**"Maaf, Mam, Rissa baru bangun tidur, jadi nggak ngabarin kalau hari ini nggak bisa datang ke butik ... ""Jam berapa ini, ha?""Err ... " Carissa menelengkan kepala untuk menengok jam yang menggantung di sisi dinding kamar. "Setengah sebelas siang. Rissa semalam nemenin Kak Gara beresin kerjaan kantor sampai nyaris pagi, Mam. Jadi hari ini bangunnya telat banget. Maaf ya, Mami ... " Ah, terpaksa berdusta pula."Jangan dibiasain! Besok datang butik, awas kalau kamu males-malesan lagi!""Siap, Mami ... "Menghela napas, Carissa meletakkan ponselnya ke atas nakas kembali setelah panggilan diakhiri. Menggeliat pelan dan mengucek mata, perempuan itu mengernyit kala pandangannya menyapu cahaya benderang di luar jendela. Lalu, kepada Sagara yang masih memejamkan mata dengan lengan lelaki itu yang melingkari pinggangnya."Kakak, nggak mau bangun, kah?" Rissa mengelus pelan kening suaminya. "Mami nelepon, marah-marah karena aku nggak dateng ke butik hari ini.""Mmh ... " Gara menggeram pela
**"Oh ... " Kedua obsidian cokelat Rissa melebar saat benda pipih di tangannya perlahan mulai menunjukkan hasil tes urine. Buru-buru ia keluar dari bilik toilet dan menyerahkan testpack itu kepada Ibu Dokter. "Hanya satu garis. Ini berarti negatif. Boleh saya sarankan alat kontrasepsi yang nggak terlalu berdampak kepada organ reproduksi? Mengingat anda belum pernah hamil sebelumnya."Entahlah. Rissa tidak begitu mendengarkan apa yang dokter itu katakan. Ia terlalu lega dengan hasilnya, hingga hanya iya-iya saja dengan segala ucapan wanita cantik di hadapannya. Ah, sedikit rasa bersalah menelusup hati Rissa sebenarnya. Bukan maksudnya begini, ia pun ingin memiliki keturunan bersama suaminya. Sagara sosok lelaki dengan fisik sempurna.Tapi, jika keyakinan itu masih mengganjal ..."Terimakasih banyak, Dok. Kalau ada sesuatu, saya akan kembali untuk konsultasi lagi." Carissa berdiri dari kursinya, menunduk sebelum meninggalkan ruangan. Langkahnya terasa agak ringan, kini. Setidaknya, ia
**Carissa harus bersyukur, karena ia bisa sampai di rumah tepat sebelum Gara datang. Terburu-buru mengganti baju dengan dress rumah dan bersikap seakan sudah berada di sana sejak satu abad yang lalu."Kamu baru datang?" tebak Gara penuh curiga. Padahal Rissa sedang bermain ponsel dan memasang wajah bosan, berlagak sudah menunggu terlalu lama."Udah sejam yang lalu. Aku langsung pulang pas kamu suruh pulang, tau."Walau masih tersisa sedikit raut curiga, tapi Gara mengangguk juga. "Oh, bagus deh kalau gitu.""Apanya yang bagus? Aku nggak jadi belanja sayur sama buah kan, jadinya. Kamu sih, buru-buruin aja."Sagara mengulum senyum kala tampak olehnya raut istrinya yang cemberut. Menahan gemas, lelaki itu melepas dasi dan melonggarkan kerah kemeja, lantas menghempaskan tubuh di samping Rissa yang pura-pura merajuk."Nanti pergi lagi sama aku. Udah nggak usah kayak anak kecil, gitu.""Boros-borosin waktu, tenaga, sama BBM aja.""Kamu mau aku beliin SPBU buat kamu sendiri? Biar nggak usah
**"Ris, kamu sakit?"Yasmin melayangkan tatapan curiga kepada menantunya yang tengah ribut memilah beberapa dress baru. Pertanyaan itu tak urung membuat Carissa menghentikan kegiatannya."Sakit? Ah enggak, Mam. Rissa baik-baik aja, kok.""Hm?" Yasmin mengernyit lagi. "Kamu pucat tuh. Kurusan lagi. Sagara nggak kasih kamu uang belanja, kah?"Carissa nyaris tersedak. "Mam, beberapa kartu kredit Kak Gara bahkan dikasih sama saya, loh. Mana mungkin dia nggak kasih uang belanja?""Tapi kamu malah kelihatan seperti istri teraniaya gitu."Tertawa ringan, Carissa segera membereskan pekerjaannya sebelum menghampiri ibu mertuanya di sofa butik. "Rissa baik-baik aja. Kak Gara memperlakukan Rissa dengan sangat baik juga. Mami nggak usah overthinking.""Jelas lah overthinking. Ini udah berapa bulan sejak kalian menikah? Kamu belum ada tanda-tanda hamil juga, hm?"Carissa tercekat. Hatinya dipenuhi rasa bersalah yang buruk, teringat kepada pil kontrasepsi yang ia sembunyikan di dalam tasnya itu."
