**"Oh ... " Kedua obsidian cokelat Rissa melebar saat benda pipih di tangannya perlahan mulai menunjukkan hasil tes urine. Buru-buru ia keluar dari bilik toilet dan menyerahkan testpack itu kepada Ibu Dokter. "Hanya satu garis. Ini berarti negatif. Boleh saya sarankan alat kontrasepsi yang nggak terlalu berdampak kepada organ reproduksi? Mengingat anda belum pernah hamil sebelumnya."Entahlah. Rissa tidak begitu mendengarkan apa yang dokter itu katakan. Ia terlalu lega dengan hasilnya, hingga hanya iya-iya saja dengan segala ucapan wanita cantik di hadapannya. Ah, sedikit rasa bersalah menelusup hati Rissa sebenarnya. Bukan maksudnya begini, ia pun ingin memiliki keturunan bersama suaminya. Sagara sosok lelaki dengan fisik sempurna.Tapi, jika keyakinan itu masih mengganjal ..."Terimakasih banyak, Dok. Kalau ada sesuatu, saya akan kembali untuk konsultasi lagi." Carissa berdiri dari kursinya, menunduk sebelum meninggalkan ruangan. Langkahnya terasa agak ringan, kini. Setidaknya, ia
**Carissa harus bersyukur, karena ia bisa sampai di rumah tepat sebelum Gara datang. Terburu-buru mengganti baju dengan dress rumah dan bersikap seakan sudah berada di sana sejak satu abad yang lalu."Kamu baru datang?" tebak Gara penuh curiga. Padahal Rissa sedang bermain ponsel dan memasang wajah bosan, berlagak sudah menunggu terlalu lama."Udah sejam yang lalu. Aku langsung pulang pas kamu suruh pulang, tau."Walau masih tersisa sedikit raut curiga, tapi Gara mengangguk juga. "Oh, bagus deh kalau gitu.""Apanya yang bagus? Aku nggak jadi belanja sayur sama buah kan, jadinya. Kamu sih, buru-buruin aja."Sagara mengulum senyum kala tampak olehnya raut istrinya yang cemberut. Menahan gemas, lelaki itu melepas dasi dan melonggarkan kerah kemeja, lantas menghempaskan tubuh di samping Rissa yang pura-pura merajuk."Nanti pergi lagi sama aku. Udah nggak usah kayak anak kecil, gitu.""Boros-borosin waktu, tenaga, sama BBM aja.""Kamu mau aku beliin SPBU buat kamu sendiri? Biar nggak usah
**"Ris, kamu sakit?"Yasmin melayangkan tatapan curiga kepada menantunya yang tengah ribut memilah beberapa dress baru. Pertanyaan itu tak urung membuat Carissa menghentikan kegiatannya."Sakit? Ah enggak, Mam. Rissa baik-baik aja, kok.""Hm?" Yasmin mengernyit lagi. "Kamu pucat tuh. Kurusan lagi. Sagara nggak kasih kamu uang belanja, kah?"Carissa nyaris tersedak. "Mam, beberapa kartu kredit Kak Gara bahkan dikasih sama saya, loh. Mana mungkin dia nggak kasih uang belanja?""Tapi kamu malah kelihatan seperti istri teraniaya gitu."Tertawa ringan, Carissa segera membereskan pekerjaannya sebelum menghampiri ibu mertuanya di sofa butik. "Rissa baik-baik aja. Kak Gara memperlakukan Rissa dengan sangat baik juga. Mami nggak usah overthinking.""Jelas lah overthinking. Ini udah berapa bulan sejak kalian menikah? Kamu belum ada tanda-tanda hamil juga, hm?"Carissa tercekat. Hatinya dipenuhi rasa bersalah yang buruk, teringat kepada pil kontrasepsi yang ia sembunyikan di dalam tasnya itu."
