan senyum yang belum lindap.“Maaf dan terimakasih,” bisiknya bermonolog sementara masih menatap lekat fotonya. “Kamu selalu akan jadi kenangan indah buat aku, Ris. Kamu perempuan terbaik yang pernah aku miliki, tapi Sagara adalah pria terbaik yang dipilihkan Tuhan untukmu.” Abian mengusap foto dirinya dan Rissa itu dengan sayang. “Berbahagialah selalu. Terimakasih masih menjadi bagian dari keluargaku meski kamu nggak bersamaku. Tetaplah hidup bahagia, menjadi pendamping kakakku, ya. Aku tahu dengan lembutnya tutur kata dan tindakanmu, hati batu manusia satu itu pasti bisa meleleh.”Abian menutup kotak tersebut. Kotak yang berisi barang-barang kenangannya dengan sang mantan kekasih.“Nggak ada lagi yang perlu disesalkan sesudah ini. Aku dan Rissa sudah hidup sendiri-sendiri dengan baik. Dia
**Matahari bersinar dengan cerah saat Rissa menarik terbuka tirai tebal yang menutupi jendela kamarnya. Pemandangan di balik kaca jendela itu membuatnya tersenyum. Para maid berlalu lalang di bawah, menata meja dan kursi serta dekorasi cantik di tengah halaman belakang mansion. Sepertinya akan ada acara di sana.Suara derit pintu yang terbuka membuat Rissa mengalihkan atensi. Sagara datang sembari menggendong putri kecilnya.“Good morning, Mama,” ucapnya disertai senyum manis. Sementara Stella seketika mengoceh sembari menggapai-gapaikan tangan mungilnya begitu melihat sang ibu.“Good morning my angels.” Rissa melangkah mendekat. Ia ulurkan tangan, menyambut putri kecilnya yang melonjak-lonjak senang.“Tidur nyenyak, Sayang?” Gara memberikan kening istrinya kecupan kecil.“Banget. Maaf kamu jadi bangun duluan dan ngurus Stella pagi-pagi ya, Kak?”“Aku kan ayahnya Stella, jadi ya memang sudah kewajibanku ngurus dia. She is our child, not only yours or mine, Rissa. Kita bikin berdua, j
**Carissa sudah tenang saat Sagara kembali ke ruangan di mana ia dirawat. Seorang suster yang menemani mohon diri untuk keluar dengan menyembunyikan pipinya yang merona begitu pria rupawan itu masuk. Benar, walau kini Gara sudah bukan lagi bujangan, sudah memiliki seorang istri dan putri kecil yang cantik, namun pesonanya justru bertambah-tambah. Seringkali membuat Rissa jengkel sebab para perempuan itu seperti tak sungkan-sungkan menunjukkan rasa ketertarikan mereka kepada suaminya.“Jangan cemberut begitu, Sayang,” kata Gara, yang seperti biasa, sangat peka melihat perubahan raut wajah istrinya.“Makanya kamu biasa aja, nggak usah seramah itu,” cetus Rissa, semakin cemberut.Gara terkekeh pelan sembari melangkah mendekat kepada wanitanya yang duduk di atas ranjang. “Ya masa orang senyum nggak disenyumin balik. Itu namanya kan sombong.”“Mending dianggap sombong daripada kamu baperin anak orang begitu. Pura-pura nggak tahu apa gimana kalau pemilik sahnya ada di sini?”Tawa Gara kian
**Freddy Fernandez.Carissa belum pernah bertemu muka dengan orang ini, jadi ia tidak tahu siapakah gerangan pria berusia sekitar lima atau enam puluh tahun yang memiliki paras begitu menawan itu. Hanya saja dari gerak-geriknya, bisa ditebak bahwa pria itu bukanlah orang sembarangan. Terlebih ditinjau dari barang-barang branded mewah yang menempel di sekujur tubuhnya. Mulai dari suit berwarna abu-abu gelap yang ia kenakan, hingga jam tangan seharga sebuah unit apartemen eksklusif di ibukota. Golongan old money yang mungkin berada satu tingkat di atas strata sosial keluarga Aditama.Meski demikian, Sagara sama sekali tidak repot-repot menampakkan raut segan atau sesuatu. Ia justru melayangkan tatapan tajam kepada si pria setengah baya yang masih diam di ambang pintu. Dan saat itulah Rissa baru menyadari bahwa pria itu dikawal oleh banyak bodyguard di belakangnya.