**Rasanya sungguh tidak nyaman. Seperti menanggung rahasia keluarga yang telah tersimpan selama tujuh turunan. Carissa sedikitnya menyesal sudah meminta Yasmin bercerita. Ia berharap bisa kembali memutar waktu agar tidak perlu mendengar rahasia keluarga Sagara yang ini.Tapi, bukankah sekarang keluarga Gara berarti keluarganya juga?Berarti rahasia keluarga suaminya itu, juga termasuk rahasianya sendiri yang harus ia jaga rapat-rapat, iya kan?Entahlah. Carissa lelah."Rissa?"Perempuan itu menoleh ke arah asal suara di ambang pintu ruang tengah rumahnya. Sedari tadi, ia sedang melamun di sana sembari menatap kosong ke luar jendela."Tehnya sudah dingin." Gara mengambil mug di tangan istrinya yang telah terlupakan. "Kamu pegang aja dari tadi, nggak diminum. Mau aku bikinin yang baru?""Ah ... " Rissa menatap mug-nya yang diletakkan di atas meja. "Nggak perlu, Kak. Nanti aku lupa nggak aku minum lagi.""Lagi mikirin apa, sih?""Oh? Nggak. Nggak ada, tuh.""Abian?""Hei ... " Carissa l
**Rissa bukan pekerja formal yang memiliki waktu bebas hanya pada akhir pekan saja. Butik milik mertuanya yang sekarang ia pegang, tidak memiliki hari libur kecuali jika ada event tertentu. Maka dari itu, sebenarnya ia tidak terlalu senang keluar rumah ketika weekend. Nah, Sagara kebalikannya. Lelaki itu nyaris tak punya waktu saat weekday, jadi jika ingin sekedar healing, ya harus menunggu hari Sabtu atau Minggu.Maka dari itu, kali ini Rissa harus mengalah. Mengiyakan ajakan suaminya untuk pergi nonton ke mall pada hari Minggu begini."Kenapa, sih? Kok keliatannya kamu nggak nyaman begitu?" Gara bertanya sementara membelokkan mobilnya memasuki basement sebuah bangunan megah yang ingar bingar."Mm ....""Nggak bisa setiap saat loh, aku ngajak kamu jalan begini. Kamu beneran nggak suka?""Nggak, nggak gitu. Aku cuma ... " Rissa mengerutkan dahi. Tampak tengah memilih kata-kata yang terdengar tepat. "Kakak tahu, aku nggak terlalu suka keramaian.""Oh, ya? Sorry ...." Gara menatap pere
**Carissa sekarang semakin sulit memiliki waktu untuk dirinya sendiri, walau itu sekedar menikmati secangkir kopi di kafe. Padahal me-time seperti jalan-jalan atau menikmati sepotong cake di kafe sendirian, adalah sesuatu yang sangat disukai Carissa. Perempuan itu sesungguhnya adalah seorang introvert tulen. Nah, apalagi sebabnya kalau bukan si suami yang kian hari kian menunjukkan sisi posesifnya."Jujur sama aku, apa kamu sudah hamil?" Menelan saliva, lagi-lagi ibu mertuanya menodong pertanyaan semacam itu."Be-belum, Mami. Dua hari yang lalu Rissa baru selesai datang bulan."Wanita cantik itu mendesah kecewa. "Tapi aku lihat gelagat si Gara aneh sekali akhir-akhir ini, Ris.""Aneh?""Aku nggak pernah tahu seperti apa hubungan kalian sebelumnya. Tapi aku pikir belakangan dia agak overprotektif sama kamu. Yang aku tahu, laki-laki biasanya begitu kalau istrinya hamil."Sok tahu, gerutu Rissa dalam hati. Yasmin tidak tahu saja bahwa belakangan Carissa benar-benar dibuat ngeri oleh tin
**"Pergi!"Abian tampak benar-benar terluka dengan sikap Carissa yang —sepanjang mengenal, baru kali ini ia lihat. Perempuan yang senantiasa lemah lembut penuh kasih itu mendadak saja menjadi kasar seperti ini."Rissa, kamu banyak berubah.""Kamu berharap