**Rasanya sungguh tidak nyaman. Seperti menanggung rahasia keluarga yang telah tersimpan selama tujuh turunan. Carissa sedikitnya menyesal sudah meminta Yasmin bercerita. Ia berharap bisa kembali memutar waktu agar tidak perlu mendengar rahasia keluarga Sagara yang ini.Tapi, bukankah sekarang keluarga Gara berarti keluarganya juga?Berarti rahasia keluarga suaminya itu, juga termasuk rahasianya sendiri yang harus ia jaga rapat-rapat, iya kan?Entahlah. Carissa lelah."Rissa?"Perempuan itu menoleh ke arah asal suara di ambang pintu ruang tengah rumahnya. Sedari tadi, ia sedang melamun di sana sembari menatap kosong ke luar jendela."Tehnya sudah dingin." Gara mengambil mug di tangan istrinya yang telah terlupakan. "Kamu pegang aja dari tadi, nggak diminum. Mau aku bikinin yang baru?""Ah ... " Rissa menatap mug-nya yang diletakkan di atas meja. "Nggak perlu, Kak. Nanti aku lupa nggak aku minum lagi.""Lagi mikirin apa, sih?""Oh? Nggak. Nggak ada, tuh.""Abian?""Hei ... " Carissa l
**Rissa bukan pekerja formal yang memiliki waktu bebas hanya pada akhir pekan saja. Butik milik mertuanya yang sekarang ia pegang, tidak memiliki hari libur kecuali jika ada event tertentu. Maka dari itu, sebenarnya ia tidak terlalu senang keluar rumah ketika weekend. Nah, Sagara kebalikannya. Lelaki itu nyaris tak punya waktu saat weekday, jadi jika ingin sekedar healing, ya harus menunggu hari Sabtu atau Minggu.Maka dari itu, kali ini Rissa harus mengalah. Mengiyakan ajakan suaminya untuk pergi nonton ke mall pada hari Minggu begini."Kenapa, sih? Kok keliatannya kamu nggak nyaman begitu?" Gara bertanya sementara membelokkan mobilnya memasuki basement sebuah bangunan megah yang ingar bingar."Mm ....""Nggak bisa setiap saat loh, aku ngajak kamu jalan begini. Kamu beneran nggak suka?""Nggak, nggak gitu. Aku cuma ... " Rissa mengerutkan dahi. Tampak tengah memilih kata-kata yang terdengar tepat. "Kakak tahu, aku nggak terlalu suka keramaian.""Oh, ya? Sorry ...." Gara menatap pere
**Carissa sekarang semakin sulit memiliki waktu untuk dirinya sendiri, walau itu sekedar menikmati secangkir kopi di kafe. Padahal me-time seperti jalan-jalan atau menikmati sepotong cake di kafe sendirian, adalah sesuatu yang sangat disukai Carissa. Perempuan itu sesungguhnya adalah seorang introvert tulen. Nah, apalagi sebabnya kalau bukan si suami yang kian hari kian menunjukkan sisi posesifnya."Jujur sama aku, apa kamu sudah hamil?" Menelan saliva, lagi-lagi ibu mertuanya menodong pertanyaan semacam itu."Be-belum, Mami. Dua hari yang lalu Rissa baru selesai datang bulan."Wanita cantik itu mendesah kecewa. "Tapi aku lihat gelagat si Gara aneh sekali akhir-akhir ini, Ris.""Aneh?""Aku nggak pernah tahu seperti apa hubungan kalian sebelumnya. Tapi aku pikir belakangan dia agak overprotektif sama kamu. Yang aku tahu, laki-laki biasanya begitu kalau istrinya hamil."Sok tahu, gerutu Rissa dalam hati. Yasmin tidak tahu saja bahwa belakangan Carissa benar-benar dibuat ngeri oleh tin
**"Pergi!"Abian tampak benar-benar terluka dengan sikap Carissa yang —sepanjang mengenal, baru kali ini ia lihat. Perempuan yang senantiasa lemah lembut penuh kasih itu mendadak saja menjadi kasar seperti ini."Rissa, kamu banyak berubah.""Kamu berharap gimana? Aku tetep jadi perempuan lemah yang diem-diem aja ditindas manusia macam kamu atau Tante Arini? Jangan harap, Bi. Nggak akan pernah lagi!""Aku tetep ngerasa kamu berhak tahu hal ini. Bayi yang dikandung Aneska bener-bener bukan anak aku. Dia ngelahirin seminggu yang lalu, dan tes darah yang udah dilakukan dokter nunjukin semua hasilnya.""Bukan urusanku, Abi!""Aku dijebak sama dia. Dia udah hamil sama orang lain sebelumnya.""Apa kamu nggak ngerti bahasa manusia, Bi? Aku bilang itu bukan urusanku! Terlepas dari bayi itu anakmu atau anak siapapun, kalian berdua udah sakitin aku sampai titik terendah dalam hidup. Dan jangan harap aku bakalan segampang itu lupain."Kemudian, Carissa meraih ponsel dan dompetnya, meninggalkan m
**Bayi itu bukan anak Abian.Pikiran itu terus berputar-putar dalam benak Carissa selama berhari-hari ke depan. Basically, Rissa memanglah seorang pemikir. Jika sedikit masalah saja bisa membuatnya overthinking, lantas bagaimana dengan yang begini?Berkali-kali ia ingatkan diri bahwa ini bukan lagi urusannya, tapi entah mengapa tidak bisa."Kamu nunggu sampai tehnya berubah jadi batu, gitu?"Terkesiap, perempuan itu buru-buru menaruh sendok teh yang entah sudah berapa lama ia gunakan untuk mengaduk minuman yang kini mulai mendingin."Mikirin siapa?"Ugh, mampus lah kau! Pertanyaannya bukan lagi apa, tapi siapa. Insting Sagara memang setajam itu. "Apa sih? Nggak ada.""Bohong."Sagara menelengkan kepala. Memandang lurus kepada manik cokelat istrinya yang sedikit bergetar."Abian?" tebak lelaki itu lagi."Nggak ada, Kak. Aku emang lagi capek, jadi suka tiba-tiba diem. Beberapa hari ini Mami sibuk sama Mellifluous, kan?"Gara hanya membenarkan dengan mengangkat bahu."CEO-nya gimana? S