**Rissa bukan pekerja formal yang memiliki waktu bebas hanya pada akhir pekan saja. Butik milik mertuanya yang sekarang ia pegang, tidak memiliki hari libur kecuali jika ada event tertentu. Maka dari itu, sebenarnya ia tidak terlalu senang keluar rumah ketika weekend. Nah, Sagara kebalikannya. Lelaki itu nyaris tak punya waktu saat weekday, jadi jika ingin sekedar healing, ya harus menunggu hari Sabtu atau Minggu.Maka dari itu, kali ini Rissa harus mengalah. Mengiyakan ajakan suaminya untuk pergi nonton ke mall pada hari Minggu begini."Kenapa, sih? Kok keliatannya kamu nggak nyaman begitu?" Gara bertanya sementara membelokkan mobilnya memasuki basement sebuah bangunan megah yang ingar bingar."Mm ....""Nggak bisa setiap saat loh, aku ngajak kamu jalan begini. Kamu beneran nggak suka?""Nggak, nggak gitu. Aku cuma ... " Rissa mengerutkan dahi. Tampak tengah memilih kata-kata yang terdengar tepat. "Kakak tahu, aku nggak terlalu suka keramaian.""Oh, ya? Sorry ...." Gara menatap pere
**Carissa sekarang semakin sulit memiliki waktu untuk dirinya sendiri, walau itu sekedar menikmati secangkir kopi di kafe. Padahal me-time seperti jalan-jalan atau menikmati sepotong cake di kafe sendirian, adalah sesuatu yang sangat disukai Carissa. Perempuan itu sesungguhnya adalah seorang introvert tulen. Nah, apalagi sebabnya kalau bukan si suami yang kian hari kian menunjukkan sisi posesifnya."Jujur sama aku, apa kamu sudah hamil?" Menelan saliva, lagi-lagi ibu mertuanya menodong pertanyaan semacam itu."Be-belum, Mami. Dua hari yang lalu Rissa baru selesai datang bulan."Wanita cantik itu mendesah kecewa. "Tapi aku lihat gelagat si Gara aneh sekali akhir-akhir ini, Ris.""Aneh?""Aku nggak pernah tahu seperti apa hubungan kalian sebelumnya. Tapi aku pikir belakangan dia agak overprotektif sama kamu. Yang aku tahu, laki-laki biasanya begitu kalau istrinya hamil."Sok tahu, gerutu Rissa dalam hati. Yasmin tidak tahu saja bahwa belakangan Carissa benar-benar dibuat ngeri oleh tin
**"Pergi!"Abian tampak benar-benar terluka dengan sikap Carissa yang —sepanjang mengenal, baru kali ini ia lihat. Perempuan yang senantiasa lemah lembut penuh kasih itu mendadak saja menjadi kasar seperti ini."Rissa, kamu banyak berubah.""Kamu berharap gimana? Aku tetep jadi perempuan lemah yang diem-diem aja ditindas manusia macam kamu atau Tante Arini? Jangan harap, Bi. Nggak akan pernah lagi!""Aku tetep ngerasa kamu berhak tahu hal ini. Bayi yang dikandung Aneska bener-bener bukan anak aku. Dia ngelahirin seminggu yang lalu, dan tes darah yang udah dilakukan dokter nunjukin semua hasilnya.""Bukan urusanku, Abi!""Aku dijebak sama dia. Dia udah hamil sama orang lain sebelumnya.""Apa kamu nggak ngerti bahasa manusia, Bi? Aku bilang itu bukan urusanku! Terlepas dari bayi itu anakmu atau anak siapapun, kalian berdua udah sakitin aku sampai titik terendah dalam hidup. Dan jangan harap aku bakalan segampang itu lupain."Kemudian, Carissa meraih ponsel dan dompetnya, meninggalkan m
**Bayi itu bukan anak Abian.Pikiran itu terus berputar-putar dalam benak Carissa selama berhari-hari ke depan. Basically, Rissa memanglah seorang pemikir. Jika sedikit masalah saja bisa membuatnya overthinking, lantas bagaimana dengan yang begini?Berkali-kali ia ingatkan diri bahwa ini bukan lagi urusannya, tapi entah mengapa tidak bisa."Kamu nunggu sampai tehnya berubah jadi batu, gitu?"Terkesiap, perempuan itu buru-buru menaruh sendok teh yang entah sudah berapa lama ia gunakan untuk mengaduk minuman yang kini mulai mendingin."Mikirin siapa?"Ugh, mampus lah kau! Pertanyaannya bukan lagi apa, tapi siapa. Insting Sagara memang setajam itu. "Apa sih? Nggak ada.""Bohong."Sagara menelengkan kepala. Memandang lurus kepada manik cokelat istrinya yang sedikit bergetar."Abian?" tebak lelaki itu lagi."Nggak ada, Kak. Aku emang lagi capek, jadi suka tiba-tiba diem. Beberapa hari ini Mami sibuk sama Mellifluous, kan?"Gara hanya membenarkan dengan mengangkat bahu."CEO-nya gimana? S