gimana? Aku tetep jadi perempuan lemah yang diem-diem aja ditindas manusia macam kamu atau Tante Arini? Jangan harap, Bi. Nggak akan pernah lagi!""Aku tetep ngerasa kamu berhak tahu hal ini. Bayi yang dikandung Aneska bener-bener bukan anak aku. Dia ngelahirin seminggu yang lalu, dan tes darah yang udah dilakukan dokter nunjukin semua hasilnya.""Bukan urusanku, Abi!""Aku dijebak sama dia. Dia udah hamil sama orang lain sebelumnya.""Apa kamu nggak ngerti bahasa manusia, Bi? Aku bilang itu bukan urusanku! Terlepas dari bayi itu anakmu atau anak siapapun, kalian berdua udah sakitin aku sampai titik terendah dalam hidup. Dan jangan harap aku bakalan segampang itu lupain."Kemudian, Carissa meraih ponsel dan dompetnya, meninggalkan m
**Sagara berlari kencang menyusuri deretan kursi-kursi ruang tunggu bandara. Ia menerabas palang pintu dan tiba tepat sebelum gate keberangkatan akan ditutup. Dengan napas memburu, pria itu menyerahkan boarding pass-nya kepada pramugari yang menatap tak habis pikir. Meski demikian, pramugari cantik itu tidak mengatakan apapun dan memilih bekerja dalam diam sebab tahu bahwa penumpang yang ini bukanlah orang sembarangan. Ia hanya menampakkan seulas senyum kecut.“Silakan duduk di tempat yang sudah anda reservasi, Pak,” ucap si pramugari, mempersilahkan Gara masuk, sebelum kemudian menyudahi proses check-in terakhir. Menghela napas lega, Gara kemudian melangkah masuk dan menghempaskan tubuh berkeringatnya di kursi penumpang yang berada di samping jendela pesawat. Menata napasnya yang tadi sempat terputus-putus.“Rissa, tunggu sebentar ya, Sayang. Aku pulang,” bisiknya sembari memejamkan mata. Jantungnya menderu seperti suara mesin pesawat yang sudah menyala. Ia merapalkan doa, semoga ma
**Abian tersenyum saat meletakkan sebuah foto ke dalam kotak besar bersama bermacam-macam benda lain di dalamnya. Boneka, buku diary, baju, dan semacam itu. Ia pandangi baik-baik foto tersebut dengan senyum yang belum lindap.“Maaf dan terimakasih,” bisiknya bermonolog sementara masih menatap lekat fotonya. “Kamu selalu akan jadi kenangan indah buat aku, Ris. Kamu perempuan terbaik yang pernah aku miliki, tapi Sagara adalah pria terbaik yang dipilihkan Tuhan untukmu.” Abian mengusap foto dirinya dan Rissa itu dengan sayang. “Berbahagialah selalu. Terimakasih masih menjadi bagian dari keluargaku meski kamu nggak bersamaku. Tetaplah hidup bahagia, menjadi pendamping kakakku, ya. Aku tahu dengan lembutnya tutur kata dan tindakanmu, hati batu manusia satu itu pasti bisa meleleh.”Abian menutup kotak tersebut. Kotak yang berisi barang-barang kenangannya dengan sang mantan kekasih.“Nggak ada lagi yang perlu disesalkan sesudah ini. Aku dan Rissa sudah hidup sendiri-sendiri dengan baik. Dia
**Matahari bersinar dengan cerah saat Rissa menarik terbuka tirai tebal yang menutupi jendela kamarnya. Pemandangan di balik kaca jendela itu membuatnya tersenyum. Para maid berlalu lalang di bawah, menata meja dan kursi serta dekorasi cantik di tengah halaman belakang mansion. Sepertinya akan ada acara di sana.Suara derit pintu yang terbuka membuat Rissa mengalihkan atensi. Sagara datang sembari menggendong putri kecilnya.