**"Oh ya, dan satu lagi. Tadi siang aku kayak lihat kamu di kafe depan butik sama laki-laki. Bener nggak, sih?" Ah, mampus! Mampus lah!Carissa nyaris tersedak. Ia buru-buru meraih cangkir berisi latte di hadapannya. Kali ini menyesap isinya dengan hati-hati agar tidak semakin mencurigakan."Laki-laki, Mam?" Perempuan itu bertanya dengan gestur senatural mungkin. "Laki-laki siapa, sih?""Ya mana kutahu, lah. Aku cuma lihat sekilas dari jendela kantor lantai atas. Yang jelas itu kamu. Aku lihat bajumu." Yasmin menunjuk blus warna pink yang Rissa kenakan saat ini. Membuat perempuan itu mendadak berkeringat dingin. Aduh, bagaimana ini? Apa yang harus ia katakan?"Ah, mungkin sesama pengunjung kafe kali, ya? Tadi siang Rissa emang ke sana buat makan siang, sih. Dan kebetulan waktu itu keadaannya rame."Segala doa Rissa ucapkan dalam hati. Berharap supaya ibu mertuanya itu percaya. Dan, ya. Sepertinya memang percaya."Iya juga, sih. Aku cuma liat kamu masuk bareng sama laki-laki, gitu. A
**"Iya, ini aku Abian, Rissa."Berkali-kali, Carissa memandang layar ponselnya untuk memastikan bahwa seseorang di seberang sana itu tidak sedang bercanda. Ini sungguh-sungguh Abian ataukah hanya orang iseng yang berniat mengganggu waktu istirahat malamnya?Ah, mana mungkin sih orang iseng. Untuk apa memangnya orang melakukan itu?"A-Abian?""Apa aku mengganggu?"Carissa sontak berdecak. "Ya tentu saja. Kamu nelepon istri orang malam-malam, jelas kan itu mengganggu. Kamu pikir gimana perasaan Kak Gara kalau sampai tahu hal ini?""Sagara lagi nggak ada di rumah."Kedua manik gelap Rissa terbelalak panik. Dari mana manusia satu ini mengetahui bahwa suaminya sedang tidak ada di rumah? Carissa mendadak bergidik sendiri. Apakah Abian sedang menguntitnya atau semacam itu?"Kata siapa?" Untuk menutupi keterkejutannya, Rissa berujar dengan sedikit keras. "Kak Gara ada di toilet. Makanya cepet tutup teleponnya!""Gara ada di luar kota.""Abian, kamu–" Carissa tidak bisa melanjutkan kata-katan
**"Apanya yang nggak boleh ajak aku?"Dua perempuan itu sontak menoleh ke arah pintu ruang makan begitu vokalisasi bariton menyapa dari sekitar sana. Nah, benar saja. Sagara berdiri dengan hasta terlipat di dada dan tubuh bersandar pada dinding."Loh, Kak Gara?" Carissa serius terbelalak kaget. "Bukannya pulangnya masih nanti sore? Kok udah ada di situ aja? Kapan dateng, ih?""Kok kamu kelihatannya nggak seneng gitu aku dateng, hm?""Eh, bukan gitu. Tapi kan kamu bilangnya nanti sore."Lelaki gagah itu beranjak dari ambang pintu menuju meja makan berisi dua perempuan tersayangnya yang sedang terkejut. Duduk di kursi samping Carissa, lalu memandang wanitanya dengan serius."Sopan santunmu mana, Gar? Main duduk aja, nggak kasih salam sama orang tua dulu," hardik Yasmin tiba-tiba, membuat yang bersangkutan pura-pura terlonjak kaget."Oh, astaga! Ternyata ada Mami juga di sini. Sorry, Mam. Karena begitu aku lihat Rissa, alam sekitar rasanya mendadak blur. Good morning Mrs. President. Hav
**Member premium?Aneska hanya pernah mendengar sekilas dari Abian bahwa selepas putus dengan lelaki itu, Carissa tiba-tiba menikah dengan seorang businessman sukses. Sesiapa orang itu, Abian sama sekali enggan menjelaskan. Nah, pun Radit. Hanya menyuarakan tawa penuh ejekan kala Rissa bertanya siapa lelaki yang telah mempersunting sepupunya itu dan mengapa Radit begitu menghormatinya.Sekarang, Aneska