"Hoosh...."
Yoshiro mencoba mengatur nafasnya yang sudah memburu hebat akibat pertarungan sengitnya melawan sekelompok geng motor yang menjadi targetnya kali ini.
Ya, Yoshiro memang merencanakan untuk mengalahkan mereka dan mengambil barang berharga yang dimiliki oleh anggota geng motor itu. Sayangnya, Yoshiro salah perhitungan.Meski sudah berhasil mengalahkan sepuluh orang itu, namun kini Yoshiro benar-benar kehabisan tenaga.
Ditambah lagi dengan segala luka yang ada, membuat Yoshiro tidak bisa bergerak.
Untung saja para musuhnya itu sudah terpakai di tanah dalam kondisi pingsan.
"Kenapa kamu tidak membunuh mereka sekalian?" tanya seorang laki-laki asing dari arah belakang. "Siapa kamu?" tanya Yoshiro menatap ke arah laki-laki itu. "Komisaris polisi," balas laki-laki itu melemparkan kartu tanda anggota kepolisiannya ke hadapan Yoshiro. Honpil Mith. Laki-laki dengan pangkat perwira itu cukup direpotkan dengan ulah Yoshiro yang selalu saja menyerang secara membabi buta segala orang yang berkeliaran di tengah malam. Sama seperti sekarang. Yoshiro memancing satu kelompok geng motor ke bawah kuil yang ada di atas gunung. Dan mengalahkan mereka semua. "Jadi, kenapa kamu tidak membunuh mereka?" tanya Honpil saat sudah berada di sisi Yoshiro. "Apakah kamu serius menanyakan itu?" tanya Yoshiro mengelap bagian sudut bibirnya yang mulai mengeluarkan darah segar. "Aku selalu penasaran. Kamu selalu berkelahi dengan orang lain. Mengalahkan mereka. Mengambil barang berharga mereka tanpa menghabisi nyawa mereka. Padahal jika kamu menginginkannya, kamu bisa sekaligus melakukannya. Apa yang sebenarnya kamu inginkan? Bukankah akan lebih mudah jika seandainya kamu merampok rumah saja daripada melakukan ini semua?" "Bukankah itu bukan urusanmu? Urus saja urusanmu sendiri dan tinggalkan aku sendiri." "Kamu adalah urusanku, Bodoh. Apakah kamu tidak tau, seberapa besar masalah yang kamu timbulkan? Aku diminta oleh atasanku untuk menangkapmu. Aku tidak bisa membiarkanmu melakukan ini semua terus." Yoshiro menggunakan kedua tangannya sebagai penopang. Berusaha berdiri. Mengabaikan rasa sakit yang mulai dari setiap luka lebam yang ada. Honpil menatap ke arah Yoshiro. Ia tidak melakukan apa pun. Karena sudah jelas sekali, Yoshiro tidak akan bisa melarikan diri dalam kondisi tubuh seperti itu. Honpil memasukkan tangannya ke dalam kantong jaket. Mengambil kotak rokok. Menyalakan satu batang rokok menggunakan korek gas miliknya. "Apakah kamu mau bekerja sama denganku?" tanya Honpil menghisap batang rokok miliknya. "Ha?! Apakah kamu pikir aku bodoh? Bagaimana mungkin seorang kriminal sepertiku bekerja sama dengan polisi? Apakah mungkin ini caramu untuk membawaku ke kantormu?" tanya Yoshiro menatap tak percaya Honpil. "Apakah menurutmu aku adalah seorang polisi yang baik dan menuruti segala peraturan? Lihatlah apa yang ada di tanganku dan kamu bisa mengerti bahwa aku tak selalu mengikuti aturan yang ada." Seorang polisi tidak diizinkan merokok ataupun meminum minuman keras. Itu adalah aturan utamanya. Apalagi Honpil adalah seorang komisaris. Yang di mana seharusnya Honpil harus benar-benar menjalankan peraturan itu tanpa terkecuali. "Aku memiliki seorang anak perempuan. Dia bersekolah di sekolah swasta. Aku akan menjelaskan kondisi lebihnya saat kamu setuju bekerja untukku," ujar Honpil. "Aku tidak tertarik. Simpan saja uangmu dan urus saja sendiri anak perempuanmu," balas Yoshiro masih berusaha berjalan menjauh. "Hoi, Bocah. Setidaknya katakan apa alasanmu melakukan semua ini. Aku akan berpura-pura buta dan tidak menulis laporan terkait keterlibatan mu kali ini jika kamu mengatakannya padaku." "Apakah kamu