**"Jadi, kalian pulang besok?" Suara Yasmin kembali bergema di seberang sana. Carissa mengangguk sebelum ingat bahwa ibu mertuanya itu tidak bisa melihat apa yang ia lakukan."Iya, Mami. Kan kita udah janji perginya cuma tiga hari.""Aku nggak pernah suruh kalian buru-buru balik, kok.""Mam, nggak ada angin nggak ada hujan, kita mendadak liburan. Udah yang kayak nggak punya kerjaan aja. Mana ninggalin Mami urusin apa-apa sendiri. Masa iya yang begitu masih tega pergi lama-lama?"Dengus tawa Yasmin terdengar lirih di seberang sana. "Heh, sebelum adanya kamu, aku udah terbiasa lakuin semua ini sendiri, ya. Jangan ngeremehin mentang-mentang aku udah tua.""Ya makanya karena sekarang ada Rissa, kan Mami nggak perlu lakuin semuanya sendirian lagi.""Pinter ngejawab sekarang."Giliran Rissa yang tertawa. Entah bagaimana bisa semua tingkah ketus Yasmin yang dulu terasa begitu menakutkan itu, kini hanya terasa seperti ibu-ibu cerewet pada umumnya."Tapi jangan pikir ini semua gratis ya, Ris
**Back to home, back to work. Entah sejak kapan, tapi kini Rissa merasa dirinya sudah kecanduan kerja seperti Sagara. Pulang liburan singkat di Bali, pesawat mendarat jam sebelas siang. Dan sekarang, saat waktu menunjukkan pukul setengah dua siang, Carissa sudah mengemudi menuju butik mertuanya."Kamu langsung ke tempat baru aja, Ris. Temenin pegawai baru." Itu pesan yang dikirim Yasmin beberapa saat yang lalu. Yang bersangkutan sedang berada di kantor Mellifluous untuk pertemuan para petinggi atau semacam itulah.Maka, di sinilah Carissa sekarang. Berada di lokasi butik baru yang dibuka beberapa minggu yang lalu. Wah, yang ini lebih kecil tapi cozy sekali tempatnya."Selamat siang, Bu." Seorang gadis pegawai menyapa dengan penuh senyum. Ah, dia cantik.Carissa mengangguk dan tersenyum, membalas sapaannya."Namanya siapa? Aku Carissa. Panggil aja Rissa." Rissa berusaha bersikap tidak terlalu formal. Lagi pun gadis ini tampak seusia dengannya."Saya Anna, Bu.""Jangan panggil Bu, dong
**"Aku bisa lakuin apa yang nggak pernah terpikirkan olehmu, Ris. Jangan sombong, kataku. Atau kamu akan menyesal seumur hidup."Tamara berlalu meninggalkan kibasan surai panjangnya selepas berkata demikian. Perempuan itu melayangkan tatapan penuh benci kepada Carissa yang sedari tadi tak beranjak dari balik meja kasir."Astaga!" keluh Anna, agak terlambat. "Kok begitu ya, Kak? Sebenarnya dia itu siapanya Pak Gara, sih?"Carissa mengulum senyum. Merasa bukan tempatnya untuk bicara hal-hal pribadi kepada orang lain yang baru kenal seperti ini."Hanya rekan kerjanya, kok. Yah, memang sedikit ... seperti itulah." Rissa mengangkat bahu.Nah, namun meskipun Rissa mengatakan tidak apa-apa, hal itu tetap pula mengganggu pikirannya. Ia tahu Tamara benar-benar akan menepati kata-katanya suatu saat nanti. Entah apapun yang akan perempuan itu lakukan, Rissa harap ia tidak menyeret orang lain. Ini adalah urusannya dengan Rissa saja."Mungkin salahku juga, sih. Nggak bisa agak ramah dikit sama di
**"Anna, maaf. Tapi aku tinggal kamu sendirian, apa nggak apa-apa?""It's okay, Kak. Lagian tokonya juga nggak rame banget, kan?"Carissa menarik tangan suaminya untuk keluar dari butik mewah itu. Memasuki sedan hitam di parkiran yang biasa Gara pakai, lalu duduk berhadapan di dalam sana."Kita ngobrol di sini aja. Nggak enak kalau Anna ikut denger. Ini masalah pribadi rumah tangga kita, Kak." Carissa memandang lelaki itu lekat, mencoba memindai raut keruh yang sedari tadi masih belum hilang-hilang juga itu. "Jadi, bisa diulangi dengan lebih jelas, kamu tadi ngomong apa, sih?"Lelaki itu tampak enggan sekali berbicara, tapi Rissa terus memojokkannya dengan pandangan penuh telisik."Seharusnya aku cerita ini lebih awal, sih.""Bener, seharusnya kalau ada apa-apa, kamu segera cerita sama aku. Jangan dibiarin berlarut-larut." Rissa mengangguk-angguk sok paham. "Jadi, ada apa, Kak?""Sebenernya aku bareng Abian waktu perjalanan bisnis kemarin itu."Rissa sudah tahu. Abian menelepon