seperti ditampar oleh kenyataan dengan mengetahui semuanya."Ibu Rissa, saya sungguh minta maaf." Itu adalah manager yang sebenarnya. Masih tetap membungkuk penuh hormat, membuat Rissa sungkan sendiri."Sudah, sudah. Nggak perlu seperti itu, saya nggak apa-apa, kok. Santai aja.""Tolong jangan menurunkan standar anda terhadap perusahaan kami karena kejadian barusan ya, Ibu Rissa."Carissa tertawa pelan, sementara kedua obsidian Aneska bertambah lebar saja. "Keputusan apapun kan terserah Mami, Kak. Saya hanya menemani, kok.""Ada apa?" Suara lain menyusul masuk dari arah luar. Yasmin b
**"Lagi mikirin apa?"Carissa tersentak sedikit kala suaminya bertanya demikian. Walau seharusnya tidak perlu. Karena tampak jelas pada raut wajahnya yang ayu, perempuan itu sedang overthinking."Nggak ada, Kak.""Harus banget ya, dipaksa ngomong?"Carissa membuang napas dengan jengah. Lupa kadang-kadang lelaki yang berbaring di sampingnya itu keras kepala dan punya sedikit kadar red flag dalam dirinya."Aku mau cerita, tapi nggak mau kalo kamu marah.""Kenapa harus marah?""Harusnya pertanyaan itu aku yang ajuin. Aku cuma mau cerita, jadi kalo nanti kamu marah, aku yang tanya begitu."Sagara terkekeh pelan seraya merapatkan tubuhnya menghadap sang istri. Jemarinya terulur dan bergerak pelan, menelusuri kulit punggung Carissa yang mulus tak tertutup apapun. Oke, setelah mendapatkan beberapa kali pelepasan yang sangat satisfying, suasana hati Gara bisa sangat bagus, jadi mungkin tak apa-apa jikalau Rissa ingin cerita."Jangan marah dan jangan salahin aku." Perempuan itu memperingatkan
**Rissa memejamkan mata. Menikmati hangatnya sinar mentari pagi yang menghujani wajahnya dengan cahaya hangat keemasan. Ini menyenangkan. Sudah berapa lama ia tidak menikmati waktu yang damai seperti ini? —yah, meski keadaan sama sekali tidak sedang damai, sih. Perempuan itu duduk di atas ayunan kecil di taman belakang rumah sembari menikmati pagi yang cerah di hari Sabtu. Sagara masih tidur dan kebetulan Rissa sedang ingin melamun sendirian. Maka ia biarkan saja lelakinya itu terlelap di alam mimpi sedikit lebih lama dari biasanya."Tolong, kamu kembali dengan Abian ...."Kilasan suara Henry Danurendra yang pertama kali membuat Rissa menghela napas dalam-dalam. "Kamu nggak akan pernah bisa bayangkan apa yang bisa aku perbuat kalau kamu berani pergi tinggalin aku."Beban yang kedua disumbang oleh Sagara. Lagi, Carissa harus menghela napas dengan lelah. Entah mengapa lelaki itu menjadi demikian posesif akhir-akhir ini."Aku merindukan kamu."Abian pula masih berani-beraninya menamb
**"Oh, honeymoon? Kalian mau ke mana? Biar aku yang belikan tiketnya." Suara Yasmin bergema melalui speaker ponsel. Sagara melayangkan pandangan apa gue bilang, kan? Kepada Carissa yang masih berdiri di balik counter dapur."Rissa nggak mau jauh-jauh. Katanya khawatir sama butik kalo ditinggal lama." Gara menimpali. Sengaja suaranya dibuat agak bernada kesal begitu supaya ibunya luluh."Oh, itu bagus, sih. Berarti istrimu bisa manage waktu dengan baik." Oh, sepertinya tidak bisa luluh semudah itu, sih. "Jadi kalian mau ke mana?""Ke Bali, Mam.""Cupu!"Sagara mau tak mau mendengus tertawa, sementara Carissa terbelalak manakala ibu mertuanya meneriaki cupu hanya karena ia dan suaminya memutuskan liburan ke Bali. Bahkan Rissa saja belum pernah tahu rupa Bali yang asli itu seperti apa."Singapura