**Carissa tidak mengira, bahwa suaminya akan semarah ini. Sudah tiga hari Sagara mendiamkannya karena masalah pil kontrasepsi waktu itu. Padahal sudah Rissa jelaskan hingga pada detail terkecil alasannya melakukan hal demikian."Itu tetap alasan yang nggak bisa diterima akal sehat," tegas Gara dengan suara menuntut. "Aku masih nggak habis pikir, kamu bisa melakukan ini diam-diam.""Kak, aku hanya berusaha nggak mengulangi apa yang pernah terjadi kepadaku." Rissa memohon. Entah sudah berapa banyak ia menangis sebab Sagara saja. "Aku cuma takut, Kak. Aku sama sekali nggak ada tujuan lain. Percayalah.""Terserah lah. Aku perlu waktu sedikit biar kepalaku bisa jernih lagi. Jangan ganggu aku selama itu."Dan segala yang dikatakan Sagara, adalah titah mutlak yang tak bisa dibantah. Carissa tak menemukan alasan apapun untuk membela dirinya. Dan terlebih lagi, ia memang merasa dirinya yang bersalah dalam hal ini.Maka, selama tiga hari ini pula, rumah terasa dingin. Tanpa sapa selamat pagi y
**Carissa membeku ketakutan. Melihat beberapa pasang kaki mulai menuruni Jeep itu, dan mengayun langkah mendekati mobilnya. Ia pastikan pintu mobilnya terkunci, dan bertekad akan tetap diam di sana apapun yang terjadi. Tidak akan pernah ke–DRAK!Carissa tersentak. Pintu mobilnya digedor dari luar. Ini sungguh tidak baik.DRAK!"Keluar, kau!"Siapa mereka ini? Apa-apaan ini? Carissa meraba-raba, mencari ponselnya yang terjatuh di bawah kemudi. Tangan gemetarnya berusaha menemukan benda pipih itu untuk menghubungi suaminya. Ia menemukannya, terburu-buru menekan dial pada nomor Sagara."Keluar! Kami dari kepolisian!"Tersentak lagi. Kepolisian? Mengapa ada polisi di sini? Namun satu hal yang membuat Rissa setidaknya menghela napas lega ; mereka yang di luar itu bukan orang jahat. Iya, kan? Benar, kan?"Keluar atau kami tembak!" Sekali lagi, salah satu dari tiga orang di sana membentak keras. Kali ini, malah disertai menghunuskan senjata api ke arah kaca mobil. Rissa menelan saliva. Har
**"Abian!"Suara Sagara terdengar tidak percaya. Lelaki itu tertegun memandang sosok yang juga sedang diam terkesiap beberapa meter dari tempatnya berdiri bersisian dengan Carissa."Kenapa kamu ada di sini? Tunggu, tadi Rissa bilang, kamu yang selametin dia? Iya kah, Ris?"Carissa tercekat. Sama sekali tidak mengira dirinya akan dihadapkan pada situasi demikian. Abian? Dari sekian juta manusia yang bisa saja berada di sana, mengapa semesta harus memilih Abian Danurendra? Sungguh tak bisa dipercaya, dan tak bisa dimengerti."Rissa, bisa kamu jelasin ini, nggak?" Gara menunjuk istrinya dengan suara yang mulai lagi sarat emosi. Membuat perempuan itu sekali lagi terhenyak. Tidak, tidak. Gara bisa salah paham lagi karena hal ini."Ak– aku nggak tau, Kak. Aku beneran nggak tau. Aku tadi berusaha nelepon kamu pas orang-orang jahat itu dateng–""Dan kenapa kamu sampe buka pintu mobilmu kalau tahu ada orang mau berbuat jahat, ha?""M-mereka bilang dari kepolisian ...." Carissa tidak bisa menc
**Gara diam di hadapan layar laptop, di depan meja kerjanya. Lelaki itu menatap tajam kepada grafik naik turun yang terpampang di sana, seiring seringai kecil yang tercetak di bibir.Grafik saham milik Arctic. Perusahaan milik ayahnya. Oh, benar, kan? Henry Danurendra memang ayahnya, kan? Meski demi langit dan bumi, Gara benci mengakui semua itu.Nah, grafik itu menunjukkan angka kemerosotan yang