**"Apa kamu cinta sama aku, Kak?"Hening. Dalam hati Carissa berkata, ya, memangnya apa lagi yang kau harapkan dari Sagara? Dia adalah Casanova. Mana mungkin semudah itu menjatuhkan cinta kepada perempuan. Dan terlebih-lebih lagi, perempuan seperti diriku.Tapi yang terjadi kemudian, justru membuat Rissa kian bimbang. Sagara kembali menempatkan ciuman hangat di atas bibirnya. Jauh lebih hangat dari suhu air yang merendam tubuh keduanya kini."Kak–""Apa kamu masih harus pertanyakan hal seperti itu juga, hm? Sepenting itukah kata cinta buat kamu?"Lagi, sekujur tubuh Rissa merinding. Vokalisasi bariton itu menerpa tengkuknya, bersamaan dengan deru napas yang berat. Benar, Sagara memang tidak memiliki word of affirmation untuk bahasa cinta."Memangnya selama berbulan-bulan kita tinggal bareng, kamu nggak bisa ngerasain kah, Ris?""T-tapi aku tetep pengen denger–""I love you for sure."Oh, Tuhan.Carissa merasa tubuhnya turut meleleh dalam air hangat beraroma bunga yang memabukkan ini.
**"Jelasin sekarang, atau aku nggak akan pernah lagi dengerin apapun dari kamu!" Lelaki itu sedang memegang pack pil kontrasepsi yang terjatuh dari dalam tas."K-Kak–""Aku dan Mami sepenuh hati berharap kamu hamil, dan kamu malah melakukan ini? Apa maksud kamu, Ris? Apa maksudmu, ha?" Nada suara Sagara tak lagi lembut seperti tadi. Raut wajahnya pun sarat kecewa dan murka. Lelaki itu mengernyit, jika ini orang lain dan bukan Carissa, sudah pasti ia tak akan segan-segan melayangkan tinjunya yang mematikan."Kak, aku ... aku minta maaf ....""Apa gunanya maaf? Kamu ternyata nggak menganggap pernikahan ini serius seperti yang baru saja kamu ributkan tadi, iya?""Kak, bukan begitu!""Lalu apa?""Kak, aku ... Kak, maafkan aku–""Minta maaf sama Mami! Dan kalau sampai alasanmu melakukan ini nggak bisa diterima akal sehat, maka aku rasa kita nggak perlu lagi melanjutkan semua ini!"Tersentak, Rissa sama sekali tidak menyangka Gara akan mengatakan semua itu. Ia menggeleng keras, tak bisa
**Carissa tidak mengira, bahwa suaminya akan semarah ini. Sudah tiga hari Sagara mendiamkannya karena masalah pil kontrasepsi waktu itu. Padahal sudah Rissa jelaskan hingga pada detail terkecil alasannya melakukan hal demikian."Itu tetap alasan yang nggak bisa diterima akal sehat," tegas Gara dengan suara menuntut. "Aku masih nggak habis pikir, kamu bisa melakukan ini diam-diam.""Kak, aku hanya berusaha nggak mengulangi apa yang pernah terjadi kepadaku." Rissa memohon. Entah sudah berapa banyak ia menangis sebab Sagara saja. "Aku cuma takut, Kak. Aku sama sekali nggak ada tujuan lain. Percayalah.""Terserah lah. Aku perlu waktu sedikit biar kepalaku bisa jernih lagi. Jangan ganggu aku selama itu."Dan segala yang dikatakan Sagara, adalah titah mutlak yang tak bisa dibantah. Carissa tak menemukan alasan apapun untuk membela dirinya. Dan terlebih lagi, ia memang merasa dirinya yang bersalah dalam hal ini.Maka, selama tiga hari ini pula, rumah terasa dingin. Tanpa sapa selamat pagi y
**Carissa membeku ketakutan. Melihat beberapa pasang kaki mulai menuruni Jeep itu, dan mengayun langkah mendekati mobilnya. Ia pastikan pintu mobilnya terkunci, dan bertekad akan tetap diam di sana apapun yang terjadi. Tidak akan pernah ke–DRAK!Carissa tersentak. Pintu mobilnya digedor dari luar. Ini sungguh tidak baik.DRAK!"Keluar, kau!"Siapa mereka ini? Apa-apaan ini? Carissa meraba-raba, mencari ponselnya yang terjatuh di bawah kemudi. Tangan gemetarnya berusaha menemukan benda pipih itu untuk menghubungi suaminya. Ia menemukannya, terburu-buru menekan dial pada nomor Sagara."Keluar! Kami dari kepolisian!"Tersentak lagi. Kepolisian? Mengapa ada polisi di sini? Namun satu hal yang membuat Rissa setidaknya menghela napas lega ; mereka yang di luar itu bukan orang jahat. Iya, kan? Benar, kan?"Keluar atau kami tembak!" Sekali lagi, salah satu dari tiga orang di sana membentak keras. Kali ini, malah disertai menghunuskan senjata api ke arah kaca mobil. Rissa menelan saliva. Har