kek, minimal."Gara kembali melayangkan pandangan minta pendapat kepada Rissa, namun perempuan itu tetap menggeleng tak setuju."Rissa nggak mau. Udahlah nggak apa-apa. Lagian bagus kan kalau
**Gara memastikan hingga driver yang membantu membawakan koper ke dalam resort sudah benar-benar pergi, sebelum menyusul istrinya yang sedang mencuci muka di kamar mandi."Panas, ya?" keluh perempuan itu ringan. Hanya bermaksud mengatakan apa yang memang terasa, bukannya benar-benar mengeluh. Tapi Sagara bergerak dengan kecepatan cahaya, merenggut dress yang perempuan itu kenakan."Kak Gara! Hei!""Kan kamu bilang panas.""Ya enggak begini juga, kali!" Carissa berkata dengan kedua mata melotot kaget. Ia berusaha merebut kembali bajunya yang tadi Gara rebut paksa. "Siniin bajuku, Kak!""Aku nggak ajak kamu ke sini cuma buat pindah tiduran."Ah, sial! Seharusnya Rissa sudah tahu akhirnya akan seperti ini, kan? Manusia bernama Sagara itu mana mau rugi sampai meninggalkan kantornya tanpa keuntungan apapun. Sepertinya Rissa harus siap-siap nyeri punggung dan kaki sepulangnya dari tempat ini nanti."Seenggaknya kita istirahat dulu, lah.""Kamu boleh istirahat. Biar aku aja yang kerja keras
**Sagara berlari kencang menyusuri deretan kursi-kursi ruang tunggu bandara. Ia menerabas palang pintu dan tiba tepat sebelum gate keberangkatan akan ditutup. Dengan napas memburu, pria itu menyerahkan boarding pass-nya kepada pramugari yang menatap tak habis pikir. Meski demikian, pramugari cantik itu tidak mengatakan apapun dan memilih bekerja dalam diam sebab tahu bahwa penumpang yang ini bukanlah orang sembarangan. Ia hanya menampakkan seulas senyum kecut.“Silakan duduk di tempat yang sudah anda reservasi, Pak,” ucap si pramugari, mempersilahkan Gara masuk, sebelum kemudian menyudahi proses check-in terakhir. Menghela napas lega, Gara kemudian melangkah masuk dan menghempaskan tubuh berkeringatnya di kursi penumpang yang berada di samping jendela pesawat. Menata napasnya yang tadi sempat terputus-putus.“Rissa, tunggu sebentar ya, Sayang. Aku pulang,” bisiknya sembari memejamkan mata. Jantungnya menderu seperti suara mesin pesawat yang sudah menyala. Ia merapalkan doa, semoga ma
**Abian tersenyum saat meletakkan sebuah foto ke dalam kotak besar bersama bermacam-macam benda lain di dalamnya. Boneka, buku diary, baju, dan semacam itu. Ia pandangi baik-baik foto tersebut dengan senyum yang belum lindap.“Maaf dan terimakasih,” bisiknya bermonolog sementara masih menatap lekat fotonya. “Kamu selalu akan jadi kenangan indah buat aku, Ris. Kamu perempuan terbaik yang pernah aku miliki, tapi Sagara adalah pria terbaik yang dipilihkan Tuhan untukmu.” Abian mengusap foto dirinya dan Rissa itu dengan sayang. “Berbahagialah selalu. Terimakasih masih menjadi bagian dari keluargaku meski kamu nggak bersamaku. Tetaplah hidup bahagia, menjadi pendamping kakakku, ya. Aku tahu dengan lembutnya tutur kata dan tindakanmu, hati batu manusia satu itu pasti bisa meleleh.”Abian menutup kotak tersebut. Kotak yang berisi barang-barang kenangannya dengan sang mantan kekasih.“Nggak ada lagi yang perlu disesalkan sesudah ini. Aku dan Rissa sudah hidup sendiri-sendiri dengan baik. Dia
**Matahari bersinar dengan cerah saat Rissa menarik terbuka tirai tebal yang menutupi jendela kamarnya. Pemandangan di balik kaca jendela itu membuatnya tersenyum. Para maid berlalu lalang di bawah, menata meja dan kursi serta dekorasi cantik di tengah halaman belakang mansion. Sepertinya akan ada acara di sana.Suara derit pintu yang terbuka membuat Rissa mengalihkan atensi. Sagara datang sembari menggendong putri kecilnya.