tajam. Nasib Arctic sedang di ujung tanduk, dan Gara suka sekali dengan hal tersebut. Ini yang ia tunggu-tunggu. Melihat apa yang dibangun orang yang telah menyakiti ibunya runtuh."Mari kita lihat, bagaimana Mellifluous pelan-pelan bisa meruntuhkan Arctic, Papa. Seperti kau meruntuhkan kepercayaan yang sepenuh hati aku berikan padamu. Mari kita lihat, bagaimana akhirnya kau dan adikku tersayang rata dengan tanah yang aku dan Mama injak, akhirnya.""Kak Gara?"Lelaki itu seketika mengalihkan pandangan dari layar ketika suara yang familiar menyapa gendang telinganya."Carissa?"Melihat istrin
**Carissa tidak tahu janji macam apa yang sudah diberikan Yasmin kepada Tamara. Hingga gadis itu bisa demikian kukuh ingin mendekati Gara. Meski tak sedikitpun lelaki itu memberikan celah untuk mendekat, ia tetap merangsek maju.Selepas makan siang, ternyata Tamara masih berusaha menemui Gara di kantornya."Aku ada urusan bisnis sama Gara, jadi kamu nggak ada hak buat melarang." Perempuan itu berkata dengan berapi-api kepada Rissa. Yang hanya dibalas dengan tanggapan datar saja."Oh, ya udah sih, sana. Lagian aku kan nggak mengganggu. Aku cuma duduk di sini pun." Rissa berkata demikian seraya memandang Tamara sesaat saja. Pandangan matanya lalu kembali jatuh kepada lembar-lembar majalah yang ia pegang."You should going out!""Kan aku udah bilang, aku nggak ada urusan dengan urusanmu. Kalo yang mau kamu omongin sama suamiku pure masalah kerjaan, seharusnya nggak ada masalah di sini."Tamara tampak menggertakkan gigi dengan kesal. Perempuan itu lantas dengan setengah hati membawa sebu
**"Oh, iya, kata Gara, Bu Rissa kenal sama Aneska. Bener nggak, sih?"Carissa terkesiap mendengar pertanyaan seperti itu. Ia memang sudah pernah mendengar dari suaminya bahwa Radit mengenal Aneska. Tapi ketika sekarang mendengar sendiri laki-laki itu bicara demikian, rasanya lebih aneh daripada yang Rissa kira. Jadi, bagaimana Rissa harus menjawabnya, ya?"Aneska?""Iya, Bu. Aneska Jill. Anaknya seksi banget. Nggak terlalu cantik, tapi dia seksi banget.""Itu aja kah yang ada dalam pikiran lo, anjir?" sahut Sagara dengan geram. "Hari-hari, cewek aja yang lo pikirin.""Itu salah satu cara gue menikmati hidup, Bos." Radit menimpali dengan cengengesan."Jadi gimana, Bu Rissa? Kenal nggak sama Aneska?""Bisa nggak Kak Radit jangan panggil Bu? Aku nggak nyaman dipanggil begitu. Panggil Rissa aja, sama kayak Kak Gara, ya.""Ah–""Serius deh, nggak perlu terlalu formal sama aku. Anggep aja aku temen Kakak juga, sama kayak Kak Gara.""Gimana, Gar?" Lelaki itu beralih kepada sahabat sekaligus
**Entah bagaimana, Rissa seperti bisa menebak ke arah mana cerita Radit bermuara. Semua potongan-potongan kisah yang berceceran sejauh ini, rasanya seperti membentuk sebuah fakta bulat yang agak mencengangkan.Pernyataan Abian yang mengatakan bahwa bayi yang telah dilahirkan Aneska itu bukanlah darah dagingnya. Lalu foto sang makhluk mungil itu sendiri yang memang tidak mirip dengan baik Abian maupun Aneska. Dan yang terakhir ini. Aneska adalah mantan pacar Radit yang belum lama putus.Apakah berlebihan jika Rissa merasa ... bayi itu agak mirip dengan Radit?"Oh, sial!" Perempuan itu merutuk pelan. "Please, Ris. Ini tuh sama sekali nggak ada hubungannya sama hidup kita. Please. Masa-masa Abian udah berakhir, dan kamu masih cukup waras buat mengingat kalau dia sendiri yang mengakhirinya. Jadi kalaupun