**Gara diam di hadapan layar laptop, di depan meja kerjanya. Lelaki itu menatap tajam kepada grafik naik turun yang terpampang di sana, seiring seringai kecil yang tercetak di bibir.Grafik saham milik Arctic. Perusahaan milik ayahnya. Oh, benar, kan? Henry Danurendra memang ayahnya, kan? Meski demi langit dan bumi, Gara benci mengakui semua itu.Nah, grafik itu menunjukkan angka kemerosotan yang tajam. Nasib Arctic sedang di ujung tanduk, dan Gara suka sekali dengan hal tersebut. Ini yang ia tunggu-tunggu. Melihat apa yang dibangun orang yang telah menyakiti ibunya runtuh."Mari kita lihat, bagaimana Mellifluous pelan-pelan bisa meruntuhkan Arctic, Papa. Seperti kau meruntuhkan kepercayaan yang sepenuh hati aku berikan padamu. Mari kita lihat, bagaimana akhirnya kau dan adikku tersayang rata dengan tanah yang aku dan Mama injak, akhirnya.""Kak Gara?"Lelaki itu seketika mengalihkan pandangan dari layar ketika suara yang familiar menyapa gendang telinganya."Carissa?"Melihat istrin
**Carissa tidak tahu janji macam apa yang sudah diberikan Yasmin kepada Tamara. Hingga gadis itu bisa demikian kukuh ingin mendekati Gara. Meski tak sedikitpun lelaki itu memberikan celah untuk mendekat, ia tetap merangsek maju.Selepas makan siang, ternyata Tamara masih berusaha menemui Gara di kantornya."Aku ada urusan bisnis sama Gara, jadi kamu nggak ada hak buat melarang." Perempuan itu berkata dengan berapi-api kepada Rissa. Yang hanya dibalas dengan tanggapan datar saja."Oh, ya udah sih, sana. Lagian aku kan nggak mengganggu. Aku cuma duduk di sini pun." Rissa berkata demikian seraya memandang Tamara sesaat saja. Pandangan matanya lalu kembali jatuh kepada lembar-lembar majalah yang ia pegang."You should going out!""Kan aku udah bilang, aku nggak ada urusan dengan urusanmu. Kalo yang mau kamu omongin sama suamiku pure masalah kerjaan, seharusnya nggak ada masalah di sini."Tamara tampak menggertakkan gigi dengan kesal. Perempuan itu lantas dengan setengah hati membawa sebu
**"Oh, iya, kata Gara, Bu Rissa kenal sama Aneska. Bener nggak, sih?"Carissa terkesiap mendengar pertanyaan seperti itu. Ia memang sudah pernah mendengar dari suaminya bahwa Radit mengenal Aneska. Tapi ketika sekarang mendengar sendiri laki-laki itu bicara demikian, rasanya lebih aneh daripada yang Rissa kira. Jadi, bagaimana Rissa harus menjawabnya, ya?"Aneska?""Iya, Bu. Aneska Jill. Anaknya seksi banget. Nggak terlalu cantik, tapi dia seksi banget.""Itu aja kah yang ada dalam pikiran lo, anjir?" sahut Sagara dengan geram. "Hari-hari, cewek aja yang lo pikirin.""Itu salah satu cara gue menikmati hidup, Bos." Radit menimpali dengan cengengesan."Jadi gimana, Bu Rissa? Kenal nggak sama Aneska?""Bisa nggak Kak Radit jangan panggil Bu? Aku nggak nyaman dipanggil begitu. Panggil Rissa aja, sama kayak Kak Gara, ya.""Ah–""Serius deh, nggak perlu terlalu formal sama aku. Anggep aja aku temen Kakak juga, sama kayak Kak Gara.""Gimana, Gar?" Lelaki itu beralih kepada sahabat sekaligus
**Entah bagaimana, Rissa seperti bisa menebak ke arah mana cerita Radit bermuara. Semua potongan-potongan kisah yang berceceran sejauh ini, rasanya seperti membentuk sebuah fakta bulat yang agak mencengangkan.Pernyataan Abian yang mengatakan bahwa bayi yang telah dilahirkan Aneska itu bukanlah darah dagingnya. Lalu foto sang makhluk mungil itu sendiri yang memang tidak mirip dengan baik Abian maupun Aneska. Dan yang terakhir ini. Aneska adalah mantan pacar Radit yang belum lama putus.Apakah berlebihan jika Rissa merasa ... bayi itu agak mirip dengan Radit?"Oh, sial!" Perempuan itu merutuk pelan. "Please, Ris. Ini tuh sama sekali nggak ada hubungannya sama hidup kita. Please. Masa-masa Abian udah berakhir, dan kamu masih cukup waras buat mengingat kalau dia sendiri yang mengakhirinya. Jadi kalaupun sekarang mau rumah tangga mereka hancur karena ternyata bayi itu anaknya Aneska sama Radit, ya terus kenapa? Apa masalahmu? Apa hubungannya denganmu? Nggak ada!"Ponsel di atas meja itu
