**"Pergi!"Abian tampak benar-benar terluka dengan sikap Carissa yang —sepanjang mengenal, baru kali ini ia lihat. Perempuan yang senantiasa lemah lembut penuh kasih itu mendadak saja menjadi kasar seperti ini."Rissa, kamu banyak berubah.""Kamu berharap gimana? Aku tetep jadi perempuan lemah yang diem-diem aja ditindas manusia macam kamu atau Tante Arini? Jangan harap, Bi. Nggak akan pernah lagi!""Aku tetep ngerasa kamu berhak tahu hal ini. Bayi yang dikandung Aneska bener-bener bukan anak aku. Dia ngelahirin seminggu yang lalu, dan tes darah yang udah dilakukan dokter nunjukin semua hasilnya.""Bukan urusanku, Abi!""Aku dijebak sama dia. Dia udah hamil sama orang lain sebelumnya.""Apa kamu nggak ngerti bahasa manusia, Bi? Aku bilang itu bukan urusanku! Terlepas dari bayi itu anakmu atau anak siapapun, kalian berdua udah sakitin aku sampai titik terendah dalam hidup. Dan jangan harap aku bakalan segampang itu lupain."Kemudian, Carissa meraih ponsel dan dompetnya, meninggalkan m
**Bayi itu bukan anak Abian.Pikiran itu terus berputar-putar dalam benak Carissa selama berhari-hari ke depan. Basically, Rissa memanglah seorang pemikir. Jika sedikit masalah saja bisa membuatnya overthinking, lantas bagaimana dengan yang begini?Berkali-kali ia ingatkan diri bahwa ini bukan lagi urusannya, tapi entah mengapa tidak bisa."Kamu nunggu sampai tehnya berubah jadi batu, gitu?"Terkesiap, perempuan itu buru-buru menaruh sendok teh yang entah sudah berapa lama ia gunakan untuk mengaduk minuman yang kini mulai mendingin."Mikirin siapa?"Ugh, mampus lah kau! Pertanyaannya bukan lagi apa, tapi siapa. Insting Sagara memang setajam itu. "Apa sih? Nggak ada.""Bohong."Sagara menelengkan kepala. Memandang lurus kepada manik cokelat istrinya yang sedikit bergetar."Abian?" tebak lelaki itu lagi."Nggak ada, Kak. Aku emang lagi capek, jadi suka tiba-tiba diem. Beberapa hari ini Mami sibuk sama Mellifluous, kan?"Gara hanya membenarkan dengan mengangkat bahu."CEO-nya gimana? S
**Belakangan kesehatan Yasmin sedang kurang baik. Maka tugas Rissa di butik semakin banyak. Wanita itu hanya datang mengecek sebentar-sebentar dan lebih banyak menghubungi Carissa via telepon."Kamu urus aja semuanya seperti yang biasa aku lakukan," titah sang ibu mertua hari ini. Dan ya, melalui telepon."Mami nggak enak badan lagi? Apa Rissa perlu ke sana? Kita ke dokter, ya?" Nada suara Rissa benar-benar khawatir."Aku nggak mau ke dokter. Tapi kalau kamu mau ke sini, ya silakan aja. Dan jangan kasih tau Sagara. Aku nggak mau dia nanti ribut sendiri, ngira yang gimana-gimana. I'm totally okay.""Baiklah, Mam. Nanti aku ke sana kalau kerjaan udah beres. Mami take care, nggak usah khawatirin masalah butik. I'll handle everything." Carissa memutus panggilannya setelah mengucapkan salam. Menghembuskan napas pelan dan berpikir-pikir. Benarkah ia tidak perlu memberitahu Gara?Sepertinya itu tidak adil. Mungkin ia bisa mencuri waktu sebentar dengan pulang lebih awal dari butik. Carissa j
**"Kamu juga baru pulang?" Sagara bertanya dengan curiga ketika membuka pintu rumah, dan mendapati istrinya tengah membuka sepatu. Tampak baru saja sampai di rumah juga."Ah, Kak–""Dari mana aja?""Aku–""Kamu keluar rumah diam-diam? Mampir ke mana dulu dari butik tadi, ha?""Nggak–""Kamu habis ketemu sama siapa?""Kak, please!" Carissa menyela dengan keras. Iya, sekarang ia berani melakukan ini jika merasa posisinya tidak salah. Rahang Sagara tampak mengeras, tapi lelaki itu memilih mengulur emosi dan memberi kesempatan Carissa untuk bicara. Nah, Carissa adalah satu-satunya perempuan —selain Yasmin, yang bisa melakukan ini. Sebelumnya, mana ada manusia yang bisa menyela mulut pedas si Tuan Muda? "Iya, aku emang baru banget nyampe. Mungkin bareng sama kamu di jalan tadi. Aku pulang lebih awal dari butik, terus aku mampir sebentar ke rumah besar buat ketemu Mami."Kedua alis presisi milik Gara tampak bertaut saat mendengar itu."Aku sebenernya nggak boleh ngomong sama kamu, tapi ak
**"Apa kamu cinta sama aku, Kak?"Hening. Dalam hati Carissa berkata, ya, memangnya apa lagi yang kau harapkan dari Sagara? Dia adalah Casanova. Mana mungkin semudah itu menjatuhkan cinta kepada perempuan. Dan terlebih-lebih lagi, perempuan seperti diriku.Tapi yang terjadi kemudian, justru membuat Rissa kian bimbang. Sagara kembali menempatkan ciuman hangat di atas bibirnya. Jauh lebih hangat dari suhu air yang merendam tubuh keduanya kini."Kak–""Apa kamu masih harus pertanyakan hal seperti itu juga, hm? Sepenting itukah kata cinta buat kamu?"Lagi, sekujur tubuh Rissa merinding. Vokalisasi bariton itu menerpa tengkuknya, bersamaan dengan deru napas yang berat. Benar, Sagara memang tidak memiliki word of affirmation untuk bahasa cinta."Memangnya selama berbulan-bulan kita tinggal bareng, kamu nggak bisa ngerasain kah, Ris?""T-tapi aku tetep pengen denger–""I love you for sure."Oh, Tuhan.Carissa merasa tubuhnya turut meleleh dalam air hangat beraroma bunga yang memabukkan ini.