sekarang mau rumah tangga mereka hancur karena ternyata bayi itu anaknya Aneska sama Radit, ya terus kenapa? Apa masalahmu? Apa hubungannya denganmu? Nggak ada!"Ponsel di atas meja itu
**Carissa tidak mau mengatakan kepada Gara tentang berita yang tadi ibu mertuanya bawa. Biarlah itu menjadi urusan suaminya saja. Ia merasa tidak memiliki hak untuk mengurusi kinerja Radit. Nah, namun yang tetap menjadi beban pikiran adalah, perempuan yang bersama lelaki playboy itu. Membawa bayi? Ya siapa lagi kalau bukan Aneska.Jika Anes pergi bersama Radit, lalu apakah Abian mengetahui hal ini?Demi Tuhan Carissa, sekali lagi itu bukan urusanmu!Menepuk-nepuk pipinya dengan keras, Rissa kembali fokus kepada kegiatan awalnya, membuatkan kopi untuk sang suami. Sagara yang pekanya keterlaluan itu pasti curiga jika Carissa terlalu lama berada di dapur."Lama banget, kamu nggak apa-apa?" Nah, benar, kan?"Iya, Kak. Tadi sama sekalian ngecek dapur. Kopi sama beberapa kebutuhan dapur habis. Kamu sibuk, nggak? Bisa anter aku ke supermarket?""Yaah, aku ada zoom meeting habis ini. Gimana, dong? Kamu mau sama driver?" Raut lelaki itu tampak kecewa sendiri, tapi Rissa kemudian menyambutnya
**Sagara berlari kencang menyusuri deretan kursi-kursi ruang tunggu bandara. Ia menerabas palang pintu dan tiba tepat sebelum gate keberangkatan akan ditutup. Dengan napas memburu, pria itu menyerahkan boarding pass-nya kepada pramugari yang menatap tak habis pikir. Meski demikian, pramugari cantik itu tidak mengatakan apapun dan memilih bekerja dalam diam sebab tahu bahwa penumpang yang ini bukanlah orang sembarangan. Ia hanya menampakkan seulas senyum kecut.“Silakan duduk di tempat yang sudah anda reservasi, Pak,” ucap si pramugari, mempersilahkan Gara masuk, sebelum kemudian menyudahi proses check-in terakhir. Menghela napas lega, Gara kemudian melangkah masuk dan menghempaskan tubuh berkeringatnya di kursi penumpang yang berada di samping jendela pesawat. Menata napasnya yang tadi sempat terputus-putus.“Rissa, tunggu sebentar ya, Sayang. Aku pulang,” bisiknya sembari memejamkan mata. Jantungnya menderu seperti suara mesin pesawat yang sudah menyala. Ia merapalkan doa, semoga ma
**Abian tersenyum saat meletakkan sebuah foto ke dalam kotak besar bersama bermacam-macam benda lain di dalamnya. Boneka, buku diary, baju, dan semacam itu. Ia pandangi baik-baik foto tersebut dengan senyum yang belum lindap.“Maaf dan terimakasih,” bisiknya bermonolog sementara masih menatap lekat fotonya. “Kamu selalu akan jadi kenangan indah buat aku, Ris. Kamu perempuan terbaik yang pernah aku miliki, tapi Sagara adalah pria terbaik yang dipilihkan Tuhan untukmu.” Abian mengusap foto dirinya dan Rissa itu dengan sayang. “Berbahagialah selalu. Terimakasih masih menjadi bagian dari keluargaku meski kamu nggak bersamaku. Tetaplah hidup bahagia, menjadi pendamping kakakku, ya. Aku tahu dengan lembutnya tutur kata dan tindakanmu, hati batu manusia satu itu pasti bisa meleleh.”Abian menutup kotak tersebut. Kotak yang berisi barang-barang kenangannya dengan sang mantan kekasih.“Nggak ada lagi yang perlu disesalkan sesudah ini. Aku dan Rissa sudah hidup sendiri-sendiri dengan baik. Dia
**Matahari bersinar dengan cerah saat Rissa menarik terbuka tirai tebal yang menutupi jendela kamarnya. Pemandangan di balik kaca jendela itu membuatnya tersenyum. Para maid berlalu lalang di bawah, menata meja dan kursi serta dekorasi cantik di tengah halaman belakang mansion. Sepertinya akan ada acara di sana.Suara derit pintu yang terbuka membuat Rissa mengalihkan atensi. Sagara datang sembari menggendong putri kecilnya.