pernah mendengar ini? Laki-laki tidak boleh bercerita. Aku tidak mau mengatakannya padamu. Jadi aku rasa lebih baik aku ditangkap daripada harus menceritakannya padamu." "Aku rasa kalimat itu tidak sepantasnya dikatakan oleh seorang kriminal." Yoshiro berbalik. Menatap Honpil yang masih santai merokok dengan tatapan tertuju pada Yoshiro. "Aku tidak pernah berniat untuk memerasmu. Aku ingin melakukan pertukaran denganmu. Aku ingin kamu melindungi orang yang aku sayang menggunakan kekuatanmu. Dan sebagai gantinya, aku akan melindungi orang yang kamu sayang menggunakan kekuasaanku. Itu adalah hal yang setimpal. Pantang bagiku untuk memeras orang yang sedang berjuang sendirian," balas Honpil membuang puntung rokoknya ke tengah-tengah badan para korban Yoshiro yang masih pingsan. "Kamu melakukan semua ini bukan karena kemauanmu sendiri bukan? Ada sesuatu di belakang sana yang memaksamu untuk melakukan semua ini. Ada sesuatu yang membuatmu harus melakukan pekerjaan kotor ini untuk selembar uang," lanjut Honpil memasukkan kedua tangannya ke dalam kantong jaketnya. "Aku tidak suka udara malam hari. Kita bicarakan lain kali," balas Yoshiro melenggang pergi. Honpil tersenyum kecil. Setidaknya kali ini ia berhasil memberikan sedikit kebimbangan pada hati dan pikiran Yoshiro.Dia yakin penawarannya akan menarik minat pemuda itu!
Kini, Yoshiro berdiri diam di samping ranjang rumah sakit. Menatap ke arah wajah ibunya yang sedang tertidur pulas dengan bagian tangan terpasang infus. Wajah keriput, tubuh yang kurus kering, dan rambut yang sudah penuh dengan uban. Benar-benar tidak enak untuk dipandang. Setiap Yoshiro menatap wajah Sheila, Yoshiro merasa bahwa ia harus pergi. Menuju ke tempat di mana ia bisa menghasilkan banyak uang dan membayar segala pengobatan ibunya. "Apa kamu tidak berangkat ke sekolah lagi? Bukankah saat ini seharusnya kamu berada di sekolah?" tanya Sheila membuka mata dan menatap Yoshiro. "Aku ke sekolah. Hanya saja pulang lebih awal. Guru mengatakan bahwa mereka akan rapat dan para murid bisa pulang lebih dulu," bohong Yoshiro. "Jangan seperti itu. Sekolah itu penting. Ibu tidak masalah jika harus berada di rumah sakit sendiri. Masa depanmu lebih penting. Ibu tidak mau anak Ibu dikeluarkan dari sekolah hanya karena sering tidak masuk kelas." "Aku tidak berbohong." "Lucu sekali. Ibu s
Di sisi lain, Honpil berada di ruangannya sembari menatap segala berkas kasus yang terjadi pada beberapa hari minggu belakangan ini. Kasus pencopetan, kasus penyerangan, dan kasus penganiayaan. Dari hampir seluruh kasus itu Honpil bisa menebak siapa dalangnya. Namun Honpil tidak bisa melakukan apa pun sekarang. Melainkan menghapus berkas kasus-kasus itu dan bersikap tidak pernah menerima laporan itu sebelumnya. "Apakah kamu sedang sibuk?" tanya seorang laki-laki berjalan masuk ke ruangan Honpil membawa dua kopi kaleng. "Bagaimana kelihatannya?" tanya Honpil menatap malas laki-laki itu. Kazue Vorc. Seorang inspektur polisi. Sekaligus sahabat dekat Honpil. Mereka sering kali terlibat karena harus memecahkan kasus yang sama. Dan dari situlah mereka semakin dekat sampai sekarang. "Bagaimana dengan kaki anakmu?" tanya Kazue menyerahkan satu kaleng kopi panas pada Honpil. "Sudah mulai membaik. Hanya saja dia harus menggunakan kursi roda saat berada di sekolah," balas Kazue membuka tu