“Good morning, Mama,” ucapnya disertai senyum manis. Sementara Stella seketika mengoceh sembari menggapai-gapaikan tangan mungilnya begitu melihat sang ibu.“Good morning my angels.” Rissa melangkah mendekat. Ia ulurkan tangan, menyambut putri kecilnya yang melonjak-lonjak senang.“Tidur nyenyak, Sayang?” Gara memberikan kening istrinya kecupan kecil.“Banget. Maaf kamu jadi bangun duluan dan ngurus Stella pagi-pagi ya, Kak?”“Aku kan ayahnya Stella, jadi ya memang sudah kewajibanku ngurus dia. She is our child, not only yours or mine, Rissa. Kita bikin berdua, j
**Carissa sudah tenang saat Sagara kembali ke ruangan di mana ia dirawat. Seorang suster yang menemani mohon diri untuk keluar dengan menyembunyikan pipinya yang merona begitu pria rupawan itu masuk. Benar, walau kini Gara sudah bukan lagi bujangan, sudah memiliki seorang istri dan putri kecil yang cantik, namun pesonanya justru bertambah-tambah. Seringkali membuat Rissa jengkel sebab para perempuan itu seperti tak sungkan-sungkan menunjukkan rasa ketertarikan mereka kepada suaminya.“Jangan cemberut begitu, Sayang,” kata Gara, yang seperti biasa, sangat peka melihat perubahan raut wajah istrinya.“Makanya kamu biasa aja, nggak usah seramah itu,” cetus Rissa, semakin cemberut.Gara terkekeh pelan sembari melangkah mendekat kepada wanitanya yang duduk di atas ranjang. “Ya masa orang senyum nggak disenyumin balik. Itu namanya kan sombong.”“Mending dianggap sombong daripada kamu baperin anak orang begitu. Pura-pura nggak tahu apa gimana kalau pemilik sahnya ada di sini?”Tawa Gara kian
**Freddy Fernandez.Carissa belum pernah bertemu muka dengan orang ini, jadi ia tidak tahu siapakah gerangan pria berusia sekitar lima atau enam puluh tahun yang memiliki paras begitu menawan itu. Hanya saja dari gerak-geriknya, bisa ditebak bahwa pria itu bukanlah orang sembarangan. Terlebih ditinjau dari barang-barang branded mewah yang menempel di sekujur tubuhnya. Mulai dari suit berwarna abu-abu gelap yang ia kenakan, hingga jam tangan seharga sebuah unit apartemen eksklusif di ibukota. Golongan old money yang mungkin berada satu tingkat di atas strata sosial keluarga Aditama.Meski demikian, Sagara sama sekali tidak repot-repot menampakkan raut segan atau sesuatu. Ia justru melayangkan tatapan tajam kepada si pria setengah baya yang masih diam di ambang pintu. Dan saat itulah Rissa baru menyadari bahwa pria itu dikawal oleh banyak bodyguard di belakangnya.“Selamat sore, Sagara,” ucapnya dengan nada tegas. Suaranya dalam dan berwibawa, sangat mencerminkan sebesar apa dirinya be
**Carissa merasa kesadarannya timbul dan tenggelam. Ia mengerjap perlahan, berusaha membuka kelopak matanya yang terasa perih sekali. Saat atensinya pelan-pelan mulai jelas, ia menyadari bahwa ini adalah tempat yang asing. Kembali, rasa trauma akan tempat asing seperti membuatnya nyaris kembali pingsan. Terlebih lagi, rasa sakit yang hebat di dada seperti mencekik lehernya saat ia bergerak. Pada saat-saat demikian, tanpa sadar perempuan itu menyebut nama satu-satunya sosok yang melekat dalam ingatannya.