dan m
**"Tamara?"Carissa menunjuk benda pipih yang Gara letakkan di atas meja itu dengan santai saja."Tuh, angkat, tuh.""Ngapain dia nelepon malem-malem begini?""Kamu nanya sama aku, terus aku nanya sama siapa, dong? Ya udah gih sana angkat, biar ketahuan dia maunya apa." Carissa mengedikkan dagu, menunjuk ponsel yang terus menerus berbunyi pantang menyerah itu.Gara berdecak. Ia meraih ponsel mahal tersebut. Saat sudah menempel di telinganya, tanpa basa-basi ia menyalak."Apa? Aku lagi sibuk, kalau teleponmu ini nggak penting-penting banget, sebaiknya tunda besok pagi aja."Kedua alis Rissa otomatis terangkat naik mendengar itu. Ketus sekali pria ini, eh?"Gara, aku cuma pengen denger suara kamu. Kenapa ketus banget, sih?"Wah, nekat sekali. Kedua alis Rissa kian naik mendengar itu. Wah, wah, Tamara memang gigih sekali."Bagus. Kamu konfirmasi sendiri kalau teleponmu nggak penting. Selamat malam–""Tunggu, tunggu bentar lah, Gar. Jangan ditutup dulu–"Klik!Gara matikan sambungan tele
**Carissa kembali bekerja di butik yang lama hari ini. Menolak tawaran Yasmin untuk mengurus butik yang baru, meski prospek kerja di sana lebih menjanjikan. Ah, Carissa tidak mau jika tiba-tiba ia bertemu Tamara seperti kemarin."Emangnya kenapa kalau ketemu sama Tamara?" Yasmin bertanya dengan enteng saja."Nggak nyaman, Mam." Perempuan itu menjawab dengan jujur. "Dia ngancam terus-terusan, katanya mau ngerebut Kak Gara dari Rissa masa.""Tamara bilang begitu?"Carissa mengangguk dengan murung. Bukan ia takut kepada Tamara, tapi lebih ke menghindari keributan saja, sih. Rissa kan orangnya cinta damai."Begitu aja udah takut, ha? Berapa kali sih aku bilang, kamu tuh harus terus belajar kuatin mental. Kalo cuma begitu aja kamu udah mundur, ya besok-besok kamu bakal diinjek-injek sama dunia.""Untuk yang ini, Rissa nggak mau ambil resiko lah, Mam.""Terserah kau ajalah. Kalo gitu selesein kerjaan yang aku kasih tadi. Aku mau jalan ke sana." Yasmin hanya mencibir. Wanita itu berujar sem
**"Kak, aku takut ...."Tidak peduli dengan para pegawai atau pengunjung yang sedang berada di sana, Carissa masih menenggelamkan diri dalam pelukan Sagara."Takut?" Gara kedengaran heran sekali. "Takut kenapa? Apa yang bikin kamu takut?"Haruskah jujur? Rissa melepas pelukannya. Menatap sang suami dengan gamang. Sagara bukan tipe penyabar. Lelaki itu bisa saja seketika meledak marah di sana jika ia menceritakan yang sebenarnya."Tadi ada orang jahat.""Hah?" Lelaki itu tampak panik seketika. "Orang jahat? Jahat gimana? Mana orangnya sekarang? Mana, biar aku yang kasih pelajaran!"Rissa menggeleng tertahan. "Dia ajak aku bicara di luar, terus hampir bawa aku pergi."Sagara tampak mengernyit dengan tidak yakin mendengar racauan itu. Ya siapa orangnya yang bakal yakin. Hari gini apa masih ada yang seperti itu, eh?"Kok bisa sih, Ris? Mau bawa kamu pergi gimana ceritanya?"Terlanjur sudah. Rissa merasa bodoh sekali sudah mengatakan itu semua. Akhirnya bingung sendiri, kan?Maka sekarang
**Abian justru ada di sana juga.Mengapa begini?Kedua obsidian gelap milik Carissa mendadak bergetar panik. Tidak mengira justru akan seperti ini keadaannya. Ia tadi menghindari kafe di depan butik agar tidak bertemu dengan Abian, tapi malah bertemu di tempat ini. Menjengkelkan sekali.Penuh rasa takut, Rissa melirik lelaki di sampingnya. Jantungnya seperti mencelos mendapati raut wajah suaminya yang sama sekali tidak ramah. Rahang tegasnya tampak mengeras dengan mata menyorot tajam."Hai, Ris," sapa Abian, justru ramah sekali. Lelaki itu tersenyum lebar tanpa rasa dosa. "Kebetulan banget sih, ternyata kamu ke sini juga?""Jangan sok ramah dengan istriku," sambar Sagara dingin. "Dasar nggak tahu malu!""Lho, apa salahnya menyapa?" Abian masih menimpali dengan santai sekali. Carissa sampai heran, bagaimana bisa lelaki sederhana itu bisa berubah sedemikian rupa? Apa yang membuatnya seperti ini?"Jangan bikin gara-gara, kau!""Aku hanya menyapa. Kenapa kamu yang sentimen begitu, Kak?"