Tanpa mengetahui hal yang direncanakan sang ayah, Serena menggerakkan kursi rodanya seorang diri menuju ke arah kantin. Tidak ada yang menemaninya. Ia memang sudah terbiasa sendiri. Semenjak ia menggunakan kursi roda. Pergerakan Serena terhenti saat sudah berada di kantin. Serena tidak bisa bergerak ke arah tempat pengambilan makanan. Bukan karena kursi rodanya rusak. Melainkan karena ada beberapa orang yang berhenti di depannya dan menghalangi jalannya. Seorang perempuan dengan rambut pirang. Terlihat sepertinya berandalan. Mingzu. Seorang anak dari salah satu penjabat di pemerintahan. Dengan teman-teman menghalangi jalan Serena. "Ada apa?" tanya Serena dengan tatapan kosong. "Pergilah. Di sini bukanlah tempat untuk orang cacat sepertimu. Sekolah ini kehilangan wibawanya saat ada orang tanpa kaki sepertimu," jawab Mingzu dengan keras sehingga menjadi pusat perhatian. Serena melirik ke sudut kantin. Di sana ada Brian Mcknight. Mantan pacar Serena. Sekaligus orang yang paling dita
Serena menatap bunga-bunga yang tumbuh di taman sekolahnya. Menghela nafas sejenak. Lalu memilih untuk menatap ke arah seorang laki-laki yang sedang duduk di kursi taman.Serena tidak mengenal laki-laki itu. Laki-laki itulah yang tiba-tiba saja menariknya dari kantin ke taman sekolah. Serena ingin marah. Namun Serena sadar bahwa tanpa laki-laki itu, pasti kondisi badannya saat ini sudah kotor karena terkena tumpahan jus jambu."Mau?" tanya Yoshiro menyodorkan roti yang sudah ia gigit sedikit."Aku tidak bisa memakan makanan sisa," balas Serena."Makanan sisa? Aku hanya mengingat sedikit di bagian ujungnya. Lagipula ini juga belum dibuang ke tempat sampah. Lalu kenapa kamu menyebutnya sebagai makanan sisa?""Karena sudah kamu gigit.""Aku tidak akan membagi apa pun lagi padamu setelah ini."Yoshiro mengingat rotinya dengan perasaan kesal. Menguyahnya tanpa kembali memandang ke arah Serena."Siapa yang menabrakmu?" tanya Yoshiro melirik ke arah kaki Serena."Entahlah. Tapi yang pasti,
Brian naik dari kolam renang sekolah dengan kondisi basah kuyup dan bagian atas badannya tanpa selesai kain sedikit pun.Kolam renang sekolah memang tempat umum. Para murid bisa masuk dan keluar semua mereka. Mereka pun bebas menggunakannya kapan saja.Namun aturan itu tidak berlaku saat Brian sedang menggunakannya. Brain adalah anak dari perdana menteri. Brain memiliki hak penuh dan kekuasaan di sekolah itu. Dan semua orang mengerti akan hal itu. Kecuali seorang laki-laki yang sekarang sedang berdiri sembari menatap Brian. Seorang laki-laki menggunakan almamater putih. Yoshiro."Sepertinya aku sudah menaruh dua pengawal di pintu masuk, apakah mereka lalai dan kamu mengambil kesempatan untuk masuk?" tanya Brian berhenti dalam kondisi masih cukup jauh dari Yoshiro."Manusia memiliki dua tangan. Tergantung pemiliknya mau digunakan untuk apa. Bisa digunakan untuk hal baik. Dan bisa juga digunakan untuk membuat orang lain tak sadarkan diri," balas Yoshiro memperlihatkan kedua tangannya pa
Yoshiro menghela nafas saat tiba-tiba saja ada tiga orang menggunakan jas hitam berwajah mengerikan menghadang jalannya.Tanpa bertanya lebih dulu, Yoshiro sudah mengerti alasan mengapa ketiga orang itu datang. Mingzu. Sudah pasti perempuan itu dalang dari kedatangan ketiga orang itu.Dua orang membawa tongkat besi. Dan satu orang yang berjaga membawa pistol. Kelompok mafia."Apakah kamu yang mencari masalah dengan putri dari Keluarga Archine?" tanya seorang mafia yang membawa pistol."Sepertinya aku tidak terlalu asing dengan lambang yang ada di jasmu," balas Yoshiro mengabaikan pertanyaan laki-laki itu. Dan lebih memiliki fokus pada lambang yang terdapat pada jas laki-laki itu."Wajah burung hantu berwarna putih? Apakah kalian dari WO?" tanya Yoshiro menatap saksama laki-laki pemegang pistol itu."Hee. Tidak kusangka kamu bisa menyadari itu. Sepertinya kamu bukanlah anak murid pada umumnya. Karena bisa tau sesuatu tentang kelompok kami," balas laki-laki itu.WO. Atau lebih tepatnya