“Good morning, Mama,” ucapnya disertai senyum manis. Sementara Stella seketika mengoceh sembari menggapai-gapaikan tangan mungilnya begitu melihat sang ibu.“Good morning my angels.” Rissa melangkah mendekat. Ia ulurkan tangan, menyambut putri kecilnya yang melonjak-lonjak senang.“Tidur nyenyak, Sayang?” Gara memberikan kening istrinya kecupan kecil.“Banget. Maaf kamu jadi bangun duluan dan ngurus Stella pagi-pagi ya, Kak?”“Aku kan ayahnya Stella, jadi ya memang sudah kewajibanku ngurus dia. She is our child, not only yours or mine, Rissa. Kita bikin berdua, j
**Carissa sudah tenang saat Sagara kembali ke ruangan di mana ia dirawat. Seorang suster yang menemani mohon diri untuk keluar dengan menyembunyikan pipinya yang merona begitu pria rupawan itu masuk. Benar, walau kini Gara sudah bukan lagi bujangan, sudah memiliki seorang istri dan putri kecil yang cantik, namun pesonanya justru bertambah-tambah. Seringkali membuat Rissa jengkel sebab para perempuan itu seperti tak sungkan-sungkan menunjukkan rasa ketertarikan mereka kepada suaminya.“Jangan cemberut begitu, Sayang,” kata Gara, yang seperti biasa, sangat peka melihat perubahan raut wajah istrinya.“Makanya kamu biasa aja, nggak usah seramah itu,” cetus Rissa, semakin cemberut.Gara terkekeh pelan sembari melangkah mendekat kepada wanitanya yang duduk di atas ranjang. “Ya masa orang senyum nggak disenyumin balik. Itu namanya kan sombong.”“Mending dianggap sombong daripada kamu baperin anak orang begitu. Pura-pura nggak tahu apa gimana kalau pemilik sahnya ada di sini?”Tawa Gara kian
**Freddy Fernandez.Carissa belum pernah bertemu muka dengan orang ini, jadi ia tidak tahu siapakah gerangan pria berusia sekitar lima atau enam puluh tahun yang memiliki paras begitu menawan itu. Hanya saja dari gerak-geriknya, bisa ditebak bahwa pria itu bukanlah orang sembarangan. Terlebih ditinjau dari barang-barang branded mewah yang menempel di sekujur tubuhnya. Mulai dari suit berwarna abu-abu gelap yang ia kenakan, hingga jam tangan seharga sebuah unit apartemen eksklusif di ibukota. Golongan old money yang mungkin berada satu tingkat di atas strata sosial keluarga Aditama.Meski demikian, Sagara sama sekali tidak repot-repot menampakkan raut segan atau sesuatu. Ia justru melayangkan tatapan tajam kepada si pria setengah baya yang masih diam di ambang pintu. Dan saat itulah Rissa baru menyadari bahwa pria itu dikawal oleh banyak bodyguard di belakangnya.“Selamat sore, Sagara,” ucapnya dengan nada tegas. Suaranya dalam dan berwibawa, sangat mencerminkan sebesar apa dirinya be
**Carissa merasa kesadarannya timbul dan tenggelam. Ia mengerjap perlahan, berusaha membuka kelopak matanya yang terasa perih sekali. Saat atensinya pelan-pelan mulai jelas, ia menyadari bahwa ini adalah tempat yang asing. Kembali, rasa trauma akan tempat asing seperti membuatnya nyaris kembali pingsan. Terlebih lagi, rasa sakit yang hebat di dada seperti mencekik lehernya saat ia bergerak. Pada saat-saat demikian, tanpa sadar perempuan itu menyebut nama satu-satunya sosok yang melekat dalam ingatannya.“Kak Gara ….”Carissa tidak berharap apapun sebab berpikir Aldric masih menyekap dirinya. Ya, itu adalah hal terakhir yang perempuan itu ingat. Namun kemudian, sebuah suara menjawab rintihannya, membuat kesadarannya seperti seketika dijejalkan dengan paksa ke dalam raganya yang remuk redam.