**"Jelasin sekarang, atau aku nggak akan pernah lagi dengerin apapun dari kamu!" Lelaki itu sedang memegang pack pil kontrasepsi yang terjatuh dari dalam tas."K-Kak–""Aku dan Mami sepenuh hati berharap kamu hamil, dan kamu malah melakukan ini? Apa maksud kamu, Ris? Apa maksudmu, ha?" Nada suara Sagara tak lagi lembut seperti tadi. Raut wajahnya pun sarat kecewa dan murka. Lelaki itu mengernyit, jika ini orang lain dan bukan Carissa, sudah pasti ia tak akan segan-segan melayangkan tinjunya yang mematikan."Kak, aku ... aku minta maaf ....""Apa gunanya maaf? Kamu ternyata nggak menganggap pernikahan ini serius seperti yang baru saja kamu ributkan tadi, iya?""Kak, bukan begitu!""Lalu apa?""Kak, aku ... Kak, maafkan aku–""Minta maaf sama Mami! Dan kalau sampai alasanmu melakukan ini nggak bisa diterima akal sehat, maka aku rasa kita nggak perlu lagi melanjutkan semua ini!"Tersentak, Rissa sama sekali tidak menyangka Gara akan mengatakan semua itu. Ia menggeleng keras, tak bisa
**Carissa tidak mengira, bahwa suaminya akan semarah ini. Sudah tiga hari Sagara mendiamkannya karena masalah pil kontrasepsi waktu itu. Padahal sudah Rissa jelaskan hingga pada detail terkecil alasannya melakukan hal demikian."Itu tetap alasan yang nggak bisa diterima akal sehat," tegas Gara dengan suara menuntut. "Aku masih nggak habis pikir, kamu bisa melakukan ini diam-diam.""Kak, aku hanya berusaha nggak mengulangi apa yang pernah terjadi kepadaku." Rissa memohon. Entah sudah berapa banyak ia menangis sebab Sagara saja. "Aku cuma takut, Kak. Aku sama sekali nggak ada tujuan lain. Percayalah.""Terserah lah. Aku perlu waktu sedikit biar kepalaku bisa jernih lagi. Jangan ganggu aku selama itu."Dan segala yang dikatakan Sagara, adalah titah mutlak yang tak bisa dibantah. Carissa tak menemukan alasan apapun untuk membela dirinya. Dan terlebih lagi, ia memang merasa dirinya yang bersalah dalam hal ini.Maka, selama tiga hari ini pula, rumah terasa dingin. Tanpa sapa selamat pagi y
**Carissa membeku ketakutan. Melihat beberapa pasang kaki mulai menuruni Jeep itu, dan mengayun langkah mendekati mobilnya. Ia pastikan pintu mobilnya terkunci, dan bertekad akan tetap diam di sana apapun yang terjadi. Tidak akan pernah ke–DRAK!Carissa tersentak. Pintu mobilnya digedor dari luar. Ini sungguh tidak baik.DRAK!"Keluar, kau!"Siapa mereka ini? Apa-apaan ini? Carissa meraba-raba, mencari ponselnya yang terjatuh di bawah kemudi. Tangan gemetarnya berusaha menemukan benda pipih itu untuk menghubungi suaminya. Ia menemukannya, terburu-buru menekan dial pada nomor Sagara."Keluar! Kami dari kepolisian!"Tersentak lagi. Kepolisian? Mengapa ada polisi di sini? Namun satu hal yang membuat Rissa setidaknya menghela napas lega ; mereka yang di luar itu bukan orang jahat. Iya, kan? Benar, kan?"Keluar atau kami tembak!" Sekali lagi, salah satu dari tiga orang di sana membentak keras. Kali ini, malah disertai menghunuskan senjata api ke arah kaca mobil. Rissa menelan saliva. Har