Serena menatap seorang laki-laki menggunakan mantel yang baru saja mendekat ke arah mobilnya. Ia membuka kaca mobil dan mengulurkan sebuah amplop cokelat yang berisikan tentang segala dokumen dan foto yang Serena minta.Serena meminta segala informasi tentang Yoshiro Shikazu pada Kazue. Karena laki-laki paruh baya itu sangat dekat dengan ayahnya. Dan Serena yakin bahwa Kazue tau sesuatu tentang Yoshiro."Nona Muda, tidak baik keluar malam seperti ini. Ada banyak orang jahat di luar sana. Supirmu saja tidak akan sanggup melawan mereka," ujar Kazue bersandar pada body mobil Serena."Aku tau itu," balas Serena membuka amplop cokelat itu."Apakah Ayah sedang ada di dalam?" tanya Serena."Tidak. Ayah Nona Muda sedang keluar untuk melakukan patroli bersama para anggota polisi yang lainnya. Nona Muda tau sendiri kalau beliau itu tidak bisa diam di satu tempat dalam waktu yang lama," balas Kazue.Serena mengangguk pelan. Diam. Membaca biografi tentang Yoshiro Shikazu. Memahami secara detail
Keenan harus mengakui kemampuan bela diri Yoshiro. Karena laki-laki muda itu berhasil membuat kedua anak buah kepercayaannya terkapar di tanah, setelah melakukan pertarungan sengit.Yoshiro mendapatkan luka lebam akibat pertarungan itu. Namun Yoshiro terlihat masih memiliki tenaga untuk bertarung melawan Keenan."Haruskah kita menyelesaikan ini?" tanya Yoshiro dengan tatapan tajam ke arah Keenan."Bukankah semua yang sudah dimulai harus diselesaikan?" tanya Keenan melepaskan jas hitam miliknya. Menyisakan kemeja putih.Keenan menerjang maju. Dengan kecepatan yang sangat cepat. Selama ini tidak ada orang yang bisa memperhitungkan kapan Keenan akan mendaratkan kakinya dan di mana Keenan akan muncul setelah bergerak dengan kecepatan tinggi seperti itu.Namun Yoshiro bisa. Tinju keras Keenan yang seharusnya mengenai kepala Yoshiro, melenggang begitu saja karena Yoshiro menggeser kepalanya menjauh dari jalur lintas kepalan tangan Keenan."Di mana kamu belajar ilmu bela diri?" tanya Keenan
Ven berada di luar balkon dengan ukuran cukup luas dengan posisi bisa melihat secara utuh area gerbang masuk sampai seluruh taman yang ada di depan rumah.Itu adalah rumah pribadinya. Yang tentu saja ia beli menggunakan uang ayahnya baru-baru ini. Dan ia membeli rumah itu memang untuk merencanakan penculikan itu.Ia berada di luar sana bersama dengan Yuki Yamazaki. Seorang Yakuza terkenal berdarah dingin yang tak pernah membiarkan lawannya hidup setelah melihat keberadaannya.Dan ada Serena yang pingsan di atas kursi roda bersama mereka berdua di balkon."Bukankah ini personil kita terlalu banyak kalau hanya untuk mengurus satu orang saja?" tanya Yuki menatap segala anak buahnya yang berjaga di halaman."Lebih baik sedia payung sebelum hujan bukan?" tanya Ven balik."Tapi saya rasa satu anggota saya saja cukup untuk mengalahkan anak itu.""Entah kenapa aku meragukan hal itu. Aku sempat melawan laki-laki itu dan kemampuannya benar-benar di luar pemikiran manusia.""Hee, aku jadi penasa
Ivona Olivia. Seorang pendiri Partai Unity yang sering mendapatkan gelar sebagai Gadis Es. Seorang perempuan yang dikelilingi oleh banyak perempuan. Dan tak pernah sekali pun terlihat berdua bersama laki-laki. Bahkan ketika harus berurusan dengan para kader atau politisi dari partai pun, Ivona lebih sering mengirim asisten kepercayaannya untuk berbicara dengan mereka.Ivona hanya datang saat pertemuan besar. Dan tak ingin terlihat berdua bersama seorang laki-laki. Tidak peduli apa pun status laki-laki itu serta sepenting apakah laki-laki itu di sistem kenegaraan.Ivona menatap secara saksama asisten kepercayaannya yang tiba-tiba saja memasuki ruangannya tanpa ia hubungi lebih dulu. Elaine Yuri. "Maaf jika saya mengganggu waktu Anda. Namun saya rasa Anda harus melihat berita ini," ujar Yuri menyodorkan tablet miliknya."Berita? Apakah ada yang penting?" tanya Ivona mengambil tablet itu."Komisaris polisi dan anak perempuannya diculik."Ivona membaca berita itu. Keningnya mengkerut. Be