“Good morning, Mama,” ucapnya disertai senyum manis. Sementara Stella seketika mengoceh sembari menggapai-gapaikan tangan mungilnya begitu melihat sang ibu.“Good morning my angels.” Rissa melangkah mendekat. Ia ulurkan tangan, menyambut putri kecilnya yang melonjak-lonjak senang.“Tidur nyenyak, Sayang?” Gara memberikan kening istrinya kecupan kecil.“Banget. Maaf kamu jadi bangun duluan dan ngurus Stella pagi-pagi ya, Kak?”“Aku kan ayahnya Stella, jadi ya memang sudah kewajibanku ngurus dia. She is our child, not only yours or mine, Rissa. Kita bikin berdua, j
**Carissa sudah tenang saat Sagara kembali ke ruangan di mana ia dirawat. Seorang suster yang menemani mohon diri untuk keluar dengan menyembunyikan pipinya yang merona begitu pria rupawan itu masuk. Benar, walau kini Gara sudah bukan lagi bujangan, sudah memiliki seorang istri dan putri kecil yang cantik, namun pesonanya justru bertambah-tambah. Seringkali membuat Rissa jengkel sebab para perempuan itu seperti tak sungkan-sungkan menunjukkan rasa ketertarikan mereka kepada suaminya.“Jangan cemberut begitu, Sayang,” kata Gara, yang seperti biasa, sangat peka melihat perubahan raut wajah istrinya.“Makanya kamu biasa aja, nggak usah seramah itu,” cetus Rissa, semakin cemberut.Gara terkekeh pelan sembari melangkah mendekat kepada wanitanya yang duduk di atas ranjang. “Ya masa orang senyum nggak disenyumin balik. Itu namanya kan sombong.”“Mending dianggap sombong daripada kamu baperin anak orang begitu. Pura-pura nggak tahu apa gimana kalau pemilik sahnya ada di sini?”Tawa Gara kian
**Freddy Fernandez.Carissa belum pernah bertemu muka dengan orang ini, jadi ia tidak tahu siapakah gerangan pria berusia sekitar lima atau enam puluh tahun yang memiliki paras begitu menawan itu. Hanya saja dari gerak-geriknya, bisa ditebak bahwa pria itu bukanlah orang sembarangan. Terlebih ditinjau dari barang-barang branded mewah yang menempel di sekujur tubuhnya. Mulai dari suit berwarna abu-abu gelap yang ia kenakan, hingga jam tangan seharga sebuah unit apartemen eksklusif di ibukota. Golongan old money yang mungkin berada satu tingkat di atas strata sosial keluarga Aditama.Meski demikian, Sagara sama sekali tidak repot-repot menampakkan raut segan atau sesuatu. Ia justru melayangkan tatapan tajam kepada si pria setengah baya yang masih diam di ambang pintu. Dan saat itulah Rissa baru menyadari bahwa pria itu dikawal oleh banyak bodyguard di belakangnya.“Selamat sore, Sagara,” ucapnya dengan nada tegas. Suaranya dalam dan berwibawa, sangat mencerminkan sebesar apa dirinya be
**Carissa merasa kesadarannya timbul dan tenggelam. Ia mengerjap perlahan, berusaha membuka kelopak matanya yang terasa perih sekali. Saat atensinya pelan-pelan mulai jelas, ia menyadari bahwa ini adalah tempat yang asing. Kembali, rasa trauma akan tempat asing seperti membuatnya nyaris kembali pingsan. Terlebih lagi, rasa sakit yang hebat di dada seperti mencekik lehernya saat ia bergerak. Pada saat-saat demikian, tanpa sadar perempuan itu menyebut nama satu-satunya sosok yang melekat dalam ingatannya.