“Sayang? Sayang, kamu bangun? Ini aku, aku. Kamu bisa lihat aku, kan?”Rissa menoleh dengan terkejut, mendapati wajah Sagara yang berada sangat dekat. Ia ingin mengulurkan tangan dan menyentuh waja
**Dua kali Sagara berada pada situasi seperti ini. Kalut, panik dan ketakutan menunggu dokter keluar membawa kabar tentang bagaimana kondisi istrinya. Dua kali pula Sagara merasa gagal menjadi suami yang bertanggung jawab, hingga lagi-lagi istri tercintanya harus berhadapan dengan maut. Sebuah kecelakaan bodoh yang seharusnya tidak perlu terjadi.“Kenapa lama banget?” Ia berdecak kesal, menatap dengki kepada pintu ruangan UGD yang tak kunjung membuka. “Sial! Gue dobrak juga lama-lama pintu sialan itu!”“Sabar sebentar, Pak. Pak Gara bisa duduk dulu, biar nggak terlalu tegang,” saran petugas kepolisian muda yang mendampingi dirinya hingga ke rumah sakit.“Menurutmu aku bisa tenang dalam keadaan seperti ini?” sahut Gara ketus. Membuat si petugas tidak lagi mengatakan kalimat penghiburan. Tuan muda yang satu ini sungguh tidak bisa diajak berbasa-basi. Hanya dengan istrinya seorang ia bisa bersikap seperti manusia biasa.Beberapa saat kemudian, pintu ruangan terbuka dengan seorang dokter
**"Rissa!" Sagara mengguncang tubuh dalam pelukannya itu kuat-kuat. Rasa takut kembali menjalar di sepanjang aliran darahnya saat ia lihat wanitanya memejamkan mata tanpa bergerak. "Rissa, bangun Sayang! Rissa, jangan begini! Bangun!""Kita bawa ke rumah sakit saja, Pak," saran seorang petugas. Membuat Gara membatalkan niatnya untuk mengguncang kembali tubuh sang istri. Dengan bodoh ia menyadari, bahwa seharusnya memang melarikan Rissa ke rumah sakit segera, alih-alih memaksanya bangun seperti itu.Maka, pria itu segera membopong tubuh istrinya. Menjauh dari keramaian dan kerumunan orang-orang yang masih shock, menuju pintu lift yang terlihat berkilauan dari kejauhan. Seorang petugas kepolisian berlari-lari mengikuti dari belakang untuk membantunya membuka pintu lift."Gimana nasibnya Aldric?" desah Gara dengan risau, kepada petugas yang mengikutinya."Aldric?" Pria itu berkata dengan wajah ngeri. "Meninggal di tempat, tentu saja, Pak. Sudah pasti kan, Pak? Nggak ada orang yang bisa
**Apakah ini mimpi buruk yang datang dari dasar neraka?Sagara hanya bisa terbelalak menyaksikan apa yang baru saja terjadi. Itu bukanlah potongan adegan film action. Manusia sakit jiwa bernama Aldric Fernandez itu menarik tubuh istrinya dan membawanya jungkir balik melewati tembok pembatas balkon. Terjun bebas lima belas lantai ke bawah sana.Lantas apa yang bisa Gara lakukan? Pria itu seketika jatuh berlutut. Kedua kakinya tak lagi mampu menopang berat tubuh. Dunia terasa berguncang dan hendak menimpanya sekaligus. Ia butuh seseorang untuk menampar pipinya keras-keras dan menyadarkannya dari ilusi ini.Ilusi?Bukan. Derap langkah para petugas yang berlarian melewatinya menuju balkon di seberang ruangan itu, bukanlah ilusi belaka. Namun sekali lagi, Gara merasa jiwanya melayang keluar, meninggalkan raganya yang mendadak lumpuh. Ia terlalu bingung dan shock untuk melakukan sesuatu.“Ya Tuhan, dia jatuh? Jatuh!” Seruan para petugas itu terdengar sayup-sayup, seperti datang dari kejauh