Kazue menghadap ke arah sebuah dermaga pelabuhan yang sudah dikosongkan. Bersama beberapa polisi khusus yang sudah berada di titik-titik persembunyian siap dengan sniper mereka.Kazue memiliki firasat bahwa dermaga itu adalah tempat di mana Honpil dan Serena dibawa. Kazue menatap ke arah sebelah kiri. Memandang sebuah mobil sport yang baru saja berhenti di sana. Lalu muncul dua orang yang Kazue cukup kenal. Yoshiro dan Brain."Anak kecil tidak boleh ke sini. Pergilah dan bermain bersama dengan orang yang seusia kalian," usir Kazue takut jika kedua orang itu akan merepotkannya."Saya anak dari perdana menteri. Saya datang karena melihat berita tentang teman satu kelas saya yang terlibat penculikan dan kemungkinan berada di sini," jawab Brain."Lalu? Kenapa kamu berada di sini? Ini sudah sepenuhnya urusan kepolisian. Yang tidak berkepentingan tidak boleh mendekat ke area ini," balas Kazue."Kamu pun sama. Pergilah. Ini bukan tugasmu," balas Kazue menatap ke arah Yoshiro. "Siapa kamu?"
Yoshiro berada di dalam mobil sport mewah. Keluaran terbaru. Berwarna putih. Yang terparkir jelas di depan cafe tempatnya bekerja.Tentu saja itu bukanlah miliknya. Melainkan milik seorang laki-laki yang satu sekolah dengannya. Seorang laki-laki yang tidak pernah ia sangka akan menemuinya dan mengajaknya untuk berbicara empat mata.Brain Mcknight. "Bukankah sangat aneh? Murid dari sekolah paling mahal di negeri ini bekerja paruh di cafe kecil seperti ini?" tanya Brain menatap secara saksama cafe tempat Yoshiro bekerja."Jangan samakan aku denganmu. Aku bukan anak pejabat atau anak pemilik perusahaan besar," balas Yoshiro."Lalu bagaimana bisa kamu masuk ke sana? Apakah ada orang yang mendaftarkanmu menggunakan nama keluarganya? Keluarga Mith contohnya?""Bukankah itu sudah sangat jelas? Lalu untuk apa kamu menanyakan itu padaku?""Begitu, 'ya? Mereka memintamu untuk menjaga Serena. Sebagai gantinya, mereka membayarmu untuk hal itu."Alasan yang sudah sangat jelas. Membuat Yoshiro tid
Serena kembali dengan Honpil menggunakan mobil sport milik Honpil. Sedangkan Yoshiro kembali ke cafe untuk menjadi pelayan di sana. Honpil cukup senang saat mendengar laporan dari dokter bahwasannya keadaan kaki Serena mulai membaik. Hanya butuh sedikit waktu lagi untuk Serena bisa lepas dari kursi rodanya."Bagaimana di sekolah? Apakah kamu mulai bisa terbiasa dengan kondisi yang sekarang?" tanya Honpil masih fokus dengan kondisi jalan di depannya."Baik-baik saja. Tapi akan lebih baik jika Ayah memperingati laki-laki bodoh itu untuk tidak menyerang semua orang yang dia lihat," balas Serena menatap ke arah luar kaca mobil di sampingnya."Yoshiro? Apakah dia melakukan sesuatu yang di luar perjanjian?""Dia menyerang Mingzu dan Ven. Dua orang yang jelas-jelas anak dari dewan perwakilan rakyat. Jika saja kedua orang itu ingin melaporkan kejadian itu kepada kedua orang tuanya, maka kita juga akan terlibat dalam masalah.""Benarkah? Apakah dia benar-benar melakukan itu? Kenapa tidak ada
