**Sagara harus menghubungi dua orang asisten untuk membawa pulang mobilnya, tengah malam begini. Ia sama sekali tidak ingin berjauhan dengan Carissa. Sedikitpun tidak mau membiarkan wanitanya mengemudi sendirian. Bayangan akan ditinggalkan oleh istrinya itu jika ia melepaskannya sedetik saja, menyiksa benak Gara tanpa ampun. Gara merasa dirinya sudah separuh jalan menuju gila tanpa tahu kapan memulainya."Bawa mobil saya aja, Pak. Ini lebih mudah dikendarai daripada punya Kak Gara." Rissa menyerahkan kunci mobilnya kepada seorang asisten. Disambut pandangan tidak senang dari sang suami."Aku suruh mereka bawa tank tempur pun, mereka nggak akan masalah," komentar lelaki itu, memandang Mini Cooper yang sudah berlalu pergi."Kamu udah ngerepotin mereka tengah malam, Kak. Mereka pasti lagi istirahat tadinya.""Untuk itulah aku bayar mereka, asal kamu tau aja."Carissa menggeleng singkat. Tak akan ada habisnya berdebat dengan lelaki ini, maka ia memilih diam. Menunduk sepanjang perjalanan
**"Maaf, Mam, Rissa baru bangun tidur, jadi nggak ngabarin kalau hari ini nggak bisa datang ke butik ... ""Jam berapa ini, ha?""Err ... " Carissa menelengkan kepala untuk menengok jam yang menggantung di sisi dinding kamar. "Setengah sebelas siang. Rissa semalam nemenin Kak Gara beresin kerjaan kantor sampai nyaris pagi, Mam. Jadi hari ini bangunnya telat banget. Maaf ya, Mami ... " Ah, terpaksa berdusta pula."Jangan dibiasain! Besok datang butik, awas kalau kamu males-malesan lagi!""Siap, Mami ... "Menghela napas, Carissa meletakkan ponselnya ke atas nakas kembali setelah panggilan diakhiri. Menggeliat pelan dan mengucek mata, perempuan itu mengernyit kala pandangannya menyapu cahaya benderang di luar jendela. Lalu, kepada Sagara yang masih memejamkan mata dengan lengan lelaki itu yang melingkari pinggangnya."Kakak, nggak mau bangun, kah?" Rissa mengelus pelan kening suaminya. "Mami nelepon, marah-marah karena aku nggak dateng ke butik hari ini.""Mmh ... " Gara menggeram pela
**"Oh ... " Kedua obsidian cokelat Rissa melebar saat benda pipih di tangannya perlahan mulai menunjukkan hasil tes urine. Buru-buru ia keluar dari bilik toilet dan menyerahkan testpack itu kepada Ibu Dokter. "Hanya satu garis. Ini berarti negatif. Boleh saya sarankan alat kontrasepsi yang nggak terlalu berdampak kepada organ reproduksi? Mengingat anda belum pernah hamil sebelumnya."Entahlah. Rissa tidak begitu mendengarkan apa yang dokter itu katakan. Ia terlalu lega dengan hasilnya, hingga hanya iya-iya saja dengan segala ucapan wanita cantik di hadapannya. Ah, sedikit rasa bersalah menelusup hati Rissa sebenarnya. Bukan maksudnya begini, ia pun ingin memiliki keturunan bersama suaminya. Sagara sosok lelaki dengan fisik sempurna.Tapi, jika keyakinan itu masih mengganjal ..."Terimakasih banyak, Dok. Kalau ada sesuatu, saya akan kembali untuk konsultasi lagi." Carissa berdiri dari kursinya, menunduk sebelum meninggalkan ruangan. Langkahnya terasa agak ringan, kini. Setidaknya, ia
**Carissa harus bersyukur, karena ia bisa sampai di rumah tepat sebelum Gara datang. Terburu-buru mengganti baju dengan dress rumah dan bersikap seakan sudah berada di sana sejak satu abad yang lalu."Kamu baru datang?" tebak Gara penuh curiga. Padahal Rissa sedang bermain ponsel dan memasang wajah bosan, berlagak sudah menunggu terlalu lama."Udah sejam yang lalu. Aku langsung pulang pas kamu suruh pulang, tau."Walau masih tersisa sedikit raut curiga, tapi Gara mengangguk juga. "Oh, bagus deh kalau gitu.""Apanya yang bagus? Aku nggak jadi belanja sayur sama buah kan, jadinya. Kamu sih, buru-buruin aja."Sagara mengulum senyum kala tampak olehnya raut istrinya yang cemberut. Menahan gemas, lelaki itu melepas dasi dan melonggarkan kerah kemeja, lantas menghempaskan tubuh di samping Rissa yang pura-pura merajuk."Nanti pergi lagi sama aku. Udah nggak usah kayak anak kecil, gitu.""Boros-borosin waktu, tenaga, sama BBM aja.""Kamu mau aku beliin SPBU buat kamu sendiri? Biar nggak usah
**"Ris, kamu sakit?"Yasmin melayangkan tatapan curiga kepada menantunya yang tengah ribut memilah beberapa dress baru. Pertanyaan itu tak urung membuat Carissa menghentikan kegiatannya."Sakit? Ah enggak, Mam. Rissa baik-baik aja, kok.""Hm?" Yasmin mengernyit lagi. "Kamu pucat tuh. Kurusan lagi. Sagara nggak kasih kamu uang belanja, kah?"Carissa nyaris tersedak. "Mam, beberapa kartu kredit Kak Gara bahkan dikasih sama saya, loh. Mana mungkin dia nggak kasih uang belanja?""Tapi kamu malah kelihatan seperti istri teraniaya gitu."Tertawa ringan, Carissa segera membereskan pekerjaannya sebelum menghampiri ibu mertuanya di sofa butik. "Rissa baik-baik aja. Kak Gara memperlakukan Rissa dengan sangat baik juga. Mami nggak usah overthinking.""Jelas lah overthinking. Ini udah berapa bulan sejak kalian menikah? Kamu belum ada tanda-tanda hamil juga, hm?"Carissa tercekat. Hatinya dipenuhi rasa bersalah yang buruk, teringat kepada pil kontrasepsi yang ia sembunyikan di dalam tasnya itu."