“Kak Gara ….”Carissa tidak berharap apapun sebab berpikir Aldric masih menyekap dirinya. Ya, itu adalah hal terakhir yang perempuan itu ingat. Namun kemudian, sebuah suara menjawab rintihannya, membuat kesadarannya seperti seketika dijejalkan dengan paksa ke dalam raganya yang remuk redam.“Sayang? Sayang, kamu bangun? Ini aku, aku. Kamu bisa lihat aku, kan?”Rissa menoleh dengan terkejut, mendapati wajah Sagara yang berada sangat dekat. Ia ingin mengulurkan tangan dan menyentuh waja
**Dua kali Sagara berada pada situasi seperti ini. Kalut, panik dan ketakutan menunggu dokter keluar membawa kabar tentang bagaimana kondisi istrinya. Dua kali pula Sagara merasa gagal menjadi suami yang bertanggung jawab, hingga lagi-lagi istri tercintanya harus berhadapan dengan maut. Sebuah kecelakaan bodoh yang seharusnya tidak perlu terjadi.“Kenapa lama banget?” Ia berdecak kesal, menatap dengki kepada pintu ruangan UGD yang tak kunjung membuka. “Sial! Gue dobrak juga lama-lama pintu sialan itu!”“Sabar sebentar, Pak. Pak Gara bisa duduk dulu, biar nggak terlalu tegang,” saran petugas kepolisian muda yang mendampingi dirinya hingga ke rumah sakit.“Menurutmu aku bisa tenang dalam keadaan seperti ini?” sahut Gara ketus. Membuat si petugas tidak lagi mengatakan kalimat penghiburan. Tuan muda yang satu ini sungguh tidak bisa diajak berbasa-basi. Hanya dengan istrinya seorang ia bisa bersikap seperti manusia biasa.Beberapa saat kemudian, pintu ruangan terbuka dengan seorang dokter
**"Rissa!" Sagara mengguncang tubuh dalam pelukannya itu kuat-kuat. Rasa takut kembali menjalar di sepanjang aliran darahnya saat ia lihat wanitanya memejamkan mata tanpa bergerak. "Rissa, bangun Sayang! Rissa, jangan begini! Bangun!""Kita bawa ke rumah sakit saja, Pak," saran seorang petugas. Membuat Gara membatalkan niatnya untuk mengguncang kembali tubuh sang istri. Dengan bodoh ia menyadari, bahwa seharusnya memang melarikan Rissa ke rumah sakit segera, alih-alih memaksanya bangun seperti itu.Maka, pria itu segera membopong tubuh istrinya. Menjauh dari keramaian dan kerumunan orang-orang yang masih shock, menuju pintu lift yang terlihat berkilauan dari kejauhan. Seorang petugas kepolisian berlari-lari mengikuti dari belakang untuk membantunya membuka pintu lift."Gimana nasibnya Aldric?" desah Gara dengan risau, kepada petugas yang mengikutinya."Aldric?" Pria itu berkata dengan wajah ngeri. "Meninggal di tempat, tentu saja, Pak. Sudah pasti kan, Pak? Nggak ada orang yang bisa
**Apakah ini mimpi buruk yang datang dari dasar neraka?Sagara hanya bisa terbelalak menyaksikan apa yang baru saja terjadi. Itu bukanlah potongan adegan film action. Manusia sakit jiwa bernama Aldric Fernandez itu menarik tubuh istrinya dan membawanya jungkir balik melewati tembok pembatas balkon. Terjun bebas lima belas lantai ke bawah sana.Lantas apa yang bisa Gara lakukan? Pria itu seketika jatuh berlutut. Kedua kakinya tak lagi mampu menopang berat tubuh. Dunia terasa berguncang dan hendak menimpanya sekaligus. Ia butuh seseorang untuk menampar pipinya keras-keras dan menyadarkannya dari ilusi ini.Ilusi?Bukan. Derap langkah para petugas yang berlarian melewatinya menuju balkon di seberang ruangan itu, bukanlah ilusi belaka. Namun sekali lagi, Gara merasa jiwanya melayang keluar, meninggalkan raganya yang mendadak lumpuh. Ia terlalu bingung dan shock untuk melakukan sesuatu.“Ya Tuhan, dia jatuh? Jatuh!” Seruan para petugas itu terdengar sayup-sayup, seperti datang dari kejauh