Serena telah selesai memeriksakan kondisi kakinya di rumah sakit. Dokter yang menangani kakinya, mengatakan bahwa hanya butuh waktu sekitar satu bulan lagi untuk Serena bisa lepas dari kursi rodanya.Serena menunggu di ruang tunggu obat. Bersama dengan Yoshiro. Mereka masih sama-sama menggunakan almamater High School Scarlt. Mereka tidak menunggu obat. Tanpa perlu ditunggu pun Serena bisa mendapatkan obatnya. Itu sudah diurus oleh anak buah ayahnya. Yang Serena tunggu adalah ayahnya yang akan datang menjemputnya."Pergi saja," usir Serena."Aku tidak menunggumu. Aku memang ingin berada di sini," jawab Yoshiro menyandarkan punggungnya pada kursi."Untuk apa kamu di sini? Ibumu saja tidak dirawat di sini. Tidak ada alasan untukmu tetap berada di sini.""Berbicaralah sesukamu. Tugasku sebagai pengawalmu hanya saat berada di sekolah. Saat di luar sekolah, aku bisa melakukan apa pun yang aku mau. Tanpa harus menuruti kemauanmu."Serena melirik ke arah Yoshiro. Laki-laki itu hanya diam. Me
Kelas XI-A. Hanya berisi sebelas murid saja. Murid-muriddi sana adalah murid istimewa yang memang memiliki keluarga terpandang. Atau lebih tepatnya, murid-murid yang memiliki hubungan dekat dengan pemerintahan.Brian, Mingzu, dan Serena adalah sedikit contohnya. Lalu juga ada salah satu laki-laki berambut pirang. Berbadan kekar. Bernama Ven Cloris. Sama seperti Mingzu, ayah Ven memiliki kursi di dewan perwakilan rakyat pada periode sekarang. Membuat Ven bisa melakukan segala hal yang ia inginkan tanpa harus mengkhawatirkan apa pun. Berbanding terbalik dengan Brian yang tidak terlalu banyak berinteraksi. Ven selalu berinteraksi. Hanya saja dengan para wanita. Dengan tujuan untuk meniduri wanita itu.Sudah lebih dari seratus wanita yang sudah ditiduri oleh Ven. Lalu dibuang begitu saja. "Apakah kamu membutuhkan bantuan?" tanya Ven berdiri di samping kursi roda Serena."Tidak. Terima kasih," balas Serena menutup seluruh buku yang ada di meja belajarnya.Percakapan antara Ven dan Serena
Yoshiro yang sedang sibuk membersihkan meja pun langsung berdiri tegap untuk menyapa orang yang baru saja memasuki cafe tempatnya bekerja."Selamat malam," ujar Yoshiro dengan ragu menatap ke arah seorang gadis yang terlihat sangat elegan itu.jas, jam tangan, dan tas kecil. Semua barang-barang itu saja sudah menunjukkan betapa kayanya perempuan itu."Bisakah aku memesan sesuatu?" tanya tanya perempuan itu duduk di salah satu meja kosong."Silahkan," balas Yoshiro menaruh buku menu pada meja perempuan itu."Apakah memang selalu seperti ini? Sepi.""Selalunya tempat ini ramai. Kebetulan Anda datang lima menit sebelum cafe tutup. Jadi kondisinya memang hanya tersisa saya sekarang.""Di mana teman-temanmu?""Mereka sudah pulang duluan. Saya diminta untuk membuang sampah dan mengunci beberapa pintu.""Ah, begitu."Suasana hening. Yoshiro menatap secara saksama perempuan itu. Yoshiro mengetahui siapa perempuan itu.Ivona Olivia. Atau lebih sering dipanggil dengan sebutan Olivia. Pendiri se
Serena menatap segala hidangan yang ada di meja makannya. Meja makan mewah dengan taplak berwarna putih dengan corak emas. Pelayan yang membawakan hidangan itu ke meja Serena. Lalu pandangan Serena beralih menatap seorang laki-laki yang duduk di hadapannya. Seorang laki-laki yang sedang sibuk dengan kotak makan kecil yang berisikan telur goreng serta nasi.Berbanding terbalik dengan makanan milik Serena."Aku dengar kamu juga bekerja di sebuah cafe," tanya Serena mengambil garpu dan pisau."Benar. Aku bekerja di cafe malam hari," balas Yoshiro setelah membuka tutup kotak makannya."Apakah kamu tidak belajar?""Aku belajar hanya saat aku ingin belajar."Serena diam. Menurut data yang ia terima dan baca, seluruh nilai laki-laki itu selalu sempurna. Tidak ada satu pun kesalahan saat ujian diadakan. Menandakan bahwa memang otak laki-laki itu bekerja dengan benar. "Aku dengar kamu pintar memainkan piano," tanya Yoshiro menatap ke arah Serena."Sedikit," balas Serena."Bagaimana caranya m