**Rasanya sungguh tidak nyaman. Seperti menanggung rahasia keluarga yang telah tersimpan selama tujuh turunan. Carissa sedikitnya menyesal sudah meminta Yasmin bercerita. Ia berharap bisa kembali memutar waktu agar tidak perlu mendengar rahasia keluarga Sagara yang ini.Tapi, bukankah sekarang keluarga Gara berarti keluarganya juga?Berarti rahasia keluarga suaminya itu, juga termasuk rahasianya sendiri yang harus ia jaga rapat-rapat, iya kan?Entahlah. Carissa lelah."Rissa?"Perempuan itu menoleh ke arah asal suara di ambang pintu ruang tengah rumahnya. Sedari tadi, ia sedang melamun di sana sembari menatap kosong ke luar jendela."Tehnya sudah dingin." Gara mengambil mug di tangan istrinya yang telah terlupakan. "Kamu pegang aja dari tadi, nggak diminum. Mau aku bikinin yang baru?""Ah ... " Rissa menatap mug-nya yang diletakkan di atas meja. "Nggak perlu, Kak. Nanti aku lupa nggak aku minum lagi.""Lagi mikirin apa, sih?""Oh? Nggak. Nggak ada, tuh.""Abian?""Hei ... " Carissa l
**Rissa bukan pekerja formal yang memiliki waktu bebas hanya pada akhir pekan saja. Butik milik mertuanya yang sekarang ia pegang, tidak memiliki hari libur kecuali jika ada event tertentu. Maka dari itu, sebenarnya ia tidak terlalu senang keluar rumah ketika weekend. Nah, Sagara kebalikannya. Lelaki itu nyaris tak punya waktu saat weekday, jadi jika ingin sekedar healing, ya harus menunggu hari Sabtu atau Minggu.Maka dari itu, kali ini Rissa harus mengalah. Mengiyakan ajakan suaminya untuk pergi nonton ke mall pada hari Minggu begini."Kenapa, sih? Kok keliatannya kamu nggak nyaman begitu?" Gara bertanya sementara membelokkan mobilnya memasuki basement sebuah bangunan megah yang ingar bingar."Mm ....""Nggak bisa setiap saat loh, aku ngajak kamu jalan begini. Kamu beneran nggak suka?""Nggak, nggak gitu. Aku cuma ... " Rissa mengerutkan dahi. Tampak tengah memilih kata-kata yang terdengar tepat. "Kakak tahu, aku nggak terlalu suka keramaian.""Oh, ya? Sorry ...." Gara menatap pere
**Carissa sekarang semakin sulit memiliki waktu untuk dirinya sendiri, walau itu sekedar menikmati secangkir kopi di kafe. Padahal me-time seperti jalan-jalan atau menikmati sepotong cake di kafe sendirian, adalah sesuatu yang sangat disukai Carissa. Perempuan itu sesungguhnya adalah seorang introvert tulen. Nah, apalagi sebabnya kalau bukan si suami yang kian hari kian menunjukkan sisi posesifnya."Jujur sama aku, apa kamu sudah hamil?" Menelan saliva, lagi-lagi ibu mertuanya menodong pertanyaan semacam itu."Be-belum, Mami. Dua hari yang lalu Rissa baru selesai datang bulan."Wanita cantik itu mendesah kecewa. "Tapi aku lihat gelagat si Gara aneh sekali akhir-akhir ini, Ris.""Aneh?""Aku nggak pernah tahu seperti apa hubungan kalian sebelumnya. Tapi aku pikir belakangan dia agak overprotektif sama kamu. Yang aku tahu, laki-laki biasanya begitu kalau istrinya hamil."Sok tahu, gerutu Rissa dalam hati. Yasmin tidak tahu saja bahwa belakangan Carissa benar-benar dibuat ngeri oleh tin