**"Abian!"Suara Sagara terdengar tidak percaya. Lelaki itu tertegun memandang sosok yang juga sedang diam terkesiap beberapa meter dari tempatnya berdiri bersisian dengan Carissa."Kenapa kamu ada di sini? Tunggu, tadi Rissa bilang, kamu yang selametin dia? Iya kah, Ris?"Carissa tercekat. Sama sekali tidak mengira dirinya akan dihadapkan pada situasi demikian. Abian? Dari sekian juta manusia yang bisa saja berada di sana, mengapa semesta harus memilih Abian Danurendra? Sungguh tak bisa dipercaya, dan tak bisa dimengerti."Rissa, bisa kamu jelasin ini, nggak?" Gara menunjuk istrinya dengan suara yang mulai lagi sarat emosi. Membuat perempuan itu sekali lagi terhenyak. Tidak, tidak. Gara bisa salah paham lagi karena hal ini."Ak– aku nggak tau, Kak. Aku beneran nggak tau. Aku tadi berusaha nelepon kamu pas orang-orang jahat itu dateng–""Dan kenapa kamu sampe buka pintu mobilmu kalau tahu ada orang mau berbuat jahat, ha?""M-mereka bilang dari kepolisian ...." Carissa tidak bisa menc
**Gara diam di hadapan layar laptop, di depan meja kerjanya. Lelaki itu menatap tajam kepada grafik naik turun yang terpampang di sana, seiring seringai kecil yang tercetak di bibir.Grafik saham milik Arctic. Perusahaan milik ayahnya. Oh, benar, kan? Henry Danurendra memang ayahnya, kan? Meski demi langit dan bumi, Gara benci mengakui semua itu.Nah, grafik itu menunjukkan angka kemerosotan yang tajam. Nasib Arctic sedang di ujung tanduk, dan Gara suka sekali dengan hal tersebut. Ini yang ia tunggu-tunggu. Melihat apa yang dibangun orang yang telah menyakiti ibunya runtuh."Mari kita lihat, bagaimana Mellifluous pelan-pelan bisa meruntuhkan Arctic, Papa. Seperti kau meruntuhkan kepercayaan yang sepenuh hati aku berikan padamu. Mari kita lihat, bagaimana akhirnya kau dan adikku tersayang rata dengan tanah yang aku dan Mama injak, akhirnya.""Kak Gara?"Lelaki itu seketika mengalihkan pandangan dari layar ketika suara yang familiar menyapa gendang telinganya."Carissa?"Melihat istrin
**Carissa tidak tahu janji macam apa yang sudah diberikan Yasmin kepada Tamara. Hingga gadis itu bisa demikian kukuh ingin mendekati Gara. Meski tak sedikitpun lelaki itu memberikan celah untuk mendekat, ia tetap merangsek maju.Selepas makan siang, ternyata Tamara masih berusaha menemui Gara di kantornya."Aku ada urusan bisnis sama Gara, jadi kamu nggak ada hak buat melarang." Perempuan itu berkata dengan berapi-api kepada Rissa. Yang hanya dibalas dengan tanggapan datar saja."Oh, ya udah sih, sana. Lagian aku kan nggak mengganggu. Aku cuma duduk di sini pun." Rissa berkata demikian seraya memandang Tamara sesaat saja. Pandangan matanya lalu kembali jatuh kepada lembar-lembar majalah yang ia pegang."You should going out!""Kan aku udah bilang, aku nggak ada urusan dengan urusanmu. Kalo yang mau kamu omongin sama suamiku pure masalah kerjaan, seharusnya nggak ada masalah di sini."Tamara tampak menggertakkan gigi dengan kesal. Perempuan itu lantas dengan setengah hati membawa sebu
**"Oh, iya, kata Gara, Bu Rissa kenal sama Aneska. Bener nggak, sih?"Carissa terkesiap mendengar pertanyaan seperti itu. Ia memang sudah pernah mendengar dari suaminya bahwa Radit mengenal Aneska. Tapi ketika sekarang mendengar sendiri laki-laki itu bicara demikian, rasanya lebih aneh daripada yang Rissa kira. Jadi, bagaimana Rissa harus menjawabnya, ya?"Aneska?""Iya, Bu. Aneska Jill. Anaknya seksi banget. Nggak terlalu cantik, tapi dia seksi banget.""Itu aja kah yang ada dalam pikiran lo, anjir?" sahut Sagara dengan geram. "Hari-hari, cewek aja yang lo pikirin.""Itu salah satu cara gue menikmati hidup, Bos." Radit menimpali dengan cengengesan."Jadi gimana, Bu Rissa? Kenal nggak sama Aneska?""Bisa nggak Kak Radit jangan panggil Bu? Aku nggak nyaman dipanggil begitu. Panggil Rissa aja, sama kayak Kak Gara, ya.""Ah–""Serius deh, nggak perlu terlalu formal sama aku. Anggep aja aku temen Kakak juga, sama kayak Kak Gara.""Gimana, Gar?" Lelaki itu beralih kepada sahabat sekaligus