**Carissa tidak mau mengatakan kepada Gara tentang berita yang tadi ibu mertuanya bawa. Biarlah itu menjadi urusan suaminya saja. Ia merasa tidak memiliki hak untuk mengurusi kinerja Radit. Nah, namun yang tetap menjadi beban pikiran adalah, perempuan yang bersama lelaki playboy itu. Membawa bayi? Ya siapa lagi kalau bukan Aneska.Jika Anes pergi bersama Radit, lalu apakah Abian mengetahui hal ini?Demi Tuhan Carissa, sekali lagi itu bukan urusanmu!Menepuk-nepuk pipinya dengan keras, Rissa kembali fokus kepada kegiatan awalnya, membuatkan kopi untuk sang suami. Sagara yang pekanya keterlaluan itu pasti curiga jika Carissa terlalu lama berada di dapur."Lama banget, kamu nggak apa-apa?" Nah, benar, kan?"Iya, Kak. Tadi sama sekalian ngecek dapur. Kopi sama beberapa kebutuhan dapur habis. Kamu sibuk, nggak? Bisa anter aku ke supermarket?""Yaah, aku ada zoom meeting habis ini. Gimana, dong? Kamu mau sama driver?" Raut lelaki itu tampak kecewa sendiri, tapi Rissa kemudian menyambutnya
**Nah, namun benarkah Rissa sungguh-sungguh menganggap bahwa hidup Aneska dan Abian bukan lagi urusannya sekarang?Aneska mungkin ya, Rissa tidak mau lagi berurusan dengan perempuan itu. Tapi Abian?Bagaimana keadaan Abian saat ini, setelah tak lagi bersama dengan Aneska? Apakah lelaki itu baik-baik saja?Rissa menghela napas panjang dan berusaha menenangkan dirinya sendiri sementara Mini Cooper-nya memasuki gerbang rumah. Dan tanpa diduga-duga, suaminya sudah berdiri berkacak pinggang di depan pintu rumah mereka."Kakak ngapain di sini?" tanya Rissa keheranan."Nungguin kamu, lah." Gara menjawab seraya meraih kantong belanjaan dari tangan sang istri. "Kan aku udah bilang jangan lama-lama, Ris."Kata-kata itu membuat Rissa menengok arloji di pergelangan tangannya, dan berdecak kemudian. "Astaga, Kak Gara, aku bener-bener hanya pergi selama satu jam seperti yang kamu bilang tadi, loh.""Masa, sih? Tapi rasanya udah lama banget, tuh."Rissa geleng-geleng kepala seraya mengikuti Gara me
**"Kenapa kamu nggak mau ikut aja, sih?" Sagara berkata dengan setengah memaksa kepada istrinya yang saat itu tengah memasukkan beberapa potong pakaian ke dalam travel bag."Udah dibilangin, Kak. Aku tuh nggak boleh sering-sering ninggalin butik sama Mami. Mami kan masih ribet ngurusin cabang baru yang buka seminggu lalu."Decak tidak suka itu terdengar lagi. "Tapi aku jadi ninggalin kamu sendirian di rumah, kan?""Cuma dua hari, Kak. Aku janji bakalan baik-baik aja di rumah, kok." Carissa tersenyum sembari menutup risleting tas berisi baju suaminya tadi. "Apa sih yang kamu khawatirin? Kegiatan aku cuma seputar di rumah sama di butik aja. Di butik aku nggak mungkin ke mana-mana. Di rumah pun ada sekuriti yang jagain."Lelaki itu tampak cemberut. Dari tadi kerjanya hanya mengekori saja ke mana istrinya melangkah. Nah, besok Gara ada perjalanan bisnis ke kota sebelah. Dan ia memaksa istrinya untuk ikut serta. Namun, Rissa harus menolak karena dirinya juga memiliki tanggung jawab yang t
**"Rissa, Om mohon dengan sangat. Tolong kamu kembali lagi sama Abian, ya ...."Kedua obsidian cokelat milik Rissa otomatis melebar kala mendengar penuturan lelaki separuh baya di hadapannya itu. Lidahnya kelu, tak memiliki apapun untuk diucapkan."Abian sangat mencintai kamu, Ris. Dia nggak bisa lanjutkan hidupnya tanpa kamu. Dia seperti kehilangan semangat hidupnya sekarang."Oh, Tuhan.Carissa rasanya ingin sekali mengatakan kepada manusia ini, begitulah dirinya dahulu ketika Abian mencampakkannya tanpa ampun. Begitulah rasanya ketika Rissa menemukan lelaki itu berada di dalam kamar Aneska dan melakukan apa yang tidak seharusnya mereka lakukan. Rissa dulu tidak boleh sama sekali meminta bantuan, kan? Jadi mengapa sekarang ia harus membantu Abian yang sudah membuangnya?"Rissa ...."Tersenyum kecil, Carissa berusaha memilih kata-kata yang tepat untuk disampaikan kepada Henry."Om, saya minta maaf–""Kamu nggak mau nerima Abian lagi, Ris?" Belum selesai bicara, lelaki itu sudah memo