“Kak Gara ….”Carissa tidak berharap apapun sebab berpikir Aldric masih menyekap dirinya. Ya, itu adalah hal terakhir yang perempuan itu ingat. Namun kemudian, sebuah suara menjawab rintihannya, membuat kesadarannya seperti seketika dijejalkan dengan paksa ke dalam raganya yang remuk redam.“Sayang? Sayang, kamu bangun? Ini aku, aku. Kamu bisa lihat aku, kan?”Rissa menoleh dengan terkejut, mendapati wajah Sagara yang berada sangat dekat. Ia ingin mengulurkan tangan dan menyentuh waja
**Dua kali Sagara berada pada situasi seperti ini. Kalut, panik dan ketakutan menunggu dokter keluar membawa kabar tentang bagaimana kondisi istrinya. Dua kali pula Sagara merasa gagal menjadi suami yang bertanggung jawab, hingga lagi-lagi istri tercintanya harus berhadapan dengan maut. Sebuah kecelakaan bodoh yang seharusnya tidak perlu terjadi.“Kenapa lama banget?” Ia berdecak kesal, menatap dengki kepada pintu ruangan UGD yang tak kunjung membuka. “Sial! Gue dobrak juga lama-lama pintu sialan itu!”“Sabar sebentar, Pak. Pak Gara bisa duduk dulu, biar nggak terlalu tegang,” saran petugas kepolisian muda yang mendampingi dirinya hingga ke rumah sakit.“Menurutmu aku bisa tenang dalam keadaan seperti ini?” sahut Gara ketus. Membuat si petugas tidak lagi mengatakan kalimat penghiburan. Tuan muda yang satu ini sungguh tidak bisa diajak berbasa-basi. Hanya dengan istrinya seorang ia bisa bersikap seperti manusia biasa.Beberapa saat kemudian, pintu ruangan terbuka dengan seorang dokter
**"Rissa!" Sagara mengguncang tubuh dalam pelukannya itu kuat-kuat. Rasa takut kembali menjalar di sepanjang aliran darahnya saat ia lihat wanitanya memejamkan mata tanpa bergerak. "Rissa, bangun Sayang! Rissa, jangan begini! Bangun!""Kita bawa ke rumah sakit saja, Pak," saran seorang petugas. Membuat Gara membatalkan niatnya untuk mengguncang kembali tubuh sang istri. Dengan bodoh ia menyadari, bahwa seharusnya memang melarikan Rissa ke rumah sakit segera, alih-alih memaksanya bangun seperti itu.Maka, pria itu segera membopong tubuh istrinya. Menjauh dari keramaian dan kerumunan orang-orang yang masih shock, menuju pintu lift yang terlihat berkilauan dari kejauhan. Seorang petugas kepolisian berlari-lari mengikuti dari belakang untuk membantunya membuka pintu lift."Gimana nasibnya Aldric?" desah Gara dengan risau, kepada petugas yang mengikutinya."Aldric?" Pria itu berkata dengan wajah ngeri. "Meninggal di tempat, tentu saja, Pak. Sudah pasti kan, Pak? Nggak ada orang yang bisa
**Apakah ini mimpi buruk yang datang dari dasar neraka?Sagara hanya bisa terbelalak menyaksikan apa yang baru saja terjadi. Itu bukanlah potongan adegan film action. Manusia sakit jiwa bernama Aldric Fernandez itu menarik tubuh istrinya dan membawanya jungkir balik melewati tembok pembatas balkon. Terjun bebas lima belas lantai ke bawah sana.Lantas apa yang bisa Gara lakukan? Pria itu seketika jatuh berlutut. Kedua kakinya tak lagi mampu menopang berat tubuh. Dunia terasa berguncang dan hendak menimpanya sekaligus. Ia butuh seseorang untuk menampar pipinya keras-keras dan menyadarkannya dari ilusi ini.Ilusi?Bukan. Derap langkah para petugas yang berlarian melewatinya menuju balkon di seberang ruangan itu, bukanlah ilusi belaka. Namun sekali lagi, Gara merasa jiwanya melayang keluar, meninggalkan raganya yang mendadak lumpuh. Ia terlalu bingung dan shock untuk melakukan sesuatu.“Ya Tuhan, dia jatuh? Jatuh!” Seruan para petugas itu terdengar sayup-sayup, seperti datang dari kejauh