**Belakangan kesehatan Yasmin sedang kurang baik. Maka tugas Rissa di butik semakin banyak. Wanita itu hanya datang mengecek sebentar-sebentar dan lebih banyak menghubungi Carissa via telepon."Kamu urus aja semuanya seperti yang biasa aku lakukan," titah sang ibu mertua hari ini. Dan ya, melalui telepon."Mami nggak enak badan lagi? Apa Rissa perlu ke sana? Kita ke dokter, ya?" Nada suara Rissa benar-benar khawatir."Aku nggak mau ke dokter. Tapi kalau kamu mau ke sini, ya silakan aja. Dan jangan kasih tau Sagara. Aku nggak mau dia nanti ribut sendiri, ngira yang gimana-gimana. I'm totally okay.""Baiklah, Mam. Nanti aku ke sana kalau kerjaan udah beres. Mami take care, nggak usah khawatirin masalah butik. I'll handle everything." Carissa memutus panggilannya setelah mengucapkan salam. Menghembuskan napas pelan dan berpikir-pikir. Benarkah ia tidak perlu memberitahu Gara?Sepertinya itu tidak adil. Mungkin ia bisa mencuri waktu sebentar dengan pulang lebih awal dari butik. Carissa j
**"Kamu juga baru pulang?" Sagara bertanya dengan curiga ketika membuka pintu rumah, dan mendapati istrinya tengah membuka sepatu. Tampak baru saja sampai di rumah juga."Ah, Kak–""Dari mana aja?""Aku–""Kamu keluar rumah diam-diam? Mampir ke mana dulu dari butik tadi, ha?""Nggak–""Kamu habis ketemu sama siapa?""Kak, please!" Carissa menyela dengan keras. Iya, sekarang ia berani melakukan ini jika merasa posisinya tidak salah. Rahang Sagara tampak mengeras, tapi lelaki itu memilih mengulur emosi dan memberi kesempatan Carissa untuk bicara. Nah, Carissa adalah satu-satunya perempuan —selain Yasmin, yang bisa melakukan ini. Sebelumnya, mana ada manusia yang bisa menyela mulut pedas si Tuan Muda? "Iya, aku emang baru banget nyampe. Mungkin bareng sama kamu di jalan tadi. Aku pulang lebih awal dari butik, terus aku mampir sebentar ke rumah besar buat ketemu Mami."Kedua alis presisi milik Gara tampak bertaut saat mendengar itu."Aku sebenernya nggak boleh ngomong sama kamu, tapi ak
**"Apa kamu cinta sama aku, Kak?"Hening. Dalam hati Carissa berkata, ya, memangnya apa lagi yang kau harapkan dari Sagara? Dia adalah Casanova. Mana mungkin semudah itu menjatuhkan cinta kepada perempuan. Dan terlebih-lebih lagi, perempuan seperti diriku.Tapi yang terjadi kemudian, justru membuat Rissa kian bimbang. Sagara kembali menempatkan ciuman hangat di atas bibirnya. Jauh lebih hangat dari suhu air yang merendam tubuh keduanya kini."Kak–""Apa kamu masih harus pertanyakan hal seperti itu juga, hm? Sepenting itukah kata cinta buat kamu?"Lagi, sekujur tubuh Rissa merinding. Vokalisasi bariton itu menerpa tengkuknya, bersamaan dengan deru napas yang berat. Benar, Sagara memang tidak memiliki word of affirmation untuk bahasa cinta."Memangnya selama berbulan-bulan kita tinggal bareng, kamu nggak bisa ngerasain kah, Ris?""T-tapi aku tetep pengen denger–""I love you for sure."Oh, Tuhan.Carissa merasa tubuhnya turut meleleh dalam air hangat beraroma bunga yang memabukkan ini.
**"Jelasin sekarang, atau aku nggak akan pernah lagi dengerin apapun dari kamu!" Lelaki itu sedang memegang pack pil kontrasepsi yang terjatuh dari dalam tas."K-Kak–""Aku dan Mami sepenuh hati berharap kamu hamil, dan kamu malah melakukan ini? Apa maksud kamu, Ris? Apa maksudmu, ha?" Nada suara Sagara tak lagi lembut seperti tadi. Raut wajahnya pun sarat kecewa dan murka. Lelaki itu mengernyit, jika ini orang lain dan bukan Carissa, sudah pasti ia tak akan segan-segan melayangkan tinjunya yang mematikan."Kak, aku ... aku minta maaf ....""Apa gunanya maaf? Kamu ternyata nggak menganggap pernikahan ini serius seperti yang baru saja kamu ributkan tadi, iya?""Kak, bukan begitu!""Lalu apa?""Kak, aku ... Kak, maafkan aku–""Minta maaf sama Mami! Dan kalau sampai alasanmu melakukan ini nggak bisa diterima akal sehat, maka aku rasa kita nggak perlu lagi melanjutkan semua ini!"Tersentak, Rissa sama sekali tidak menyangka Gara akan mengatakan semua itu. Ia menggeleng keras, tak bisa