“Selamat sore, Sagara,” ucapnya dengan nada tegas. Suaranya dalam dan berwibawa, sangat mencerminkan sebesar apa dirinya be
**Carissa merasa kesadarannya timbul dan tenggelam. Ia mengerjap perlahan, berusaha membuka kelopak matanya yang terasa perih sekali. Saat atensinya pelan-pelan mulai jelas, ia menyadari bahwa ini adalah tempat yang asing. Kembali, rasa trauma akan tempat asing seperti membuatnya nyaris kembali pingsan. Terlebih lagi, rasa sakit yang hebat di dada seperti mencekik lehernya saat ia bergerak. Pada saat-saat demikian, tanpa sadar perempuan itu menyebut nama satu-satunya sosok yang melekat dalam ingatannya.“Kak Gara ….”Carissa tidak berharap apapun sebab berpikir Aldric masih menyekap dirinya. Ya, itu adalah hal terakhir yang perempuan itu ingat. Namun kemudian, sebuah suara menjawab rintihannya, membuat kesadarannya seperti seketika dijejalkan dengan paksa ke dalam raganya yang remuk redam.“Sayang? Sayang, kamu bangun? Ini aku, aku. Kamu bisa lihat aku, kan?”Rissa menoleh dengan terkejut, mendapati wajah Sagara yang berada sangat dekat. Ia ingin mengulurkan tangan dan menyentuh waja
**Dua kali Sagara berada pada situasi seperti ini. Kalut, panik dan ketakutan menunggu dokter keluar membawa kabar tentang bagaimana kondisi istrinya. Dua kali pula Sagara merasa gagal menjadi suami yang bertanggung jawab, hingga lagi-lagi istri tercintanya harus berhadapan dengan maut. Sebuah kecelakaan bodoh yang seharusnya tidak perlu terjadi.“Kenapa lama banget?” Ia berdecak kesal, menatap dengki kepada pintu ruangan UGD yang tak kunjung membuka. “Sial! Gue dobrak juga lama-lama pintu sialan itu!”“Sabar sebentar, Pak. Pak Gara bisa duduk dulu, biar nggak terlalu tegang,” saran petugas kepolisian muda yang mendampingi dirinya hingga ke rumah sakit.“Menurutmu aku bisa tenang dalam keadaan seperti ini?” sahut Gara ketus. Membuat si petugas tidak lagi mengatakan kalimat penghiburan. Tuan muda yang satu ini sungguh tidak bisa diajak berbasa-basi. Hanya dengan istrinya seorang ia bisa bersikap seperti manusia biasa.Beberapa saat kemudian, pintu ruangan terbuka dengan seorang dokter
**"Rissa!" Sagara mengguncang tubuh dalam pelukannya itu kuat-kuat. Rasa takut kembali menjalar di sepanjang aliran darahnya saat ia lihat wanitanya memejamkan mata tanpa bergerak. "Rissa, bangun Sayang! Rissa, jangan begini! Bangun!""Kita bawa ke rumah sakit saja, Pak," saran seorang petugas. Membuat Gara membatalkan niatnya untuk mengguncang kembali tubuh sang istri. Dengan bodoh ia menyadari, bahwa seharusnya memang melarikan Rissa ke rumah sakit segera, alih-alih memaksanya bangun seperti itu.Maka, pria itu segera membopong tubuh istrinya. Menjauh dari keramaian dan kerumunan orang-orang yang masih shock, menuju pintu lift yang terlihat berkilauan dari kejauhan. Seorang petugas kepolisian berlari-lari mengikuti dari belakang untuk membantunya membuka pintu lift."Gimana nasibnya Aldric?" desah Gara dengan risau, kepada petugas yang mengikutinya."Aldric?" Pria itu berkata dengan wajah ngeri. "Meninggal di tempat, tentu saja, Pak. Sudah pasti kan, Pak? Nggak ada orang yang bisa
**Apakah ini mimpi buruk yang datang dari dasar neraka?Sagara hanya bisa terbelalak menyaksikan apa yang baru saja terjadi. Itu bukanlah potongan adegan film action. Manusia sakit jiwa bernama Aldric Fernandez itu menarik tubuh istrinya dan membawanya jungkir balik melewati tembok pembatas balkon. Terjun bebas lima belas lantai ke bawah sana.Lantas apa yang bisa Gara lakukan? Pria itu seketika jatuh berlutut. Kedua kakinya tak lagi mampu menopang berat tubuh. Dunia terasa berguncang dan hendak menimpanya sekaligus. Ia butuh seseorang untuk menampar pipinya keras-keras dan menyadarkannya dari ilusi ini.Ilusi?Bukan. Derap langkah para petugas yang berlarian melewatinya menuju balkon di seberang ruangan itu, bukanlah ilusi belaka. Namun sekali lagi, Gara merasa jiwanya melayang keluar, meninggalkan raganya yang mendadak lumpuh. Ia terlalu bingung dan shock untuk melakukan sesuatu.“Ya Tuhan, dia jatuh? Jatuh!” Seruan para petugas itu terdengar sayup-sayup, seperti datang dari kejauh